Anda di halaman 1dari 29

PETA KONSEP

SEJARAH WALI
SANGA

Kiprah Wali Sanga


Strategi Dakwah
dalam
Wali Sanga
Penyebaran Islam
A. AMATI GAMBAR BERIKUT DAN
BERIKAN PENDAPAT KALIAN

Setelah Kalian mengamati gambar di atas


buatlah daftar pendapat atau pertanyaan yang
relevan
.…………………………………………… .1
.……………………………………………
..……………………………………………
Masjid Menara Kudus
.…………………………………………… .2
Dengan arsitektur dari perpaduan budaya
.……………………………………………
Hindu dan Islam
Sumber : www.id.wikipedia.org .……………………………………………
…………………………………………… .3
..……………………………………………
..……………………………………………

Karakter wayang dalam syiar Islam


Sumber: www.republika.or.id yang mengambil
dari link www.seasite.niu.edu

Masjid
Agung Demak
http://www.beautifulmosque.com/
B. PENDALAMAN MATERI
1. Sejarah Wali Sanga
Secara umum Wali Sanga atau Wali Sanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau
Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa
Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Wali Sanga adalah kelompok syiar dakwah Islam
(Mubaligh) yang kerap juga disebut dengan Walilullah atau ‘wakil Allah’. Menurut
Saksono (1996: 17-19), awalnya kata”wali” berasal dari bahasa Arab, wala atau waliya
yang berarti qaraba, dekat, yang dapat dipadankan dengan kerabat, pelindung, teman dan
lainnya.

Sementara mengenai kata sanga, Moh.Adnan berpendapat jika sebenarnya kata itu telah
mengalami penyimpangan pelafalan. Menurutnya, Sanga berasal dari kata sana, atau dalam
bahasa Arab, tsana yang berarti mulia (sepadan dengan mahmud-terpuji). Pendapat lain datang
dari R. Tanojo, menurutnya kata itu dapat diartikan sebagai sana, yang dalam Jawa Kuno berarti
menunjuk nama tempat atau daerah. Namun, secara umum tetap berpendapat bahwasanya Sanga
berarti sembilan. Para wali ini juga memiliki gelar “sunan”. Sunan berasal dari kata Susuhunan
yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan
Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau orang yang berilmu tinggi.
 Teori Hadramaut. Bahwa para wali Sanga adalah berasal dari Hadramaut, Yaman.
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut WaliSanga adalah keturunan
Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-
tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada
merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif
atau keturunan Nabi.

Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al-Baqir, dalam bukunya Thariqah
Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa WaliSanga adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886,
dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886) mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-
orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja
Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan
dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).” Selain itu, van den Berg juga
menulis dalam buku yang sama (hal 192-204): ”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat
penduduk bangsa Arab atau
keturunannya, yaitu sesudah
masa kerajaan Majapahit yang
“Maulana Malik Ibrahim adalah yang
kuat itu. Orang-orang Arab
tertua. Sunan Ampel adalah anak
bercampul-gaul dengan
Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
penduduk, dan sebagian mereka
adalah keponakan Maulana Malik
mempuyai jabatan-jabatan
Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan
tinggi. Mereka terikat dengan
Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad
pergaulan dan kekeluargaan
adalah anak Sunan Ampel. Sunan
tingkat atasan. Rupanya
Kalijaga merupakan sahabat sekaligus
pembesar-pembesar Hindu di
murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
kepulauan Hindia telah
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid
terpengaruh oleh sifat-sifat
Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati
keahlian Arab, oleh karena
adalah sahabat para Sunan lain, kecuali
sebagian besar mereka
Maulana Malik Ibrahim yang lebih
berketurunan pendiri Islam
dahulu meninggal”
(Nabi Muhammad SAW).
Orang-orang Arab Hadramawt
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian).
(Hadramaut) membawa kepada
orang-orang Hindu pikiran baru
yang diteruskan oleh peranakan-
peranakan Arab, mengikuti jejak
nenek moyangnya."

Pernyataan van den Berg


spesifik menyebut abad ke-15,
yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar WaliSanga di
pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat
kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al
Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga
Hadramaut lainnya. Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar),
Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia
Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab
Hanafi.

Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan


Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat
Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut,
Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab
fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary
dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum
Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena
Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i
dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait (keturunan Nabi).

Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan WaliSanga seperti Raden Patah
dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat
pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin
Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar
Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang
berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-
cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali
Akbar, Nur Alam Akbar dan banyak lainnya.

 Teori keturunan Cina (Hui)

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan


Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Wali Sanga adalah keturunan Tionghoa
Muslim. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat
bahwa WaliSanga adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat
melarang terbitnya buku tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Wali Sanga berasal dari atau
keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi
yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet
Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian
merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman
hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den
Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia
yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman
dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul
Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell
Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu
ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat
ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.

Konsep “wali Sanga” merupakan pengambilalihan dari konsep kosmologi Nawa Dewata
atau sembilan dewa, yakni dewa-dewa penjaga delapan mata angin ditambah satu dewa di
titik pusatnya. Kedudukan dewa-dewa itu kemudian digantikan oleh manusia-manusia
yang dicintai Tuhan, atau para wali yang berjumlah sembilan (Sanga). 

Jadi konsep Wali Sanga merupakan pengambilalihan dari konsep Nawa Dewa Dewata
yang bersifat hinduistik menjadi konsep sembilan wali yang bersifat sufistik. Di kalangan
penganut ajaran sufi ada sembilan tingkat kewalian dari mulai wali quthub sampai wali
khatam, seperti disebut oleh Ibnu Araby dalam Futuhat Makiyyah.

Era Wali Sanga adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam
di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta
dakwah secara langsung, membuat para WaliSanga ini lebih banyak disebut
dibandingkan dengan tokoh yang lain.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah sebuah majelis dakwah
yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun
1404 Masehi (808 Hijriah). Para WaliSanga adalah pembaharu masyarakat pada
masanya. Pengaruh mereka dirasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban
baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

a. Dewan Wali

Kitab Kanzul ‘Ulum karya Ibnul Bathuthah (yang kini tersimpan di Perpustakaan
Istana Kasultanan Ottoman, Istambul, Turki) mengatakan bahwa berdasarkan laporan
Saudagar Gujarat mengenai perkembangan Islam di Jawa, potensi alam maupun berkuasanya
dua kerajaan Hindu-Budha yang ada di sana (Majapahit dan Pajajaran), Sultan Turki Muhammad
I segera menyusun rencana untuk mengirimkan sebuah team yang dapat melakukan syiar
Islam di Pulau itu. Sebagai persiapan, Sultan Turki menghubungi Amir di Afrika Utara dan
Timur Tengah untuk mempersiapakan anggota kelompok tersebut.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, diantaranya kelengkapan ahli di masing- masing


bidang yang bakal bermanfaat di Jawa, maka diberangkatkanlah team tersebut ke Jawa
(untuk memperlancar niat, sebelum keberangkatan team itu Sultan Turki diduga sempat
mengirim utusan kepada Brawijaya). Demikianlah susunan Dewan Wali menurut kitab Kanzul
‘Ulum Ibnul Bathuthah:

 Dewan I tahun 1404 M

1. Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli tata negara, dakwah di Jawa Timur,
wafat di Gresik tahun 1419.
2. Maulana Ishaq, asal Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu
pindah dan wafat di Pasai (Singapura).
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo –
Triwulan Mojokerto.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib – Maroko, ahli irigasi, dakwah
keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465.
5. Maulana Malik Isroil, asal Turki, ahli tata negara, dimakamkan di Gunung Santri
antara Serang Merak di tahun 1435.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia / Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di
Gunung Santri tahun 1435.
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di
samping masjid Banten Lama.
8. Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di
samping masjid Banten Lama.
9. Syeh Subakir, asal Persia / Iran, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat,
beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.

 Dewan II tahun 1436 M

1. Raden Rahmad Ali Rahmatullah, dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya), dari
Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421, menggantikan Maulana Malik
Ibrahim yang wafat.
2. Sayyid Jafar Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus, dikenal
sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik Isroil.
3. Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 mengganti Ali Akbar yang
wafat.

 Dewan III tahun 1463 M

1. Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai,
kelahiran Blambangan, putra Syeh Maulana Ishaq, berjuluk Sunan Giri dan dimakam di
Gresik.
2. Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, mengganti Syeh
Subakir yang kembali ke Persia.
3. Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang
menggantikan Hasanuddin yang wafat.
4. Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel menggantikan
Aliyyuddin yang wafat.
 Dewan IV tahun 1466 M

1. Raden Patah putra Brawijaya (tahun 1462 – adipati Bintoro, tahun 1465 – membangun
masjid Demak dan tahun 1468 menjadi raja) murid Sunan Ampel, mengganti Syekh
Jumadil Kubro yang wafat.
2. Fathullah Khan, putra Gunung Jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.

 Dewan V

1. Raden Umar Said (Sunan Muria), putra Kalijaga, menggantikan wali yang telah wafat.
2. Syekh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, mulai dari asal muasal, ajarannya yang
dianggap menyimpang dari Islam (tapi hingga saat ini masih dibahas di berbagai lapisan
masyarakat dan masih memiliki pengikut), cara kematiannya, termasuk dimana ia wafat
dan dimakamkan.
3. Sunan Tembayat atau Adipati Pandanaran, menggantikan Jenar yang dihukum mati.

Selain di Jawa, di Cina pada masa Dinasti Ming juga terdapat semacam kelompok
Dewan Wali yang juga beranggotakan sembilan orang. Menurut web Suarajumaat,

“…kerajaan Islam mula terbentuk di sana dan penggagasnya adalah Chu Yuan
Chang. … Menurut Ma Wen-Sheng dalam bukunya Secret History of Chinese Muslim,
sebaik sahaja Chu Yuan Chang menguasai tentera bapa mertuanya, satu majlis rahsia
telah ditubuhkan oleh beliau dan anggota majlis ini terdiri daripada sembilan orang
ahli yang semuanya adalah orang Islam. Walau bagaimana pun,majlis ini tidak
diketahui oleh orang ramai kecuali Ratu Ma. Anggota majlis itu ialah:

1) Hsu Tah (1331-1385 M) dari Fengyang; 2) Ch’ang Yu -Chun (1330-1369 M) dari


Huaiyuan; 3) Li Wenchung (1339-1384 M) dari Yu-i; 4) T’ang Ho (1325- 1395 M )
dari Fengyang; 5) Teng Yu (1336-1337 M) dari Ssuhi; 6) Hu Tah-hai (m.1367 M)
dari Ssuhi; 7) Hua Yun (1321-1360 M) dari Huaiyuan; 8 ) Ting Teh- hsing (m.1367
M) dari Tingyuan; 9) Mu Ying (1344-1392 M) dari Tingtuan”.

Belum dapat ditarik kesimpulan apakah data mengenai Dewan Wali di Jawa dan di
Cina ini benar-benar otentik. Dan jika memang benar otentik, belum diketahui pula
apakah keduanya pernah bekerja sama dan secara organisatoris memang berada di
bawah satu otoritas tunggal. Yang pasti diketahui bahwasanya Turki adalah salah satu
komuntas Muslim yang sempat masuk ke Cina tak lama setelah wafatnya Nabi. Selain
karena aktifitas dagang, Turki pernah mengirimkan pasukan Muslim dalam jumlah
besar oleh Khalifah Abbasiyah Abu Ja’far al-Mansur untuk membantu Liu Chen
menghadapi musuh-musuhnya (760 M). Pasca itu banyak Muslim Turki memilih menetap di
sana, dari situlah Muslim Cina semakin berkembang.

 Pembagian Kerja Dewan Wali

Mengenai pembagian kerja Dewan wali secara struktural, menurut hasil penelitian
Widji Saksono (1996: 97-100):
1. Sunan Ampel ; Mengurus susunan aturan syariat dan hukum perdata, khususnya
berkenaan dengan masalah nikah, talak, rujuk.
2. Sunan Bonang ; Merapikan aturan-aturan termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain
menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa.
3. Sunan Gresik ; Merubah pola dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda.
4. Sunan Drajat ; Mengurus hal ikhwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam alat
angkut.
5. Sunan Majagung ; Mengurus hal ikhwal perkara masakan (makanan) maupun alat tani
dan barang pecah belah lainnya.
6. Sunan Gunung Jati ; Selain bertugas memperbaiki doa, mantra bagi pengobatan bathin,
firasat, jampi-jampi bagi pengobatan lahir, ia juga mempunyai tugas untuk membuka
hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa baru (perluasan wilayah).
7. Sunan Giri ; Bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu, lalu menyusun dan
merapikan segala perundang-undangan kerajaan, termasuk urusan protokolernya. Secara
teknis Sunan Giri bertugas membuat kertas.
8. Sunan Kalijaga ; Bertugas mengurus bidang-bidang seni-budaya, misalkan menggubah
dan menciptakan langgam maupun gending.
9. Sunan Kudus ; Bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan bahan besi
dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang syariat.

1. Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga
Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Sanga. Nasab As-
Sayyid Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-
Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul
Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain
Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-
Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-
Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin
bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi
Muhammad Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya
Kakek Bantal

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1.) Siti Fathimah binti Ali Nurul
Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan, memiliki 2 anak, bernama:
Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2.) Siti Maryam binti Syaikh Subakir,
memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3.) Wan
Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas
dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan
dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera
yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang


mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan
banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa. Sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa
dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun
yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada tahun 1082 M.

Jadi sebelum jaman Wali Sanga, Islam sudah ada di pulau Jawa, yaitu daerah Jepara
dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu masih belum berkembang secara besar-
besaran.

Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal
itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik
hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419 M.

Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan
rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik
sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih banyak yang beragama Hindu atau bahkan
tidak beragama sama sekali.

Dalam Dakwah kakek bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat
berdasarkan ajaran Al-Qur’an yaitu dengan hikmah (kebijaksanaan), dan petunjuk-
petunjuk yang baik serta dialog dengan cara yang baik.

Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di
Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di pulau
Jawa. Gujarat adalah wilayah negara Hindia yang kebanyakan penduduknya
beragama Hindu.

Di Jawa, kakek bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu melainkan
juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang
terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang
bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya, beliau tidak langsung menentang
kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh
hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran
Nabi Muhammad SAW.

Dari huruf-huruf Arab yang terdapat pada batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh
Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang
dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu
menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada
kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.

Keterangan yang tertulis dimakamnya ialah sbb : “inilah makam Almarhum


Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, para Sultan
dan para Menteri, penolong para Fakir dan Miskin, yang berbahagia lagi syahid,
cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek
Bantal. Allah meliputinya dengan RahmatNya dan KeridhaanNya, dan dimasukkan ke
dalam Surga. Telah Wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.”

Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau
berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang- orang
sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama
muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang
disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk
setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan
menjadi pengikut beliau yang setia.

Sebagai contoh beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam
sekali, beliau tidak menjelaskan Islam secara rumit. Kaum bawah tersebut dibimbing
untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak
lagi.

Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada yang memberikan Rezeki yaitu Allah
SWT.

Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari
kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat
menjadi 4 kasta yaitu ; kasta brahmana, kstaria, waisya dan sudra. Dari ke empat kasta
tersebut kasta sudra adalah yang paling rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta
yang lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan
kedudukan seseorang didalam Islam, orang-orang kasta sudra dan waisya banyak yang
tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia
sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak
dibeda-bedakan. Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia
diantara mereka hanyalah yang paling taqwa disisi Allah SWT.
Taqwa itu letaknya dihati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia
untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya.

Dengan taqwa itulah manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akherat kelak, orang
yang bertaqwa sekalipun dia dari kasta sudra bisa jadi lebih mulia daripada mereka
yang berkasta ksatria dan brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta sudra dan waisya merasa
lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia yang utuh
sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka
cita.

Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk


beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat
bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.

Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan
menyebarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau
kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik
dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.

Pendirian pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan
masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik
yang berarti seseorang yang mengikuti Biksu dimana pun ia pergi dan menetap untuk
menguasai suatu keahlian tersendiri dan menjadi calon pemimpin agama di mandala-
mandala mereka.

Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu, orang Budha dan Hindu yang
mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal,
melainkan beliau-beliau itu mendirikan pesantren yang mirip dengan mandala-
mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring umat. Dan
ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul para
mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.

Tradisi pesantren tersebut berlangsung hingga dijaman sekarang. Dimana para ulama
menggodok calon mubaligh dipesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya suatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab
dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai
dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak
dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.

Pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya tentang : Apakah yang
dinamakan Allah itu ?
Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga
kepada hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang
membangkang kepadaNya.
Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan
adaNya.”Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau
tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam,
melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi
lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk
mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini
lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi
makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan
taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan
tenang. Sebagaimana sabda Nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran.
Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan
urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.

2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad,
menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri
Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti
Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin
bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil
Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid
Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-
Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al- Uraidhi bin Imam Ja’far
Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain
bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya
dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta,
Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah
dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan
Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera:
Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera: Dewi Murtasiyah, Asyiqah, Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden
Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih.

Daerah Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai
daerah Islam yang melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang mashur
sebagai pewaris hadist shahih.

Di samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra,
seorang Ahlussunnah bermazhab syafi’i, beliau mempunyai seorang putera
bernama Ibrahim, dan karena berasal dari samarqand maka Ibrahim kemudian
mendapatkan tambahan nama Samarqandi. Orang Jawa sukar menyebutkan kata
Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamaluddin
Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah ini
dilaksanakannya dengan penuh ta’dzi dan kemudian beliau diambil menantu oleh Raja
Campa, dijodohkan dengan puteri Raja Campa yang bernama Dewi Candrawulan.

Negeri Campa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari
perkawinan dengan Dewi Candrawulan, Syekh Ibrahim Asmarakandi mendapat dua
orang putera yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik
Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya Majapahit.
Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putera
bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu
mendapat gelar Rahardian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup
dipersingkat dengan Raden.

Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran Drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang
saudara. Dan para adipati banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam
Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi.

Pajak dan upeti kerajaan tidak ada yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering
dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-
lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang
suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul
bila kebiasaan semacam ini diteruskan maka kerajaan akan menjadi lemah dan jika kerajaan
sudah kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit
Raya.

3. Ajarannya yang terkenal

Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau
melakukan lima hal tercela yaitu :
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.

Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap
agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat
kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak
marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin
menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden
Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai
sesepuh Wali Sanga, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa.
Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali Sanga, mereka
adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota
atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Sanga
menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan
diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada
kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak
Majapahit.
Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo
secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak
perlu diserang karena itu akan menimbulkan efek fitnah dikemudain hari yaitu Raden
Patah bisa saja dituduh sebagai pembunuh ayahnya sendiri. Sunan Ampel adalah
penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin Wali Sanga atau Mufti
Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.
Kekhawatiran Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang
pembenci Islam memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit
jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit
sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat anda
lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana kristen pembenci
Islam.
Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel.
Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat
sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan
Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah Jawa. Setelah
Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia
mneyetujui aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang
Majapahit. Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 kerjaan
Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari kadipaten kediri
atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan
Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah
selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.
Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan. Prabu Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya
karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan.
Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta
bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu
Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis.
Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk
menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (gamelan),
sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang
ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak
menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan demikian
jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang
Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada
Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro.
Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.
Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan
pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga
sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa
Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada
para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran
agama Islam dikalangan pesantren.
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung pleh
Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para
wali di mesjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga Mengusulkan agar adat
istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa
keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel
bersikap hati-hati dan tidak langsung menerima. Sikap Sunan Ampel ini karena beliau
mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama tersebut nanti
dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam, jika hal ini dibiarkan nantinya
akan menjadi bid’ah. Namun, dalam musayawarah tersebut Sunan Kudus mendukung
pendapatnya Sunan Kalijaga bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada
ajaran Tauhid maka akan diberikan warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama
yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan harus ditinggalkan sama sekali. Sebagai
misal, gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran Sunan Ampel bahwa hal itu akan menadi
bid’ah, Sunan Kudus meyakinkan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya. Pada perjalanannya kini, hal ini tidaklah mudah untuk diadaptasi
dan menjadi perdebatan hingga kini.
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung
hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam
cepat diterima oleh orang jawa, dan hal ini terbukti, dikarekan dua wali tersebut pandai
mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk Jawa banyak
yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Bahkan lagu yang berjudul “Tombo Ati”
karya Sunan Kalijaga hingga kini masih bisa kita nikmati dan hayati.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan
dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga
membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih
dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan
inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir kelembah
kemusyrikan.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid
Ampel.
4. Sunan Giri (Raden Paku)

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang
lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar
jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak
dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri
meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:

1.       Sunan Dalem


2.       Sunan Sedomargi
3.       Sunan Giri Prapen
4.       Sunan Kawis Guwa
5.       Panembahan Ageng Giri
6.       Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7.       Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8.       Pengeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton.
Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi
sepanjang masa.

4. Sunan Bonang (Makdum Ibrahim)

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati
Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk
menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah
suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden di Belanda menyimpan sebuah
karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut
G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung
ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah
Tuban, Jawa Timur.

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh
Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering
disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah
puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah
jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden
Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri
Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah
kandung dari Sunan Giri, disampng itu keduanya belajar pula kepada para ulama besar
yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari Bagdad,
Mesir, Arab dan Persia atau Iran.

Sesudah belajar di negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke
jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal
sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem,
Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat
untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu
dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu,
beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi serta piawai dalam
memainkan alat musik.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang
datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum
Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.
Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam
kepada mereka.

Tembang-tembang yang  diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang


berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama
Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban,
Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra
Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan
makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salaka al-tariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf)
atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan
dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa
dalam bentuk prosa disebut wirid.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada
dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari
segala penjuru tanah air.

5. Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan
Bonang.

Sunan Drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. dialah wali yang memelopori
penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai
Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah
kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan
peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren
Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa
Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai
ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan
Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk
berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban
dan Gresik.

Dakwah pertama yang dilakukan oleh Raden Qasim adalah perjalanan menuju desa Jelag,
di sana Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan agama Islam
yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu
tahun di desa Jelag, Raden Qosim berdakwah menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1
km disana beliau mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau membangun tempat berdakwah yang strategis
yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem
Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan
Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.

Raden Qosim adalah pendukung Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan
agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat
dan kepercayaan lama.

Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah,
didalam museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas
gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada
kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah wali Sanga, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang
hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari rezeki.
Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan  rakyat jelata beliau bersifat
lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :

1.       Al-Quran
2.       Sunnah
3.       Ijma
4.       Qiyas
5.       Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
6.       Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
7.       Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam,
dan
8.       Fatwa Sunan Drajad sendiri.

Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:


Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan

Artinya kurang lebih demikian :

Berilah tongkat kepada orang buta


Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta)
Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti
(etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum punya adab tinggi. Berilah perlindungan
kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel,
siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing.
Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.

Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang
menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat
jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau
bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya
yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan
Allah SWT.

6. Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah
Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka
binti Sunan Ampel. Nama asli beliau adalah Ja’far al-Shadiq. Sunan Kudus adalah
keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali
Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan
Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan
negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara
yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya
Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah
Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan
Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Sunan Kudus juga belajar kepada
beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan
Sunan Ampel. Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang
ulama dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng
Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam
itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama
Islam melalui perdagangan. Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan
Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai
Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya
mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Shadiq atau
Sunan Kudus itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Raden
Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan
kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi
kehidupan dakwah Ja’far Shadiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi
masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Shadiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama
beberapa tahun.

7. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan
Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir
dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu
riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq,
menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja
Kediri.

Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung
Wilakita. Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk
keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk
agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama di
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang
kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum
pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau
panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai
dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah
mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik
pajak.
Walau Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang
tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau
dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru
karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan
rakyat Tuban.
Selanjutnya ia bertahun-tahun berguru kepada Sunan Bonang. Dengan meninggalkan
ayah dan ibunya serta adikknya.
Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya
kedudukan adipati tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan
dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di
jawa tengah hingga ke Jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah
sehingga dapat ditermia dan dianggap sebagai guru suci setanah jawa. Dalam usia lanjut
beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang
beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi
Allah.

8. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari
Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan
Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah
adik ipar dari Sunan Kudus.

Beliau adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar
Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang,
nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satunya wali yang tetap
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk
menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama
lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya
berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak
yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan
masuk Islam secara sukarela.

9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin
putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih
keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga
Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan
pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya
yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya
Kesultanan Banten.

Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih
berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa
berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya
yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama
besar di timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika
pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran
adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati.
Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana
membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah
bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan
Tubagus Pasai adalah Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang
Portugis.
Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa
Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah
pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan
keluarganya. Syekh Dzatul Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah
Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan
makam gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung
Jati.

Syarifah Muda’im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Dzatul
Kahfi. Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Tibalah saat yang ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyai
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia
lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif
Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk
Islam kembali tetapi tidak berkenan. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia
tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang
sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat
yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh
Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten
yang bernama Nyai Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif
Hidayatullah dikaruniai dua orang putera yaitu Nyai Ratu Winaon dan Pangeran
Sabakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota
para wali  lainnya di mesjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya
mesjid Demak.
Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif
Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai
raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan Cirebon tidak lagi
mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura,
Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah
Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin
persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon
menkah dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan.
Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunung Jati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan puteri
Kaisar Cina bernama puteri Ong Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga
beragama Islam. Dengan pernkahan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik
antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunung Jati, puteri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi
Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah puteri Ong Tien ini membekali puterinya dengan
harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan puteri Ong
Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di
tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi lagi dengan motif-motif
hiasan dinding dari negeri Cina.
Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1880 atas prakarsa Nyi Ratu
Pakungwati atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan
banyak pihak, diantaranya Wali Sanga dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden
Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk
mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid,
diteruskan dengan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-
daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah
pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon
yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Kurang lebih sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal
didaerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah
Sunan Gunung Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau
menguasai ilmu pengobatan tradisional. Disamping itu, pada setiap gerakan fisik dari
ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur,
terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik, benar lengkap dengan
amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan
daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima waktu, maka
orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga nama
Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
Sunan Gunung Jati akhirnya menikah dengan Putri Ong Thien. Maka tidak heran jika kita
berkunjung ke keraton Cirebon atau ke makam Sunan Gunung Jati maka kita akan
menemukan ornamen-ornamen yang berasal dari Cina.

B. Strategi Dakwah Wali Sanga


Wali Sanga diindikasikan mengamblialih konsep Nawa Dewata yang ada di ajaran agama
Budha. Pengambilalihan konsep Nawa Dewata itu beserta lambang-lambangnya dan
abtraksi-abstraksinya merupakan hal yang luar biasa di saat bekas wilayah kekuasaan
Majapahit sedang mengalami kemunduran dalam aspek sosiokultural-religius.

Seperti disinggung pada bagian 1, Islam yang sudah masuk ke wilayah Nusantara
semenjak abad ke-7 Masehi baru diminati oleh penduduk asing dari Cina, Arab dan
Persia. Baru pada akhir abad ke-15 hingga paruh abad ke-16 ada sekumpulan tokoh
penyebar Islam yang berjuluk Wali Sanga telah berhasil mengislamkan penduduk
pribumi dengan metode dakwah yang khas; hampir tidak ada pergolakan dan penolakan.

Wali Sanga berhasil menjelaskan apa itu Islam dan seluk-beluknya dengan perangkat-
perangkat budaya yang ada dan dihayati oleh masyarakat. Islam “dibumikan” dengan
prinsip bil hikmah wal mauidzatil hasanah wajadilhum billati hiya ahsan. Penjelasan
mengenai Islam dikemas secara sederhana yang dikaitkan dengan pemahaman
masyarakat setempat.

Misalnya Sunan Giri bertugas menjelaskan siklus perhitungan kalender dan perubahan
hari. Sunan Gunung Jati mengajarkan tata cara berdoa, membaca mantra dan pengobatan.
Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah. Sunan Kudus mengajarkan cara
membuat keris dan kerajinan emas.

Hal penting yang perlu dicatat dalam sukses dakwah Wali Sanga adalah corak sufistik
dalam ajaran-ajaran mereka. Istilah “wali” itu sendiri sangat lekat dengan kaum sufi atau
kajian tasawuf.  Corak sufistik dalam hal ini diperbandingkan dengan corak fikih yang
hitam-putih. Ajaran sufi lebih terbuka, luwes dan adaptif dalam menyikapi keberadaan
ajaran selain Islam.

Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat melalui tembang Jawa
ciptaannya yang hingga kini masih digemari, yaitu tembang pangkur.

Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau primbon Sunan
Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa.

Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan
sebagainya. WaliSanga dikenal sangat peka dalam beradaptasi. Cara mereka
menanamkan akidah dan syariat Islam sangat memerhatikan kondisi masyarakat
setempat.

Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian
keluarga tidak diharamkan, tapi sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil,
doa, dan sedekah. Demikian juga dengan penggunaan istilah. Sunan Ampel yang dikenal
sangat hati-hati, misalnya, menyebut shalat dengan 'sembahyang' yang berasal dari kata
sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan langgar, yang mirip dengan
kata sanggar. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan ciri khas
genteng bertingkat-tingkat. Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan
corak bangunan Hindu, seperti Masjid Agung Kudus yang dilengkapi dengan menara dan
gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, WaliSanga
mendirikan pesantren-pesantren, yang menurut sebagian sejarawan, mirip padepokan-
padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik calon pemimpin agama.

C. KESIMPULAN
1. Wali Sanga atau Wali Sanga adalah sebutan untuk tokoh sentral penyebaran agama
Islam di Pulau Jawa.
2. Wali Sanga berjumlah sembilan orang yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, Sunan Gunung Jati.
3. Ciri-ciri dakwah Wali Sanga adalah menggunakan pendekatan kultural.
4. Wali Sanga antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan, baik itu hubungan
darah maupun hubungan antara guru dan murid.
5. Tiga teori asal para tokoh Wali Sanga adalah yang mengatakan dari Arab, dari Cina
dan dari Muangthai.
C. KEGIATAN DISKUSI
Setelah kalian membaca dan merenungkan tentang dakwah Islam dalam masuknya
Islam di Indonesia dan peran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di atas kita akan
mendapat pemahaman yang lebih lengkap. Bentuklah kelompok menjadi 6 kelompok.
Masing masing kelompok menentukan salah seorang untuk dijadikan sebagai ketua
kelompok. dari permasalah permasalahan berikut ini:
1. Bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia?
2. Mengapa diperlukan penyebaran Islam melalui perdagangan,
perkawinan, pendidikan dan asimilasi budaya melalui kesenian?
3. Bagaimana tanggapaNmu berdakwah melalui kesenian seperti
yang dilakukan oleh wali Sanga?
4. Mengapa pesantren dinilai telah sejak awal memiliki peran penting
dalam pendidikan bangsa?
5. Bagaimana pendapatmu tentang menjalankan dakwah dengan
peperangan yang tidak pernah diajarkan oleh para pendahulu kita?
6. Jika agama Islam di Indonesia sukses menjadi penduduk mayoritas
beragama Islam terbesar di dunia yang dalam penyebarannya tidak dengan cara-cara
yang keras apakah diperlukan kita berdakwah dengan membenci dan memaksa
apalagi dengan peperangan kepada orang non-muslim supaya mereka mau memeluk
agama Islam?

D. PENDALAMAN KARAKTER

Dengan memahami materi tentang dakwah Islam dalam proses masuknya Islam di
Indonesia, maka seharusnya kita memiliki sikap sebagai berikut :
1. Memiliki sikap saling mengingatkan pada kebaikan
2. Senantiasa semangat mencari ilmu pengetahuan serta kreatif dan inovatif
dalam belajar dan bergaul.
3. Memiliki sikap asertif, yaitu mampu bergaul menyesuaikan diri dan
akomodatif dengan siapa pun tanpa harus kehilangan jati diri dan mengajak kepada
agama Islam yang benar
4. Gigih dalam berjuang terhadap apa yang dicita-citakan.

E. MENGKOMUNIKASIKAN
1. Penugasan Terstruktur
Menurut kalian benarkah dakwah Islam dengan cara kesenian mampu menarik orang lain
untuk memeluk agama Islam? Berikan contohnya jika itu terjadi pada masa sekarang.
2. Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur
Buatlah rangkuman dari materi yang sudah kalian baca, dan berikan pendapat kalian
masing-masing tentang materi tersebut.
F. EVALUASI

Jawablah Pertanyaan berikut dengan benar


1. Bagaimana sikap masayarakat pribumi dalam merespon dakwah para wali?
2. Mengapa Sunan Kudus awalnya tidak menyetujui wayang sebagai media dakwah? jelaskan?
Bagaimana pendapatmu dengan dakwah pada saat ini yang menjadikan media hiburan
sebagai media dakawah? Apakah itu relevan?
3. Apa tugas Sunan Gunung Jati dalam Dewan Wali?
4. Siapakah wali yang tidak memiliki hubungan darah dengan wali lainnya dalam kelompok
wali Sanga?
5. Siapakah nama asli Sunan Gunung Jati?

I. Portofolio dan Penilaian Sikap


Setelah kalian memahami uraian mengenai Wali Sanga, coba kamu amati perilaku berikut
ini dan berikan komentar

No. Perilaku Yang Diamati Tanggapan / Komentar Anda


Kreatif
1.
Mandiri
2.
Mampu bernegosiasi
3.
Toleran
4.
Asertif
5.
Mutiara Hikmah
Dari Abi Umamah dari Nabi Muhammad Beliau pernah bersabda : “Siapa saja yang
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, memberi karena Allah dan
BAB IV
melarang karena Allah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan imannya.” (HR.
KERAJAAN-KERAJAAN Abu Daud)AWAL DI INDONESIA
ISLAM

KOMPETENSI INTI
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam.
2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan,
gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro aktif) dan menunjukan sikap
sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami dan menerapkan pengetahuan factual, konseptual, procedural dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan
pengetahuan procedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya
untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan
metode sesuai kaidah keilmuan.

KOMPETENSI DASAR
1.1 Meyakini bahwa berdakwah adalah kewajiban setiap muslim
3.11. Memahami sejarah perkembangan kerajaan Islam awal di Indonesa
3.12. Menganalisis peran kerajaan-kerajaan awal Islam terhadap perkembangan Islam

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Memahami sejarah berdiri dan perkembangan kerajaan Islam awal di Indonesia.
2. Mampu menganalisis peran kerajaan-kerajaan awal Islam terhadap perkembangan dunia
Islam.

Anda mungkin juga menyukai