Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH PKI G34

PELOPOR
Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau lebih dikenal
sebagai Henk Sneevliet atau dengan nom de guerre (nama samaran dalam
perjuangan) Maring (13 Mei 1883 – 13 April 1942) adalah
seorang Komunis Belanda, yang aktif di Belanda dan di Hindia Belanda. Ia ikut
serta dalam perlawanan komunis terhadap pendudukan Jerman atas Belanda pada
masa Perang Dunia II dan dihukum mati oleh Jerman pada 1942.

Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa
Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia.
Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang
merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti
kapitalis. Perubahan terjadi kembali,ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke
Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agamawan, nasionalis dan
aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini sedang tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun 1900.

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus
diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda
yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah
mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di
Surabaya di sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan
soviet. Di Surabaya dan ISDV kolonial menindas dewan-dewan soviet. Lalu para pemimpin ISDV, termasuk
Sneevliet dikirim kembali ke Belanda dan pemimpin pemberontakan dari kalangan militer dijatuhi hukuman
penjara hingga 40 tahun.

Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam. Banyak anggota SI
yang tertarik dengan ide Sneevliet. Strategi Sneevliet akan “blok dalam”, dan anggota SI dibujuk untuk
mendirikan revolusioneris yang lebih dalam.

ISDV terus bekerja secara klandestin, dan pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dan total
anggota kurang dari 400.

PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN


Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), Seevliet mengubah namanya
menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH), yang dipimpin oleh Semaun
sebagai ketua dan Darsono sebagai wakil ketua.

Pada periode menjelang kongres keenam SI pada 1921, anggota menyadari


strategi Sneevliet dan berusaha mencegahnya. Agus Salim memperkenalkan
sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar
ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan Indonesia. Hal itu membuat para anggota komunis
kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun.

Saat Semaun berada di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference di awal 1922, Tan
Malaka mencoba untuk mengubah pemogokanan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi
pemogokan nasional dan ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan, lalu ia memilih yang
terakhir dan berangkat ke Rusia.

Pada Mei 1922 Semaun kembali dari Rusia dan memulai mengatur semua serikat buruh dalam satu
organisasi. Pada 22 September Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia dibentuk.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

PEMBERONTKAN 1926
Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno
memerintahkan komunis di Indonesia untuk membentuk
sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi
nasionalis non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis
didominasi oleh Alimin & Musso menyerukan revolusi untuk
menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sebuah
konferensi di Prambanan, Jawa Tengah, serikat buruh
perdagangan yang dikontrol komunis memutuskan revolusi
akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh
kereta api yang akan menjadi sinyal pemogokan yang lebih
umum dan luas untuk kemudian revolusi akan bisa dimulai. Hal ini akan mengarah pada PKI yang akan
menggantikan pemerintah kolonial.

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa
Barat dan Sumatra Barat. Bersama Alimin, Musso sedang tidak berada di Indonesia, melainkan ia sedang
melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan langkah pemberontakan tersebut.
Akhirnya penguasa kolonial menghancurkan pemberontakan dengan cara brutal dan ada ribuan orang
yang terbunuh. 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara, 1.308 kader-kader diasingkan, dan 823 orang
dikirim ke kamp tahanan di Papua. Pada tahun 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintah Belanda
dan akhirnya PKI bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Namun, Tan Malaka menolaknya
karena perediksinya bahwa pemberontakan akan gagal, karena basis kaum proletar
Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti Uni Soviet. Karena hal itu Tan
Malaka dicap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral
perjuangan Revolusi Rusia.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI
Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI
dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di TAN MALAKA
Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai front. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-
mahasiswa Indonesia yang tak lama kemudian berpihak pada PKI.

KEBANGKITAN PASCA PERANG


PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah (1945), dan secara aktif
mengambil bagian kemerdekaan dari Belanda. Presiden Soekarno khawati semakin
kuatnya pengaruh PKI yang akan mengancam polisi. Pertumbuhan PKI juga
bermasalah, sayap kanan lebih dari pemerintah Indonesia serta kekuatan asing,
khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat.

Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk frontnya bersama, yaitu Front
Demokrasi Rakyat yang tidak bertahan lama. Tetapi Partai Sosialis bergabung
dengan PKI saat Persindo di bawah Kendali PKI.

11 Agustus 1948 : Musso kembali ke Jakarta setelah 12 tahun di Uni Soviet

5 September 1948 : Memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat ke Uni Soviet dan berujung pada
peristiwa pemberontakan di Madiun.
PERISTIWA MADIUN 1948
Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada
tahun 1948, hasil kesepakatan perundingan Renville
dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,
Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin
sempit wilayah yang dimiliki. Unit gerilya dan milisi di
bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan
diri. Di Madiun kelompok militer PKI menolak untuk pergi
bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang
dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Hal ini
memberikan alasan untuk menekan PKI. Sumber-
sumber militer mengklaim bahwa PKI telah mengumumkan proklamasi 'Republik Soviet Indonesia' pada
tanggal 18 September dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana
menteri. Pada 30 September Madiun diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader terbunuh dan
36.000 dipenjara. Saat Musso mencoba melarikan diri dari penjara, 31 Oktober ia dibunuh dan tertangkap
di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat
Tiongkok. Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

BANGKIT KEMBALI
PKI memulai kembali penerbitannya pada 1950, bersama Harian Rakjat dan
Bintang Merah. Pada 1950-an PKI mengambil posisi partai nasionalis di bawah
pimpinan D.N.Aidit, dan mendukung beijakan anti kolonialis anti Barat yang di
ambil oleh Presiden Soekarno. Aidit bersama kelompoknya, termasuk pemimpin
muda (Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman) menguasai PKI pada 1951. Di
bawah Aidit PKI berkembang dengan cepat, dari 3.000-5.000 anggota pada 1950,
menjadi 165.000 (1954), dan bahkan 1,5 juta pada 1959.

Februari 1958 sebuah upaya kudeta dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara militer
dan politik sayap kanan. Pemberontak yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi,
memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari. Pemerintah
Revolusioner segera menangkap ribuan anggota PKI di daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung
upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer.

Agustus 1959, terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah penyelenggaraan kongres PKI. Namun
kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani Soekarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan
slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai
mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan. Dan PKI menyambut baik peluncuran
Nasakom.

PEMILU 1955
Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan merupakan
pendukung aktif Sukarno. Dan PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara.

Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak
kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi
oleh PKI secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.

3 Desember 1957, serikat-serikat buruh mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda.


Penguasaan ini merintis nasionalis atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. PKI diberi
kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional karena telah melawan kapitalis
asing.
Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di
kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam
melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah
menjadi pemicu. 15 Februari 1958, gerakan yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi mengumumkan
terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang
disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah
kontrol mereka.

Agustus 1959, terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah penyelenggaraan kongres PKI. Namun
kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani Soekarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan
slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai
mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan. Dan PKI menyambut baik peluncuran
Nasakom.

1960
Pada bulan Maret 1960, PKI mengecem penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno. 8 Juli, Harian
Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pemimpin PKI sempat ditangkap
oleh militer, tetapi kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.

PKI menjadi partai terkuat di luar Uni Soviet dan RRT karena berkembangnya dukungan dan keanggotaan
yang mencapai 3 juta orang pada 1965. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi
massa.

Pada Maret 1962 PKI bergabung dengan pemerintah. Dengan Adit dan Njoto yang diangkat sebagai
penasihat.

Pada April 1962 PKI menyelenggarakan kongres partainya.

Pada 1963 pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian
wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang
dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal.

PKI menolak gagasannya lalu para anggota PKI yang militant menyebrang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran pasukan Inggris dan Australia. Sebagian berhasil mencapai Semenanjung dan ikut
perjuangan di sana, namun kebanyakan ditangkap begitu tiba.

Salah satu hal yang dilakukan PKI pada orde lama adalah diusulkannya angkatan ke-5 untuk dibentuknya
angkatan kelima dan diharapkan dapat mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi
Dwikora dalam menghadapi Malaysia, namun TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan
senjata yang dilakukan PKI.

Januari 1964 : PKI menyita properti Inggris yang dimiliki perusahaan Inggris di Indonesia.

PEMBUNUHAN MASSAL DAN AKHIR DARI PKI


Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, fraksi
nasionalis, dan kelompok-kelompok Islam yang terancam
oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI
menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan
kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan
ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai
lebih dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.

PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan


menjelang Peristiwa G30S, makin kuat. Sehingga para
pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya. Gerakan-gerakan untuk
menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul
Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang
mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno
pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai
rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara
resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno cenderung mendukung
Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar
pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang
telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut.
Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS
di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak
anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani,
kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.

Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat
mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa
Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30
September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati atau hilang,
Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal pada 2
Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut dengan
kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan
para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas,
atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan
mengkambinghitamkan kepada komunis. Dalam pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya,
diperkirakan 500.000 komunis (atau dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan
(lihat Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara
politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas
militer dan pemerintah.

Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat mengambil isu
pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi spekulasi kemudian bangkit
mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI. Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada
saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada
tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI
hadir. Sebuah resolusi mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.

Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai
partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh
inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah
perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan
enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju
dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang
dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun
terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi
terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan
para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis
dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula.
Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar
manusia di Indonesia.

Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor utama milik
PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di
seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara
sistematis untuk partai telah dimulai.

Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar. Para
korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh
asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah
korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000
sampai 500.000 orang. Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal
jumlah korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan
massal terburuk pada abad ke-20 ..."

Pada tanggal 17 Desember 1966:


Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan. Unit tentara
dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara-penjara terpencil. Berbekal
pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap di malam hari ke rumah-rumah
komunis, membunuh seluruh keluarga dan mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.

Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa Timur, para milisi Islam
menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui desa-desa. Pembunuhan telah ada
pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa
Timur dan Sumatra Utara di mana udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari daerah
tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang telah benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.

Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian
tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari kekuatan anti-komunis
yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak kriminal seperti para preman,
yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak masuk akal berupa kekerasan. Motif lain yang
terjadi juga telah dieksplorasi.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua, memberikan versi bahwa
Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian
diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.

Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI telah berkembang
pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November bentrokan meletus antara PKI
dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika
banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam,
pembunuhan di Bali dilakukan atas nama Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di
mana tentara lokal dalam beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.

Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.


Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis. Bersamaan, khusus
Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan para anggota PKI. Pada 12 Maret,
partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.

Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan anggota PKI.
Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas banga Indonesia berubah
total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas
bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa
warganegara yang jahat dan baik.
Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan difilmkan dengan
judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously (1982).
PERKEMBANGAN PASCA 1965
Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah pembunuhan 1965-
1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai lumpuh di semua tingkat,
meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak
terorganisir.

September 1966 : sisa-sisa partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerja sama
sebelumnya dengan rezim Sukarno.

Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat keempat sebelum Oktober 1963,
mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha untuk membangun kembali partai atas dasar saling
keterkaitan tiga kelompok anggota, tetapi hanya berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia
ditangkap pada Desember 1966. Pada tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati.

Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa Timur menyusul
tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di Blitar adalah anggota
Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa Timur Ruslan Widjajasastra.
Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki dukungan kuat di kalangan kaum tani.
Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para
pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang
di Jawa Barat, yang membantu memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada
Maret 1968 kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul
Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam penganiayaan
antikomunis. Sekitar 60 kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat
bahwa itu tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas perintah dari para
pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan menghancurkannya
pada pertengahan tahun 1968.
Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30 September. Terutama
delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok untuk berpartisipasi
dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya telah meninggalkan Indonesia
untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan, aparatur partai terus berfungsi.
Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari perkembangan politik di dalam Indonesia. Di
Jawa, beberapa desa yang dikenal sebagai tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang
telah diidentifikasi oleh pihak berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara hati-hati untuk
waktu yang cukup.
Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari banyak pekerjaan
termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim Soeharto yang telah
dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa presiden Abdurrahman Wahid, ia
mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1999, dan mengusulkan
menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi komunis. Dalam berdebat untuk penghapusan
larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945 Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus
menyebutkan komunisme. Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia,
khususnya kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang
disebut Front Islam Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid.
Tentara tidak segera menolak proposal tersebut, tetapi menjanjikan "studi komprehensif dan teliti"
terhadap ide tersebut.
WACANA PERMINTAAN MAAF
Presiden Joko Widodo berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang telah menjadi
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa pembangunan Orde Baru,[25] namun kabar itu dibantah
langsung oleh presiden.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan presiden dapat mengambil inisiatif untuk meminta
maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965 mengingat dampaknya
begitu besar berkelanjutan ke anak, saudara dan keturunan terkait. Dengan tidak berdirinya proses
peradilan pada peristiwa 1965, tidak semua korban baik yang sudah dibunuh, dibuang ke pulau
pengasingan maupun dipenjara terlibat langsung dengan PKI.

Ke-7 Pahlawan Revolusi

Anda mungkin juga menyukai