Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan merupakan sunah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, bagi pengikut Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang baik, maka mereka harus
melaksanakan sunah ini (perkawinan). Perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keterununan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia
dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah subhanahu wa taala,
dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan
di dalam al-Quran, antara lain QS. an-Nuur ayat 32 :


:

43)
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.(QS Annur:32)1
Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga,
dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 2 tentang
Perkawinan. Menurut UU ini, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 UU Perkawinan). Dan pasal 2 tentang syarat sahnya pernikahan di hadapan
hukum, bahwa pernikahan dianggap sah adalah pernikahan yang dilaksanakan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan dicatat menurut
perundang-undagan yang berlaku.

Departemen Agama RI. 2005, Al-Quran Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro, Bandung.
hal.282

Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang
dipahami sebagai syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan
kelompok modern. Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan.
Bahaya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami kegagalan
untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti
yang autentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta
perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam
keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia,
dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara
bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang meninggal). Bagaimana
caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah dari
suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk
membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah
(nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila
telah memiliki bukti autentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan,
maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat
bukti) yang menunjuk-kan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang
telah meninggal dunia.
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari
pencatatan nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal
perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber
adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung dengan
perceraian.
Berdasarkan permasalahan inilah yang kemudian memunculkan girah penulis
untuk mengkaji hal ini secara mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa syarat sahnya pernikahan dalam islam?
2. Apa syarat sahnya Pernikahan di Indonesia?

3. Apa yang dimaksud dengan pernikahan di bawah tangan?


4. Bagaimanakah hukum islam di indonesia membahas tentang nikah di bawah
tangan ?
5. Mengapa kelompok tradisional menghalalkan pernikahan di bawah tangan?
6. Mengapa pula kelompok modern mengharamkan pernikahan di bawah tangan?

C. Tujuan Dan Kegunaan Masalah


Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Masailul
Fiqh, dan agar kita memahami dikotomi antara kelompok tradisional dan kelompok
modern dalam hal pernikahan di bawah tangan dan dapat mengambil ibrah dari
permasalahan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN.

A. Pernikahan Dalam Islam.


Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ) , adapula yang
mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan
tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik
akar katanya saja. Perkawinan adalah ;


Artinya : Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum
atas rukun-rukun dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafii, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :


Artinya : Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk
berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad)
lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan menurut Undangundang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal (1) dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.
Pada penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama, sehingga perkawinan tidak hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani

tetapi juga unsur bathin atau rohani yakni membentuk keluarga yang sakinah dan
saling mencintai.
Apabila ditinjau dari segi hukum, nampak sekali terlihat bahwa pernikahan
atau perkawinan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suarni-isteri dan dihalalnya
hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang sakinah dan saling
mencintai.
Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali
terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman
Allah subhanahu wa taala :






32 : {

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.2 (QS. Arrum: 21)

B. Pernikahan Di Indonesia.
1. Undng-Undang Perkawinan Di Indonesia.
RUU tentang perkawinan di Indonesia diterima dengan suara bulat dalam
sdang paripurna pada tanggal 22 desember 1973. diundangkan pada tanggal 2
januari 1974 sebagai undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
setelah mengalami proses selama 15 bulan, maka pada tanggal 1 april 1975
diundangkan peraturan pemerintah nor 9 tahun 1975 tentang perkawinan.
peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 ini terdiri dari 49 pasal dan 10 bab.
pelaksanaan yang diatur dalam peraturan ini terdapat dua bagian, yaitu (1)
pelaksanaan yang berhubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi tugas
pegawai pencatat nikah (PPN) dan (2) pelaksanaan yang dilaksanakan oleh

Departemen Agama RI. 2005, Al-Quran Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro, Bandung.
hal.324

pengadilan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh peradilan umum bagi warga
Negara yang non-muslim dan peradilan agama bagi yang muslim3.
Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa (Pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
2. Sahnya Perkawinan Di Indonesia
Mengenai sahnya perkawinan di indonesia terdapat pada pasal 2 UU
nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku4.
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan dianggap sah
adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangn yang
berlaku5. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan
rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau
pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata hukum agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan
masyarakat tersebut juga perlu dicatat oleh negara, yang dalam hal ini
ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan
perkawinan.
Hal

ini

terus

terjadi

karena

perkawinan

menurut

agama

dan

kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak


mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya yang
mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan
jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,
3

Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Hal.15
4
Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Hal.14
5
Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Hal.14

terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan
ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah
tangan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9
tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan
untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan
selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun
1975.
Dalam hal ini, sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan
Undang-Undang Perkawinan (UUP) Pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama,
dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan (2) merupakan syarat
kumulatif, bukan syarat alternatif. Oleh karena itu menurut Undang-undang
Perkawinan, perkawinan yang dilakukan menurut fiqh Islam tanpa pencatatan
oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), belum dianggap sebagai perkawinan yang
sah. Dengan demikian bahwa, akta perkawinan (Nikah) tersebut merupakan hal
yang sangat menentukan akan kebenaran suatu permasalahan apabila
diperkarakan. Dan dalam lingkungan Internasional Akta Catatan Sipil mendapat
pengakuan yang sah.
3. Pencatatan Perkawinan Di Indonesia
Tata cara pencatatan perkawinan antara lain,
a. setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara
lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat
perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
b. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU.
c. pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel
surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca
oleh umum.

d. perkawinan harus dilasanakan menurut hukum masing-masing agama dan


kepercayaannya itu dan ihadiri oleh saksi dan pegawai pencatat nikah.
e. setelah berlangsungnya pernikahan tersebut, maka kedua belah pihak mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat
nikah, seterusnya diikuti pula oleh saksi-saksi, wali nikah, dan pegawai
pencatat nikah.
f. dengan

selesainya

penandatanganan

akta

perkawinan

tersebut,

maka

perkawinan tersebut ianggap sah dn telah tercatat dengan resmi sesuai


ketentuan yang berlaku.
Kutipan akta nikah inilah yang menjadi bukti autentik bagi kedua suami
istri. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini
sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang
tidak tetap, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama
perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka
yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan
perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut
sama dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai
hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak
mempunyai bapak.
Seperti dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk
digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa kematian, misalnya
seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga
orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si
suami (yang meninggal). Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli
waris tersebut adalah isteri yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia.
Demikian pula bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ketiga anak
tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada orang tuanya).
Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti autentik
berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata
lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang
ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang

menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah
meninggal dunia.Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk
mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan,
bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini
memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan
perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan
terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat
nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi
Hukum Islam [KHI]

pasal 7).

Namun, Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a.


dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya
keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan
terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e.
perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima
alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan
permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak
memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

C. Nikah Sirri Dan Pernikahan Di Bawah Tangan.


Ada dua definisi yang berbeda tentang nikah siri. Pengertian Pertama:
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyisembunyi tanpa
wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafii di dalam
kitab Al Umm 5/. Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak
sah karena tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu pengantin pria
dan wanita, wali, dua saksi, dan ijab qobul
Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan
dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada
khayalak ramai. dalam hal ini pihak-pihak yang terlibat diminta untuk
merahasiakan pernikahan tersebut dari orang lain. Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi
makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab,
Urwah, Syabi, Nafi, Imam Abu Hanifah, Imam SyafiI, Imam Ahmad (Ibnu
Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435). Dalilnya
adalah, bahwa Rasulullah saw bersabda:

)
(
Dari Imam Ahmad riwayatkan dari Al-Hasan, dari Imran bin Husain
sebagai marfu (sabdanya): tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua
saksi6
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali
dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak
ramai. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad
muawadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada
syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli. Begitu juga pengumuman
pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai
akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan. Adapun
perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist
menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah.
Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah.
Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan
istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib
ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan
hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang
sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. Mereka berdalil
dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah
gendang rebana dan suara. (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau
mensahihkannya serta dihasankan yang lain).

A. Hasan. Tarjamah Bulughul Maram, CV Penerbit Diponegoro, Bandung. hal.438

10

Sedangkan perkawinan di bawah tangan merupakan perkawinan yang


dilakukan menurut fiqh tanpa pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) 7 .
Dalam hal ini, pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif bagi
warga negara yang melangsungkan perkawinan. Dalam suatu negara yang teratur,
segala hal yang berhubungan dengan penduduk harus dicatat, seperti kelahiran,
kematian, demikian pula perkawinan (al-nikah).

D. Hukum Pernikahan Di Bawah Tangan.


1. Fatwa MUI tentang Pernikahan Di Bawah Tangan
Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :
a.

Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat


Islam Indonesia secara nasional; dan

b.

Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke


daerah lain. (pasal 10)
Berdasarkan kewenangan tersebut, maka dibuatlah di dalam tubuh MUI

tersebut komisi-komisi yang memliki tugas masing-masing, seperti komisi B


yang khusus memiliki tugas untuk berfatwa. Dan pada ijtima ulama seIndonesia II tahun 2006, komisi B membahas tentang masail waqiiyyah
muashirah yang berkenaan dengan SMS berhadiah, nikah di bawah tangan,
pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri dan pengelolaan sumber
daya alam.
Perkawinan di bawah tangan dipandang tidak memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif
(madharat) terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hakhak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan
hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak
adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Persoalan ini hangat dibahas, karena ada peserta ijtima yang semangat
sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya
tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA), kata Ketua
Panitia Pengarah Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II, KH Maruf
7

Ahmad Rajafi, MHI. Nikah Di Bawah Tangan, Https://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/nikahdi-bawah-tangan

11

Amin. Kyai Maruf ditemui hukumonline di ruang kerjanya di Sekretariat Dewan


Syariah Nasional, kompleks perkantoran Masjid Istiqlal, Jakarta.
Kyai Maruf yang juga sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI menambahkan,
Komisi Fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain
untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat.
Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia menambahkan, nikah di
bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi
semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun,
nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan. Kalau nikah siri itu, lanjut Kyai Maruf mungkin
hanya nikah berdua saja, tanpa ada saksi dan sebagainya. Kalau pengertian siri
itu dianggap hanya berdua saja, tidak pakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa
dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah, tandasnya.
Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Kyai Maruf
menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan
rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, haramnya
itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi
berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena
mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah
uniknya, ujarnya.
Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif
untuk menolak dampak negative atau al-mudharat (saddan li adz-dzariah).
Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.
Langkah MUI ini diamini oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, Abdus Salam Nawawi. Ia mengatakan, soal anjuran pencatatan ini
sebenarnya

sudah

diatur

dalam

UU

Perkawinan.

Namun,

dalam

implementasinya masih kurang. Dan, ini sangat disayangkan. Padahal, lanjutnya,


pencatatan ini akan menjadi dokumen otentik atas peristiwa pernikahan dan
akibat-akibat yang mungkin muncul seperti kelahiran anak dan sebagainya. Jika

12

tidak ada bukti, pengadilan akan kesulitan memproses tuntutan istri kepada
suami jika ada masalah, ujarnya di dalam situs hukumonline.
Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima yang dihadiri lebih dari 1000
ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu
lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur.
Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini cukup alot, namun tetap
mengahasilkan dua jawaban :
1

Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara


resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak
dampak negative atau mudharat.

Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat


dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.
Dengan dilegalkannya pernikahan di bawah tangan, alias nikah tanpa surat

nikah oleh MUI tersebut, tentunya dapat menimbulkan fitnah di mana-mana jika
seseorang berjalan dengan seorang wanita yang bukan muhrim-nya. Lebih
tegasnya lagi adalah, akan muncul praktek prostitusi dengan alasan nikah bawah
tangan ini.
Untuk itu, yang terbaik dan yang sangat bijak dilakukan oleh MUI adalah
dengan melihat perkembangan zaman yang begitu kompleks, sehingga hanya
mengeluarkan satu putusan saja yang paling kuat dan tegas seperti pernikahan
harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah
preventif untuk menolak dampak negative atau al-mudharat (saddan li adzdzariah), tidak dengan jawaban yang mendua sehingga terlihat kembali
dikotomi antara negara dan agama yang terus membingungkan umat.
Jawaban yang berbentuk dualisme ini muncul dikarenakan mereka mencoba
menghubungkan antara keabsahan perkawinan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan di atas dengan keabsahan perkawinan dalam hukum Islam.
Menurut madzhab al-Syafii (yang menjadi pegangan mayoritas muslim
Indonesia dan diakomodasi dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam) rukun
perkawinan ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan
ijab-qabul.

13

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka anggota sidang menyimpulkan


bahwa peraturan pencatatan perkawinan tidak pernah ada di dalam kitab-kitab
fiqh klasik, itu berarti pencatatan perkawinan bertentangan dengan hukum Islam.
Dikarenakan bertentangan maka tidak ada konsekuensi agama apa pun apabila
mereka meninggalkannya. Sederhananya, ketentuan pencatatan perkawinan itu
hanyalah masalah administrasi negara saja dan tidak ada hubungannya dengan
kategori sah atau tidaknya sebuah perkawinan.
2. Keharusan Mencatat Pernikahan
Ust. Ahmad Rajafi, MHI, dosen STAIN Manado, dalam artikelnya yang
berjudul Nikah Di Bawah Tangan melemahkan hasil fatwa MUI tersebut
dengan tiga pendekatan yang jernih dan rasional bahwa nikah di bawah tangan
adalah perbuatan yang salah dan pencatatan perkawinan tidaklah bertentangan
dengan jiwa syariah Islam. Pendekatan itu adalah :
a.

Pendekatan Historis.
Mengapa dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak menyebutkan tentang
pencatatan perkawinan? Hal tersebut dikarenakan pada waktu kitab-kitab
fiqh itu ditulis tingkat amanah kaum muslimin relatif tinggi. Sehingga
kemungkinan menyalahgunakan lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat
atau sementara yang tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan
merugikan pihak lain relaitf kecil. Pernyataan ini tentunya tidak dimaksud
menggeneralisir bahwa sekarang ini tingkat amanah masyarakat itu sudah
luntur.

b.

Pendekatan Kaidah Fiqh.


Kaidah yang digunakan adalah :


Artinya : tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu,
maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.
Berkaitan dengan penggunaan kaidah ini pada kasus pencatatan
perkawinan, berangkat dari anggapan bahwa pencatatan perkawinan adalah

14

satu peraturan yang sengaja dibuat dalam rangka menyempurnakan kualitas


sebuah perkawinan.
Penyempurnaan kualitas perkawinan ini berkaitan erat dengan status
perkawinan yang merupakan bagian dari perintah Allah swt dalam rangka
beribadah kepada-Nya. Karena tujuannya yang luhur itu, maka segala
peraturan yang telah ada sebelumnya dalam kitab-kitab fiqh klasik dan
peraturan yang muncul terkemudian wajib untuk diadakan.
Dengan demikian, berlakulah ketentuan mala yatimmu al-wajib illa
bihi fahua wajib tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu,
maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya. Artinya, tidak
sempurna sebuah perkawinan kecuali dengan adanya pencatatan, maka
adanya pencatatan menjadi wajib hukumnya.
c.

Pendekatan Mashlahat.
Pendekatan ini muncul sebagai jawaban bahwa nikah di bawah tangan
atau tanpa pencatatan dari Petugas Pencatat Nikah adalah sah menurut
agama. Menurut Ust. Ahmad Rajafi, MHI, perkawinan tersebut sah menurut
fiqh karena fiqh merupakan hasil interpretasi para ulama (ijtihad) yang
harus selalu dusesuaikan dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan,
tapi tidak atau belum sah menurut agama, karena agama memiliki aturan
hukum berupa kemashlahatan, dengan artian bahwa sesuatu yang mashlahat
pada masa dahulu dan ditempat yang berbeda (yakni di Timur Tengah),
belum tentu mashlahat pada masa sekarang khususnya di Indonesia.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa pesan yang dibawa
oleh agama adalah universal di bawah prinsip rahmatan lil alamin
(membawa rahmat bagi semesta alam). Artinya, segala tindakan manusia
hanya dapat dibenarkan menggunakan justifikasi agama sejauh ia
mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum (li tahqiq mashalih alammah), bukan kemashlahatan yang bersifat perorangan atau kasuistik.
Ini berbeda dengan fiqh yang diformulasikan oleh fuqaha yang
dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Jadi, bisa saja pendapat seorang ulama
dahulu mendatangkan kemashlahatan pada masanya, namun diterapkan
dalam kondisi sekarang akan menimbulkan kemudharatan. Oleh karena itu,

15

harus dibedakan dan tidak dipertentangkan. Apalagi jika yang didukung


menimbulkan kesengsaraan bagi pihak istri yang ditinggalkan suaminya
tanpa tanggung jawab yang jelas. Maka, dalam hal ini beliau menjelaskan
bahwa bukannya fiqh yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada
orang-orang yang menempatkan fiqh yang ditulis untuk waktu itu, untuk
kepentingan saat ini.
Berdasarkan pemaparan analisis di atas maka Ust. Ahmad Rajafi,
MHI lebih cenderung untuk menyepakati dan setuju dengan pendapat yang
menjadikan pencatatan nikah sebagai bagian terpenting yang harus
diterapkan di dalam hukum perkawinan di Indonesia karena nilai positifnya
lebih besar dibandingkan dengan pernikahan yang tidak menggunkan
pencatatan perkawinan di dalamnya. Sehingga pada akhirnya wanita-wanita
yang dinikahi tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum dalam
perjalan pernikahannya.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan dinyatakan sah dalam islam jika telah memenuhi syarat sahnya
pernikahan, yaitu pengantin pria dan wanita, wali, dua orang saksi, dan ijab qobul.
sedangkan dalam hukum perdata di indonesia dalam pasal 2 UU nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan dianggap sah adalah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
dan dicatat menurut peraturan perundang-undangn yang berlaku.
Forum Ijtima yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di
Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern
Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur. Pembahasan mengenai pernikahan di
bawah tangan ini cukup alot, namun tetap mengahasilkan dua jawaban :
1. Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi
pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak
negative atau mudharat.
2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.
Sedangkan pihak yang melemahkan hasil fatwa MUI tersebut dengan tiga
pendekatan yang jernih dan rasional bahwa nikah di bawah tangan adalah perbuatan
yang salah dan pencatatan perkawinan tidaklah bertentangan dengan jiwa syariah
Islam, yaitu
Pendekatan historis, bahwa pada waktu kitab-kitab fiqh itu ditulis tingkat
amanah kaum muslimin relatif tinggi. Sehingga kemungkinan menyalahgunakan
lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat atau sementara yang tidak sejalan dengan
tujuan ideal perkawinan dan merugikan pihak lain relaitf kecil.

17

pendekatan kedua adalah pendekatan kaidah fiqih mala yatimmu al-wajib illa bihi
fahua wajib tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka adanya
sesuatu itu menjadi wajib hukumnya. Artinya, tidak sempurna sebuah perkawinan
kecuali dengan adanya pencatatan, maka adanya pencatatan menjadi wajib
hukumnya.
Ketiga adalah pendekatan maslahat, yaitu perkawinan tersebut sah menurut
fiqh karena fiqh merupakan hasil interpretasi para ulama (ijtihad) yang harus selalu
dusesuaikan dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan, tapi tidak atau belum
sah menurut agama, karena agama memiliki aturan hukum berupa kemashlahatan,
dengan artian bahwa sesuatu yang mashlahat pada masa dahulu dan ditempat yang
berbeda (yakni di Timur Tengah), belum tentu mashlahat pada masa sekarang
khususnya di Indonesia.

18

Daftar Pustaka
A. Hasan. Tarjamah Bulughul Maram, CV Penerbit Diponegoro, Bandung
Ahmad
Rajafi,
MHI.
Nikah
Di
Bawah
Tangan,
Https://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/nikah-di-bawah-tangan. 16 April
2012
Ahmad Zain An-Najah, M.A. 2010, Nikah Siri dalam Islam Ilegal?,
http://www.hidyatullah.com/konsultasi/fiqh-kontemporer/7/1/nikah-siri-dalamislam-ilegal?.html. 20 April 2012
Departemen Agama RI. 2005, Al-Quran Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro,
Bandung.
Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group

19

Anda mungkin juga menyukai