Anda di halaman 1dari 6

Nama : Alfian Hamam Maulidina

NPM : 2320601047
Matkul : K2 Hukum Tata Negara
Dosen : Bapak Kuswan Hadji, S.H.,M.H.

Tugas resume HTN Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. dkk. Hal 59-82

1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1945-1949

a. Perencanaan dan Pengesahan UUD 1945


UUD 1945 ditetapkan sehari setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18
Agustus 1945. Persiapan penyusunan UUD telah dimulai sejak bulan Mei 1945
dengan pembentukan BPUPKI pada tanggal 29 April 1945. BPUPKI, yang
dipimpin oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dan R. Pandji Soeroso,
dibentuk oleh pemerintah balatentara Jepang untuk memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia.
Sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 membahas dasar negara
Indonesia. Moh. Yamin dan Ir. Soekarno memberikan pidato mengenai aspek-
aspek kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Pada sidang kedua tanggal 10-16
Juli 1945, panitia hukum dasar yang dipimpin oleh Ir. Soekarno membentuk panitia
kecil perancang UUD. Pada tanggal 16 Juli 1945, BPUPKI menyetujui hasil
rumusan panitia kecil tersebut, termasuk pembukaan UUD 1945 yang berdasarkan
Piagam Jakarta.
Setelah pembentukan PPKI, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. PPKI kemudian mengesahkan UUD 1945 pada tanggal
18 Agustus 1945, yang terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh. UUD 1945
menjadi hukum dasar tertulis negara RI.
Sejarah pembentukan UUD 1945 menunjukkan bahwa itu adalah hasil revolusi
bangsa Indonesia yang mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Meskipun BPUPKI dan PPKI bukan lembaga pembentuk UUD, kesuksesan
revolusi Indonesia menjadikan UUD 1945 sah menurut Ismail Suny dan Ivor
Jennings.
UUD 1945, sebagai satu-satunya sumber peraturan hukum nasional, memutuskan
ikatan dengan tata hukum sebelumnya, membentuk tatanan hukum baru yang
mencerminkan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

b. Sifat UUD 1945


Oleh pembentuknya, UUD 1945 dimaksudkan bersifat “sementara”. Hal tersebut
dapat dilihat dari ketentuan Pasal III ayat (2) Aturan Tambahan yang menyebutkan:
“dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu bersidang untuk
menetapkan UUD”. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 3 yang menyatakan
bahwa salah satu tugas MPR adalah menetapkan UUD.

c. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan.


UUD 1945 menegaskan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan pelaku
kedaulatan rakyat. Kekuasaan itu disalurkan oleh MPR kepada lembaga-lembaga
di bawahnya, seperti DPR, Presiden, BPK, DPA, dan MA. Presiden dan DPR
menerima mandat dari MPR di bidang eksekutif, legislatif, dan legislative control,
di mana mereka harus bekerja sama dalam pembentukan UU. Meskipun presiden
tidak bertanggung jawab kepada DPR dan tidak dapat dipecat oleh DPR, namun
harus memperhatikan suara DPR sesuai dengan sistem presidensial yang dianut
oleh UUD 1945.
Kekuasaan presiden pada praktik ketatanegaraan saat ini sangat luas, termasuk
terhadap lembaga MPR, DPR, dan DPA. Presiden dibantu oleh wakil presiden,
menteri, dan KNIP dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif serta memberikan
pertimbangan dan menetapkan haluan negara. Ini membuat kekuasaan presiden
dapat dikatakan sebagai "Constitutional Dictatorship".
Pada tanggal 16 Oktober 1945, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari kabinet
presidensial ke sistem parlementer melalui Maklumat Wakil Presiden No. X dan
Maklumat Presiden tanggal 14 November 1945. Kabinet dipimpin oleh wakil
presiden sebagai Perdana Menteri, dengan menteri negara yang bertanggung jawab
kepada BP KNIP.
1)Persetujuan Linggarjati
Belanda, setelah kekalahan Jepang, berusaha untuk kembali berkuasa di
Indonesia dengan konsolidasi kekuatan militernya dan politik "Devide et
impera". Upaya tersebut termasuk mendirikan negara-negara bagian seperti
Sumatera Timur, Indonesia Timur, Pasundan, dan Jawa Timur. Meskipun
Belanda mengusulkan Persetujuan Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947
untuk membentuk Republik Indonesia Serikat, perundingan tertunda karena
"Aksi Militer I" Belanda pada 20 Juli 1947. Akhirnya, Persetujuan Renville
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 setelah desakan Dewan Keamanan
PBB dan perintah gencatan senjata.
2) Persetujuan Renville
Isi dari persetujuan Renville antara lain:
a) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan
diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang harus segera
dibentuk.
b) Sebelum pembentukan RIS, Belanda dapat menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.
c) RIS akan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, menjadi peserta
sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Nederland-Indonesia dengan
Ratu Belanda sebagai kepala Uni.
d) Republik Indonesia akan menjadi Negara Bagian dari RIS.
Persetujuan ini tidak dapat dilaksanakan oleh Belanda, dan pada tanggal 19
Desember 1948, Belanda melakukan "Aksi Militer II" dan menduduki
ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, serta menahan Presiden Soekarno,
Wakil Presiden Moh. Hatta, dan beberapa pejabat negara lainnya.

Tindakan Belanda menimbulkan reaksi di forum internasional, dan Dewan


Keamanan PBB pada tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusi untuk
melakukan pemberhentian tembak menembak dan pembebasan pemimpin RI
agar kembali ke Jogjakarta.
Dalam rangka tersebut, di bawah pimpinan Cochran dari Komisi Jasa-jasa baik
PBB, pada tanggal 14 April 1949, diadakan perundingan antara Dr. Van Royen
dari pihak Belanda dan Mohamad Roem, SH dari pihak Indonesia. Pada tanggal
7 Mei 1949, tercapailah "Persetujuan Roem Van Royen" yang berisi penghentian
perang gerilya oleh RI, pengembalian pemerintah RI ke Jogjakarta oleh Belanda,
menghentikan operasi militer, membebaskan pemimpin RI, dan mengadakan
Konferensi Meja Bundar sesegera mungkin.
3) Konferensi Meja Bundar (KMB)
Pada tanggal 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949, Konferensi Meja
Bundar di Den Haag diselenggarakan dengan partisipasi Belanda, Republik
Indonesia, dan BFO (Byeenkomst voor Vederal Overleg) yang diawasi oleh
UNCI (United Nations Commission for Indonesia). Selama konferensi ini,
delegasi-delegasi dari Republik Indonesia dan BFO membentuk Panitia
Perancang Konstitusi RIS yang bertugas merumuskan naskah konstitusi RIS.

Hasil dari perancangan ini dirumuskan dalam Piagam Persetujuan antara


delegasi RI dan BFO tentang Konstitusi Sementara RIS. Naskah tersebut
kemudian disetujui oleh Pemerintah Belanda, Pemerintah RI, BFO, KNIP, dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat dari BFO. Konstitusi Sementara RIS mulai
berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.

2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1949-1950


Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sesuai
dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Menurut perjanjian tersebut,
negara RI hanya merupakan salah satu negara bagian RIS. UUD 1945 hanya
berlaku untuk negara bagian RI, dengan wilayah yang telah ditetapkan dalam
Persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948.
Menurut Pasal 186 KRIS, konstitusi ini bersifat "sementara" dan akan digantikan
oleh konstitusi tetap hasil pembentukan konstituante bersama-sama dengan
pemerintah. Namun, karena lembaga tersebut belum terbentuk, KRIS diubah
dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950.
Menurut Pasal 1 ayat 1 KRIS, RIS adalah negara hukum yang demokratis dan
berbentuk federasi. Berbeda dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan
bentuk kesatuan dengan pemerintahan "Republik".
Kekuasaan negara RIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan
Senat. Presiden adalah Kepala Negara dan tidak memimpin pemerintahan, yang
dipimpin oleh Perdana Menteri bersama dengan Dewan Menteri.
Lembaga Perwakilan Rakyat menganut sistem bicameral yang terdiri dari Senat dan
DPR. Senat terdiri dari wakil negara bagian, sedangkan DPR mewakili seluruh
rakyat Indonesia.
Kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat. Pengesahan suatu perundang-undangan memerlukan tanda
tangan presiden dan menteri yang bertanggung jawab.
Bentuk negara federasi dan sistem parlementer yang dianut KRIS tidak sesuai
dengan jiwa proklamasi dan kehendak sebagian besar rakyat di beberapa daerah.
Penggabungan beberapa daerah dengan negara RI dimungkinkan berdasarkan
ketentuan Pasal 44 KRIS.
Untuk mengatasi perbedaan ini, pemerintah RI dan RIS mengadakan persetujuan
untuk mengubah bentuk Negara Federal menjadi Negara Kesatuan.

3. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1950 - 1959


Pada periode 1950 hingga 1959, terjadi beberapa perubahan signifikan dalam
ketatanegaraan Indonesia.
Pada tahun 1950, melalui UU Federal No. 7 Tahun 1950, Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (KRIS) diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDS RI). UUDS menggantikan bentuk negara federal
dengan negara kesatuan. UUDS bersifat sementara dan pasal 134 mengamanatkan
konstituante bersama pemerintah untuk menetapkan UUD yang tetap.
Realisasi Pasal 134 mengakibatkan pemilihan anggota DPR pada September 1955
dan anggota konstituante pada Desember 1955. Namun, konstituante tidak mampu
menyelesaikan tugasnya karena tidak mencapai quorum 2/3 dari jumlah anggota.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk
membubarkan konstituante dan UUD 1945 kembali berlaku untuk seluruh wilayah
RI. Dasar hukum dekrit ini adalah "Staatsnoodrecht" (Hukum Darurat Negara),
yang memberi hak kepada penguasa untuk mengambil tindakan demi kesatuan
bangsa dan keselamatan negara.
Dekrit Presiden ini kemudian dikuatkan dengan TAP MPRS XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR GR mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Ini menandai kembalinya
UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku untuk Indonesia.
4. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1959 - sekarang
1) Masa antara 1959 -1966.
Pada tanggal 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku setelah dikeluarkannya Dekrit
Presiden. Meskipun kembali berlaku, UUD 1945 masih bersifat sementara karena
tidak ditetapkan oleh MPR, meskipun kemudian dibenarkan oleh TAP MPRS
XX/MPRS/1966 jo TAP MPR V/MPR/1973. Dengan berlakunya kembali UUD
1945, terjadi perubahan dalam asas ketatanegaraan dan sistem pemerintahan
Indonesia.
Asas Demokrasi Liberal digantikan oleh asas Demokrasi Terpimpin. Presiden
Soekarno menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Ini menggambarkan suatu permusyawaratan yang dipandu oleh hikmat
kebijaksanaan, bukan oleh perdebatan dan penyelidikan biasa.
Sistem pemerintahan berubah dari parlementer menjadi presidensial. Dalam sistem
presidensial UUD 1945, presiden memiliki kekuasaan eksekutif tertinggi dan
dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri.
Namun, dalam praktiknya sejak berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga
peristiwa G30 S, UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Banyak deviasi yang terjadi dalam kelembagaan negara, sistem pemerintahan, dan
hukum. Kekuasaan presiden menjadi sangat besar dan bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan politik dan keamanan
yang pada akhirnya memicu pemberontakan G30 S.
Pemberontakan G30 S menuntut pelaksanaan kembali UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, pembubaran PKI, dan penurunan harga barang. Hal ini menunjukkan
ketidakpuasan terhadap kondisi politik dan ekonomi yang dipimpin oleh presiden.

2) Masa antara 1966 - 1999


Pada periode antara tahun 1966 hingga 1999, terjadi peristiwa-peristiwa penting
dalam sejarah politik dan ketatanegaraan Indonesia.
Pada tahun 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) yang memberikan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk
mengendalikan situasi. Supersemar kemudian dikukuhkan oleh TAP MPRS
IX/MPRS/1966, yang mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Soeharto
sebagai pejabat presiden.
Untuk menertibkan produk peraturan perundang-undangan, dikeluarkan TAP
MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menetapkan tata urutan peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Pada tahun 1971, diadakan pemilihan umum pertama yang membentuk MPR,
DPR, dan DPRD sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Kemudian pada tahun
1973, MPR mengangkat Jenderal Soeharto sebagai presiden. Pada masa
pemerintahan Soeharto, dikeluarkan berbagai undang-undang yang mengatur
lembaga negara, seperti UU No. 5 Tahun 1973 tentang BPK dan UU No. 16
Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Namun, selama pemerintahan Soeharto terjadi deviasi dalam bidang politik dan
hukum. Fungsi MPR melemah dan posisinya berada di bawah presiden. Selain
itu, UUD 1945 dianggap tidak dapat diubah, sehingga tidak adanya upaya untuk
merubahnya meskipun terdapat ketentuan-ketentuan yang kontradiktif.
Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden
setelah gelombang aksi mahasiswa yang menuntut mundurnya Soeharto. Dia
digantikan oleh BJ. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.

3) Masa 1998 - sekarang


Pada periode 1998 hingga sekarang, masa pemerintahan Habibie ditandai
sebagai pemerintahan transisional, yang mengalami perubahan menuju
demokratisasi dengan keluarnya beberapa undang-undang penting seperti
Undang-Undang Nomor 2, 3, dan 4 Tahun 1999. Perubahan tersebut mencakup
sistem politik multipartai, pengakhiran peran militer di MPR, dan fleksibilitas
dalam prinsip tunggal Pancasila dalam partai politik. Setelah pemilu tahun 1999,
terjadi amendemen pertama terhadap UUD 1945, termasuk perubahan terkait
kekuasaan pembentukan undang-undang. Pada Oktober 1999, MPR memilih
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil
Presiden melalui proses pemungutan suara.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid ditandai oleh lambatnya reformasi dan
gejolak disintegrasi bangsa, yang berujung pada skandal Bulloggate dan
Bruneigate. DPR merespons dengan mengeluarkan memorandum pada Februari
dan April 2001. Konflik antara presiden dan DPR berlanjut, mengakibatkan
presiden mengeluarkan maklumat pada Juli 2001 yang kemudian dibatalkan oleh
MA karena melanggar konstitusi. Pada sidang istimewa MPR pada Juli 2001,
Megawati Soekarnoputri diangkat sebagai Presiden dan Hamzah Haz sebagai
Wakil Presiden.
Amandemen UUD 1945 terus dilakukan, termasuk amandemen kedua dan ketiga
pada 2000 dan 2001. Perubahan ini melibatkan penambahan pasal serta
pembentukan lembaga-lembaga baru seperti DPD, Komisi Yudisial, dan
Mahkamah Konstitusi. Pada 2002, dilakukan amandemen keempat yang
menghapuskan lembaga DPA dan menegaskan UUD 1945 terdiri dari
Pembukaan dan Pasal-pasal.
Hasil pemilu legislatif tahun 2004 menunjukkan perubahan dominasi politik
dengan perolehan suara yang lebih merata di antara partai-partai. Pemilihan
presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat untuk
pertama kalinya pada Juli 2004. Pemilu putaran kedua pada Oktober 2004
dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Periode ini
ditandai oleh proses demokratisasi yang terus berlanjut dan pemilihan presiden
langsung sebagai tonggak penting dalam perkembangan politik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai