Pembentukan UUDS 1950, sama halnya dengan pembentukan UUD 1945 dan
Konstitusi RIS, merasa dirinya belum merupakan badan yang respresentatif untuk
menetapkan sebuah UUD yang tetap. Selain itu pembentukan UUDS 1950
dilakukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan perubahan bentuk dari bentuk
susunan federal menjadi bentuk susunan kesatuan. Oleh karena itu kesemuanya
dilakukan tergesa- gesa. Itulah sebabnya UUDS 1950 masih akan dibentuk badan
kontituante yang bersama-sama Pemerintah akan membuat UUD yang tetap, dan
akan menggantikan UUDS 1950. Dengan demikian perubahan UUDS 1950
dilakukan oleh bsebuah badan representatif, yang keanggotaanya dipilih oleh
pemilihan umum. Seain itu daripada itu dapat disediakan waktu yang cukup untuk
membuat sebuah UUD yang lebih sempurna.
Sistem pertanggungan jawab Menteri menurut UUDS 1950 adalah Kepala Negara
bukan penyelenggara kekuasaan pemerintahan, oleh karena itu dapat diganggu
gugat. Serta Pemerintahan diselenggarakan oleh Dewan Menteri (Kabinet dengan
Pedana Menteri sebagai Ketua).
Menteri-menteri baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri harus
mempertanggung jawabkan kebijaksanaan pemerintahanya kepada Badan
Perwakilan Rakyat dengan konsekuensi:
a. Kalau kebijaksanaan tidak diterima, Dewan Menteri/ menteri yang bersangkutan
harus jatuh;
b. Kalau dalam perselisihan Pemerintah merasa bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
tidak lagi mencerminkan kemauan rakyat, dapat meminta bantuan Kepala
Negara untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam waktu
sesingkat- singkatnya mengandakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kalau ternyata
masih ada perselisihan antara Pemerintahan denagan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka Pemerintahan harus mengundurkan diri.
c. Kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh Pemerintahan bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
C. Sistem Kepartaian
Keluarnya Maklumat 3 November 1945, yang ditandatangani Wakil Presiden.
Diawali dengan gagasan pemerintah melalui Presiden Soekarno, yang ingin
membentuk sebuah organisasi yang mewadai seluruh aspirasi perjuangan bangsa
Indonesia, yang bertugas membantu Presiden dan sekaligus juga melaksanakan
fungsi partai atau parlemen. Dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengajurkan
dibentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI). Perlu dicatat, PNI yang dimaksud di
sini bukan PNI yang didirikan Soekarno pada tahun 1926. Pidato Presiden
merupakan suatu gagasan untuk membentuk sebuah partai tunggal. Namun
demikian, keinginan Presiden tersebut kurang mendapat respon dari masyarakat.
7
Oleh karena, ada kekhawatiran pembentukan partai semacam ini akan mengarah
pada kekuasaan otoriter yang tidak sesuai dengan paham demokrasi. Di samping itu,
keberadaannya dianggap dapat menyaingi kinerja Komite Nasional Indonesia Pusat.
Atas desakan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNIP), dianjurkan untuk
mendirikan partai sebanyak- banyakanya untuk menyambut pemilihan umum
anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat, yang rencananya akan dilaksanakan pada
tahun 1946. Atas Desakan tersebut lahirlah Maklumat 3 November 1945.
Realitas kekuatan politik, dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3
November 1945, dapat dibaca melalui lahirnya partai-partai politik. Oleh karena,
dengan dikeluarkannya maklumat tersebut setiap kelompok berupaya mendirikan
partai politik. Berdasarkan ideologi yang menjadi dasar partai, kepartaian Indonesia
saat itu dapat dikelompokkan menjadi partai berdasarkan Ketuhanan, Kebangsaan,
dan Marxisme. Meskipun jumlah partai yang lahir pada saat itu cukup banyak,
kurang lebih sekitar 27 partai, 5 dari kelompok partai beraliran ketuhanan, 14 partai
beraliran kebangsaan, 6 partai beraliran Marxisme, dan 2 partai tidak termasuk
ketiga alirantersebut. Meski demikian, dari seluruh jumlah partai tersebut, hanya ada
tiga partai penting yang memiliki kekuatan cukup besar untuk mempengaruhi
kekuasaan
di era Parlementer (1950-1959). Ketiga partai tersebut, adalah Masyumi (agama),
PNI (Kebangsaan), dan PSI (Sosialis-Marxis). Dalam perkembangan politik
berikutnya, dua partai politik tampil dengan pengaruh yang cukup besar yaitu Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Nadlatul Ulama (NU), sebagai pecahan dari
Masyumi.
Masyumi
Masyumi didirikan pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta, melalui sebuah
kongres yang dihadiri tidak kurang dari lima ratus organisasi sosial keagamaan,
yang mewakili semua organisasi Islam yang ada. Hasil Kongres memutuskan,
mendirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia, yang secara resmi
bernama Masyumi. Pusat pimpinan partai berada di Yogyakarta, dan di kemudian
hari, tepatnya pada tahun 1950, pusat pimpinan partai pindah ke Jakarta dengan
maksud untuk memudahkan hubungan dengan Pusat Pemerintahan Negara.
Latar belakang berdirinya Masyumi, tidak lain adalah untuk mempersatu-kan
umat Islam dan sekaligus memposisikan Islam agar memiliki peran signifikan dalam
percaturan politik di Indonesia, yang sedang mengalami perkembangan dan
8
perubahan. Di samping itu, ada kecenderungan menginginkan tegaknya kedaulatan
negara dengan bersendikan Islam, sebagaimana dicantumkan dalam tujuan partai,
sebagai berikut: “…menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam, dan
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.”
Beberapa organisasi masa Islam yang memberi dukungan terhadap Masyumi
pada awalnya hanya empat organisasi, di antaranya: Muhammadiyah, Nadlatul
Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Menyusul kemudian
pada tahun 1951 Persatuan Islam (Bandung) dan Al-Irsyad (Jakarta), Al-Jamiyatul
Washliyah dan Al-Ittihadiyah di Sumatra Utara. Dalam waktu singkat keberadaan
partai, menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal ini disebabkan dukungan
yang diberikan dari beberapa anggota istimewa seperti Muhammadiyah yang
anggotnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, Al-Jamiyatul Washliyah dan Al-
Ittihadiyah di Sumatra Utara, Persatuan Ummat Islam Indonesia (Majalengka dan
Sukabumi), Persatuan Islam (Priyangan dan Bangil) Al-Irsyad (di berbagai tempat
di Jawa), Persatuan Umat seluruh Aceh, Mathla’ul Anwar (Banten) dan Nadlatul
Wathan (Lombok). (Deliar, 2000:59)Di samping itu, dukungan para ulama waktu
itu,
menjadikan Masyumi cepat berkembang, mereka para ulama tanpa melihat lebih
jauh apa tujuan dan cita-cita Masyumi. Hanya karena Masyumi merupakan partai
Islam, mereka mengidentikkan dirinya dengan partai tersebut. Secara resmi pada
tahun
1950, sudah memiliki 237 cabang, 1080 anak cabang dan 492 ranting, dengan
jumlah anggota tercatat tidak kurang dari sepuluh juta anggota
Dalam perkembangan politik berikutnya, terjadi konflik internal dalam tubuh
partai. NU yang pada awal berdirinya banyak memberi dukungan dan konstribusi
dalam perkembangan dan pertumbuhan partai, dan pada akhirnya harus keluar dari
Masyumi. Peran NU dalam Masyumi dapat dilihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU
dalam kepengurusan Masyumi, seperti terpilihnya KH Hasyim Asy”ari sebagai
pimpinan tertinggi Masyumi saat itu selain tokoh-tokoh lain yang duduk dalam
kepengurusan Masyumi. Peran NU dapat dilihat juga dalam kedudukannya sebagai
anggota istimewa dalam Masyumi, sebagaimana diketahui sebagai anggota istimewa
yang mempunyai hak untuk memberi nasehat dan saran. Peran dan konstribusi NU
terhadap Masyumi, pada akhirnya berbuah konflik. Konflik berawal dari perbedaan
pendapat terkait dengan persoalan keinginan NU yang menempatkan kadernya
untuk menjadi menteri agama dalam kabinet. Perdebatan tersebut memicu konflik
9
berkepanjangan antara NU dengan pengurus partai Masyumi. Konflik tersebut pada
akhirnya mengantarkan NU keluar dari Masyumi, melalui surat keputusan Pengurus
Besar NU pada tanggal 5 April 1952, secara resmi NU keluar dari Masyumi, dan
selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai politik.
Sumber: Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan, Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Hamdan Tri Atmaja