Anda di halaman 1dari 15

1

PERKEMBANGAN KEHIDUPAN POLITIK EKONOMI BANGSA


INDONESIA PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI MASA
DEMOKRASI LIBERAL

A. Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia


Awal tahun 1950 periode penting bangsa Indonesia. Pertentangan dan konflik
berlangsung dalam hal merumuskan bentuk negara Indonesia. Pada satu sisi, secara
resmi saat itu Indonesia merupakan negara federal, sebagaimana hasil Konferensi
Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan muncul gerakan yang
menentang keberadaan negara federal itu. Gerakan ini eksis bukan saja dari
kalangan elit. Tetapi juga dikalangan masyarakat bawah. Gerakan tersebut
menghendaki diubahnya bentuk negara federal menjadi Negara Kesatuan.
Dengan diratifikasinya hasil-hasil KMB oleh KNIP yang bersidang tanggal 6-
15 Desember 1949, terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara yang
berbentuk federal ini terdiri dari 16 negara bagian yang masing-masing mempunyai
luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Negara bagian yang terpenting,
selain Republik Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan penduduk yang
terbanyak, ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara
Pasundan, Dan Negara Indonesia Timur. Sebagian besar negara bagian yang
tergabung dalam RIS mendukung untuk terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) (poesponogoro, 2008:301).
Bagian terpenting dari keputusan KMB adalah terbentuknya Negara Republik
Indonesia Serikat. Memang hasil KMB diterima oleh pemerintah Republik
Indonesia. Namun hanya setengah hati. Hal ini terbukti dengan adanya
pertentangan dan perbedaan antar kelompok bangsa.
Dampak dari terbentuknya negara RIS adalah konstitusi yang digunakan
bukan lagi UUD 1945, melainkan konstitusi RIS tahun 1949. Dalam pemerintahan
RIS jabatan presiden dipegang oleh Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad hatta
sebagai
perdana menteri. Berdasarkan pandangan kaum nasionalis pembentukan
RIS
merupakan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan
bangsa indonesia sehingga belanda akan mudah mempertahankan kekuasaan dan
pengaruhnya di Republik Indonesia.
Reaksi rakyat atas terbentuknya RIS terjadinya demontrasi-demontrasi ynag
menghendaki pembubaran RIS dan penggabungan beberapa Negara bagian RIS.
2
Belanda membentuk federal sementara yang akan berfungsi sampai terbentuknya
negara Indonesia Serikat. Dalam hal ini, RI baru akan diizinkan masuk dalam NIS
jika permasalahan dengan Belanda sudah dapat teratasi. Selain itu, Belanda berusaha
melenyapkan RI dengan melaksanakan Agresi Militer II. Belanda berharap jika RI
dilenyapkan, Belanda dapat dengan mudah mengatur negara-negara bonekanya.
Akan tetapi, perhitungan Belanda melesat. Agresi militer belanda II, menyebabkan
Indonesia mendapatkan simpati dari negara Internasional. Akhirnya, Belanda harus
mengakui Kedaulatan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar.
Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan penandatanganan pengakuan
kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda, Indonesia berubah
menjadi Negara Serikat. Akibatnya terbentuklah Republik Negara Serikat. Meskipun
demikian, bangsa Indonesia bertekad untuk mengubah RIS menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kurang dari delapan bulan masa berlakunya, RIS
berhasil dikalahkan oleh semangat persatuan bangsa Indonesia.
Proses kembalinya ke NKRI
a. Beberapa negara bagian membubarkan diri dan bergabung dengan RI, Negara
Jawa Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, Negara Kaltim,
Kalteng, Dayak, Bangka, Belitung dan Riau.
b. Negara Padang bergabung dengan Sumatra Barat, Sabang bergabung dengan
Aceh.
c. Tanggal 5 April 1950 RIS hanya terdiri dari: Negara Sumatra Timur, Negara
Indonesia Timur, Republik Indonesia.
d. Ketiga negara ini (Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara
Sumatra Timur) kemudian bersama RIS sepakat untuk kembali ke negara
kesatuan dan bukan melabur ke dalam Republik.
e. Pada tanggal 3 April 1950 dilangsungkan konferensi antara RIS- NIS-
NST.
Kedua negara bagian tersebut menyerahkan mendatnya kepada perdana Menteri
RIS Moh. Hatta pada tanggal 12 Mei 1950.
f. Pada 19 Mei 1950 diadakan kesepakatan dan persetujuan yang masing-masing
diwakili oleh: RIS oleh Moh. Hatta, RI oleh dr. Abdul Halim.
g. Hasil kesepakatan “NKRI akan dibentuk di Jogjakarta, dan pembentukan panitia
perancang UUD.
h. Pada 15 Agustus 1950, setelah melalui berbagai proses, dilakukan pengesahan
UUS RIS yang bersifat sementara sehingga dikenal dengan UUD’S 1950. Ini
3
menunjukkan akan terjadi perubahan. UUD’s ini di sahkan oleh presiden RIS.
UUD RIS terdiri dari campuran UUD 45 dan UUD RIS.
i. Pada 17 Agustus 1950. RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke
bentuk negara kesatuan.

Indonesia mengalami perubahan bentuk Negara kesatuan menjadi Negara federal


bukan saja disebabkan oleh faktor dalam negeri, tetapi ada hubungannya dengan
kehadiran Belanda. Kuatnya keinginan Belanda sebagai Negara koloni untuk
mempertahankan pengaruh dan kekuasaanya di Indonesia membuat Negara ini
sempat mengalami perubahan bentuk Negara.
Terjadinya perubahan dari Negara federal menjadi Negara kesatuan tidak
dapat disangkal disebabkan dukungan politik dari masyarakat Indonesia terhadap ide
Negara federal sesunguhnya sangat lemah. Ide negara federal muncul dari ambisi
politik orang-orang Belanda yang sepertinya takut negerinya tidak lagi mempunyai
peran di Asia. Oleh karena itulah ketika masalah kemerdekaan Indonesia sudah tidak
dapat ditawar lagi, mereka memperkenalkan ide mengenai pembentukan negara
federal.
Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal itu tidak disenangi oleh
sebagian besar rakyat Indonesia, karena sistem federal digunakan oleh Belanda
sebagai muslimat untuk menghancurkan RI selain itu bentuk negara serikat tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan tidak sesuai dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945. Disamping itu,
konstitusi federal dianggap hanya menimbulkan perpecahan. Hal tersebut
mendorong
keinginan untuk kembali ke negara kesatuan. Pada dasarnya pembentukan negara-
negara bagian adalah keinginan Belanda, bukan kehendak rakyat karena Belanda
ingin menanamkan pengaruhnya dalam RIS. Rapat-rapat umum diselenggarakan di
berbagai daerah, juga demontrasi-demontrasi yang membentuk pembubaran RIS.
Sebagian dari pemimpin RI termasuk yang ada dalam parlemen, bertekad untuk
secepat mungkin menghapus sistem federal dan membentuk negara kesatuan.

B. Sistem Pemerintahan Parlementer


Bangsa Indonesia semenjak Proklamasi kemerdekaan menghendaki suatu negara
kesatuan, yang melindungi segenap bangsa seluruhnya. Pembentukan RIS tetapalah
dipadang sebagai hasil politik Belanda semata-mata untuk memecah belah
4
persatuan bangsa. Itulah sebabnya setelah pengakuan kedaulatan, dimana-mana
di dareah- daerah bagian timbul pergolakan-pergolakan dan pertanyaan dari rakyat
yang spontan dari rakyat untuk kembali ke negara kesatuan dengan jalan
menggabungkan diri kepada RI (Negara Bagian).
Undang-undang Dasar Sementara 1950 seperti halnya UUD sebelumnya
adalah bersifat sementara. Sifat ini ditunjukan dari mana resminya yaitu UUD
‘sementara”. Selain itu dapat dilihat pula dalam pasal 134 UUDS 1950 yang
menyebutkan:
Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama, dengan
pemerintahan selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia yang akan mengantikan Undang-undang Dasar Sementara ini

Pembentukan UUDS 1950, sama halnya dengan pembentukan UUD 1945 dan
Konstitusi RIS, merasa dirinya belum merupakan badan yang respresentatif untuk
menetapkan sebuah UUD yang tetap. Selain itu pembentukan UUDS 1950
dilakukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan perubahan bentuk dari bentuk
susunan federal menjadi bentuk susunan kesatuan. Oleh karena itu kesemuanya
dilakukan tergesa- gesa. Itulah sebabnya UUDS 1950 masih akan dibentuk badan
kontituante yang bersama-sama Pemerintah akan membuat UUD yang tetap, dan
akan menggantikan UUDS 1950. Dengan demikian perubahan UUDS 1950
dilakukan oleh bsebuah badan representatif, yang keanggotaanya dipilih oleh
pemilihan umum. Seain itu daripada itu dapat disediakan waktu yang cukup untuk
membuat sebuah UUD yang lebih sempurna.

Berdasarkan Undang-undang No. 7/1953 tentang “Undang-Undang Pemilihan


Umum” anggota konstituante yang anggotanya-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
badan Konstituante yang dimaksud belum dapat diwujudkan. Badan Konstituante itu
dilantik oleh Presiden pada tanggal 10 Nopember 1956, dalam pidato pelantikannya
yang dikenal dengan judul “ Susunlah Konstitusi yang benar-benar konstitusi Ros
Publica”
Penyusunan UUDS 1950 bermula semenjak diadakan perundingan-
perundingan antara Pemeritahan RIS atas nama NIT dan NTS, dengan Pemerintahan
RI yang ingin kembali ke Negara Kesatuan. Sebagai hasil dari perundingan yang
diadakan pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatanganilah Piagam Persetujuan antara
Pemerintahan RIS dan pemerintahan RI (ditandatangi oleh masing-masing perdana
5
menteri). Sebagai kelanjutanya dibentuklah panitia yang merancang UUDS negara
Kesatuan (diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo (pihak RIS) dan Mr Abdul Hakim (pihak
RI).
Hasil dari panitia tersebut disampaiakan kepada pemerintahan RIS dan kepada
pemerintahan RI pada tanggal 30 Mei 1950. Dengan sedikit hasil karya Panitia itu
oleh sua pemerintahan dijadikan rancangan UUDS 1950, dan diajukan kepada DPR,
Senat dan Badan Pekerja KNIP yang tanpa menggunakan hak amandemenya telah
menerima Rancangan tersebut pada akirnya menjadi UUDS 1950. Oleh kerena
menurut ketentuan pasal 190-K-RIS perubahan K-RIS hanyalah dapat diadakan
dengan UU Federal, maka perubahan Konstituasi ini telah ditetapkan dengan UU
Federal no 7 tahun 1950 (LN 56 tahun 1950). Pasal 1 UU ini memuat naskah
perubahan K-RIS yang lebuh di kenal dengan “ Undang- Undang Dasar Semetara
Republik Indonesia” (UUDS RI)
Pada tanggal 20 Juli 1950 Pemerintahan RIS dan Pemerintahan RI menyetujui
rancangan UUDS RI yang disusun untuk selanjutnya diteruskan kepada DPR oleh
Pemerintahan dan kepala Bagian Pekerja KNP oleh Pemerintah RI untuk
memperoleh pengesahan.15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menyatakan dalam
rapat gabungan DPR dan Senat mengenai penandatanganan naskah UU-Federal
yang memuat naskah UUDS RI dan terbentuknya Negara Kesatuan sebgai perubah
dalam negeri.
UU Federal yang memuat naskah UUDS 1950 adalah UU No 56 1950 dan
mulai berlaku pada tanggal 17 agustus 1950 (pasal 2 ayat 1).
Dari ketentuan yang telah didtetapkan dapat ditunjukan bahwa negara RI
bebentuk Kesatuan. Selanjutnya bentuk kesatuan ini akan berasaskan desentralisasi.
Ini menunjukan bahwa negara akan dibagi-bagi menjadi daerah besar dan kecil yang
berhak menguus rumah tangganya sendiri.
Negara kesatuan RI, sebagaimana Republik Indonesia Serikat (RIS), adalah
menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer. Ketentuanya dapat dilihat pada
pasal 45 ayat (1) yang mengariskan “Presiden ialah Kepala Negara”, begitu juga
pasal
83 UUDS 1950, menerangkan:
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2. Menteri-meteri bertangung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintahan, baik
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagianya sendiri-
sendiri.
6
Sebagai imbangan dari pertangung jawaban Menteri-menteri maka dalam hal terjadi
perbedaan pendapatan antara Pemerintahan dengan DRP. Dimana Pemerintahan saat
itu menganggap DPR tidak representatif. Pasal 84 UUDS 1950 menegaskan:
presiden berhak menbubarkan DPR, keputusan Presiden yang mengatakan
pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan
Perwakilan Rakyat baru dlam 30 hari.

Sistem pertanggungan jawab Menteri menurut UUDS 1950 adalah Kepala Negara
bukan penyelenggara kekuasaan pemerintahan, oleh karena itu dapat diganggu
gugat. Serta Pemerintahan diselenggarakan oleh Dewan Menteri (Kabinet dengan
Pedana Menteri sebagai Ketua).
Menteri-menteri baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri harus
mempertanggung jawabkan kebijaksanaan pemerintahanya kepada Badan
Perwakilan Rakyat dengan konsekuensi:
a. Kalau kebijaksanaan tidak diterima, Dewan Menteri/ menteri yang bersangkutan
harus jatuh;
b. Kalau dalam perselisihan Pemerintah merasa bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
tidak lagi mencerminkan kemauan rakyat, dapat meminta bantuan Kepala
Negara untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam waktu
sesingkat- singkatnya mengandakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kalau ternyata
masih ada perselisihan antara Pemerintahan denagan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka Pemerintahan harus mengundurkan diri.
c. Kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh Pemerintahan bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

C. Sistem Kepartaian
Keluarnya Maklumat 3 November 1945, yang ditandatangani Wakil Presiden.
Diawali dengan gagasan pemerintah melalui Presiden Soekarno, yang ingin
membentuk sebuah organisasi yang mewadai seluruh aspirasi perjuangan bangsa
Indonesia, yang bertugas membantu Presiden dan sekaligus juga melaksanakan
fungsi partai atau parlemen. Dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengajurkan
dibentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI). Perlu dicatat, PNI yang dimaksud di
sini bukan PNI yang didirikan Soekarno pada tahun 1926. Pidato Presiden
merupakan suatu gagasan untuk membentuk sebuah partai tunggal. Namun
demikian, keinginan Presiden tersebut kurang mendapat respon dari masyarakat.
7
Oleh karena, ada kekhawatiran pembentukan partai semacam ini akan mengarah
pada kekuasaan otoriter yang tidak sesuai dengan paham demokrasi. Di samping itu,
keberadaannya dianggap dapat menyaingi kinerja Komite Nasional Indonesia Pusat.
Atas desakan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNIP), dianjurkan untuk
mendirikan partai sebanyak- banyakanya untuk menyambut pemilihan umum
anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat, yang rencananya akan dilaksanakan pada
tahun 1946. Atas Desakan tersebut lahirlah Maklumat 3 November 1945.
Realitas kekuatan politik, dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3
November 1945, dapat dibaca melalui lahirnya partai-partai politik. Oleh karena,
dengan dikeluarkannya maklumat tersebut setiap kelompok berupaya mendirikan
partai politik. Berdasarkan ideologi yang menjadi dasar partai, kepartaian Indonesia
saat itu dapat dikelompokkan menjadi partai berdasarkan Ketuhanan, Kebangsaan,
dan Marxisme. Meskipun jumlah partai yang lahir pada saat itu cukup banyak,
kurang lebih sekitar 27 partai, 5 dari kelompok partai beraliran ketuhanan, 14 partai
beraliran kebangsaan, 6 partai beraliran Marxisme, dan 2 partai tidak termasuk
ketiga alirantersebut. Meski demikian, dari seluruh jumlah partai tersebut, hanya ada
tiga partai penting yang memiliki kekuatan cukup besar untuk mempengaruhi
kekuasaan
di era Parlementer (1950-1959). Ketiga partai tersebut, adalah Masyumi (agama),
PNI (Kebangsaan), dan PSI (Sosialis-Marxis). Dalam perkembangan politik
berikutnya, dua partai politik tampil dengan pengaruh yang cukup besar yaitu Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Nadlatul Ulama (NU), sebagai pecahan dari
Masyumi.

Masyumi
Masyumi didirikan pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta, melalui sebuah
kongres yang dihadiri tidak kurang dari lima ratus organisasi sosial keagamaan,
yang mewakili semua organisasi Islam yang ada. Hasil Kongres memutuskan,
mendirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia, yang secara resmi
bernama Masyumi. Pusat pimpinan partai berada di Yogyakarta, dan di kemudian
hari, tepatnya pada tahun 1950, pusat pimpinan partai pindah ke Jakarta dengan
maksud untuk memudahkan hubungan dengan Pusat Pemerintahan Negara.
Latar belakang berdirinya Masyumi, tidak lain adalah untuk mempersatu-kan
umat Islam dan sekaligus memposisikan Islam agar memiliki peran signifikan dalam
percaturan politik di Indonesia, yang sedang mengalami perkembangan dan
8
perubahan. Di samping itu, ada kecenderungan menginginkan tegaknya kedaulatan
negara dengan bersendikan Islam, sebagaimana dicantumkan dalam tujuan partai,
sebagai berikut: “…menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam, dan
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.”
Beberapa organisasi masa Islam yang memberi dukungan terhadap Masyumi
pada awalnya hanya empat organisasi, di antaranya: Muhammadiyah, Nadlatul
Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Menyusul kemudian
pada tahun 1951 Persatuan Islam (Bandung) dan Al-Irsyad (Jakarta), Al-Jamiyatul
Washliyah dan Al-Ittihadiyah di Sumatra Utara. Dalam waktu singkat keberadaan
partai, menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini disebabkan dukungan
yang diberikan dari beberapa anggota istimewa seperti Muhammadiyah yang
anggotnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-
Ittihadiyah di Sumatra Utara, Persatuan Ummat Islam Indonesia (Majalengka dan
Sukabumi), Persatuan Islam (Priyangan dan Bangil) Al-Irsyad (di berbagai tempat
di Jawa), Persatuan Umat seluruh Aceh, Mathla’ul Anwar (Banten) dan Nadlatul
Wathan (Lombok). (Deliar, 2000:59)Di samping itu, dukungan para ulama waktu
itu,
menjadikan Masyumi cepat berkembang, mereka para ulama tanpa melihat lebih
jauh apa tujuan dan cita-cita Masyumi. Hanya karena Masyumi merupakan partai
Islam, mereka mengidentikkan dirinya dengan partai tersebut. Secara resmi pada
tahun
1950, sudah memiliki 237 cabang, 1080 anak cabang dan 492 ranting, dengan
jumlah anggota tercatat tidak kurang dari sepuluh juta anggota
Dalam perkembangan politik berikutnya, terjadi konflik internal dalam tubuh
partai. NU yang pada awal berdirinya banyak memberi dukungan dan konstribusi
dalam perkembangan dan pertumbuhan partai, dan pada akhirnya harus keluar dari
Masyumi. Peran NU dalam Masyumi dapat dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU
dalam kepengurusan Masyumi, seperti terpilihnya KH Hasyim Asy”ari sebagai
pimpinan tertinggi Masyumi saat itu selain tokoh-tokoh lain yang duduk dalam
kepengurusan Masyumi. Peran NU dapat dilihat juga dalam kedudukannya sebagai
anggota istimewa dalam Masyumi, sebagaimana diketahui sebagai anggota istimewa
yang mempunyai hak untuk memberi nasehat dan saran. Peran dan konstribusi NU
terhadap Masyumi, pada akhirnya berbuah konflik. Konflik berawal dari perbedaan
pendapat terkait dengan persoalan keinginan NU yang menempatkan kadernya
untuk menjadi menteri agama dalam kabinet. Perdebatan tersebut memicu konflik
9
berkepanjangan antara NU dengan pengurus partai Masyumi. Konflik tersebut pada
akhirnya mengantarkan NU keluar dari Masyumi, melalui surat keputusan Pengurus
Besar NU pada tanggal 5 April 1952, secara resmi NU keluar dari Masyumi, dan
selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai politik.

Partai Nasionalis Indonesia (PNI)


Perlu dicatat, PNI baru ini bukan kelanjutan PNI yang didirikan Soekarno pada
tahun
1926, PNI ini terbentuk melalui penggabungan (fusi) dari beberapa partai yang
memiliki azas dan tujuan sama. Pada awalnya bernama Serikat Rakyat Indonesia
atau Serindo, yang dipimpin oleh Mangoensarkoro dan sekretarisnya Osa Maliki.
Melalui beberapa perundingan dengan partai-partai politik yang memiliki tujuan dan
azas sama, seperti, PNI Pati dan Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta,
PNI Palembang dan Sulawesi, Partai Republik Indonesia (PRI), dan beberapa partai
kecil lainnya, maka pada Konggres Serindo 28 Januari sampai 1 Pebruari 1946,
partai- partai tersebut difusikan.
Fusi tersebut menyepakati berdirinya partai politik baru yang diberi nama
Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tanggal 29 Januari 1946 di Kediri, yang
diketuai oleh Mangoensarkoro. Pemimpin PNI pada umumnya berlatar belakang
priyayi, basis dukungan di kota adalah pegawai pemerintahan (birokrasi). Itulah
sebabnya ketika PNI menguasai kabinet, birokrasi sempat membengkak, PNI
berhasil memasukkan anggota-anggota partai ke dalam berbagai jabatan
pemerintahan.
Perkembangan PNI mengalami kefakuman pada masa perang fisik atau agresi
Belanda. Setelah Agresi Belanda berakhir dan Indonesia memasuki perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB), PNI melakukan konsolidasi dengan menghidupkan
cabang-cabang PNI di daerah. Konsolidasi partai mendapat perhatian dan sambutan
di daerah khususnya di luar pulau Jawa. Di Kalimantan Selatan, Serikat Nasional
Indonesia dan beberapa cabangnya meleburkan diri ke dalam PNI. Di Sulawesi
Tengah berdiri cabang di bawah pimpinan Daeng Pawindu. Di Sumatera berdiri
cabang di Mentok. Kemudian berangsur-angsur di Sumatera Utara, Tapanuli,
Medan, Pekanbaru, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jambi, Palembang, dan Lampung.
Disusul kemudian Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Tidak ketinggalan
dengan Indonesia Timur, Bali, Lombok dan Sumbawa. Perkembangan PNI di luar
Jawa, nampak lebih pesat dibandingkan dengan Jawa itu sendiri. Hal ini
dimungkinkan di daerah-daerah B.F.O. keadaan-nya lebih stabil dibandingkan
10
dengan republik yang belum stabil. Baru pada tahun 1950 cabang-cabang di Jawa
mulai dihidupkan. Diperkirakan pada tahun 1950, partai sudah memiliki cabang
228, dan jumlah anggota kurang lebih sekitar 1.466.783 cabang.

Partai Sosialis Indonesia


Partai Sosialis Indonesia merupakan pecahan (sempalan) dari partai Sosialis.
Diawali dengan adanya perbedaan paham di kalangan Dewan Partai Sosialis,
tentang sikap, pendirian, visi, dan corak melanjutkan perjuangan untuk
menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi nasional. Menurut Sutan Syahrir, sikap
pendirian dan langkah-langkah Partai Sosialis selama ini terkait dengan politik
dalam negeri dan luar negeri menyalahi kebijakan Partai Sosialis. Perbedaan paham
yang dianggap prinsip diantaranya, (1) pembubaran Kabinet Syahrir dan kelanjutan
sikap partai, (2) ketidaktegasan sikap pimpinan organisatoris partai di waktu perang,
(3) tentang siaran
“Penjelasan Keadaan Politik” dari sayap kiri yang ditandatangani anggota-anggota
Dewan Partai berakibat memecah persatuan dan kekuatan nasional, (4) sikap
pendirian partai terhadap Presidentil Kabinet Hatta. Melalui Konferensi Dewan
Partai Sosialis pada tanggl 26 Januari 1946, organisasi tersebut kemudian
diperbaharui pada Konferensi Dewan Partai pada tanggal 31 Juli 1946, dan disahkan
dalam Kongres Partai di Yogyakarta pada tanggal 6 September 1946. Kelompok
Syahrir, mencabut keanggotaannya dan menyatakan keluar dari Partai Sosialis.
Kemudian langkah berikutnya menyusun atau mendirikan partai baru yang diberi
nama Partai Sosialis Indonesia, yang secara resmi disahkan pada tanggal 9
September 1946.
Pemimpin Partai Sosialis Indonesia, pada umumnya adalah para cendekiawan
yang berpendidikan Barat. Sesudah tahun 1950, para anggota Partai Sosialis
Indonesia dapat ditemui di tengah-tengah elit birokrasi nasional dan di kalangan
perwira angkatan bersenjata. Syahrir, pemimpin partai ini, menegaskan perlunya
membangun basis demokrasi yang kuat di masyarakat, dan menggambarkan filsafat
nasionalismenya dan anti imperialisme Sukarno yang kooperatif yang dibangun di
atas “kesetiakawanan hierarkis feodalisitis” (Reindhart, 1989)
Tokoh-tokoh Partai Sosialis yang pernah duduk dalam kabinet adalah: Mr.
Tandiono Manoe sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Soegondo
Djoyopoespito sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat, dan Dr. Hamdani
sebagai Menteri Sosial. Di era perubahan praktek penyelenggaraan pemerintahan
11
dari Presidential ke Parlementer, Sutan Syahrir sebagai ketua Partai Sosialis
Indonesia memegang kursi pemerintahan dengan berkedudukan sebagai Perdana
Menteri. Di era Demokrasi Terpimpin, nasib Partai Sosialis Indonesia sama dengan
Masyumi, harus membubarkan diri dengan keluarnya Keppres 200/1960 tanggal
15 Agustus
1960.

Nadlatul Ulama (NU)


Pada awalnya sebagai ormas Islam yang bergerak di bidang sosial-keagamaan dan
pendidikan (Jam’iyyah), didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 oleh KH
Hasyim Asy’ari, dengan nama Nadlatul Ulama (NU) yang diartikan sebagai
Kebangkitan Ulama. NU didirikan dengan tujuan membendung usaha-usaha
pembaharuan dalam Islam, dengan mempertahankan ajaran tradisional, selain
sebagai
forum komunikasi antara berbagai pusat pendidikan tradisional di Jawa. Kelahiran
NU merupakan reaksi atas gerakan modernisasi Islam di Indonesia yang dipelopori
oleh kelompok Muhammadiyah. Berbeda dengan Muhammadiyah yang cenderung
lebih konsisten, tidak pernah mengubah bentuknya sebagai organisasi keagamaan.
Sebaliknya, NU beberapa kali mengubah bentuknya, dari organisasi keagamaan
berubah menjadi partai politik, dan pada masa Orde Baru kembali ke khittah
sebagai organisasi keagamaan. Perubahan sikap seperti ini, melahirkan tuduhan
miring terhadap NU, sebagai organisasi yang tidak konsisten, dan mudah terseret
dalam pasang-surutnya politik.
Kiprahnya di bidang politik pasca-kemerdekaan, sangat terkait dengan
Masyumi. Seperti diketahui, NU memberi kontribusi besar atas keberadaan
Masyumi, dengan kedudukannya sebagai anggota istimewa. Perbedaaan pandangan
dan perselisihannya dengan pimpinan Masyumi, mengubah wajah NU dari Ormas
Islam menjadi Partai Islam. Perbedaan pandangan yang memicu NU keluar dari
Masyumi, adalah adanya perubahan dalam perumusan Majelis Syuro dalam
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. Dalam hal ini Majelis Syuro yang
merupakan tempat penting bagi ulama dan pimpinan-pimpinan Islam, sudah tidak
lagi dijadikan sebagai badan legislatif selain DPP, melainkan hanya sebagai Badan
Penasehat saja. Perubahan tersebut dalam pandangan NU, Masyumi sudah berubah
sifat, dari organisasi yang memberi tampat pada ulama berubah tidak lagi menjadi
menghormati ulama. Perubahan tersebut menjadi alasan kuat bagi NU untuk keluar
12
dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik. Penarikan diri NU dari
Masyumi selanjutnya dikukuhkan dalam Kongres NU pada bulan oktober 1952 di
Palembang.
Apabila ditelusuri lebih jauh, keluarnya NU dari Masyumi juga dipicu pula
soal komposisi kabinet. NU melalui KH Abdul Wahab Abdullah meminta pada
Masyumi agar kedudukan menteri agama dalam kabinet Wilopo diberikan pada NU.
Apa yang menjadi keinginan NU, benar-benar menjadi sumber keretakan antara
Masyumi dengan NU, bahkan dalam tuntutan berikutnya apa yang disampaikan KH.
Wahab benar-benar bernada ultimatum. NU meminta pada Masyumi jawaban
selambat- lambatnya tanggal 22 Maret, dan apabila tidak, NU akan berjuang sendiri
tanpa melalui Masyumi. Apa yang disampaikan KH. Wahab mendapat dukungan
dari kalangan NU. Menurutnya, apabila rais’am telah berkata, memang tidak ada
pilihan,
bagi segenap warga NU, mendukung apa yang dikatakan rais’am. Apa pun
alasannya, realitas politik menunjukkan NU sebagai organisasi keagamaan yang
besar di Indonesia, berubah wajah menjadi partai politik. Dengan berubah menjadi
partai politik, NU memiliki kedudukan yang sama dengan Masyumi, dan sekaligus
sebagai kompetitor.
Sebagaimana dengan Masyumi, NU juga salah satu partai politik Islam yang
sangat berseberangan dengan garis politik PKI, meskipun dalam menyikapi
kebijakan politik Soekarno, NU jauh lebih akomodatif dibanding dengan Masyumi
yang cenderung konfrontatif. Ditengarai bahwa NU lebih memilih jalan luwes dalam
menghadapi Soekarno, dengan harapan kepentingan-kepentingan NU terlindungi.
Begitu juga sebaliknya bagi Soekarno, untuk mendapat dukungan dari NU, cukup
merangkul kyai-kyai sepuh NU. Sebaliknya, dalam menghadapi garis politik PKI,
NU mengambil sikap tegas tanpa kompromi. Beberapa langkah yang diambil NU
dalam menandingi gerak politik PKI. Ketika PKI melakukan gerakan ofensif
terhadap pemuda-pemuda muslim, reaksi muncul dari NU, dengan membentuk
“Banser Anshor” yang siap untuk melakukan kekerasan fisik. Begitu juga pada saat
PKI menghimpun seniman-seniman yang berpaham komunis dalam wadah
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), NU membentuk organisasi tandingan yang
diberi nama Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi). Dalam hubungan ini, Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), ditandingi NU dengan mendirikan
Serikat Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI) (Yusuf, 1993).

Partai Komunis Indonesia (PKI)


Sejarah PKI tidak bisa dilepaskan dari Indische Social Democratissche Vereeniging
(ISDV) atau (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda), yang didirikan pada
tahun
1914 oleh Henk Sneevliet. Ia adalah seorang pemimpin sayap kiri Serikat Buruh
Kereta Api dan yang sebelumnya merupakan tokoh sayap kiri gerakan sosialis, yang
terpaksa hijrah ke Indonesia pada tahun 1913.
ISDV sendiri pada mulanya lahir dari keberadaan Sarekat Islam yang
melarang anggotanya berideologi ganda dalam perjuangan pergerakan Indonesia.
Situasi tersebut membuat para anggota yang beraliran komunis kecewa dan keluar
dari Sarekat Islam, kemudian mendirikan partai sendiri yang diberi nama
ISDV.
Selanjutnya pada Kongres ISDV pada bulan Mei tahun 1920, nama ISDV diubah
menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH), dengan Samuan sebagai ketuanya.
Perlu dicatat di sini PKH merupakan partai pertama di Asia, yang menjadi bagian
dari Komunis International. Kemudian pada tahun 1924 nama PKH diubah menjadi
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dua tahun kemudian 1926 PKI memimpin pemberontakan di Jawa Barat dan
Sumatera terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Pemberontakan tersebut dapat
dihancurkan, kader-kader PKI ditahan dan dibuang ke Boven Digul, sebuah kamp
tahanan di Papua. Setelah Kemerdekaan, PKI tampil kembali dalam kancah politik
dan ikut secara aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Pada bulan September
1948, kembali PKI melakukan pemberontakan. Kemudian pem-berontakan dapat
ditumpas, tetapi PKI tidak dinyatakan sebagai partai terlarang.
Pasca-peristiwa Madiun, PKI melakukan konsolidasi dan tampil kembali
dalam panggung politik, berkat tokoh muda nasionalis D.N. Aidit dan kawan-kawan
(Lukman, Nyoto dan Sudisman), yang berhasil mengambil alih pimpinan partai pada
tahun 1951. Mereka berhasil mengubah dari partai “yang kualitas organisasi lemah,
terpecah-pecah, dan tak berdaya, menjadi satu gerakan yang dinamis dan dengan
cepat menjadi sangat kuat (Mortimer, 1974). Selanjutnya, pimpinan PKI lebih
melakukan gerakan politiknya dari atas, ketimbang membangun partai kader dari
bawah, dengan perlahan-lahan dan pasti. Di bawah kepemimpinan D.N Aidit, PKI
mendukung kebijakan-kebijakan anti-kolonialis dan anti- Barat yang diambil
Soekarno. Bahkan dalam waktu yang singkat, di bawah pimpinan Aidit, PKI
berkembang begitu pesat, dari sekitar 3000-5000 anggota pada tahun 1950, menjadi
165.000 pada tahun 1954, dan menjadi 1,5 juta pada tahun 1959.
Dalam anggaran dasarnya, PKI merumuskan azas dan tujuan partainya. Partai
berazaskan Marxisme-Leninisme PKI, bertujuan membentuk masyarakat sosialis di
Indonesia, yaitu suatu masyarakat Indonesia dengan susunan bahwa semua alat-alat
produksi dimiliki oleh dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal
keanggotaan, setiap warga negara Indonesia, laki-laki atau perempuan, dengan tidak
memandang golongan atau agama, yang sudah berumur 18 tahun, dan tiap-tiap
perhimpunan dari warganegara Indonesia, dengan syarat menyetujui dan setia
kepada azas dan program-program partai, mengakui PKI sebagai satu-satunya
partai yang
dapat menyusun serta memimpin kelas yang tertindas dan terhisap menuju
kemerdekaan, dan memenuhi kewajiban serta menjalankan keputusan-keputusan
partai, dapat diterima masing-masing menjadi anggota dan anggota luar biasa partai.
Disebutkan lebih jauh, bahwa PKI berusaha mencapai tujuannya dengan jalan
perjuangan kelas yang revolusioner, yaitu perjuangan kelas buruh, tani, dan golongan-
golongan yang terhisap serta tertindas terhadap kelas borjuis. Dari rumusan dan tujuan
PKI seperti tersebut tampak sekali bahwa PKI dalam pola perjuangannya selalu
menggunakan cara-cara revolusioner, sehingga dalam catatan sejarah menunjukkan
pola-pola perjuangan PKI selalu diikuti dengan revolusi atau pemberontakan yang tidak
sesuai dengan konstitusi.

Sumber: Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan, Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Hamdan Tri Atmaja

Anda mungkin juga menyukai