Anda di halaman 1dari 10

1.

Masa Awal Kemerdekaan

Sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, maka mulai

saat itu berlaku tata hukum baru yang bersumber dari proklamasi

kemerdekaan Indonesia dan tidak berlaku lagi tata hukum lama (zaman

kolonial). 

UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis dalam gerak pelaksanaannya pada

kurun waktu 1945 - 1949, jelas tidak dilaksanakan dengan baik sehingga

menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan konstitusional.

Penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945

- 1949. 

1. Perubahan fungsi Komite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi

badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menentukan Garis-garis

Besar Haluan Negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal

16 Oktober 1945. 

2. Perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer.

Berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNIP)

tanggal 11 November 1945, yang kemudian dinyatakan oleh Presiden dan

diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945,

sistem kabinet presidensial berdasarkan UUD 1945 diganti dengan sistem

kabinet parlementer. Kemudian pada tanggal 3 November 1945 atas usul

BP-KNIP, pemerintah mengeluarkan suatu maklumat yang ditandatangani

oleh Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai politik yang


bertujuan untuk memimpin segala aliran paham yang ada di masyarakat ke

jalan yang teratur.

A. Sistem Presidensial

Menurut UUD 1945, di samping berkedudukan sebagai kepala negara,

Presiden juga sebagai kepala pemerintahan. Presiden memegang kekuasaan

pemerintahan tertinggi di bawah MPR. Presiden adalah mandataris MPR.

Kepala pemerintahan adalah Presiden, sehingga menurut konstitusi

ketatanegaraan ini, pemerintah pada hakikatnya adalah Presiden. Sistem ini

dinamakan sistem presidensial. Sistem presidensial ini berlangsung untuk

pertama kalinya pada tanggal 18 Agustus sampai dengan 14 November 1945.

B. Penyimpangan UUD 1945

Pada tanggal 11 November 1945, Badan Pekerja KNIP mengusulkan

kepada Presiden agar sistem pertanggungjawaban menteri kepada parlemen

dengan pertimbangan sebagai berikut.

 Dalam UUD 1945 tidak terdapat satu pasal pun yang mewajibkan atau

melarang menteri bertanggung jawab.

 Pertanggungjawaban kepada badan perwakilan rakyat itu adalah suatu

jalan untuk memperlakukan kedaulatan rakyat.

Usul Badan Pekerja KNIP itu diterima oleh Presiden dengan

mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945.

Konsekuensi dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut ialah sistem

pemerintahan presidensial diganti menjadi sistem pemerintahan berdasarkan


parlementer. Disinilah letak penyimpangan konstitusional yang prinsipil

karena maklumat tersebut melanggar Pasal 17 UUD 1945.

Perkembangan pemerintahan parlementer tidak berjalan sebagaimana

diharapkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 disebabkan keadaan

politik dalam negeri dan keamanan negara, seperti terjadi penculikan Perdana

Menteri Sutan Syahrir tanggal 2 Oktober 1946, serangan umum Belanda

terhadap RI tahun 1947, dan pemberontakan PKI di Madium. Keadaan politik

ini memaksa Presiden mengambil alih kekuasaan menjadi sistem

pemerintahan presidensial.

C. UUD 1945 sebagai UUD Negara Bagian

Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menyatakan: 

a. Didirikannya negara Republik Indonesia Serikat,

b. Pengakuan kedaulatan oleh pemerintahan kerajaan Belanda kepada negara

Republik Indonesia Serikat,

c. Didirikannya uni antara RIS dan kerajaan Belanda.

Konstitusi RIS, terdiri atas Mukaddimah (4 alinea), 6 bab, 197 pasal dan

lampiran mulai berlaku sejak 27 Desember 1949. Berdirinya negara Republik

Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS sebagai undang-undang dasarnya,

maka negara RI hanya berstatus sebagai salah satu negara bagian saja, dengan

wilayah kekuasaan daerah yang disebut dalam persetujuan Renville dan

sesuai dengan bunyi Pasal 2 Konstitusi RIS, sedangkan UUD 1945 sejak

tanggal 27 Desember 1949 hanya berstatus sebagai UUD negara bagian

Republik Indonesia.
D. UUD 1945 Tidak Berlaku Lagi

Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda, di daerah-daerah timbul

pergolakan dan pernyataan spontan dari rakyat untuk kembali ke negara

kesatuan. Untuk merealisasikan tuntutan kembali ke negara kesatuan, satu per

satu negara bagian menggabungkan diri kepada negara Republik Indonesia.

Akibat penggabungan itu, maka negara yang berbentuk federal hanya tinggal

tiga negara saja, yaitu sebagai berikut.

1. Negara Republik Indonesia.

2. Negara Indonesia Timur.

3. Negara Sumatra Timur.

Kemudian, negara Republik Indonesia dan RIS (mewakili negara

Indonesia Timur dan negara Sumatra Timur) mengadakan musyawarah untuk

mendirikan kembali negara kesatuan Republik Indonesia.

Pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai kata sepakat antara RIS dan negara

Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu piagam persetujuan RI -

RIS untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara

Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Piagam

persetujuan itu ditandatangani oleh Perdana Menteri RIS Dr.Moh. Hatta

selaku pemegang mandat dari dua negara bagian dan pemerintah RI diwakili

oleh Mr. A.Halim.


Tanggal 15 Agustus 1950, mulai Undang-Undang Federal No.7 Tahun

1950 ditetapkan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1950 dikatakan bahwa Konstitusi RIS

diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

(dikenal UUDS 1950). 

Pada tanggal 17 Agustus 1950 UUDS 1950 mulai berlaku yang

diumumkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1950. Dengan demikian,

mulai 17 Agustus 1950 terjadilah perubahan bentuk susunan negara serikat

menjadi bentuk susunan negara kesatuan dengan cara mengubah Konstitusi

RIS dengan UUDS dan berlakulah bentuk susunan kesatuan dengan UUDS

sebagai konstitusi atau hukum dasarnya. Berdasarkan perkembangan

ketatanegaraan Republik Indonesia ini, maka sejak berlakunya UUDS 1950

dengan sendirinya tidak berlaku lagi UUD 1945 di dalam masyarakat

Indonesia, karena bentuk negara kesatuan tidak mengenal lagi UUD lain,

sekalipun berlaku di suatu daerah tertentu. UUD 1945 dalam kurun waktu ini

hanya dikenal sebagai dokumen sejarah sampai dikeluarkannya Dekrit

Presiden 5 Juli 1959.

2. Masa Orde Lama

Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan

umum, masing-masing untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Konstituante. Tugas Konstituante adalah untuk membuat

suatu Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai pengganti UUDS 1950, yang


menurut Pasal 134 akan ditetapkan selekas-lekasnya bersama-sama dengan

Pemerintah.

Untuk mengambil keputusan mengenai Undang-Undang Dasar, maka Pasal 137

UUDS 1950 menyatakan sebagai berikut. 

1) Untuk mengambil keputusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru,

maka minimal 2/3 jumlah anggota Konstituante harus hadir;  

2) Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sedikitnya 2/3 dari jumlah

anggota yang hadir;

3) Rancangan yang telah diterima oleh Konstituante dikirimkan kepada Presiden

untuk disahkan oleh Pemerintah;

4) Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta

mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keluhuran.

Lebih dari dua tahun bersidang Konstituante belum berhasil merumuskan

Rancangan Undang-Undang Dasar baru.  Dalam suasana perdebatan, Presiden

dalam bicaranya di depan sidang Konstituante tanggal 22 April 1959

menyarankan "marilah kembali kepada UUD 1945."

Saran untuk kembali kepada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat

diterima oleh para anggota Konstituante, namun dengan berbagai pandangan. 

Pertama, menerima saran kembali kepada UUD 1945 secara utuh.  Kedua,

menghendaki kembalinya kepada UUD 1945 suatu amandemen, yaitu

memasukkannya lagi" dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk

pemeluknya".  Pada sila pertama Pancasila di belakang kata Ketuhanan seperti

yang tercantum dalam Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945.


Sehubungan dengan tidak memperoleh kemufakatan antara dua pandangan

itu, maka Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah

untuk kembali kepada UUD 1945. Pertama-tama pemungutan suara terhadap usul

amandemen, dan dilaksanakan 29 Mei 1959. Usul amandemen itu tidak

memperoleh suara dua pertiga dari anggota  yang hadir.  Anggota yang hadir itu

470 orang, dan yang menyetujui usul amandemen 201 orang dan yang tidak

menyetujui 265 orang.

Selanjutnya, pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali

ke UUD 1945 secara utuh.  Pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali. 

Tanggal 30 Mei 1959 pemungutan suara pertama dengan hasil 269 suara setuju

dan 199 suara menolak. Karena persyaratan formal, yaitu 2/3 dari jumlah anggota

yang hadir sesuai dengan ketentuan Pasal 137 UUDS 1950 tidak terpenuhi, maka

tanggal 1 Juni 1959 pemungutan suara suara yang kedua.  

Hasilnya adalah 264 suara setuju menerima usul untuk kembali ke UUD

1945 dan 204 suara menolak, yang juga tidak memenuhi kuorum. Pemungutan

suara ketiga dilangsungkan tanggal 2 Juni 1959 dan secara rahasia dengan hasil

263 suara setuju dan 203 menolak, sehingga persyaratan formal juga tidak dapat

dipenuhi.  Pelaksanaan pemungutan suara tersebut di atas sesuai dengan tata tertib

Konstituante yang ditentukan, bahwa pemungutan suara untuk amandemen

dilakukan satu kali, dan untuk materi baru dilakukan sebanyak tiga kali.  Hal ini

menunjukkan bahwa usul pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tidak

mendapat persetujuan dari lembaga Konstituante meskipun disetujui oleh lebih

dari setengah anggotanya.


Sehari setelah pemungutan suara yang ketiga kalinya itu, Konstituante

menjalani reses.  Selama reses itu lebih dari separuh anggota Konstituante

menyatakan, bahwa setelah reses nanti mereka tidak akan menghadiri sidang lagi. 

Ini berarti bahwa Konstituante gagal dalam menetapkan UUD yang tetap sebagai

pengganti UUDS 1950. Keadaan dianggap oleh Presiden sebagai keadaan yang

dapat membahayakan keselamatan dan negara dan bangsa.  Oleh karena itu,

dengan alasan yang kuat, dan dengan dukungan dari sebagian besar rakyat

Indonesia, dikeluarkanlah Dekrit oleh Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 tentang

kembali kepada UUD 1945. Dalam keadaan seperti itu, menurut kepala negara

merupakan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan

keselamatan  negara, nusa, dan bangsa, maka tindakan Presiden mengeluarkan

Dekrit Presiden tersebut dibenarkan berdasarkan hukum darurat negara

(staatsnoodrecht).

Diktum Dekrit Presiden itu berbunyi sebagai berikut. 

1. Menetapkan pembubaran Konstituante.

2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa

Indonesia dan seluruh darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan

Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

3. Majelis Pembentukan Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan

Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan

golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan

diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.


Sejak 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.  Sejak itu cukup banyak

pengalaman yang kita peroleh dalam melaksanakan UUD 1945. Jika dilihat

pelaksanaan UUD 1945 untuk jangka waktu antara 1959 – 1965, - lembaga-

lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan

undang-undang seperti yang ditentukan dalam UUD 1945. Lembaga-lembaga

negara tersebut masih dalam bentuk  sementara.  Belum lagi jika kita mengupas

tentang fungsi lembaga-lembaga negara tersebut apakah telah sesuai atau tidak

dengan ketentuan UUD 1945.

Dalam masa orde lama, Presiden, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan

pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat

telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya.  Presiden telah

mengeluarkan produk legislatif yang pada hakikatnya adalah undang-undang

(sehingga sesuai UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam penetapan

Presiden, tanpa persetujuan DPR.  Selain itu terdapat pula penyimpangan-

penyimpangan lain, antara lain sebagai berikut.

1. MPR, dengan Ketetapan No.I/MPRS/1960 telah mengambil keputusan

menetapkan keputusan Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul

"Penemuan Kembali Revolusi Kita" yang lebih dikenal dengan Manifesto

Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap.  Hal

ini jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.


2. MPRS telah mengambil keputusan mengangkat Ir.Soekarno sebagai

Presiden seumur hidup.  Hal ini bertentangan dengan ketentuan UUD 1945

yang menetapkan masa jabatan Presiden lima tahun.

3. Hak anggaran DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah

tidak mengajukan Undang-Undang APBN untuk mendapat persetujuan

DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.  Dalam

tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapat dan

Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah, maka waktu itu

membubarkan DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 dan membentuk

DPR-Gotong Royong (DPR-GR).

4. Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara,

sedangkan Presiden sendiri menjadi anggota DPA, yang semuanya tidak

sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Penyimpangan ini jelas bukan saja mengakibatkan tidak berjalannya

sistem yang ditetapkan dalam UUD 1945, melainkan juga akan

mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamanan serta terjadinya

kemerosotan ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan G-

30-PKI. Pemberontakan tersebut dapat digagalkan melalui kekuatan-kekuatan

yang melahirkan pemerintahan orde baru.

Anda mungkin juga menyukai