Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

JENIS-JENIS PERKAWINAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pengantar Hukum Perkawinan
Dosen Pengampu : Roykhatun Nikmah, M.H.

Disusun Oleh :
Latifah Kurniawati
202121026

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia Nya kepada kita. Sholawat serta salam kami
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena dengan risalahnya kepada umat
manusia sebagai petunjuk dalam menjalankan kehidupan didunia maupun diakhirat.
Semoga kita termasuk golongan umat yang mendapat syafa`atnya besok diyaumil
akhir.
Atas pertolongan dan bantuan dari Allah SWT, saya dari kelompok empat
yang mendapat tugas dari mata kuliah Pengantar Hukum Perkawinan dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Macam-macam Pernikahan. Makalah ini
bertujuan untuk memberikan wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca.
Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Roykhatun Nikmah, M.H,
yang telah memberikan tugas ini sehingga saya bisa menambah wawasan. Saya
menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam menyusun makalah ini
baik dari segi penulisan maupun dari segi materi. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca dalam permbuatan makalah di waktu
selanjutnya.

Ngawi, 24 Februari 2021

Penyusun
Daftar isi

Kata pengantar ………………………………………………………...


Daftar isi ………………………………………………………………..
Bab I Pendahuluan …………………………………………………….
I. Latar belakang ……………………………………...................
II. Rumusan masalah ………………………………………….....
III. Tujuan penulisan …………………………………………......
Bab II Pembahasan ……………………………………………………
A. Pernikahan yang sah menurut syari`at ……………………...........
B. Pernikahan yang tidak sah menurut syari`at ………………….....
Bab III Penutup ………………………………………………………
A. Kesimpulan ……………………………………………………..
B. Saran …………………………………………………………....
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan,
tidak terkecuali manusia, oleh karena itu Allah memberikan karunia berupa
pernikahan atau perkawinan kepada manusia. Perkawinan adalah sesuatu ikatan
yang suci dan sakral dalam agama, baik didalam agama islam ataupun dalam
agama lain. Islam sendiri juga memandang bahwa pernikahan adalah sesuatu yang
luhur, bermakna ibadah kepada Allah,serta mengikuti sunah Rosulullah dan
dilaksanakan dengan dasar keikhlasan dan dengan tanggung jawab sebagai
seorang suami isteri.
Tujuan dari diadakannya pernikahan seperti yang difirmankan Allah dalam
Al-Qur`an surat Ar-Rum ayat 21 yaitu “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” Maka pernikahan adalah
sesuatu anugrah yang diberikan Allah kepada manusia. Selain itu tujuan dari
pernikahan adalah untuk melestarikan keturunan, adanya keabadian populasi
kehidupan manusia akan tetap ada apabila adanya suatu pernikahan.
Dalam pernikahan itu sendiri diketahui ada banyak sekali macam-macam
pernikahan atau perkawinan, ada pernikahan yang memang sah menurut
pandangan agama islam, ada juga pernikahan ditetapkan tidak sah oleh islam.

II. RUMUSAN MASALAH


A. Bagaimanakah syarat dan rukun pernikahan yang sah menurut syari`at ?
B. Apa saja jenis pernikahan yang tidak sah menurut syari`at ?
III. TUJUAN PENULISAN
A. Untuk mengetahui bagaimana kriteria pernikahan yang sah menurut
syari`at
B. Untuk mengetahui jenis-jenis pernikahan yang tidak sah menurut syari`at

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pernikahan Yang Sah Menurut Syari`at


Pernikahan yang sah menurut sayari`at ialah pernikahan yang memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan.
Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat nikah ialah :
1. Mempelai pria
Salah satu syarat sah menikah ialah adanya mempelai pria. Adapun
syarat syarat untuk mempelai pria yaitu : a) laki-laki yang beragama islam b)
ikhlas dan ridha dalam pernikahan tersebut (tidak ada paksaan) c) laki-
lakinya jelas atau bisa disebut mumayyis d) tidak ada dalam halangan syara`
seperti contohnya sedang menjalankan ihram haji atau umrah.
2. Mempelai wanita
Calon istri adalah salah satu rukun yang harus dipenuhi uga, wanita
yang masih terdapat pertalian darah, hubungan sepersusuan atau kemertuaan
haram untuk dinikahi. Adapun syarat-syarat untuk mempelai wanita yaitu :
a) wanita yang beragama islam b) ikhlas dan ridha dalam pernikahan
tersebut (tidak ada paksaan) c) wanitanya jelas atau disebut mumayyis d)
tidak terdapat halangan syar`i untuk dinikahi, yang bersifat selamanya
karena mahram ataupun yang bersifat sementara contohnya sedang ada
ikatan pernikahan dengan laki-laki lain.
3. Wali
Dalam suatu pernikahan wali merupakan salah satu rukun yang wajib
ada. Wali itu sendiri berasal dari pihak mempelai wanita yang akan menikah
dengan mempelai pria. Dengan alasan kemutlakan adanya wali didalam
pelksanaan akad nikah ialah menghalalkan kemaluan wanita yang wanita
tersebut tidak mungkin akan menghalalkan kemaluannya sendiri tanpa
adanya wali.1

Wali ada 2 yaitu wali nasab dan wali hakim. Adapun syarat-syarat
bagi wali yakni : a) baligh dan berakal sehat b) merdeka (bukan budak) c)
beragama islam d) berjenis kelamin laki-laki e) adil.
4. Dua orang Saksi
Didalam pernikahan adanya saksi adalah salah satu rukun yang harus
dipenuhi, karena bila didalam pernikahan tidak ada saksi maka pernikahan
tersebut tidak sah. Adanya hal ini dikarenakan keberadaan saksi sangat
penting untuk ke depannya bila suau saat terdapat persengketaan antara
suami dan istri, maka saksilah yang akan dimintai keterangannya.
Adapun syarat-syarat menjadi saksi yaitu : a) baligh dan berakal sehat
b) laki-laki minimal berjumlah dua orang c) beragama musli d) dapat
melihat (tidak buta) e) dapat mendengar (tidak tuli) f) adil g) faham apakah
yang dimaksud dengan akad h) merdeka (bukan budak).
5. Ijab Qobul
Ijab qobul adalah salah satu rukun nikah yang harus dilaksanakan, ijab
berarti penyerahan mempelai wanita dari pihak pertama, sedangkan qobul
ialah penerimaan dari pihak mempelai laki laki atau bisa disebut pihak
kedua. Pengucapan ijab dari wali perempuan berbunyi : “Saya nikahkan
anak saya yang bernama si ...... kepadamu dengan mahar seperangkat alat

1
Aspandi A., “Pernikahan Berwalikan Hakim : Analisis Fikih Munakahat Dan Kompilasi Hukum Islam”,
Ahkam: Jurnal Hukum Islam, Vol 5, No 1, 2017.
sholat danuang senilao 2 juta rupiah.” Selanjutnya bunyi Qabul atau
penerimaan dari pihak mempelai pria “Saya terima nikahnya anak Bapak
yang bernama si ..... dengan mahar tersebut dibayar tunai.”2
Adapun syarat ijab qobul yaitu : a) lafadz harus bersifat pasti b) tidak
meragukan c) lafadz akad bersifat tuntas berbarengan dengan tuntasnya
akad. Maksudnya akad tidak didasarkan pada syarat terntentu, misalnya
“saya nikahkan anak saya jika nanti sudah menjadi seirang dokter” d) ijab
dan qobul dilakukan disatu tempat yang sama e) lafadz dalam ijab dan qabul
tidak berbeda (dalam hal menyebutkan mahar) f) tidak ada jarak yang lama
antara pelafalan ijab dan qobul g) kedua belah pihak sama sama mendengar
dengan jelas pelafalan ijab dan qobul h) orang yang mengucapkan ijab tidak
mencabut kata kata ijabnya i) ijab harus disampaikan dengan lisan,
dikecualikan untuk orang bisu j) akad harus bersifat abadi artinya tidak
dibatasi oleh adanya waktu tertentu, misalnya bahwa pernikahan itu hanya
akan berlangsung slama 3 bulan saja.

B. Pernikahan yang tidak sah menurut syari`at


Terdapat banyak pernikahan-pernikahan yang tidak sah menurut agama, diantara
pernikahan-pernikahan itu adalah :
1. Nikah mut`ah
Secara bahasa kata mut`ah berarti bersenang-senang atau bersedap-sedap.
Maksudnya adalah ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan wanita,
dengan mahar yang mereka berdua sepakati yang telah disebutkan didalam
akad, sampai pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berakhirnya
waktu yang telah disepakati maka berakhirlah ikatan pernikahan antara laki-laki
dan perempuan itu tanpa memerlukan proses perceraian.

2
Siti Faizah, "Dualisme Hukum Islam Di Indonesia Tentang Nikah Siri”, ISTI’DAL : Jurnal Studi Hukum Islam,
Vol 1, No 1, 2014
Jumhur ulama telah sepakat bahwasanya nikah mut`ah ini dianggap tidak sah
oleh agama, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a) didalam Al-Quran Allah telah dengan jelas menyatakan bahwasannya junub
(bersetubuh) hanya dibolehkan dengan dua cara yaitu dengan ikatan
pernikahan dan kepemilikan budak. Sedangkan nikah mut`ah tidak sejalan
dengan dua cara yang telah ditetapkan oleh Allah diatas. Hal ini telah
dijelaskan Allah dalam Q.S Al-Muminun ayat 5-6 yang artinya “Dan orang-
orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa”.
b) Dalam berbagai riwayat telah disebutkan bahwasannya pada masa
pemerintah khalifah umar telah dilarang keras adanya nikah mut`ah dan hal
ini disetujui oleh para sahabat lainnya.
c) Menurut para jumhur ulama nikah mut`ah itu lebih cenderung menyerupai
zina, karena tujuan dari pernikahan mut`ah ini hanya semata-mata untuk
memenuhi syahwat saja. Dan hal ini dapat dipastikan tidak sesuai dengan
tujuan pernikahan.
Cotoh pelaksanaan dari nikah mut`ah : pada suatu ketika Rahman pergi ke
Malaysia, disana Rahman bertemu dengan Nita dan Rahman pun berniat unruk
menikahi Nita dengan masa pernikahan hanya dua bulan saja. Setelah masa dua
bulan itu habis maka secara otomatis Nita sudah tidak menjadi istri Rahman lagi.

2. Nikah syighar
Secara bahasa kata syighar berati meniadakan atau membuang, maksudnya
adalah meniadakan mas kawin. Sedangkan menurut istilah nikah syighar terjadi
ketika seorang laki-laki menikahkan anak peremupuannya atau perempuan yang
ada didalam hak perwaliannya dengan syarat laki-laki tersebut juga
menyerahkan perempuan yang ada didalam perwaliannya. Contohnya, anak
atau adiknya dan mereka bersepakat untuk menikahinya Tanya mahar. Redaksi
kata-kata yang biasanya diucapkan dalam nikah syighar adalah seperti berikut
ini “saya akan menikahkan anak perempuanku dengan kamu, jika kamu juga
menikahkan putrimu dengan aku”.
Pernikahan model syighar ini adalah model pernikahan yang sudah ada
dizaman jahiliyah. Disebut shighar karena masyarakat arab menilai bahwa
model pernikahan ini adalah pernikahan yang sangat amat buruh sehingga hal
ini disamakan dengan seekor anjirng yang mengangkat kakinya untuk
membuang air besar.3
Nikah sghighar ini dibedadak menjadi tiga yaitu : pertama, nikah syighar
yang jelas. Contoh redaksinya “nikahkan anak perempuanmu dengan aku dan
aku juga akan menikahkan anak perempuanmu dengan mu”, dan masing-
masing tanpa ada mahar. Kedua, wajh shighar, dengan contoh redaksi “
nikahkan anak perempuanmu kepada ku dengan mahar 10 dirham, dan aku juga
akan menikahkan anak perempuanku dengan kamu dengan mahar 10 dirham
juga”. Model kedua ini tetap juga disebut shighar, karena walaupun dengan
mahar tetapi juga menggunakan metode tukar mempelai. Ketiga, merupaka
campuran dari keduanya, contoh redaksinya yaitu “nikahkan aku dengan anak
perempuanmu dengan mahar 50dirham dan engkau dapat menikah dengan anak
perempuanku tanpa mahar apapun”. Ketiga model tersebut tidak disahkan dan
harus dipisahkan.4

3. Nikah Tahlil atau Muhallil


Secara bahasa muhallil berarti yang menjadikan halal. Apabila suami telah
menjatuhkan talak tiga kepada istri, dalam ketentuan islam ia tidak boleh rujuk
lagi kecuali sang mantan istri sudah menikah dengam laki-laki lain dan telah
melakukan hubungan suami isteri kemudia mereka bercerai dan telah menjalani

3
Abdullah b. Muḥammad al-Ṭayyār dkk, al-Fiqh al-Muyassar, vol.5, (Riyāẓ : Madār al-Matan li al-Nashr, 2012),
23
4
Al-Jazārī, Kitāb al-Fiqh, vol.4, 116.
masa iddah.5 Pernikahan yang dilajani tersebut haruslah pernikahan yang
sepastinya dan seharusnya bukan hanya untuk tujuan menghalalkan hubungan
yang telah bertalak tiga itu untuk kembali menjadi seorang suami isteri,
pernikahan yang dimaksudkan untuk menghalalkan hubungan mereka itulah
yang disebut nikah muhallil.
Dengan kata lain Nikah muhallil adalah seorang laki-laki menikah dengan
seorang wanita dengan niat untuk menceraikannya kembali supaya wanita itu
boleh menikah kembali dengan mantan suaminya yang telah mentalak tiga
dirinya (wanita tersebut).
Allah SWT melarang pernikahan seperti ini melalui Rosulullah SAW dalam
sabdanya : maukah kalian aku beritahu tentang kambing pejantan? Para sahabat
menjawab : tentu ta Rosulullah. Kata nabi yaitu muhallil. Allah melaknat
muhallil dan orang yang si muhallil halalkan.
Contoh pelaksaan nikah muhallil adalah sebagai berikut : ada seorang suami
yang bernama Rozi, dia mentalak istrinya yang bernama Rosa sebanyak tiga
kali, karena sebenarnya Rozi masih mencintai Rosa, Rozi memerintah Andi
untuk menikahi Rosa dengan tujuan agar Rozi dapat rujuk lagi dengan Rosa
stelah Andi dan Rosa bercerai.

4. Nikah muhrim
Nikah muhrim ialah seorang pria yang melakukan pernikahan pada saat ia
dalam keadaan iharam untuk melakukan syarat haji atau umrah. Hukum
pernikahan ini adalah tidak sah atau batal. Jika menginginkan pernikahan maka
dia harus melakukan akad lagi setelah selesai haji atau umrahnya.
Contohnya : pada saat musim haji Fahri pergi ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji, pada saat itu dia jatuh cinta kepada Aisyah dan dia
menikahi Aisyah pada waktu ia menjalankan ihram. Maka pernikahan ini
dianggap batal atau tidak sah.
5
Al-Zuḥaily, al-Fiqh al-Islāmy, vol. 9, 6955.
5. Nikah masa iddah
Nikah masa iddah ialah seorang pria menikahi wanita yang masih berada
dalam masa iddah, baik itu karena bercerai ataupun ditinggal mati. Pernikahan
ini tidak sah hukumnya. Seharusnya mereka berpisah dahulu karena akad
mereka batal. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 235
yang artinya “Dan janganlah kamu ber azzam (bertetap hati) untuk berakad
nikah, sebelum habis iddahnya”.
6. Nikah tanpa wali
Nikah tanpa wali yaitu seorang pria menikahi seorang wanita tanpa ada izin
dari wali si wanita. Nikah ini dianggap batal dan tidak sah karena kurangnya
rukun pernikahan. Rosulullah bersabda yang artinya “Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami
Abul-‘Abbaas, ia adalah Al-Asham : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah,
dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mu’aawiyyah bin Suwaid, yaitu
Ibnu Muqrin, dari ayahnya, dari ‘Aliy, ia berkata : “Wanita mana saja yang
dinikahkan tanpa ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil. Tidak sah
pernikahan kecuali dengan ijin seorang wali” (HR. Al-Baihaqiy)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan,
tidak terkecuali manusia, oleh karena itu Allah memberikan karunia berupa
pernikahan atau perkawinan kepada manusia. Islam sendiri juga memandang bahwa
pernikahan adalah sesuatu yang luhur, bermakna ibadah kepada Allah,serta
mengikuti sunah Rosulullah dan dilaksanakan dengan dasar keikhlasan dan dengan
tanggung jawab sebagai seorang suami isteri.
Pernikahan yang sah menurut syaria`at yaitu pernikahan yang memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang telah ditetapkan oleh agama islam.
Sedangkan pernikahan yang dilarang atau tidak sah menurut syaria`at pastilah
pernikahan itu tidak memenuhi rukum-rukun dan syarat-syarat pernikahan dan
didalam pernikahan tersebut pastilah mengandung kamdharatan dan tidak sesuai
dengan tujuan pernikahan yang sesungguhnya.

B. Saran
Demikianlah makalah yang telah saya susun. Semoga bermanfaat bagi
pembaca dan bagi penulis sendiri. Saya menyadari masi banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh karenanya, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
Daftar Pustaka

As-Subki, Ali Yusuf, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta:
Amzah, 2010
Aziz, Abdul. Buku Daras Fiqih Munakahat, Surakrta : Fakultas Syari`ah IAIN
Surakart, 2014
Ghozali, Abdul rahman, Fiqh Muakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group :
2009
Muzammil, Iffah. Fiqh Munakahat (Hukum Pernikahan dalam Islam), Tangerang :
Tira Smart, 2019
Wibisana, Wahyu. Pernikahan Dalam Islam, Jurnal pendidikan agama islam Ta`lim
volume 14, Nomor 2, 2016

Anda mungkin juga menyukai