Kuntjoro Purbopranoto (1981) menyatakan bahwa sejarah administrasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1816, dimana setelah pemerintahan diambil alih oleh Belanda dari pihak Inggris, segera dibentuk suatu dinas pemerintahan tersendiri. Pada awal masa kemerdekaan, perubahan sistem administrasi negara di Indonesia masih dalam keadaan darurat, karena adanya transisi pemerintahan. Sehingga Bangsa Indonesia berusaha sebisa mungkin untuk membentuk piranti–piranti yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraaan negara sebagai suatu negara yang berdaulat. Pada awal masa berlakunya UUD 1945, seluruh mekanisme ketatanegaraan belum dapat dikatakan berjalan sesuai dengan amanat dalam UUD 1945. Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan negara. Perubahan tersebut adalah perubahan Kabinet Presidensiil menjadi Kabinet Parlementer, yang berarti Menteri-menteri tidak bertanggung jawab kepada Presiden melainkan kepada parlemen. Penyerahan kekuasaan oleh sekutu kepada pemerintah Belanda setelah Perang Dunia II dijadikan momentum untuk melakukan serangkaian kegiatan untuk menghancurkan pemerintah negara Republik Indonesia yang sah. Agresi Belanda terus berlanjut dengan tindakan polisional yang pertama dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dan yang kedua pendudukan Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Selama perang melawan agresi Belanda tersebut, telah dilakukan beberapa kali persetujuan antara pihak Belanda dengan pihak negara Republik Indonesia, antara lain persetujuan Linggarjati 25 Maret 1947 dan persetujuan Renville. Kesemuanya ini berakhir dengan terbentuknya negara-negara bagian yang bertujuan untuk memperlemah negara Indonesia, sehinga mempermudah pemerintah Belanda untuk menguasai dan menanamkan kembali kekuasannya. Pada tanggal 19 Mei Tahun 1950 telah disepakati bersama untuk mewujudkan kembali negara kesatuan dengan memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Seperti halnya KRIS 1949, UUDS 1950 dibentuk dengan sifat sementara. Selain dari namanya, sifat sementara ini dapat juga dilihat dari pembentukan Konstituante (sidang pembuat UUD) yang bersama- bersama dengan pemerintah bertugas selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950. Untuk menyelamatkan bangsa dan negara karena macetnya sidang Konstituante, maka pada tanggal 5 Juli Tahun 1959 dikeluarkanlah Dekrit Presiden yang berisi pemberlakuan kembali UUD 1945, membubarkan Konstituante dan tidak memberlakukan UUDS 1950. Pada masa UUDS 1950, administrasi negara tidak dapat tumbuh dalam suatu wadah yang penyelenggaraan negaranya tidak mengindahkan norma-norma hukum dan asas-asas hukum yang hidup berdasarkan falsafah hukum atau ideologi, yang berakar kepada faham demokrasi dan berorientasi kepada penyelenggaraan kepentingan masyarakat. Keinginan untuk pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen telah dituangkan dalam bentuk yuridis dalam Pasal 2 Tap MPRS No. XX Tahun 1966 dengan Pancasila sebagai landasan atau sumber dari segala sumber hukum. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, telah ditetapkan beberapa ketentuan antara lain tentang Pemilihan tetap satu, tak ada kebenaran yang mendua”. Frasa inilah yang kemudian diadopsi sebagai semboyan yang tertera dalam lambang negara Garuda Pancasila.