Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Pengenalan Hukum Indonesia


Sejarah Kekuasaan Kehakiman Indonesia Pasca Kemerdekaan

Kelompok 9:

Habib Alwi Nasution . 230710101263

Ibran Purba . 230710101270

Fernanda R.B Widart 230710101274

Gregorio C.P.D Moru 230710101277

Hayanda Jati Naufal 230710101278

Muhammad Fajaro… .. 230710101279

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dr. Y.A Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.

Fakultas Hukum

UNIVERSITAS JEMBER
Sejarah Kekuasaan Kehakiman Indonesia Pasca Kemerdekaan.

Pendahuluan:
Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam
negara Indonesia sendiri kekuasaan kehakiman memiliki tugas untuk menegakkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pancasila.

Kekuasaan Kehakiman juga berarti Hakim memiliki kebebasan dari pihak


manapun dalam memutuskan perkara,. Hal ini dikenal dengan “Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka”.

Hal ini dapat dimengeti bahwa kekuasaan kehakiman merdeka merupakan


kebebasan yang dimiliki oleh hakim agar dapat tercipta sebuah keputusan yang
memiliki sifat yang sesuai dengan keadaan sebenarnya (objektif) dan memiliki
kesetaraan (imparsial 1 ¿

Kehakiman yang merdeka telah terjamin dalam Undang Undang Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dalam Pasal 24. Hal ini berarti tidak boleh ada halangan
dalam segara bentuk terhadap Kehakiman2

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia telah ada jauh sebelum Negara Republik


Indonesia berdiri. Pada masa kerajaan, tata hukum di Indonesia dipengaruhi oleh
hukum agama yakni Hindu dan Islam serta hukum adat.

Hal ini dapat dilihat dalam sistem peradilan yang dibedakan menjadi perkara
pradata dan perkara padu, dimana Perkara Pradata lebih berfokus pada urusan
peradilan raja dan perkara padu lebih berfokus pada perkara kepentingan rakyat.

Pada masa pemerintahan Belanda, ditetapkan Reglement pada 1 Mei 1848 tentang
susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), didalamnya
terdapat perbedaan perlakuan pengadilan antara Inlander (Pribumi) dengan bangsa
Eropa. Hal ini terdapat dalam Pasal 1 RO dimana terdapat 6 macam pengadilan,

[1] Mahfud MD,”Separation of powers and Independence of Constutional Court in Indonesia” no.1 (2011)
yaitu Districtsgerecht, Regenschapgerecht, landraad, landgerecht, raad van
justicie, hooggerechtshof.

[1] Mahfud MD,”Separation of powers and Independence of Constutional Court in Indonesia” no.1 (2011)
Dalam masa pemerintahan Jepang di Indonesia pada 8 Maret 1942, Jepang
mengeluarkan Undang-Undang tentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang berisi
bahwa segala undang-undang dan peraturan peraturan dari pemerintah Hindia
Belanda terus berlaku selama tidak bertentangan dengan peraturan-peratura tentara
Jepang.

Menyangkut Proses Peradilan, Jepang mengeluarkan UU 1942 No.14 tentang


Peraturan pengadilan Balatentara Jepang. Dengan UU ini didirikan pengadilan-
pengadilan yang sebenarnya kelanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah
sejak masa Pemerintahan Belanda.

Hal ini dilakukan dikarenakan Jepang masih berfokus pada situasi perang yang
dihadapinya

Namun pada masa ini, Jepang menghapuskan dualism dalam peradilan dengan
Osamu Seirei 1944 no.2 yang menentapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan
pengadilan buat segala golongan penduduk dengan menggunakan hukum acara
HIR.

Hal ini terus digunakan hingga Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada 15
Agustus 1945 akibat kerusakan yang didapat dari pemboman Hiroshima dan
Nagasaki serta ancaman serangan dari Uni Soviet.

Pembahasan:
Berdasarkan historis,sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia dapat dibagi
menjadi 5 masa, yaitu:

A.Masa Undang Undang Dasar NRI 1945 (1945-1949)

B.Masa Konstitusi RIS 1950(1949-1950)

C.Masa Undang-Undang Dasar Sementara 1950

D.Masa Undang-Undang Dasar NRI 1945 setelah Dekrit Presiden (1959-2002)

E.Masa Amandemen Undang-Undang Dasar NRI 1945 (2002-sekarang)


A.Pada masa Undang-Undang Dasar 1945 (1945-1949)
Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu materi muatan yang menjadi
perdebatan pada saat perumusan UUD 1945. Materi penting yang mejadi
perdebatan adalah independensi dan kewenangan menguji undang- undang
terhadap UUD.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945


dibentuklah landasan bagi sistem tata hukum baru yaitu sistem tata hukum
Ketatanegaraan Indonesia.Indonesia berkeinginan untuk mengganti seluruh sistem
hukum kolonial atau hukum bekas belanda dengan sistem hukum nasional
Indonesia.Hal ini adalah hal yang harus dilakukan oleh semua negara merdeka
yang dengan bebas berhak mengatur sendiri tata negara dan tata hukumnya.

Melalu PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus


1945

Mengesahkan UUD yang dirancang oleh BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha


Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berupa rancangan “Mukadimah” dan
rancangan “Batang Tubuh UUD”.Kemudian UUD yang disahkan tanggal 18
Agustus 1945 itu populer dengan sebutan UUD 1945.

Masa awal kemerdekaan juga jadi masa transisi indonesia di bidang penataan
kelembagaan dan substansi hukum. Pembangunan sistem hukum dan peradilan
diawali dengan penerapan asas konkordansi sistem hukum yang berlaku sebelum
Proklamasi Kemerdekaan. Asas konkordansi diatur dalam Aturan Peralihan Pasal
II UUD 1945 yang menyebutkan: "Segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”

Dalam Undang-Undang Dasar 1945(UUD 1945), Kekuasaan Kehakiman diatur di


dalam Bab IX tentang Kekuasaaan Kehakiman Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi sebagai berikut :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain


badan kehakiman menurut undang undang”

[1Rachmani Puspitadewi,”Jurnal Hukum Pro Justitia”, no.1 (2006)


[2] Mahfud MD,”Separati]on of powers and Independence of Constutional Court in Indonesia” no.1 (2011)
Dari pasal tersebut secara gamblang mengatakan bahwa Mahkamah Agung yang
harus melaksanakan kekuasaan kehakiman

Selain itu, pada masa ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.19 Tahun
1948 yang mengatur kekuasaan kehakiman.

Dalam Undang-Undang ini, kekuasaan kehakiman diatur berdasarkan kebijakan


“unifikasi” sebagai lawan terhadap prinsip “pluralitas” yang diterapkan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda 3

Prinsip unifikasi ini dapat terlihat dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No.29 Tahun
1948.

Dimana dalam pasal 6 dinyatakan bahwa dalam negara republik Indonesia hanya
ada tiga lingkungan peradilan yaitu:

1.Peradilan Umum

2.Peradilan Tata Usaha Pemerintahan

3.Peradilan Ketentaraan.

Sementara Pasal 7 menekankan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan


umum dilaksanakan oleh:

1.Peradilan Negeri

2.Peradilan Tinggi

3.Mahkamah Agung.

Disini dapat kita simpulkan bahwa pemerintahan Indonesia berusaha menekankan


persatuan dalam sistem peradilan nasional, namun disini juga timbul
ketidakjelasan dikarenakan keberadaan pengadilan agama tidak tertulis dalam
pasal 6 dan 7 dan juga tidak secara jelas menghapus keberadaannya.

Selain itu peradilan adat juga tidak secara jelas diakui dalam pasal tersebut dimana
sebelumnya peradilan adat diakui.

Untuk menghadapi mengenai ketidakjelasan peradilan agama dan adat tersebut,


digunakan pasal 35 ayat 2 dan Pasal 10

[1Rachmani Puspitadewi,”Jurnal Hukum Pro Justitia”, no.1 (2006)


[2] Mahfud MD,”Separati]on of powers and Independence of Constutional Court in Indonesia” no.1 (2011)
B.Masa Konstitusi RIS (1949-1950)
Sesuai dengan Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia diakui Belanda
sebagai negara merdeka dalam bentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri
atas beberapa negara federal.

Selain perubahan Bentuk Negara,Dasar Negara Indonesia yang awalnya


menggunakan UUD NRI 1945 diganti dengan Konstitusi RIS Sementara.

Menyangkut Kekuasaan Kehakiman, terdapat peraturan-peraturan yang terdapat


Konstitusi RIS pada pasal 145 yang berbunyi:

(1) Segala campur tangan, bagaimanapun juga. oleh alat-alat perlengkapan yang
bukan perlengkapan Kehakiman, terlarang, kecuali diizinkan oleh Undang-
Undang.

(2) Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan Swapraja dan pengadilan adat
sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim yang ditunjuk
dengan Undang-Undang.

Namun sebelum dikembangkan lebih lanjut, RIS pun kemudian dibubarkan dan
Negara Indonesia pun kembali menjadi Negara Kesatuan, hal ini juga diikuti
dengan Konstitusi RIS yang diganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
1950.
B.Masa Konstitusi RIS (1949-1950)
Sesuai dengan Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia diakui Belanda
sebagai negara merdeka dalam bentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri
atas beberapa negara federal.

Selain perubahan Bentuk Negara,Dasar Negara Indonesia yang awalnya


menggunakan UUD NRI 1945 diganti dengan Konstitusi RIS Sementara.

Menyangkut Kekuasaan Kehakiman, terdapat peraturan-peraturan yang terdapat


Konstitusi RIS pada pasal 145 yang berbunyi:

(1) Segala campur tangan, bagaimanapun juga. oleh alat-alat perlengkapan yang
bukan perlengkapan Kehakiman, terlarang, kecuali diizinkan oleh Undang-
Undang.

(2) Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan Swapraja dan pengadilan adat
sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim yang ditunjuk
dengan Undang-Undang.

Namun sebelum dikembangkan lebih lanjut, RIS pun kemudian dibubarkan dan
Negara Indonesia pun kembali menjadi Negara Kesatuan, hal ini juga diikuti
dengan Konstitusi RIS yang diganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
1950.

C.Kekuasaan Kehakiman Pada Masa Undang-Undang Dasar


Sementara (1950- 1959)

Pada tanggal 17 Agustus 1950 diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara


Republik Indonesia yang artinya Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
Sebelumnya berdasarkan Konstitusi RIS,Negara Indonesia adalah negara federal.
Indonesia menjadi negara federal hanya beberapa bulan saja.

Konstitusi RIS dan 1950 menganut prinsip negara hukum yang demokratis.
Perbedaan pada bentuk negara. Sebagai negara serikat, Konstitusi RIS menyatakan
bentuk negara adalah negara federal. Sementara itu, UUDS 1950 mengembalikan
bentuk negara Indonesia menjadi negara kesatuan.

Peralihan ini terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7


Tahun 1950 mengenai Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang Undang Dasar Sementera Republik Indonesia.

Konsekuensi dari berubahan bentuk negara ini berdampak pada pengaturan alat
kelengkapan negara termasuk kekuasaan kehakiman.

Alat-alat Perlengkapan Negara diatur Pada BAB II UUDS 1950). Pasal 44


menyebutkan bahwa:

1. Alat-alat perlengkapan Negara ialah:

2.Presiden dan Wakil Presiden

3. Menteri-menteri

4. Dewan Perwakilan Rakjat

5. Mahkamah Agung

6. Dewan Pengawas Keuangan

Kekuasaan kehakiman dan badan-badan peradilan diatur pada Pada BAB II Bagian
III tentang Mahkamah Agung (Pasal 78 dan Pasal 79) dan pada Bab III yang
mengatur tentang pengadilan terutama pada pasal 103 yang mengatur tentang
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang berbunyi

“Segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan yang
bukan perlengkapan pengadilan, dilarang, kecuali diizinkan oleh undang-undang”

Dapat dilihat bahwa Pasal 103 dalam UUDS 1950 memiliki kesamaan dengan
Konstitusi RIS 1949 Pasal 145, namun dalam UUDS 1950 Kekuasaan Kehakiman
yang mandiri semakin diperbesar kepada semua bentuk pengadilan.
C.Kekuasaan Kehakiman Pada UUD NRI 1945 (1959-2002)
Setelah dekrit presiden dikeluarkan pada 5 Juli 1959 yang didalamnya berisi
tentang kembalinya UUD 1945 sebagai Undang Undang Dasar, pemerintah
mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan
kehakiman. Peraturan dapat dikelompokkan menjadi 2 periode yaitu periode orde
lama dan periode orde baru

1. Periode Orde Lama


Dalam periode Orde lama atau Periode Demokrasi terpimpin. Pasal yang
berkaitan langsung dengan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 diatur pada
Bab IX pasal 24 (1). Pada periode ini dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak sesuai dengan UUD 1945, karena
besarnya intervensi presiden.Hal itu dapat terlihat pada Undang - Undang No.
19 tahun 1964 tentang kekuasaan kehakiman. Pada UU No. 19/1964 pasal 19
terdapat rumusan yang berbunyi :

“Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan Bangsa atau kepentingan


masyarakat mendesak, presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-
soal pengadilan."

Ada juga bagian penjelasan terhadap UU No. 19/1964, tentang pasal 19


terdapat penjelasan yang berbunyi :

“Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan


kekuasaan membuat Undang-Undang. Sandaran yang terutama bagi
pengadilan sebagai alat revolusi adalah Pancasila dan Manipol Usdek. Segala
sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara yang
diajukan, wajib diputuskan dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi
Hukum sebagai pengayoman. Akan tetapi ada kalanya, bahwa
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan
baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Hal ini
disebabkan karena adanya kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar.”

Selain UU NO. 19/1964 dikeluarkan juga Undang - Undang No. 13 tahun 1965
tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah
Agung. Peraturan ini menindaklanjuti wewenang Presiden untuk turun tangan
dalam masalah pengadilan. Hal tersebut tercantum dalam UU No. 13/1965
pasal 23 yang berbunyi :

(1) Dalam hal-hal dimana Presiden melakukan turun tangan, sidang dengan
seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan dan
mengumumkan keputusan presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi
catatan dalam berita acara dan melampirkan Keputusan Presiden dalam
berkas tanpa menjatuhkan putusan.

(2) Dalam hal-hal dimana Presiden menyatakan keinginan untuk melakukan


campur tangan menurut ketentuan- ketentuan Undang- Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman, sidang menghentikan musyawarah dengan jaksa.

(3) Musyawarah termaksud dalam ayat (2) tertuju untuk melaksanakan


keinginan Presiden.

(4) Keinginan Presiden dan hasil musyawarah diumumkan dalam sidang


terbuka setelah sidang dibuka kembali.

Kedua peraturan tersebut akhirnya dicabut seiring dengan perubahan


kepemimpinan Republik Indonesia yang ditandai dengan peristiwa G30S/PKI,
yang melahirkan periode orde baru.

2. Periode Orde Baru


Orde Lama berakhir setelah terjadinya peristiwa G30S/PKI yang dilanjutkan
dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966. Pada awal
Orde Baru UU No. 19/1964 dan UU No. 13/1965 dicabut, karena dianggap
tidak sesuai dengan pasal 24 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka. Setelah itu, pemerintah Indonesia pada periode Orde Baru
mengeluarkan beberapa peraturan perundang - undangan sebagai berikut :

1. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman.
2. Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
3. Undang-Undang No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Beberapa ketentuan penting yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman
adalah sebagai berikut :
● Pasal 1 UU No. 14/1970, yang berbunyi :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menye-
lenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia"

● Pasal 4 UU No. 14/1970, yang berbunyi :


“Segala campur tangan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman, dilarang."

● Pasal 2 UU No. 14 / 1985, yang berbunyi :


“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua
Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh- pengaruh lain."

E.Kekuasaan Kehakiman Masa Amandemen UUD NRI


1945(2002-Sekarang)
Pada masa ini, terjadi perkembangan dan perubahan dalam kekuasaan kehakiman
di Indonesia yang terjadi akibat perubahan UUD 1945 yang mengubah bidang
yudikatif atau kekuasaan kehakiman seperti yang terdapat dalam bab IX tentang
kekuasaan kehakiman pada pasal 24,24A,24B,24C dan 25.

Dalam pasal pasal tersebut, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah


Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan tata usaha negara, dan sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman
baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.

Dasar hukum Mahkamah Konstitusi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang dan tugas untuk menguji UUD NRI
1945,memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945,membubarkan partai politik dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum4
Untuk merekrut hakim-hakim agung yang professional serta memiliki integritas
yang tinggi terhadap profesinya sebagai seorang penegak hukum, maka dibuat
sebuah lembaga khusus yang berfungsi untuk rekrutmen calon-calon hakim agung,
yaitu Komisi Yudisial.

Dalam sisi Undang Undang Dasar NRI 1945, pada awalnya bab tentang kekuasaan
kehakiman hanya mempunyai dua pasal yaitu pasal 24 dan 25. Setelah
Amandemen, terdapat lima pasal, yaitu Pasal 24,24A,24B,24C dan 25.

Melalui penambahan pasal ini, Posisi Kekuasaan Kehakiman Indonesia semakin


jelas kedudukannya sebagai kekuasaan yang merdeka dan mandiri, karena kedua
hal tersebut adalah syarat yang waib ada dalam setiap negara yang
mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum5.

Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 24 Pasal 1-3 setelah Amandemen yang
merupakan landasan independensi kekuasaan yang merdeka dan mandiri, berbeda
dengan masa Orde Lama dan Orde Baru dimana Kekuasaan Kehakiman masih
dipengaruhi oleh badan penyelenggara lainnya yang tidak berhubungan dengan
hukum.
Kesimpulan :
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sejarahnya
kekuasaan kehakiman banyak mengalami perkembangan yang sangat panjang,
berkembang sesuai situasi dan kondisi politik yang terus berkembang dengan era
ketatanegaraan yang mengikutinya. Badan-Badan peradilan pada masa belanda
dibentuk sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bersifat pluralistik dan
diskriminatif dengan membedakan peradilan khusus antara orang-orang pribumi
dengan peradilan adatnya dan orang-orang eropa atau yang disamakan dengan
orang-orang eropa.

Peradilan Adat dengan peradilan Gubermen mempunyai perbedaan, yakni


peradilan adat kekuasaan kehakimannya berdasarkan hukum adat daerah setempat
sedangkan peradilan Gubermen bertugas mengadili atau melaksanakan fungsinya
atas nama Raja atau Ratu Belanda. Peradilan adapt bukanlah bentuk peradilan yang
bebas dan merdeka karena Residen yang diangkat oleh pemeerintah Belanda
memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan pengadilan adat atau
memerintahkan pemeriksaan kembali hakim oleh Residen berkuasa untuk
menetapkan seseorang tidak masuk dalam jurudiksi Peradilan Adat dari pribumi
setempat. Di masa pemerintahan militer Jepang dengan karakteristiknya.
Pemerintahan Jepang di Indonesia mempunyai pemerintahan militer yang
bertujuan menjaga keamanan dan keselamatan Personil Militer Jepang sendiri yang
disebut Gunritukaigi.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang bebas dari segala


bentuk intervensi baik dari dalam maupun dari luar kekuasaan kehakiman, kecuali
atas dasar kekuatan ideologi pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945
dan peraturan Perundang-undangan sebagai kordinator hukum operasional yang
merupakan hal yang wajib untuk tegaknya hukum dan keadilan yang dicita-
citakan. Secara historik dan empiris, bentuk-bentuk intervensi kepada jalannya
kekuasaan kehakiman di Indonesia, baik sebelum maupun setelah berlakunya
sistem peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung RI. Dengan tetap ada
berbagai dinamika dan perubahannya. Sistem Peradilan satu atap lebih banyak
dilakukan oleh kekuatan publik. berupa intervensi tekanan masa, intervensi tokoh
lain, intervensi daerah lain. Fenomena yang dibenarkan oleh Anwar Usman dan
Hamdan Azoelva yang mengelompokkan dua jenis Intervensi yaitu, interpensi
diakronik, yaitu intervensi kemandirian hakim disebabkan kejadian masa lalu dan
interpensi sinkronik intervensi yang menggiring kecendrungan pikiran hakim
untuk mengikuti trend public dan trend masa kini.

Dalam upaya meningkatkan reformasi hukum dan kekuasaan kehakiman


pada khususnya untuk meningkatkan supremasi hukum mempunyai beberapa
Aspek yaitu Aspek filosofis yaitu Undang-Undang Dasar sebagi produk hukum
dari Aspek sosiologis yaitu UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai
hukum kosntitusi Indonesia, dan dari Aspek politis yakni perubahan-perubahan
dan penambahan dari teks UUD 1945 baik masa 1945-1949 maupun masa 1959-
1998 bahkan praktek politik sampai sekarang.
Daftar Pustaka

Manan, B. Kekuasaan Kehaminan Republik Indonesia. Universitas Islam

Bandung 1995.

Moh. Mahfud MD. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit

Rineka cipta Jakarta, 2001.

Moh. Mahfud MD. Pergulatan politik dan hukum di Indonesia . Gama

Media Yogyakarta, 1999.

Muchsin. Kekuasaan Kehaminan yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, STIH

IBLAM, 2004

Ali, Achmad. Menguak tabir hukum . Toko Gunung Agung Jakarta 2002.

Subiyanto, Achmad Edi. . Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman

setelah Perubahan UUD 1945. Bandung 2012.

Puspitadewi, Rachmani. Hukum Pro Justitia. Universitas Katolik

Parahayangan 2006.

Anda mungkin juga menyukai