Pengakuan Kedaulatan
Kondisi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Seluruh bangsa di dunia berhak untuk memperoleh kemerdekaannya. Untuk mempertahankan
hak kemerdekaan itu, bangsa-bangsa di dunia rela mengorbankan harta, benda, bahkan
nyawa. Hal ini pula yang terjadi di bumi Indonesia. Setelah meraih kemerdekaannya, bangsa
Indonesia bertekad menjaga kemerdekaan yang telah berhasil diraih itu. Bentuk negara
serikat yang disepakati berdasarkan Konferensi Meja Bundar, ternyata bukanlah cita-cita
bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia pun mulai berbenah diri untuk dapat kembali
dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Belanda berusaha melenyapkan RI dengan melaksanakan Agresi Militer II. Belanda berharap
jika RI dilenyapkan, Belanda dapat dengan mudah mengatur negara-negara bonekanya.
Agresi militer Belanda II, menyebabkan Indonesia mendapatkan simpati dari dunia
internasional. Akhirnya, Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia berdasarkan
hasil Konferensi Meja Bundar.
Sejak tahun 1950 bangsa Indonesia mulai meninggalkan sistem perekonomian kolonial dan
menggantinya dengan sistem ekonomi nasional. Pelopor perokonomian nasional adalah Drs.
Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ekonomi bangsa Indonesia harus dibangun oleh
bangsa Indonesia sendiri dengan asas gotong royong. Pemikiran untuk menyusun
perekonomian nasional dilanjutkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Beliau menyatakan
bahwa dalam alam kemerdekaan perlu diadakan kelas pengusaha melalui Gerakan
Benteng. Gerakan Benteng merupakan kebijakan untuk melindungi pengusaha-pengusaha
pribumi karena desakan pengusaha kuat bermodal besar yang berasal dari golongan
nonpribumi. Para pengusaha pribumi mendapat lisensi (semacam hak istimewa) dalam dunia
bisnis.
3. Pemilu 1955
Anggota DPRS yang dipilih dari hasil kompromi antara golongan unitaris dengan federalis
perlu segera diganti melalui pemilu. Selain itu, UUDS juga perlu untuk diganti karena
bersifat sementara. Pemilu dilaksanakan guna memilih anggota konstituante yang bertugas
menyusun UUD baru. Pemilu untuk memilih anggota DPR ditetapkan pada tanggal 29
September 1955. Pemilu untuk memilih anggota konstituante ditetapkan untuk dilaksanakan
pada tanggal 15 Desember 1955.
Pemilu 1955 diikuti oleh 28 partai dan beberapa calon perorangan dengan jumlah pemilih 39
juta orang. Pemilu untuk memilih anggota DPR hasilnya hampir sama dengan pemilu untuk
memilih anggota konstituante. Tampil sebagai empat besar pengumpul suara terbanyak
adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Anggota DPR dilantik di Jakarta,
sedangkan Konstituante dilantik di Bandung. Selanjutnya, Kabinet Burhanuddin Harahap
(Masyumi) sebagai penyelenggara pemilu menyerahkan mandatnya kepada presiden. Kabinet
baru di bawah pimpinan Ali Sastroamidjojo (PNI) pun segera melaksanakan tugasnya.
Dalam bidang keamanan, terjadi pergolakan yang ditimbulkan oleh pemberontakan DI/TII di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan serta pemberontakan
PRRI dan Permesta. Pemberontakan-pemberontakan dipicu oleh ketidakpuasan
daerah kepada pemerintah pusat. Situasi dalam negeri yang semakin tidak menentu
mendorong Presiden Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi hal-hal berikut ini.
1. Sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia
karena itu harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.
2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong
yang anggotanya terdiri atas semua partai atau organisasi berdasarkan perimbangan
kekuatan dalam masyarakat.
3. Pembentukan Dewan Nasional terdiri atas golongan-golongan fungsional yang
bertugas sebagai penasihat kabinet.
Dalam suasana pro dan kontra ini, pada tanggal 25 April 1959 Presiden Soekarno
menyampaikan amanat di depan anggota konstituante, yang berisi anjuran untuk kembali
pada UUD 1945. Amanat ini menjadi perdebatan di konstituante sehingga diputuskan untuk
diadakan pemungutan suara. Ternyata, hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa
kurang dari 2/3 anggota konstituante menyetujui untuk kembali pada UUD 1945. Kegagalan
konstituante untuk menyusun dan menetapkan sebuah UUD serta perdebatan- perdebatan di
dalamnya, menyebabkan situasi politik semakin tidak menentu. Kondisi ini mendorong
Presiden Soekarno mengambil langkah yang sebenarnya bertentangan dengan undang-undang
(inkonstitusional).
Pada tanggal 5 Juli 1959 dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang selanjutnya dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Inti dari Dekrit Presiden ini sebagai berikut.
1. Pembubaran konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
3. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan dekrit ini, berarti Kabinet Parlementer di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda
dinyatakan demisioner. Kabinet digantikan oleh Kabinet Presidensial yang langsung dipimpin
oleh Presiden Soekarno. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi tonggak bagi pelaksanaan
demokrasi terpimpin di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno
mempunyai kekuasaan yang besar. Bahkan, pada tanggal 5 Maret 1960 Presiden Soekarno
memiliki kemampuan untuk membubarkan DPR hasil pemilu 1955. Selain itu, melalui
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk MPRS yang anggota-
anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
DI SUSUN
OLEH
NAMA :
KELAS :
NO. URUT :