PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan sejarah Mahkama Agung
2. Jelaskan tugas Mahkama Agung menurut UUD 1945
3. bagaimana kedudukan Mahkama Agung menjalankan fungsihnya sebagai
salah satu pengadilan negeri tinggi di indonesia
4. Jelaskan wewenang dan struktur Mahkama Agung
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH
Masa penjajahan Belanda atas Indonesia, selain memengaruhi roda pemerintahan,
juga sangat besar pengaruhnya terhadap peradilan di Indonesia. Baik sejak masa
penjajahan Belanda (Herman Willem Daendels – Tahun 1807), kemudian oleh Inggris
(Thomas Stanford Raffles – Tahun 1811 Letnan Jenderal), dan masa kembalinya
Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1842).
Pada masa penjajahan Belanda, Hooggerechtshof merupakan pengadilan tertinggi
yang berkedudukan di Jakarta/Batavia dengan wilayah hukum meliputi seluruh Hindia
Belanda pada waktu itu. Hooggerechtshof beranggotakan seorang Ketua, 2 orang anggota,
seorang Pokrol Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang Panitera yang dibantu oleh
seorang Panitera Muda atau lebih. Jika perlu, Gubernur Jenderal dapat menambah
susunan Hooggerechtshof dengan seorang wakil serta seorang atau lebih anggota.[5]
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan TUN
1. Fungsi Peradilan
2. Fungsi Pengawasan
3. Fungsi Pengaturan
4. Fungsi Memberi Nasihat
5. Fungsi Administrasi
1. Fungsi Peradilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, MA merupakan pengadilan
kasasi yang bertugas untuk membina keseragaman dalam penerapan
hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali agar semua
hukum dan undang-undang di seluruh wilayah RI diterapkan secara
adil, tepat, dan benar.
b. Di samping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, MA berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir yang
meliputi hal-hal berikut.
semua sengketa tentang kewenangan yang mengadili.
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34
Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang RI berdasarkan peraturan yang
berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung
No 14 Tahun 1985).
c. Hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil
peraturan perundangan di bawah Undang-undang tentang suatu
peraturan yang ditinjau dari isinya (materinya) dan bertentangan
dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-
undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2. Fungsi Pengawasan
a. MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan, dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan dapat
diselenggarakan dengan baik (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970). b. MA juga melakukan
pengawasan terhadap hal-hal berikut.
5. Fungsi Administratif
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud
Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara
organisatoris, administratif, dan finansial sampai saat ini masih berada
di bawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11
(1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan di bawah
kekuasaan MA.
b. MA berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan
organisasi, dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
Situasi semakin berkembang dan kebutuhan baik teknis maupun nonteknis semakin
meningkat, Mahkamah Agung harus bisa mengatur organisasi, administrasi dan keuangan
sendiri tidak bergabung dengan Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan
HAM). Waktu terus berjalan, gagasan agar badan Kehakiman sepenuhnya ditempatkan di
bawah pengorganisasian Mahkamah Agung terpisah dari Kementerian Kehakiman.[5]
Pada Mei 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal dengan lahirnya
Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang ditandai dengan lahirnya
TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah
dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang tersebut
memberi batas waktu lima tahun untuk pengalihannya sebagaimana tertuang dalam Pasal II
ayat (1) yang berbunyi:
“ Pengalihan Organisasi, administrasi dan Finansial dilaksanakan secara bertahap
paling lama 5 Tahun sejak Undang-Undang ini berlaku ”
Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap
dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.[5]
Pada tanggal 23 Maret 2004 lahirlah Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2004 tentang
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dan lingkungan Peradilan Umum dan Tata
Usaha Negara, Pengadilan Agama ke Mahkamah Agung, yang ditindaklanjuti dengan:
Struktur
Struktur organisasi Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Kepaniteraan, dan Sekretariat.
Pimpinan dan Hakim Anggota adalah Hakim Agung. Jumlah hakim agung paling banyak 60
(enam puluh) orang.
Pimpinan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari
seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah
Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. Wakil
ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda
agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial
membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.[7] Dengan adanya
penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung, pada tahun 2013 nomenklatur unsur Pimpinan
Mahkamah Agung RI berubah berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
50A/KMA/SK/IV/2013.
Hakim anggota
Hakim anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pada Mahkamah Agung
terdapat Hakim Agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem
karier atau sistem non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung memenuhi syarat:
hakim karier:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain
yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk
paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan
pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.[9]
nonkarier:
1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4,
dan angka 5 (syarat hakim karier);
2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20
(dua puluh) tahun;
3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan
4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.[9]
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75, tahun 2000, berikut gaji pokok hakim agung
per bulan berdasarkan jabatan:
Sekretariat Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh 6 unit
eselon satu yakni:
1. Pengadilan Tinggi
2. Pengadilan Tinggi Agama
3. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
4. Pengadilan Militer Utama
5. Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan tingkat pertama yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri:
1. Pengadilan Negeri
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Tata Usaha Negara
4. Pengadilan Militer
Kinerja
Keadaan perkara
Kewenangan Mahkamah Agung RI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
meliputi: pertama, kewenangan memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa
tentang kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap; kedua, kewenangan menguji peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; ketiga, memberikan pertimbangan
terhadap permohonan grasi. Selain itu, Mahkamah Agung RI dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga
pemerintahan.[22] Berikut daftar keadaan perkara kasasi, peninjauan kembali, grasi, dan hak
uji materil di Mahkamah Agung Republik Indonesia:
Sistem kamar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
142/KMA/SK/IX/2011, Mahkamah Agung telah memberlakukan sistem kamar. Dengan
sistem ini hakim agung dikelompokkan ke dalam lima kamar, yaitu perdata, pidana, agama,
tata usaha negara, dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya
mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar.
[25]
Konsep Sistem Kamar ini diadopsi dari Sistem Kamar yang selama ini diterapkan di Hoge
Raad (Mahkamah Agung) Belanda.
Penerapan sistem kamar sangat mempengaruhi produktivitas penanganan perkara di
Mahkamah Agung. Berdasarkan data sisa tunggakan perkara sejak enam tahun terakhir,
tercatat terus mengalami penurunan. Terlebih jika dibandingkan dengan sisa tunggakan pada
tahun 2012 yang mencapai 10.112 perkara sehingga dalam kurun waktu enam tahun
Mahkamah Agung telah mengurangi lebih dari 86 persen sisa perkara. Bahkan sisa perkara
pada 2017 menjadi yang terendah sepanjang sejarah, yakni sebanyak 1.388 perkara.
Galeri
Gedung Mahkamah Agung (masa Hindia Belanda) dan Istana Daendels ("Het Grote
Huis") di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), Batavia .Gedung Mahkamah
Agung pada tahun 1980 (sekarang menjadi milik Kementerian Keuangan)