Pada bulan Pebruari 1926 Tan Malaka sudah menyampaikan pendapatnya secara konkrit
menentang keputusan Prambanan yang akan dilaksanakan pada 18 Juni 1926. Menurut Tan
Malaka keputusan Prambanan adalah suatu keputusan yang sudah terlanjur, dan bertentangan
dengan aturan Komintern. Karena itu harus diganti dengan massa aksi yang terus
menerus, pemogokan dan demonstrasi yang tak putus-putus. Dalam merencanakan suatu
pemberontakan, Tan Malaka memiliki konsep yang matang.
“Jika kita pelajari tempat mana yang sangat menguntungkan bagi kita untuk digempur, maka
pilihan kita akan jatuh pada lembah Bengawan Solo. Memang di sini mempunyai harapan besar
dapat merampas kekuasaan ekonomi dan politik dan bertahan dari pada di Batavia dan di
Priangan. Di lembah Bengawan Solo bertimbun-timbun buruh industri dan petani melarat yang
akan mewujudkan tenaga-tenaga, bukan saja untuk perampasan akan tetapi juga syarat-syarat
teknis dan ekonomi mempertahankan perampasan itu. Di Batavia atau Priangan kemenangan
politik atau militer akan sukar didapat dan dipertahankan karena sangat sedikit faktor-faktor
teknis dan ekonomis yang tersedia di sana.
Kemenangan politik dan militer yang modern hanya dipertahankan jika kita memiliki syarat-
syarat kekuasaan ekonomi. Begitu pula tuntutan yang konkrit belum dirumuskan. Penolakan
Tan Malaka dibicarakan kembali oleh Alimin bersama pimpinan PKI yang berada di
Singapura. Alimin clan Musso diutus ke Moskow pada bulan Maret 1926.
Pada bulan Maret 1926 Tan Malaka menerima pemberitahuan dari Alimin, bahwa thesisnya
ditolak oleh partai. Sardjono tetap pada pendiriannya, revolusi tetap akan
dilaksanakan. Perintah-perintah disampaikan lewat juru propaganda yang berjalan keliling. Di
Karesidenan Surakarta, khususnya di Kabupaten Boyolali pemberontakan terjadi pada tanggal
17 November sampai 23 November.
Di Sumatera Barat pemberontakan dimulai pada awal Januari 1927 di
Sawahlunto, Silungkang, Solok, Kota Lawas, Pariaman, Painan, dan Lubuk Sikaping, dan
berlangsung sampai akhir Februari 1927. Dukungan tersebut dikemukakan pada
pernyataan, “Komintern menyambut baik, perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dan
memberikan dukungan penuh”. Akibatnya pengawasan Pemerintah Hindia Belanda terhadap
aktivitas politik pergerakan nasional sangat diperketat serta berpengaruh terhadap nasib para
pemimpin PKI yang berada di luar negeri. Pada bulan Desember 1926 Semaun dalam kondisi
panik dan frustasi datang kepada Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.
Nasib Semaun kemudian ditentukan oleh Mahkamah yang dibentuk oleh EKKI. Kegagalan
pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926/1927 ini mempunyai
dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional. Nasib perjuangan pergerakan
kemerdekaan nasional mengalami masa yang paling suram. Agitasi dan slogan-slogan revolusi
yang menyesatkan dan menipu, menelan korban ribuan putra-putra Indonesia yang masih buta
politik.
Pemberontakan Silungkang atau Pemberontakan Malam Tahun Baru terjadi pada malam 1
Januari 1927 oleh para pemberontak Partai Komunis Indonesia terhadap pemerintah Hindia
Belanda di Minangkabau. Pada awalnya, rencana pemberontakan tersebut merupakan hasil
rundingan dalam Konferensi Prambanan yang diadakan oleh PKI pada 25 Desember
1925. Rencana pemberontakan tersebut dirundingkan kembali di Silungkang pada 20
Desember 1926 oleh kurang lebih 30 anggota PKI. Tan Malaka menilai rencana pemberontakan
masih mentah dan PKI belum siap untuk memberontak.
Pemerintah Belanda pasti akan semakin memperketat ruang gerak dunia gerakan. Tan lantas
memberi Alimin dokumen yang berisi alasan penolakan terhadap rencana
pemberontakan. Alimin malah pergi ke Moskow bersama Musso meminta restu untuk
menjalankan pemberontakan. Meski Moskow tak merestui, pemberontakan PKI pada 1926-
1927 tetap dilaksanakan.
Melalui jalur gelap, senjata juga dibeli dari direktur toko senjata Bouman yang seorang Belanda
totok melalui lobi-lobi Mangkudun Sati. Namun, mereka langsung disergap serdadu Belanda di
Muara Kalaban dan dibawa ke penjara Sawahlunto. Konvoi bala bantuan pasukan Belanda dari
Bukittinggi menuju Sawahlunto mendapat kejutan dari pasukan «Jenderal» Abdul Munap ketika
melintas di Payakumbuh. Merujuk telegram residen Mr. Arends tertanggal 3 Januari
1927, komandan Belanda Letnan W.F.H.L.