KELOMPOK 10
Puja Ziadi Sulthan (2022D1B080)
Ramadzan Muliadi Khobir (2022D1B083)
2.1 Kriteria Calon Suami/Istri yang Baik
Rasulullah saw telah memberikan pedoman kepada kaum muslimin dan muslimat dalam hal menentukan kriteria calon
suami/istri yang baik bagi dirinya. Antara lain:
1. Memilih calon suami/istri yang memiliki agama yang baik Dalam sebuah hadis shahih Nabi bersabda:
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: Wanita itu dinikahi karena empat hal,
karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya.Maka pilihlah karena agamanya,
niscaya kamu akan beruntung.
,
Dari hadis di atas, dapat dipahami bahwa dari empat kriteria tersebut, Nabi memerintahkan untuk memperioritaskan
aspek agama daripada hal lain. Hal itu dapat dilihat dari bentuk fi’il amr
Pastinya, Ketika Allah menetapkan suatu syari’at bagi hambanya maka terselip pula hikmah dibalik pensyari’atannya.
Dalam hal ini, syari’at pernikahan mengandung hikmah yang sangat banyak bagi manusia, khususnya umat islam, baik
secara rohani maupun jasmani.
Adapun hikmah pernikahan antara lain:
Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil dari pernikahan, karena masih banyak
hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas
kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an dan Hadis.
2.3 Masalah-masalah Kontemporer dalam
Pernikahan
Adapun dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan melalui media video call merupakan pernyataan ijab
yang diucapkan oleh wali pihak perempuan yang kemudian dijawab oleh pihak laki-laki, berdasarkan kemajuan teknologi
melalui media internet. Akad nikah melalui media video call sah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, tidak
bertentangan dengan hukum islam, seperti adanya calon suami dan, wali nikah pihak perempuan, dua orang saksi dan
ijab qabul.
b. Menikahi Wanita hamil
Menikah merupakan perjalinan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diikat oleh ijab dan kabul.
Pernikahan merupakan sunah Rasulullah yang diikuti oleh pengikutnya hingga saat ini.
Terjadinya akad nikah dalam pernikahan juga merupakan penghalalan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Namun, di kalangan masyarakat Indonesia ada yang melakukan hubungan suami istri sebelum pernikahan yang
mengakibatkan hamil sebelum menikah.
Diakui atau tidak, banyak contoh di masyarakat maupun dunia artis dan influencer yang menikah dalam kondisi
hamil. Walau ditutupi tapi kemudian diketahui khalayak ramai setelah perjalanan pernikahan keduanya.
Perlu diketahui bahwa menikah atau menjalankan ijab kabul dalam keadaan hamil adalah sah pernikahannya.
Dalam hal ini KUA (Kantor Urusan Agama) berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam atau disebut juga Instruksi
Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.
Mengenai menikah dalam kondisi hamil ini dijelaskan dalam bab VIII tentang kawin hamil ini Pasal 53 dan 54.
Adapun isi dari Pasal tersebut adalah pada Pasal 53 ayat 1 menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Pada ayat 2 yaitu perkawinan dengan wanita hamil yang disebut
pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Pada ayat 3 yaitu dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir.
Pasal 53 ini cukup jelas menjawab pertanyaan di masyarakat umum yang menanyakan apakah perlu menikah
ulang ketika pernikahan dilangsungkan dalam keadaan hamil? Tentu jawabannya adalah tidak perlu diulang dan
pernikahannya sah.
c. Menikah sirri
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin yang mengatur tata cara untuk meresmikan suatu hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang disebut dengan perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan hukum antara pria dan wanita
untuk bersama-sama menjadikan kehidupan rumah tangga secara teratur.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan diisyaratkan supaya
manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan
cinta kasih dan ridha Ilahi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Sebuah perkawinan dikatakan sah jika memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun menurut Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan, yang berbunyi :
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam prakteknya di Indonesia tidak sedikit orang yang melakukan pernikahan sirri, Perkawinan siri ini adalah
suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang islam di indonesia, dimana perkawinan tersebut cukup memenuhi
baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan. Sehingga hal tersebut membuat beberapa pasangan memilih untuk
menghalalkan hubungannya, ada yang mengambil langkah untuk menikah dengan nikah sirri, pernikahan yang
dilangsungkan tanpa di daftarkan atau di catatkan pada pegawai pencatat nikah seperti yang di atur dan di tentukan oleh
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.
Hanya saja jika suatu perkawinan tidak di catatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa
mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah.
Pernikahan yang tidak tercacat, akan menimbulkan dampak bagi istri dan anaknya. Posisi mereka sangat lemah
didepan hukum. Bagi istri, tidak dianggap sebagai istri, karena tidak memiliki akta nikah, ia juga tidak berhak atas nafkah
dan waris jika terjadi perceraian atau suaminya meninggal. Tragisnya anak yang dilahirkan juga tidak dianggap sah. Jadi
yang dimaksud dengan perkawinan siri di sini adalah pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam
lembaga pencatatan negara.
Pencatatan perkawinan atau pernikahan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas
baik bagi yang bersangkutan ataupun pihak lain yang terkait. Bila dikemudian hari terjadi sengketa atau perselisihan
dalam perkawinan itu, maka akta resmi tersebut dapat dijadikan alat bukti yang cukup kuat. Dengan demikian pencatatan
perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan
telah terjadi, ini semata-mata bersifat administratif (Soemiyati, 1986: 65).
TERIMAKASIH!!
!