Anda di halaman 1dari 10

Konfigurasi Politik dan Produk Hukum pada Periode Demokrasi Liberal

Setelah Jepang dikalahkan oleh tentara Sekutu dalam Perang Pasifik Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 Sebelum itu, tepatnya bulan April 1945. Pemerintah
Pendudukan Jepang telah membentuk satu panitia yang diberi nama Dokuritzu Zunbi Tioasakai (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. BPUPKI) dengan tugas menyiapkan
rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang akan dipakai sebagai konstitusi tertulis jika kelak
Indonesia merdeka. pemerintah segera membentuk panitia baru yakni Dokuritzu Zunbi linkai (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, PPKI) dengan tugas mempersiapkan kemerdekaan dan pemindahan
kekuasaan kepada pemerintah bangsa yang akan merdeka itu

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan. PPKI segera menetapkan UUD dan mengangkat Soekarno dan
Hatta, sebagai presiden dan wakil presiden Hingga tahun 1959, Indonesia menganut sistem pariementer
yang diwar nai tiga macam UUD, dengan catatan bahwa secara konstitusional pada kurun waktu 1945-
1949 sistem pemerintahan yang resmi dipakai kuasi presidensial, tetapi dalam praktiknya diberlakukan
sistem parlementer

Konfigurasi Politik

Penelusuran terhadap konfigurasi politik periode demokrasi parle menter dimulai pada akhir
pendudukan Jepang di Indonesia, yakni ketika pemerintah menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa
Indonesia yang ditin daklanjuti dengan pembentukan badan pembentuk rancangan UUD dan badan
persiapan kemerdekaan

1. Panitia Undang-Undang Dasar

Pada tanggal 7 September 1944 Pemerintah Jepang mengumumkan janja untuk memberi kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia Janji tersebut diulangi pada tanggal 1 Maret 1945 Pernyataan pemerintah
yang dikeluarkan pada tanggal 1 Maret 1945 dukuti dengan pembentukan panitia yang bertugas
mempersiapkan kemerdekaan (tepatnya membuat rancangan UUD) Panitia tersebut dikenal sebagai
BPUPKI (Dokuritzu Zunbi Tjoosakai yang beranggotakan 52 orang,Tugas pokok badan ini menyusun
rancangan UUD

sidang I BPUPKI diakhiri dengan pembentukan panitia kecil, yaitu Panitia Sembilan. Tugasnya mencari
kesepakatan tentang dasar negara yang telah diperdebatkan selama empat hari sidang 1 (29 Mel-1 Juni
1945) Panitia Sembilan berhasil mencapai kompromi tanggal 22 Juni 1945 dengan menyetujui sebuah
naskah "Mukaddimah" UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta atau "The Jacarta Charter"

Hasil kesepakatan atau modus vivendi Panitia Sembilan dinyatakan diterima dalam sidang II BPUPKI
tanggal 11 Juli 1945 10 Setelah itu, Soekarno membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Socpomo
untuk menyusun rancangan UUD Panitia ini ine nyampaikan rancangan UUD pada tanggal 13 Juli
1945.Setelah diperdebatkan selama empat hari, akhirnya (tanggal 16 Juli 1945) BPUPKI menyetujui
rancangan UUD yang akan dijadikan konstitusi tertulis Indonesia Merdeka.

2. Pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai
Soekarno dan wakil ketua Moh. Hatta.

Untuk melengkapi kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi PPKI menyelenggarakan sidang
yang mengambil keputusan pokok "menge sahkan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD" dan memilih
"presiden dan wakil presiden

3. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengun dang beda pendapat di antara ahli
hukum tata negara. Ada yang menyebut presidensial, tetapi ada juga yang menyebut kuasi presidensial.
Hal itu ter jadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidensial. Jika dilihat
ketentuan Pasal 4 (1) dan Pasal 17, maka sistem yang dianut UUD adalah presidensial. Tetapi jika dilihat
dari ketentuan Pasal 6 bahwa presiden di pilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan
Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok ketiga (bahwa presiden
bertanggung jawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalan kan putusan-putusan MPR), maka
dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem parlementer. Mengenai hubungan antarlembaga negara
tersebut Wilopo menyebut kan adanya keseimbangan atau check and balance yang khas antara
pemerintah dan DPR yang sama-sama kuat

4. Dari Organis ke Pluralistik

Konfigurasi demokratis vang dituntut oleh UUD 1945 tidak bisa dipe nuhi pada awal-awal proklamasi
kemerdekaan, karena pada waktu itu belum dibentuk lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu semua
kekuasaan dilimpahkan kepada presiden melalui Pasal IV.Pemusatan kekuasaan yang terletak di tangan
presiden berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV ternyata menimbulkan masalah yang berkaitan dengan
opini publik AG Pringgodigdo menyatakan, di kalangan orang orang yang tidak senang dengan berdirinya
negara Republik Indonesia dikembangkan opini bahwa negara Indonesia bukanlah negara demokrasi,
melainkan negara fasis atau nazi yang dipimpin oleh seorang Fuhrer atau Duce.

5. Republik Indonesia Serikat

Belum berumur setahun kemerdekaan Indonesia, Belanda datang kembali ke Indonesia untuk
melanjutkan kolonialismenya, Dengan mem bonceng tentara-tentara Sekutu yang sebenarnya bertugas
untuk melucuti tentara Jepang yang telah kalah, Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan
pembubaran negara kesatuan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 itu menga nut bentuk
Republik Federasi Sistem pemerintahannya parlementer disertai kebijaksanaan, bahwa parlemennya
tidak dapat menjatuhkan pemerintah seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 122 Konstitusi RIS
Dari sudut konstitusi dapat dikualifikasikan bahwa konfigurasi yang dianut pada zaman RIS adalah
demokratis,

6. Di Bawah UUDS 1950

Bentuk negara serikat ternyata tidak berumur panjang karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan
aspirasi masyarakat Indonesia,Sehingga pada bulan Mei 1950 jumlah negara bagian tinggal liga yaitu
Negara Republik Indonesia (di Yogyakarta). Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur,

Piagam Persetujuan antara Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia ditandatangani oleh Hatta
dan A Halim pada tanggal 19 Mei 1950. Piagam tersebut memuat persetujuan untuk kembali ke bentuk
"negara kesatuan" sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Menindaklanjuti persetujuan itu dibentuk
panitia. yang bertugas membuat rancangan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)

Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1950 UUDS dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1950. Pada masa-
masa berikutnya Undang-Undang Dasar tersebut lebih dikenal sebagai UUDS 1950 UUDS 1950
menganut sistem parlementer dan dianggap bahwa sejak pemberlakuannya pada tanggal 17 Agustus
1950 dimulailah era demokrasi liberal di Indonesia sesuai de ngan sistem parlementer yang sebenarnya

7. Bekerjanya Pilar-pilar Demokrasi

Terlepas dari beragamnya pandangar, tentang sebab-sebab instabilitas politik dan pemerintah yang
dudentifikasi sebagai gagalnya sistem Parle menter, merupakan satu hal yang tak dapat dibantah bahwa
pada masa masa pemakaian kabinet parlementer di Indonesia konfigurasi politiknya sangat demokratis.
Hal ini bisa dilihat dari bekerjanya pilar-pilar demokrasi seperti berikut ini.

a. Kehidupan Kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan Rakyat Seiring dengan konfigurasi politik yang
sangat demokratis, pada pe riode ini timbul partisipasi masyarakat untuk turut membuat keputusan
publik,

Berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945, kekuasaan-ke kuasaan penting kenegaraan, termasuk
legislatif, semula diletakkan di tangan presiden dengan bantuan Komite Nasional Tetapi gagasan
perluasan hak-hak demokrasi masyarakat telah menyebabkan keluarnya Maklumat No X Tahun 1945
yang menjadikan Korite Nasional bukan lagi sebagai pembantu presiden, melainkan menjadi bedan
legislatif yang dapat menjadi lembaga penampung dan penyalur aspirasi masyarakat dalam membuat
keputusan publik.

Menyusul Maklumat tersebut berdirilah secara resmi partai-partai politik yang sampai bulan Januari
1946 berjumlah sepuluh partai yaitu: Majelis Syuro Muslimin (Masyumi) 7 November 1945, Partai
Komunis Indonesia (PKI) 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 8 November 1945, Partai Rakyat
Jelata 8 November 1945. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 10 November 1945, Partai Sosialis
Indonesia (PSI) 10 November 1945. Partai Rakyat Sosialis (PRS) 20 November 1945, Partai Katolik
Republik Indonesia (PKR) 8 Desember 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 17 Desember
1945, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) 17 Desember 1945.
b. Kebebasan Pers

Sejalan dengan liberalisme yang dianut pada periode ini maka kebebas an pers juga hidup di dalam
irama itu, pers mahasiswa di berbagai kota Sehingga pada tanggal 8 Agustus 1955 diselenggarakan
Konferensi I Pers Mahasiswa Indonesia Konferensi tersebut melahirkan dua organisasi yaitu Ikatan
Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia

Pemaparan tentang kebangkitan pers mahasiswa Indonesia tersebut menunjukkan betapa mudahnya
masyarakat dari berbagai golongan meng ekspresikan pendapat pada era demokrasi liberal ini

C Peranan Pemerintah

Lemahnya eksekutif merupakan konsekuensi logis dari terlalu kuatnya partai-partai yang tercermin dari
parlemen. Selama lebih kurang empat tahun periode pertama berlakunya UUD 1945, di dalam
praktiknya terjadi penyimpangan terhadap penerapan sistem parlementer. Tercatat ada lima kali
pergantian kabinet, mulai Kabinet Sjahrir 1. Sjahrir II. Sjahrir III. Amir Sjarifuddin I. Amir Sjarifuddin II.
Setelah jatuhnya Kabinet Sjarifuddin II, Hatta tampil memimpin kabinet dengan sistem presidensial
sampai 27 September 1949

Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan menggunakan UUDS 1950, terjadi beberapa kali
penggantian kabinet karena konstelasi kekuatan parlemen. Selama sembilan tahun UUDS berlaku,
tercatat ada tujuh kabinet yang jatuh bangun sehingga jika dihitung secara rata-rata setiap kabinet
hanya berumur satu setengah tahun."

Karakter Produk Hukum

Pada periode ini beberapa produk legislasi dikeluarkan. Ada beberapa peraturan perundang-undangan
yang menyangkut lembaga perwakilan dan pemilihan umum. tetapi tidak semuanya dapat dilakukan
sesuai dengan tujuannya.

1. Hukum Pemilu

a. Pemilu dan Partai Politik.

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi yang menganut
sistem perwakilan." Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi "politikus-politikus" yang akan
mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Oleh sebab itu, adanya partai politik
merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis.

b. Wawasan Konstitusional

Semua konstitusi yang pernah berlaku pada periode ini, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950
menganut paham demokrasi sebagai salah satu asasnya yang fundamental. Demokrasi yang dianutnya
adalah demokrasi perwakilan Pilihan atas cara perwakilan ini lazim dipakai di negara-negara demokrasi,
karena demokrasi langsung dalam arti yang sebenarnya hampir tidak mungkin dilaksanakan di dalam
negara modern.

Di dalam demokrasi perwakilan ini hak demokrasi seluruh rakyat dilakukan oleh sebagian dari mereka
yang berkedudukan sebagai wakil Agar para wakil itu benar-benar bertindak atas nama rakyat maka
pelaksanaannya biasanya menggunakan lembaga pemilihan umum. Berdasarkan pemikiran seperti itu,
Pemilu menjadi bagian penting dari konstitusi. Artinya di dalam wawasan konstitusional terdapat pula
secara inheren prinsip tentang lembaga Pemilu.

c. Gagasan yang Terhalang: RUU Pemilu Menjadi Pingpong

Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan Pemilu selalu menjadi program pemerintah
Pada tanggal 5 Oktober 1945 sudah dinyatakan untuk segera diadakan Pemilu secara nasional dan ketika
pada tanggal 14 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang susunan Kabinet Sjahrir
II, dicantumkan juga pernyataan bahwa tindakan tindakan demokratis yang lain yang harus segera
dilaksanakan adalah mengadakan pemilihan umum

d. Peristiwa 17 Oktober 1952 dan UU Pemilu

Peristiwa ini merupakan puncak dari perlawanan Angkatan Perang (sekarang ABRI) terhadap parlemen
yang dianggap terlalu banyak mencampuri "urusan dapur" Angkatan Perang. Peristiwa ini sebenarnya
berasal dari program penghematan pemerintah dalam Kabinet Wilopo.

Keadaan ekonomi yang suram pada waktu itu menyebabkan pemerin tah (Kabinet) Wilopo
mencanangkan program penghematan, rasionalisasi sistem kepegawaian sipil maupun militer. Dalam
program itu direncana kan 60.000 tentara dan 30.000 polisi akan dipensiunkan Reorganisasi untuk
tentara dan langkah-langkah lain yang terkait dengan itu, seperti sistem pendidikan kembali bagi tentara
dan pemindahan bagi panglima dari satu tempat ke tempat lain, telah menimbulkan ketidakpuasan di
kalangan tentara. Sementara itu, Presiden Soekarno sendiri merasakan pengaruhnya di kalangan tentara
semakin berkurang dengan adanya pemindahan di lingkungan tentara.

c. UU No. 7 Tahun 1953

(1) Cakupan Isi

UU No. 7 Tahun 1953 yang biasa dar. bisa disebut dengan UU Pemilu mencakup electoral laws dan
pengaturan electoral process, Dalam menilai bekerjanya sistem Pemilu, biasanya orang Indonesia sering
mencampur adukkan antara electoral laws dan electoral process.

Electoral laws adalah sistem pemilihan dan perangkat peraturan yang menata bagaimana Pemilu
dijalankan serta bagai mana distribusi hasil Pemilu itu.

Sedangkan electoral process adalah mekanisme yang dijalankan dalam Pemilu seperti pencalonan,
kampanye, cara penghitungan, penentuan hasil, dan sebagainya

(2) Subjek Pemilihan


Pemilu menurut UU No. 7 Tahun 1950 diselenggarakan untuk memilih anggota konstituante dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hak memilih diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia yang
sudah berumur 18 tahun atau yang sudah kawin (Pasal 1 ayat (1)).

Jumlah anggota konstituante yang dipilih didasarkan hasil pembagian jumlah warga negara Indonesia
dengan :50.000. Sedangkan untuk anggota DPR berdasarkan atas hasil pembagian jumlah warga negara
Indonesia dengan 300.000. Dengan demikian, harga untuk setiap kursi di konstituante adalah 150.000
perolehan suara dan untuk setiap kursi di DPR adalah 300.000 perolehan suara (Pasal 32 (1) dan Pasal
33). Yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dalam Pemilu adalah orang perorangan (calon
perseorangan) atau calon secara kelompok (calon kum pulan (Pasal 36)).

(3) Sistem Pemilihan

UU No 7 Tahun 1953 menganu; sistem perwakilan berimbang (pro porsional representation) dengan
sistem daftar dan sisa suara terbanyak. Ada tiga sistem pemilihan yang dapat dipergunakan di berbagai
negara demokrasi, yaitu sistem mayoritas, sistem pluralitas dan sistem proporsional

(4) Asas-asas Pemilihan

Dari ketentuan Pasal 35 UUDS 1950 dan muatan lengkap) UU No. 7 Tahun 1953, dapat dikeluarkan asas-
asas: umum, periodik, jujur, berkesamaan (adil), bebas, rahasia, dan langsung. Penjelasan autentik
terhadap asas tersebut tidak eksplisit, melainkan dapat ditafsirkan dari muatan UU No. 7 Tahun 1953
atau dari pengertian yang secara umum sudah dipahami.14

Asas umum artinya bahwa Pemilu dilaksanakan secara nasional dan bukan pemilihan anggota lembaga
perwakilan daerah tertentu saja. Asas ini diuraikan secara subjektif, hak pilih diberikan kepada semua
warga negara yang telah memenuhi syarat. Sedangkan secara objektif asas umum ber arti manfaat
Pemilu untuk kepentingan rakyat pada umumnya dan bukan untuk golongan tertentu.

(5) Pengorganisasian

Untuk menyelenggarakan Pemilu seperti yang dikehendaki UU No. 7 Tahun 1953, maka UU tersebut
mengatur secara rinci mengenai peng organisasian atau kepanitiaan. Pasal 17 menentukan adanya 5
tingkat kepanitiaan, yaitu, Panitia Pemilihan Indonesia tingkat Nasional, Panitia Pemilihan Tingkat
Daerah. Panitia Pemilihan tingkat Kabupaten, Panitia Pemungutan Suara untuk tingkat Kecamatan, dan
Panitia Pendaftaran Pemi lih untuk tingkat Desa. Menurut Pasal 19, panitia untuk tingkat Perwakilan RI
di luar negeri dibentuk oleh Kepala Perwakilan guna mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administrasi
pemilihan.

(6) Peraturan tentang Kampanye

Dalam UU No. 7 Tahun 1953 tidak dimuat ketentuan tentang kam panye. Tetapi dalam praktiknya
kampanye-kampanye itu telah berlangsung sejak tahun 1953 atau kurang lebih selama 2 tahun.
Larangan kampanye demi keamanan, hanya dikenakan pada waktu dan daerah tertentu, yaitu tanggal
25 sampai 29 September 1955 untuk Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Sedangkan untuk seluruh Indonesia la rangan kampanye hanya dikenakan selama dua hari yaitu tanggal
28 dan 29 September

(7) Sistem Pengangkatan

Menurut UU No. 7 Tahun 1953, dimungkinkan juga adanya peng angkatan untuk anggota DPR dan
konstituante, yakni bilamana terjadi tiga hal. Pertama, jika ada kursi yang tidak terisi setelah diusahakan
pembagian sisa kursi berdasarkan suara yang diperoleh oleh daftar calon. Kedua, jika ada daerah yang
tidak dapat menyelenggarakan pemilihan pada waktu yang ditentukan (pengangkatan berlaku sampai
selesai pemilihan susulan). Ketiga, jika suara yang diperoleh golongan minoritas Cina, Eropa, dan Arab
kurang dari jatah kursi minimal menurut Pasal 58 dan 135 UUDS 1950.

(8) Delegasi Perundang-undangan

Meskipur UU No. 7 Tahun 1953 sudah sangat rinci, tetapi UU ini masih menuntut dikeluarkannya
peraturan-peraturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan Pemerintah
adalah salah satu bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan delegasi perundang-
undangan. Artinya pembuat UU memberikan delegasi kepada pemerintah untuk membuat peraturan
yang diperlukan untuk melaksana kan suatu UU.

(3) Pelaksanaan dan Hasil Pemilu

Pemilu 1955 berlangsung secara sangat fair dan dapat menghasilkan konstituante dan DPR yang lebih
dari 75% anggotanya adalah orang-orang baru Anggota lama yang dulu duduk di DPRS tanpa melalui
pemilihan sebagian terbesar (75%) tidak terpilih lagi.

Watak demokratis dan sikap fair pemerintah pada Pemilu 1955 dapat disimpulkan dari fakta bahwa
Pemilu itu berlangsung tanpa adanya campur 152 tangan dan rekayasa dari pemegang status quo."
Artinya berjalan sesuai dengan ketentuan electoral laws dan electoral processesnya.

2. Hukum Pemda

a. Demokrasi, Desentralisasi dan Negara Hukum

Masalah yang biasa menjadi fokus perhatian dalam studi tentang pemerintahan daerah (Pemda) adalah
asas otonomi dan pelaksanaan desen tralisasi daları hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.

Jadi otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis. Artinya di
negara demokrasi dituntut adanya peme rintah daerah yang memperoleh hak otonomi. Adanya
pemerintah daerah yang demikian juga menyempurnakan suatu ciri negara demokrasi, yakni kebebasan.

Adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan negara hukum, sebab di dalam prinsip ini
terkandung maksud pembatasan ke kuasaan terhadap pemerintah pusat. Adanya pembatasan itu
merupakan salah satu ciri negara hukum. Di antara ciri negara hukum klasik terdapat uga hal yang
berkaitan dengan pembatasan kekuasaan, yakni, (1) adanya UUD sebagai peraturan tertulis yang
mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya, (2) adanya pembagian kekuasaan yang dapat
menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, (3) adanya pemencaran kekuasaan. negara/pemerintah

b. Hubungan Kekuasaan antara Pusat dan Daerah

Analisis mengenai hubungan antara demokrasi, desentralisasi dan negara hukum di atas, memberikan
gambaran mengenai gezagsverhouding atau hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah Tetapi konteks yang terlihat dalam hal ini, adalah pembagian kekuasaan. Wolfhoff
mengatakan dilihat dari sudut hukum, kekuasaan adalah hak mengambil tindakan yang wajib ditaati.
Kemudian setiap tindakan kekuasaan dapat dipandang dari sudut formal dan sudut materiil. Pada
umumnya, hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah ber dasarkan atas tiga asas yaitu, asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas pembantuan.

c. Cara dan Cakupan Otonomi

Tentang bagaimana otonomi diberikan dan bagaimana batas cakupan nya, para sarjana
mengidentifikasikan ke dalam tiga ajaran yaitu, formal, materiil, dan nyata (riil).

(1) Asas Otonomi Formal

Dalam asas otonomi formal pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah
untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci di dalam undang-undang. Pembagian tugas,
wewenang dan tanggung jawab tersebut semata-mata berdasarkan atas keyakinan bahwa suatu urusan
pemerintahan akan berhasil baik, jika diurus dan diatur oleh satuan Pemerintahan tertentu, dan
sebaliknya.

(2) Asas Otonomi Materiil

Berbalikan dengan asas otonomi formal, maka asas otonomi materiil memuat secara rinci (di dalam
peraturan perundang-undangan) pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan
daerah. Semuanya ditetapkan secara pasti dan jelas sehingga daerah memiliki pedoman yang jelas. Titik
tolak pemikiran asas otonomi materiil adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.

(3) Asas Otonomi Riil

Asas otonomi riil merupakan jalan tengah antara asas otonomi formal dan materiil. Dalam asas ini,
penyerahan urusan kepada daerah otonom didasarkan pada faktor-faktor riil. Dalam asas riil, asas
materiil berperan memberikan kepastian sejak awal mengenai urusan daerah. Melalui asas materiil,
urusan pangkal diserahkan dan dikembang kan dengan asas formal yang lebih memberi kebebasan dan
kemandirian.

d. Keputusan PPKI
UU Desentralisasi di negara Republik Indonesia segera lahir menyu sul proklamasi kemerdekaan. Alasan
pembentukan UU tersebut adalah paham kedaulatan rakyat yang dianut oleh negara yang baru merdeka
ini. Sebenarnya sebelum keluar UU tersebut, tepatnya 19 Agustus 1945, PPKI telah menyetujui beberapa
perubahan rancangan peraturan peme rintahan daerah yang disusun oleh panitia kecil, diketuai oleh
Otto Iskandardinata.

e. UU No. 1 Tahun 1945

Maklumat No. X Tahun 1945 telah mengubah kedudukan KNIP, dari pembantu presiden menjadi badan
legislatif yang tugasnya sehari-hari dilakukan oleh Badan Pekerja atau BP-KNIP BP-KNIP pada tanggal 30
Oktober 1945 mengeluarkan pengumuman nomor 2 yang menyatakan bahwa BP-KNIP telah
menyampaikan RUU tentang kedudukan Komite Nasional Daerah kepada pemerintah. Usul tersebut
kemudian disetujui oleh pemerintah dan dituangkan dalam UU tanggal 23 November 1945 dalam
bentuk UU No. 1 Tahun 1945. UU No. 1 Tahun 1945 yang sangat singkat itu dalam teks awal dan aslinya
tidak diberi Penjelasan Tetapi kemudian kementerian dalam negeri mengeluarkan Penjelasan tertulis.

f. UU No. 22 Tahun 1948.

Salah satu kesimpulan dan realitas politik dari hadirnya UU No. 1 Tahun 1945 adalah adanya dualisme
kekuasaan eksekutif di daerah yang menimbulkan persoalan. Sifat dualisme itu dapat dilihat dalam tiga
dimensi. yaitu jenis, susunan, dan peraturan perundang-undangannya.

g. UU No. 1 Tahun 1957

Keadaan revolusi yang melibatkan clash dengan musuh serta adanya kesulitan-kesulitan dalam negeri
lainnya menyebabkan No. 22 Tahun 1948 tidak dapat segera dilaksanakan. Daerah yang telah mencoba
menerapkan usaha-usaha desentralisasi terbatas berdasarkan UU tersebut hanyalah di Sumatera.

Kenyataannya UU No. 22 Tahun 1948 baru dapat berlaku setelah dibentuk berbagai provinsi, kabupaten,
kota besar dan kecil di Jawa dan Sumatera, sedangkan di Indonesia Timur berlaku UU Desentralisasi
yang sengaja diciptakan oleh Belanda di negara bagian yang dibentuknya.

Meskipun semula dimaksudkan untuk mengatasi berbagai dualisme dalam UU No. 1 Tahun 1945,
setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1948, sifat dualisme dalam pemerintahan di daerah masih ada.

3. Hukum Agraria

a. Membanjirnya Tuntutan Pembaruan

Penelusuran sejarah dan analisis normatif hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah
menunjukkan bahwa hukum agraria zaman kolo nial sangat eksploitatif, dualistik, feodalistik. Dengan
asas domein verkelaring yang menyertainya, jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan
rasa keadilan dalam masyarakat. Pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka dibanjiri tuntutan
untuk mempelajari kembali secara seksama terhadap peraturan perundang undangan agraria lama dan
melakukan pembaruan dengan mengeluarkan perundang-undangan baru.

b. Dua Jalur Langkah Pembaruan

Pada periode 1945-1959 pemerintah belum berhasil membuat UU Agraria Nasional yang bulat sebagai
pengganti Agrarische Wet 1870.

Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengakhiri produk hukum agraria kolonial itu dapat
dibedakan dalam dua jalur yaitu: Pertama, pengundangan berbagai peraturan agraria yang sifatnya
parsial, artinya, menyangkut bagian-bagian tertentu dari lingkup hukum agraria, dan kedua, membentuk
panitia-panitia perancang UU Agraria yang bulat dan bersifat nasional.

c. Pengundangan yang Tertunda

Sejak RUU Soenarjo diserahkan kepada Panitia ad hoc yang dibentuk DPR, dan dilengkapi bahan-bahan
baru agar lebih sempurna, pemba hasannya di dalam sidang pleno menjadi tertunda. Ketika pada tahun
1959. Dekrit 5 Juli 1959 RUU terse but ditarik kembali oleh pemerintah pada tanggal 23 Mei 1960.
Alasan penarikan itu secara yuridis konstitusional dapat dimengerti, sebab RUU itu disusun berdasarkan
UUDS 1950 sedangkan UUD yang berlaku berdasar Dekrit 5 Juli 1959 adalah UUD 1945.

Dengan demikian, pada periode 1945-1959, pemerintah belum berbasil mengundangkan sebuah UU
Agraria Nasional yang bulat. Tetapi dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya yang terjadi adalah
"pengundangan yang tertunda" saja, sebab UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) yang kemudian benar benar
diundangkan pada periode berikutnya menganut asas-asas yang telah diajukan oleh beberapa panitia,
dan dimuat dalam RUU yang pernah diajukan dalam periode demokrasi liberal ini.

Anda mungkin juga menyukai