TAHUN 1999 (PENYATUATAPAN) & UU NOMOR 4 TAHUN 2004
KELOMPOK 13
1. ISNA AZIZAH (202121012)
2. HANIAH NUR AZIZAH (202121013) Kedudukan dan Eksistensi PA dan Mahkamah Syariah Pada Era Reformasi Eksitensi Peradilan Agama tidak dapat dilepaskan dari akar historis. Dalam artian munculnya dinamika hukum yang tidak dapat melepaskan dinamika social dibelakangnya. Keberadaan atau eksitensi Peradilan Agama secara yuridis dan normatif merupakan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pada era reformasi kedudukan PA mengalami perubahan yang signifikan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang hanya memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan dan kewarisan setelah diundangkan nya UU Nomor 3 Tahun 2006 yang mana perkaranya lebih luas lagi yaitu meliputi wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah. Eksitensi kelembagaan Mahkamah Syariah diawali dengan adanya teori Trias Politika yang terdapat dalam pemisahan kekuasaan. Dalam konsep trias politika ini kedudukan Mahkamah Syariah adalah menjalankan fungsi yudikatif demi menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat Aceh. Peluang PA dan Mahkamah Syariah Penguatan Peradilan Agama pada masa reformasi yang tampaknya mampu 01 semakin mendorong kelembagaan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah naungan Mahkamah Agung dan sejajar dengan peradilan lainnya
02 Meningkatkan peran dan fungsi aparatur penegak hukum pada Peradilan
Agama, pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
Memasuki fase era reformasi, kewenangan Peradilan Agama diperluas
03 untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah Tantangan PA dan Mahkamah Syariah ● Ditinjau dari ajaran trias politica, dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan legislatifi dan eksekutif menjadi lebih murni. ● Satu atap menimbulkan pula konsekuensi cakupan pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman. ● Ada semacam kekhawatiran, sistem satu atap akan melahirkan kesewenang-wenangan pengadilan atau hakim. ● Dalam praktiknya selama ini pengawasan terhadap hakim nakal menjadi sulit karena urusan gaji dan administrasi mereka berada di Depkeh Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan PA dan Mahkamah Syariah Sebagai Institusi Terhormat Sejarah terbentuknya Peradilan Agama yang mengalami pasang surut dan menerima penolakan- penolakan terhadap legislasi Peradilan Agama. Tahun 1989, keberadaan Peradilan Agama ini hanya sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan Agama hanya dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Peradilan Negeri dalam bentuk executoir verklaring. Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember 1989. Peradilan Agama tidak lagi menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-peraturan lainnya. Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas merupakan bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksanya. Dengan adanya pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan dengan lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. TERIMAKASIH