Anda di halaman 1dari 8

MATA

KULIAH
PANCASILA

Dosen Pengampu:
Dr. Vieta Cornelis SH M. HIM

Oleh:
Muhamad Akbar Maulana ( NIM 202232500003)

KELAS PROFESIONAL
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DR. SOETOMO SURABAYA
TAHUN 2021/2022
A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan fundamen atau hukum dasar yang sangat
menentukan keberadaan suatu negara yang di dalamnya terkandung cita-cita dan dasar negara
sebagai kerangka acuan dasar bagi pelaksanaan kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
keberadaan UUD sangat penting terutama bagi negara hukum modern yang menghendaki segala
sesuatu yang terkait dengan kehidupan bernegara diatur berdasarkan hukum. Indonesia adalah
negara hukum yang menggunakan UUD sebagai dasar keberadaannya. Sebelum negara
Indonesia berdiri, wilayah Indonesia yang saat itu dijajah oleh Belanda dengan nama Hindia
Belanda telah memiliki UUD. UUD yang berlaku pada masa penjajahan Belanda adalah
Indische Staatsregeling (IS).

Setelah berdiri sebagai negara merdeka, Indonesia memberlakukan UUD yang disusun
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sendiri. UUD negara Indonesia memiliki sejarah yang
dinamis sejalan dengan dinamika ketatanegaraan yang berlaku dan berkembang. Sejak negara
Indonesia berdiri hingga saat ini telah terjadi beberapa kali pergantian UUD. Terdapat beberapa
UUD yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) berlaku
dari 1945 hingga 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) berlaku pada
1949 hingga 1950, Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) berlaku pada 1950 hingga 1959,
dan kembali lagi ke UUD 1945 mulai 1959 hingga sekarang. Yang disebut terakhir telah
mengalami perubahan empat tahap dalam satu rangkaian perubahan sejak 1999 hingga 2002.

Setiap momentum pergantian dan perubahan UUD di Indonesia selalu didasari oleh
kenyataan bahwa UUD yang berlaku dipandang tidak sesuai lagi dengan tuntutan yang
berkembang. Meskipun UUD Indonesia telah berulangkali mengalami perubahan, terdapat satu
prinsip yang selalu dipegang teguh oleh para pembentuknya, yakni tidak menghilangkan atau
mengganti dasar negara Pancasila.

B. Rumusan Masalah

 Bagaimana urgensi proses pergantian UUD 1945 Pancasila?


C. Pembahasan

 Lahirnya UUD 1945

Kelahiran UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan kemerdekaan


negara Indonesia. Berabad-abad bangsa Indonesia mengalami kerugian dan penderitaan
multidimensi di bawa penjajahan negara lain, yaitu Portugis, Belanda, dan Jepang.
Kerugian dan penderitaan itu, antara lain, disebabkan dominasi politik, eksploitasi
sumber daya ekonomi, ekspansi kebudayaan, dan diskriminasi sosial yang dilakukan
pemerintahan penjajah. Penderitaan yang berkepanjangan itu pada akhirnya melahirkan
gerakan perlawanan terhadap penjajah
untuk mencapai sebuah negara yang merdeka.

Pada 1 Maret 1945, Saikoo Sikikan, Panglima Balatentara Dai Nippon di Jawa,
mengeluarkan pengumuman yang berisi rencana pembentukan sebuah badan untuk
menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan. Rencana pemerintah pendudukan
Jepang itu kemudian diwujudkan pada 29 April 1945 melalui Maklumat Gunseikan
(Komandan Angkatan Darat Jepang) Nomor 23 tentang pembentukan Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau dalam bahasa Jepang dinamai Dokuritu
Zyunbi Tyosa Kai. Seiring dengan itu, pemerintah pendudukan Jepang mulai mengganti
istilah To Indo (sebutan Jepang untuk Hindia Belanda) menjadi Indonesia, sebagaimana
para pejuang kemerdekaan menyebut identitas Kebangsaannya.

Para anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945 oleh Letjen Yuichiro Nagano.
Sehari setelah itu, BPUPK langsung menggelar sidang yang membahas rancangan UUD.
Sidang BPUPK terbagi dalam dua babak, yakni sidang pertama yang berlangsung pada
29 Mei hingga 1 Juni 1945 dan sidang kedua yang diselenggarakan pada 11 sampai 17
Juli 1945. Pembicaraan diawali dengan pembahasan mengenai dasar-dasar negara.12
Sebagian besar anggota BPUPK memberikan pandangannya tentang dasar-dasar negara
yang akan dibentuk13. Anggota yang berlatar belakang gerakan keislaman menghendaki
agar dasar dasar negara digali dari nilai-nilai ajaran agama Islam, sedangkan anggota
yang berlatar belakang gerakan kebangsaan14 menghendaki agar dasar-dasar negara
digali dari nilai-nilai budaya bangsa dan teori-teori ketatanegaraan yang sedang
berkembang. Salah satu pandangan yang mendapat sambutan paling hangat dari para
peserta ialah pandangan Soekarno yang memperkenalkan Pancasila sebagai dasar negara.

Menjelang akhir masa sidang pertama, Ketua BPUPK membentuk sebuah Panitia
Kecil yang beranggotakan delapan orang. Panitia Kecil yang dipimpin oleh Soekarno itu
bertugas meneliti serta mempelajari usul-usul yang telah disampaikan para anggota
BPUPK, melakukan inventarisasi, dan kemudian menyusunnya sebagai sebuah naskah
yang akan dibahas pada masa sidang kedua yang direncanakan berlangsung bulan Juli
1945. Panitia Sembilan berhasil merumuskan naskah Mukaddimah UUD yang juga
dikenal dengan istilah Piagam Jakarta.

Untuk segera merealisasi pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


(PPKI) itu, pada 9 Agustus 1945, tiga orang wakil pergerakan kemerdekan yang terdiri
atas Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, dan Moh. Hatta menghadap Jenderal Terauchi
di Saigon, Vietnam. Dalam pertemuan tersebut Terauchi secara resmi membentuk PPKI
yang beranggotakan 21 orang dan menunjuk Soekarno sebagai ketua serta Moh. Hatta
sebagai wakil ketua. Pada sidang, PPKI Moh. Hatta membacakan beberapa perubahan
naskah rancangan UUD sebagaimana yang telah disepakatinya bersama beberapa wakil
golongan Islam.

PPKI hanya memerlukan waktu satu hari untuk mengesahkan UUD 1945. Hal ini
terkait dengan tuntutan keadaan bahwa negara Indonesia yang baru memproklamasikan
kemerdekaannya harus segera memiliki UUD. Selain itu, situasi politik dalam suasana
berkobarnya Perang Pasifik tidak memberi banyak waktu bagi PPKI untuk melakukan
perdebatan secara panjang lebar. Karena itu, para pendiri bangsa itu menyepakati untuk
mengesahkan terlebih dahulu UUD yang telah mereka susun sebagai UUD sementara
untuk kemudian disempurnakan dalam kondisi yang lebih memungkinkan.
 Konstitusi RIS

Di dalam Konstitusi RIS terdapat beberapa ketentuan yang secara mendasar berbeda
dengan UUD 1945. Beberapa ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Bentuk pemerintahan bersifat federal yang di dalamnya terdapat negara-negara


bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara
Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan
Negara Sumatera Selatan. Di samping itu, terdapat satuan-satuan kenegaraan
yang tegak sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan
Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimatan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
2. Alat-alat perlengkapan negara federal Republik Indonesia Serikat ialah Presiden,
Menteri-menteri, Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan
Dewan Pengawas Keuangan.
3. Terdapat 44 butir ketentuan yang mengatur secara detail mengenai hak-hak dan
kebebasan-kebebasan dasar manusia.

Konstitusi RIS mulai diberlakukan secara resmi pada 27 Desember 1949 setelah
KNIP dan badan-badan perwakilan dari daerah-daerah memberikan persetujuan. Dasar
hukum pemberlakuan Konstitusi RIS ialah Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 No.
48 (Lembaran Negara 50-3). Pada 27 Desember 1949 terjadi tiga peristiwa penting
lainnya, yakni penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda yang diwakili Ratu Juliana
kepada Moh. Hatta yang mewakili Republik Indonesia Serikat di negeri Belanda,
penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat di
Yogyakarta, dan penyerahan kekuasaan dari Wakil Belanda Lovink kepada Wakil
Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Jakarta.

Berlakunya Konstitusi RIS untuk Negara Republik Indonesia Serikat tidak


menghapuskan berlakunya UUD Republik. Indonesia (UUD 1945). Namun, UUD
Republik Indonesia hanya berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia yang terletak di
Yogyakarta. Selama Konstitusi RIS diberlakukan banyak aspirasi yang muncul dari
negara-negara bagian untuk kembali bersatu dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
 Berlakunya UUDS

Tuntutan untuk kembali pada Negara Kesatuan Republik Indonesia tampak nyata
dari desakan rakyat di beberapa negara bagian. Negara Bagian Jawa Timur adalah negara
pertama yang mengusulkan penyerahan tugas-tugas pemerintahannya kepada pemerintah
RIS. Pada 15 Januari 1950, Kabinet RIS mengundangkan Undang-Undang Darurat
Nomor 10 Tahun 1950 yang mengatur penyerahan tugas-tugas pemerintahan di Jawa
Timur kepada Komisaris Pemerintah. Kesepakatan untuk melakukan perubahan
konstitusi itu kemudian ditindaklanjuti oleh DPR dan Senat RIS. Dalam sidang yang
diselenggarakan pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui perubahan

Konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.


Sesuai dengan namanya, UUDS tidak dimaksudkan untuk diberlakukan dalam jangka
waktu yang panjang. UUDS hanya diperlukan sebagai landasan konstitusional bagi
proses transisi dari bentuk negara serikat menjadi kesatuan. Di dalam UUDS pun
ditentukan adanya sebuah majelis Konstituante yang dibentuk melalui pemilu dengan
tugas membuat UUD yang baru sama sekali

 Kembali ke UUD 1945

Momentum Pemilu 1955 diwarnai berbagai pergolakan di dalam negeri. Partai-


partai politik yang saling berebut pengaruh bertikai satu sama lain. Selain itu, beberapa
daerah dilanda kekacauan akibat gangguan keamanan yang dilancarkan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo. Walaupun demikian,
Pemilu 1955 tetap dapat dilaksanakan dengan baik dan tercatat sebagai pemilu pertama
yang demokratis dalam sejarah Indonesia.

Kondisi politik yang tidak stabil tersebut ditambah dengan kinerja Konstituante
yang tidak berhasil merumuskan naskah konstitusi. Untuk itu pemerintah mencoba
melakukan ikhtiar dengan menggagas perlunya kembali ke UUD 1945. Pada 2 Maret
1959 setelah rapat kabinet yang memutuskan tentang Demokrasi Terpimpin, Perdana
Menteri Djuanda memberi keterangan kepada DPR mengenai pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 yang digagas oleh Presiden Soekarno.
Gagasan untuk kembali ke UUD 1945 itu disampaikan juga oleh Presiden Soekarno
dalam sidang Konstituante di Bandung. Namun, setelah dilakukan pemungutan suara
sampai tiga kali, putusan atas usulan Presiden tersebut tidak dapat dicapai.

Pada 22 April 1955, Presiden memberikan amanat kepada sidang Konstituante


yang memuat anjuran Kepala Negara dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945
tanpa melalui proses amendemen. Presiden menggunakan empat alasan untuk
mendukung usul yang diajukannya. Pertama, dalam keadaan genting saat itu, UUD 1945
bisa menjadi jalan kelur. Kedua, makna simbolik UUD 1945 sangat besar, yakni sebagai
UUD yang berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi
Indonesia yang sesungguhnya. Ketiga, struktur organisasi negara yang digariskan UUD
1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan yang efektif. Keempat, kembali ke UUD
1945 benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku

 Perubahan UUD 1945

Ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 dan dijabarkan dalam


UU Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum membuat upaya perubahan UUD 1945
hampir mustahil dilakukan. Wacana perubahan UUD 1945 baru muncul setelah
kekuasaan pemerintahan Presiden Soeharto melemah. Bermula dari krisis moneter yang
melanda Indonesia pada tahun 1997 yang tidak berhasil diatasi, bangsa Indonesia
terjerembab ke dalam krisis multidimensional. Ketidakmampuan pemerintah mengatasi
krisis dinilai oleh banyak kalangan sebagai akibat dari penerapan sistem sosial, politik,
dan ekonomi yang tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan rakyat. Akibatnya,
pada tahun 1998 terjadi gejolak politik, saat itu Presiden Soeharto didesak untuk mundur
karena sebagian besar rakyat Indonesia menghendaki dilakukannya reformasi secara
total.

Perubahan UUD 1945 baru bisa dilaksanakan pada Sidang Umum MPR yang
diselenggarakan pada 1--21 Oktober 1999 oleh anggota MPR hasil Pemilu 1999 yang
melahirkan 10 fraksi di MPR. Karena keterbatasan waktu dan alotnya perdebatan, Sidang
Umum MPR 1999 baru menghasilkan perubahan tahap pertama. Selain itu, Sidang
Umum MPR 1999 juga memilih K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden.
Untuk menindaklanjuti agenda perubahan UUD 1945 setelah dilakukannya
perubahan pertama, MPR mengagendakan dilaksanakannya sidang tahunan. perubahan
kedua UUD 1945 dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan pada 7
– 18 Agustus 2000. Karena pada perubahan kedua tidak dapat menyelesaikan seluruh
agenda perubahan, Sidang Tahunan MPR 2000 mengagendakan perubahan ketiga pada
sidang tahunan berikutnya.

D. Kesimpulan & Saran

 Kesimpulan

Amandemen masih perlu dilakukan yang sesuai dengan ruh kedaulatan rakyat dan
keadilan. Apabila ruh kedaulatan rakyat te lah menjiwai pasal-demi pasal dalam UUD,
maka rakyat akan menghayati keyakinan bahwa bangsa dan negara sesungguhnya
be rada dan menuju pada arah yang benar. Pan casila sebagai falsafah negara, menjadi
spirit yang harus dimiliki dalam setiap pembuatan kebijakan, dan undang-undang dasar
men jadi langkah awal dalam mewujudkan hal tersebut. Untuk itu, amandemen UUD
1945 adalah sebuah keniscayaan.

 Saran

Agar perubahan UUD 1945 baik dari bentuk maupun isinya, kemudian dapat
dipertanggung jawabkan, disarankan untuk membentuk Komisi Konstitusi atau Komisi
UUD 1945 yang berisikan negarawan, ahli hukum tata negara, ahli ilmu politik, dan ahli
lain yang berhubungan dengan isi perubahan UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai