Anda di halaman 1dari 11

P.

A PADA MASA ORDE


LAMA, ORDE BARU, DAN
REFORMASI
Disusun Oleh: Kelompok 3
PERKENALAN
ANGGOTA
Asmariat
i
A. Izzuz Zamam
Amelia Salsabilla
Rio Fradika
LATAR
BELAKANG
Pengadilan Agama sering juga disebut Mahkamah Syar’iyah, yang artinya
Pengadilan atau Mahkamah yang bertugas menyelesaikan perselisihan hukum
agama atau hukum syara'. Sedangkan lembaga Peradilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Peradilan Agama, berada dalam sistem peradilan negara di Indonesia
disamping Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
serta merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara Republik
Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu mempunyai kedudukan yang sama,
sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
PENGADILAN AGAMA
PADA ORDE LAMA
Tumbuh dan berkembangnya peradilan agama di Indonesia melalui jalan berliku mengantarkan
peradilan agama pada era kemerdekaan. Pada awal tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia
membentuk Departemen agama yang berfungsi sebagai wadah pemersatu administrasi lembaga-
lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.
Adapun wewenang pengadilan agama / mahkamah syar’iyah menurut ketetapan pasal 4 PP No.
45 Tahun 1957 adalah sebagai berikut:
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara
suami-isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus
menurut hukum Agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju', fasach, nafaqah,
maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah dan sebagainya, hadhana, perkara waris-
malwaris, waqaf, hibah, sadaqah, baitulmal.dan lain-lain yang berhubungan dengan itu,
demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat taklik sudah
berlaku.
2) Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang
tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum Agama Islam.
Angin segar yang sempat membawa rona bahagia bagi peradilan agama kembali goyah, pasalnya dalam PP No. 45 Tahun
1957 ayat 1 Pasal 4 yang berisi kalimat “sepanjang hal itu merupakan hukum yang hidup”, kalimat mengambang tersebut
menuai kontroversi dalam hal menentukan kewenangan yurisdiksi perkara warisan bagi mereka yang beragama Islam.
Kalangan Hakim Peradilan Umum ada yang berpendapat bahwa hukum warisan yang hidup di masyarakat adalah hukum
Adat, secara otomatis perkara sengketa waris adalah wewenang Pengadilan Negeri. Tetapi dari kalangan lingkungan
Peradilan Agama mengklaim bahwa hukum warisan yang hidup di tengah-tengah masyarakat adalah hukum warisan
Islam dan yang berwenang mengadili sengketa waris adalah Pengadilan Agama.

Kontroversi ini akhirnya menemui titik temu sejak disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
pada tanggal 29 Desember Tahun 1989 yang secara gamblang menyatakan semua peraturan Peradilan Agama yang lama
tidak berlaku. Dengan demikian bagi setiap orang yang beragama Islam diperlakukan dan diterapkan hukum warisan
Islam dimana saja dia berada dan kewenangan mengadili perkara yang timbul dalam bidang warisan tunduk kepada
lingkungan Peradilan Agama.
PENGADILAN AGAMA
PADA ORDE BARU
Perpindahan kekuasaaan Orde Lama kepada Orde Baru dilakukan
berdasar analisis yang menyatakan banyaknya kebijakan pemerintahan
yang telah melenceng dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga apabila kekuasaan ini
diteruskan maka tujuan dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan akan jauh dari
keberhasilan. Perjuangan menggolkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
hanya mengembalikan posisi Peradilan Agama pada posisi semula, yang dulu oleh
Belanda dihanguskan menimbulkan kecemburuan di kalangan non muslim, sehingga
menimbulkan hubungan yang kurang harmonis antara kalangan
muslim dan non muslim.
Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan

(yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan


Kehakiman, yang mana dalam undang-undang ini
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang
ada yaitu Peradilan Umum, PeradilanAgama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara yang semuanya berada di bawah Mahkamah
Agung. Pada akhir dekade 1980-an terdapat dua peristiwa penting berkenaan dengan
perkembangan hukum dan PA di Indonesia. Pertama, pada tanggal 29 Desember 1989
disahkan dan diundangkan UU No 7
SEPUTAR
REFORMASI
Pada era Reformasi keberadaan Peradilan Agama selain didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya, juga terdapat peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan Agama dan kewenangannya,
peraturan perundang?undangan tersebut antara lain :
1.UU No 35 tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No 14 tahun 1970 tentang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia 2. U U No 14 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman di Indonesia. 3. UU No 18 tahun 2001 tentang pembentukan Mahkamah
Syari’ah di Nanggro Aceh Darussalam. 4. Kepres RI No 21 tahun 2004 tentang pengalihan
organisasi,
administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara
dan Peradilan Agama. 5.UU No. 3 Tahun2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
SEPUTAR
REFORMASI
6. UUD 1945 Hasil Amandemen Pasal 24 ayat 2, yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan militer, lingkungan Peradilan Agama dan lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 7. UU No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 18 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. 8. UU. No.
50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU. No 7 Tahun 1989.Reformasi hukum di bidang
lembaga peradilan muncul dalam penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan
amandemen UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat 2 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, kemudian UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dalam Pasal 18 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
KESIMPULAN
:
1. Masa Orde Lama (1950-an hingga awal 1960-an): Peradilan agama di Indonesia dipengaruhi oleh
sistem hukum Belanda yang berbasis pada hukum adat dan hukum Islam. Meskipun ada lembaga
peradilan agama, keputusan sering kali dipengaruhi oleh politik dan kekuasaan.

2. Masa Orde Baru (1966-1998): Pemerintah Orde Baru memperkuat kendali atas peradilan agama,
dengan mendirikan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di tingkat agama. Keputusan
peradilan agama sering kali mencerminkan kebijakan politik rezim otoriter Soeharto.

3. Masa Reformasi (1998-sekarang): Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi upaya untuk
meningkatkan independensi peradilan agama dan memperkuat perlindungan hak asasi manusia.
Namun, tantangan seperti korupsi, politisasi, dan intervensi masih menghadang proses peradilan
agama di Indonesia.

Perubahan politik dan sosial selama periode ini telah membentuk dan memengaruhi perkembangan
sistem peradilan agama di Indonesia, dengan tantangan dan perubahan yang terus terjadi seiring
SEKIA
N
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai