Kelompok 9:
Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dr. Y.A Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.
Fakultas Hukum
UNIVERSITAS JEMBER
Sejarah Kekuasaan Kehakiman Indonesia Pasca Kemerdekaan.
Pendahuluan:
Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam
negara Indonesia sendiri kekuasaan kehakiman memiliki tugas untuk menegakkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pancasila.
Kehakiman yang merdeka telah terjamin dalam Undang Undang Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dalam Pasal 24. Hal ini berarti tidak boleh ada halangan
dalam segara bentuk terhadap Kehakiman2
Hal ini dapat dilihat dalam sistem peradilan yang dibedakan menjadi perkara
pradata dan perkara padu, dimana Perkara Pradata lebih berfokus pada urusan
peradilan raja dan perkara padu lebih berfokus pada perkara kepentingan rakyat.
Pada masa pemerintahan Belanda, ditetapkan Reglement pada 1 Mei 1848 tentang
susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), didalamnya
terdapat perbedaan perlakuan pengadilan antara Inlander (Pribumi) dengan bangsa
Eropa. Hal ini terdapat dalam Pasal 1 RO dimana terdapat 6 macam pengadilan,
[1] Mahfud MD,”Separation of powers and Independence of Constutional Court in Indonesia” no.1 (2011)
yaitu Districtsgerecht, Regenschapgerecht, landraad, landgerecht, raad van
justicie, hooggerechtshof.
[1] Mahfud MD,”Separation of powers and Independence of Constutional Court in Indonesia” no.1 (2011)
Dalam masa pemerintahan Jepang di Indonesia pada 8 Maret 1942, Jepang
mengeluarkan Undang-Undang tentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang berisi
bahwa segala undang-undang dan peraturan peraturan dari pemerintah Hindia
Belanda terus berlaku selama tidak bertentangan dengan peraturan-peratura tentara
Jepang.
Hal ini dilakukan dikarenakan Jepang masih berfokus pada situasi perang yang
dihadapinya
Namun pada masa ini, Jepang menghapuskan dualism dalam peradilan dengan
Osamu Seirei 1944 no.2 yang menentapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan
pengadilan buat segala golongan penduduk dengan menggunakan hukum acara
HIR.
Hal ini terus digunakan hingga Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada 15
Agustus 1945 akibat kerusakan yang didapat dari pemboman Hiroshima dan
Nagasaki serta ancaman serangan dari Uni Soviet.
Pembahasan:
Berdasarkan historis,sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia dapat dibagi
menjadi 5 masa, yaitu:
Masa awal kemerdekaan juga jadi masa transisi indonesia di bidang penataan
kelembagaan dan substansi hukum. Pembangunan sistem hukum dan peradilan
diawali dengan penerapan asas konkordansi sistem hukum yang berlaku sebelum
Proklamasi Kemerdekaan. Asas konkordansi diatur dalam Aturan Peralihan Pasal
II UUD 1945 yang menyebutkan: "Segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”
Selain itu, pada masa ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.19 Tahun
1948 yang mengatur kekuasaan kehakiman.
Prinsip unifikasi ini dapat terlihat dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No.29 Tahun
1948.
Dimana dalam pasal 6 dinyatakan bahwa dalam negara republik Indonesia hanya
ada tiga lingkungan peradilan yaitu:
1.Peradilan Umum
3.Peradilan Ketentaraan.
1.Peradilan Negeri
2.Peradilan Tinggi
3.Mahkamah Agung.
Selain itu peradilan adat juga tidak secara jelas diakui dalam pasal tersebut dimana
sebelumnya peradilan adat diakui.
(1) Segala campur tangan, bagaimanapun juga. oleh alat-alat perlengkapan yang
bukan perlengkapan Kehakiman, terlarang, kecuali diizinkan oleh Undang-
Undang.
(2) Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan Swapraja dan pengadilan adat
sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim yang ditunjuk
dengan Undang-Undang.
Namun sebelum dikembangkan lebih lanjut, RIS pun kemudian dibubarkan dan
Negara Indonesia pun kembali menjadi Negara Kesatuan, hal ini juga diikuti
dengan Konstitusi RIS yang diganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
1950.
B.Masa Konstitusi RIS (1949-1950)
Sesuai dengan Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia diakui Belanda
sebagai negara merdeka dalam bentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri
atas beberapa negara federal.
(1) Segala campur tangan, bagaimanapun juga. oleh alat-alat perlengkapan yang
bukan perlengkapan Kehakiman, terlarang, kecuali diizinkan oleh Undang-
Undang.
(2) Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan Swapraja dan pengadilan adat
sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim yang ditunjuk
dengan Undang-Undang.
Namun sebelum dikembangkan lebih lanjut, RIS pun kemudian dibubarkan dan
Negara Indonesia pun kembali menjadi Negara Kesatuan, hal ini juga diikuti
dengan Konstitusi RIS yang diganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
1950.
Konstitusi RIS dan 1950 menganut prinsip negara hukum yang demokratis.
Perbedaan pada bentuk negara. Sebagai negara serikat, Konstitusi RIS menyatakan
bentuk negara adalah negara federal. Sementara itu, UUDS 1950 mengembalikan
bentuk negara Indonesia menjadi negara kesatuan.
Konsekuensi dari berubahan bentuk negara ini berdampak pada pengaturan alat
kelengkapan negara termasuk kekuasaan kehakiman.
3. Menteri-menteri
5. Mahkamah Agung
Kekuasaan kehakiman dan badan-badan peradilan diatur pada Pada BAB II Bagian
III tentang Mahkamah Agung (Pasal 78 dan Pasal 79) dan pada Bab III yang
mengatur tentang pengadilan terutama pada pasal 103 yang mengatur tentang
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang berbunyi
“Segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan yang
bukan perlengkapan pengadilan, dilarang, kecuali diizinkan oleh undang-undang”
Dapat dilihat bahwa Pasal 103 dalam UUDS 1950 memiliki kesamaan dengan
Konstitusi RIS 1949 Pasal 145, namun dalam UUDS 1950 Kekuasaan Kehakiman
yang mandiri semakin diperbesar kepada semua bentuk pengadilan.
C.Kekuasaan Kehakiman Pada UUD NRI 1945 (1959-2002)
Setelah dekrit presiden dikeluarkan pada 5 Juli 1959 yang didalamnya berisi
tentang kembalinya UUD 1945 sebagai Undang Undang Dasar, pemerintah
mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan
kehakiman. Peraturan dapat dikelompokkan menjadi 2 periode yaitu periode orde
lama dan periode orde baru
Selain UU NO. 19/1964 dikeluarkan juga Undang - Undang No. 13 tahun 1965
tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah
Agung. Peraturan ini menindaklanjuti wewenang Presiden untuk turun tangan
dalam masalah pengadilan. Hal tersebut tercantum dalam UU No. 13/1965
pasal 23 yang berbunyi :
(1) Dalam hal-hal dimana Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan
seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan
mengumumkan keputusan presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi
catatan dalam berita acara dan melampirkan Keputusan Presiden dalam
berkas tanpa menjatuhkan putusan.
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang dan tugas untuk menguji UUD NRI
1945,memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945,membubarkan partai politik dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum4
Untuk merekrut hakim-hakim agung yang professional serta memiliki integritas
yang tinggi terhadap profesinya sebagai seorang penegak hukum, maka dibuat
sebuah lembaga khusus yang berfungsi untuk rekrutmen calon-calon hakim agung,
yaitu Komisi Yudisial.
Dalam sisi Undang Undang Dasar NRI 1945, pada awalnya bab tentang kekuasaan
kehakiman hanya mempunyai dua pasal yaitu pasal 24 dan 25. Setelah
Amandemen, terdapat lima pasal, yaitu Pasal 24,24A,24B,24C dan 25.
Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 24 Pasal 1-3 setelah Amandemen yang
merupakan landasan independensi kekuasaan yang merdeka dan mandiri, berbeda
dengan masa Orde Lama dan Orde Baru dimana Kekuasaan Kehakiman masih
dipengaruhi oleh badan penyelenggara lainnya yang tidak berhubungan dengan
hukum.
Kesimpulan :
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sejarahnya
kekuasaan kehakiman banyak mengalami perkembangan yang sangat panjang,
berkembang sesuai situasi dan kondisi politik yang terus berkembang dengan era
ketatanegaraan yang mengikutinya. Badan-Badan peradilan pada masa belanda
dibentuk sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bersifat pluralistik dan
diskriminatif dengan membedakan peradilan khusus antara orang-orang pribumi
dengan peradilan adatnya dan orang-orang eropa atau yang disamakan dengan
orang-orang eropa.
Bandung 1995.
IBLAM, 2004
Ali, Achmad. Menguak tabir hukum . Toko Gunung Agung Jakarta 2002.
Parahayangan 2006.