Anda di halaman 1dari 24

A. Indikator Pencapaian Kompetensi.

3.9. Mengevaluasi upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa
antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta, G-30-
S/PKI.
Indikator :
1. Membedakan pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dengan pemberontakan G-
30-S/PKI tahun 1965
2. Menjelaskan tentang pemberontakan APRA oleh Westerling.
3. Mengemukakan tentang pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, dan di Aceh.
4. Mengemukan tentang pemberontakan Andi Aziz di Makassar.
5. Mengemukakan tentang Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumokil.
6. Menjabarkan pemberontakan PRRI dan Permesta.

4.8. Mengolah informasi tentang strategi dan bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan Belanda.
Indikator :
1. Membuat laporan tertulis dalam bentuk cerita sejarah berkaitan dengan peristiwa
G-30-S/PKI.

B. Materi Pembelajaran :
1. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis.
Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah
kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta
dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal
dengan peristiwa G30S/PKI.
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama
Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia
Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis
Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis),
yang aktif di Hindia Belanda [1]
Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, “Het Vrije
Woord” (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV
mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan
warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal
dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan
kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok
reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat
Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, “Soeara Merdeka”.
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di
Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-
tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah “Pengawal Merah”
dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para
tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di
Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas
dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda,
termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi
ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader
Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam,
keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas
orang Indonesia.
Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang
semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan
Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya
mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja
membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai
baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini
diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional.
Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Pemberontakan 1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa
Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini
dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000
orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul,
sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis
politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas
pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda.
Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan
rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh
utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat
Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan
Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa
terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena
banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari
pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh
tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai
front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di
antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan
Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
Peristiwa Madiun 1948
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan
Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan
perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak
yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir
Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia
terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah
kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu
perebutan kekuasaan.
Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda
antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh
lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di
Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang
pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-
kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-
jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada
18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan
negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira
TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam.
Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan
pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak
cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan
Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI.
Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini
Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati.

2. Pemberontakan APRA oleh Westerling.


Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil  dimanfaatkan
Westerling untuk meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan
tersebut memperlihatkan bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama
menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan
datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
A.    Peran Westerling dalam Pembentukan APRA
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal
di Belanda, 26 November 1987 pada usia 68 tahun. Westerling lahir sebagai anak
kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Dia komandan pasukan Belanda
yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling pada tahun 1946 sampai
1947 di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan
khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada.
Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di
Wolverhampton, dekat Birmingham.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale Troepen
(DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin
DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat dan
pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil
meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan dan setelah
berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia
dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.

C. Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu
bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia
Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI,
karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di
Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang
tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan
banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada
saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan
tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut  jika Belanda
meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling
merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu
landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan
datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang
telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang,
mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam
ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut
Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan
akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera.Tidak hanya rakyat-
rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan
tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA.
Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL
maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai lambang
negara Belanda.
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu
disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima
laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai
pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M.
Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan
Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan
khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa,  Chia
Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk
mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri
pada negara-negara bagian RIS .
D. Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan
yang dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini
telahdirencanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan
telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi  Letnan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara
Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya
untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari
Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor,
antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan
kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh
Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas
kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949  tersebut memperingatkan
Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada
pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar
Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS
harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebut dalam waktu 7 hari dan
apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu
menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda
dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda)
yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai
pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri
Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat
sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya,
mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya,
dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui
secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh
jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan
hasil apapun.
Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon
tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen
bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking
telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan
baret hijau terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana
tersebut dari beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke
Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh
pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan
melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju
Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena
sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa
sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi
dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan
Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada
di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung
dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh
komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm
besar dan segera menghubungi Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi
Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van
Vreeden di Jakarta.
Senin, 23 Januari 1950, Bandung baru saja memasuki pagi ketika hampir satu batalion (500-
800 prajurit) tentara gabungan KNIL-KL bersenjata lengkap merangsek ke sudut2 strategis
kota. Mereka yang menamakan diri sebagai APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) ini langsung
stelling (membentuk posisi tempur) dan menyergap beberapa TNI yang tengah bersiap-siap
berangkat menuju markasnya masing-masing. Sambil melepaskan tembakan ke atas, mereka
pun meneror penduduk sipil. Akibatnya banyak toko dan rumah yang baru buka langsung
ditutup kembali. Bandung pun berubah laiknya kota hantu.

Di jalan perapatan Banceuy yang terletak di pusat kota, seorang prajurit TNI yang tengah
mengendarai jip wilys dihentikan, disuruh turun lalu kepalanya ditembak. Sekitar Jalan
Braga, tepat di muka Apotheek Rathkam mereka pun menghabisi seorang perwira TNI
dengan dua pengawalnya yang tengah mengendarai sedan. 
Perlawanan sempat dilakukan TNI di di Jalan Merdeka selama 15 menit. Karena kurang
seimbangnya kekuatan dan persenjataan, 10 orang TNI akhirnya gugur bergelimpangan.
Sementara di dekat Taman Sari, sekitar 3 prajurit TNI yang tertangkap diperintahkan untuk
berdiri di atas jembatan dan langsung ditembak mati. Mayatnya hanyut di Sungai
Cikapundung yang membelah kota Bandung. 

Tidak cukup hanya menembaki TNI di jalanan, pasukan APRA pun bergerak menyerbu
Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari
15 orang dipimpin Letkol (Overste ) Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih
banyak. Tanpa mengenal rasa takut, unit kecil Pasukan Siliwangi itu menghadang laju gerak
pasukan APRA yang sebagian besar diperkuat oleh KST (Kopassus-nya Belanda) tersebut. Ini
mereka lakukan demi meloloskan para komandan mereka. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu
dan seorang opsir lainnya memang dapat menyelamatkan diri. Setelah menewaskan unit kecil
itu, APRA menduduki markas menjarah brandkas sebesar F150.000.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola. Mereka
dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah diduki
oleh gerombolan APRA. Akibat operasi militer yang dipimpin oleh seorang inspektur polisi
Belanda bernama Van Der Meulen itu, 79 orang menajdi korban keganasan gerombolan ini.
Mereka terdiri dari 61 serdadu TNI dan 18 sipil. 
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota
pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud
menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun
dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan
Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga
secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh
Westerling dan anak buahnya.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-
satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri
berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan
Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang
tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa
Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga
menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di
Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
E. Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yangberarti, hal ini
disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan
sangat tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA
bercampur dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya,
diduga keras bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya
negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai
angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja
memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel
Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Sewaka  pada saat kejadian  sedang mengadakan
peninjauan ke Kota Subang.  Sementara di  Jakarta  pada pukul 11.00 bertempat di
kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan
Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia.   Terungkap adanya keterlibatan 
tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan
APRA)  dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke
Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi
yang tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota
Bandung.  Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung.   Operasi
penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan
gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI.  Sisa pasukan Wasterling di bawah
pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang
menuju Jakarta,  pada  24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam
pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita   beberapa
truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan
No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs
(anggota tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara).   Tembak-menembak
tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi.   Dalam penggerebekan pasukan
kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka
yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan.  Bagaimana dengan
Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan
petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua
Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri
Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian
Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B.
Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri
tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling
sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang
pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka
gerakannya pun jadi bubar. Westerling sendiri hidup tenamg hingga meninggal pada
tanggal 27 November 1987.
3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan,
dan di Aceh.
Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam
Indonesia (NII),  Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul Islam)
adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal 1368
Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota
Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang
dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati
Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.

A. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII


Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang
menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa
“Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya
lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum
tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan
dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at
Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering
mereka sebut dengan hukum kafir.

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah
yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan,
Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan
tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara
diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia
telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam)
dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan
DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang
sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan
Renville.
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan
gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api,
serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut.
Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok
DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
B. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan
oleh beberapa faktor, yaitu:
Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung
organisasi DI/TII untuk bergerilya.
Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang
telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi
bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk
menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi
Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.
1.  Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan
bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada
tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa
Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI
dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda
sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini
mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima
terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga
merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya
Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang
komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan
pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai
pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut,
yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah
Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia
memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal.
Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan
DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi  bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di
dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut
juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan
TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat
setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya
untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang
di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara
(GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

3. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas
(KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia
bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII
yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos
TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk
menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar
menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk
merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar
pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya
pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan
selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan
pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22
Maret 1965.

4. Pemberontakan DI/TII di Aceh


Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah)
terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi
bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh
dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara
kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa
tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai
pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan
Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan
administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami
penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya
menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status
Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara.
Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh
membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam
Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut
terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII,
mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu
mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik
Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh
Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan
operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka
kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional
Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari
kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa.
Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda,
kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah
tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di
lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.

5. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan


Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar
Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan
oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak
biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para
pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak
memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan
pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik
Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik
Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada
tanggal 3 Februari 1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu.
Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam
kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin
untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.

4. Pemberontakan Andi Aziz di Makassar.

Andi Aziz merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia
bersama dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS
di hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium
Indonesia Timur. Pemberontakan dibawah pimpinan Andi Aziz  ini terjadi di Makassar
diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan
tersebut terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal,
mereka mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi
demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan ini
menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat. Untuk menjaga keamanan
maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI dari Jawa.
Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok masyarakat pro-
federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan membentuk “Pasukan Bebas”
di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap masalah keamanan di Sulawesi
Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada 5 April 1950, pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil
menguasainya bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana
Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz dan diganti
Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati
mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950
mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke
Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat
pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan. Pada
saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan yang
dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah didesak oleh Presiden
NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili
sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melakukan pendaratan di
Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950 pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa
perlawanan dari pasukan pemberontak.
Tanggal 26 April 1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di
Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama
karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS
keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan
pasukan APRIS.
Pertempuran antara APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar
pada waktu itu berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur pasukan
lawan. Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL.
8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa
kedudukannya sudah sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari
pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju
untuk dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL harus
meninggalkan Makassar.
5. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumokil.
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr.Christian
Robert Steven Soumokil (mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan sparatisme
yang bertujuan bukan hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan untuk membentuk
Negara sendiri terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah terlibat dalam pemberontakan
Andi Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke Maluku. Soumokil juga dapat
memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon. 
Pemberontakan Westerling, Andi Aziz, Soumokil memiliki kesamaan yaitu ketidakpuasan
mereka terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Pemberontakan yang ada menggunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak
pasti setelah KMB. 

Keberhasilan APRIS mengatasi keadaan membuat para pemuda semakin bersemangat untuk
kembali ke NKRI. Akan tetapi terjadi banyak terror dan intimidasi kepada para pemuda
terlebih setelah teror dibantu oleh anggota polisi yang telah dibantu KNIL bagian dari Korp
Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling di Batujajar dekat
Bandung. Teror tersebut bahkan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Benih sparatisme
muncul dari para birokrat pemerintah daerah yang memprovokasi seperti dengan
penggabungan wilayah Ambon ke NKRI mengandung bahaya sehingga seluruh rakyat
Ambon diingatkan akan bahaya tersebut.
Pada 20 April 1950, diajukan mosi tidak percaya dalam parlemen NIT sehingga kabinet NIT
meletakkan jabatannya dan akhirnya NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI.
Kegagalan pemberontakan Andi Aziz, menyebabkan berakhirlah pula Negara Indonesia
Timur. Tetapi Soumokil tidak pantang menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari
wilayah NKRI. Bahkan dalam rapat di Ambon dengan pemuka KNIL dan Ir. Manusama, ia
mengusulkan agar daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah merdeka. Jika perlu
seluruh anggota Dewan Maluku Selatan dibunuh. Usul tersebut ditolak, karena anggota
mengusulkan agar yang melakukan proklamasi kemerdekaan Maluku Selatan adalah Kepala
Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu.
Sebelum diproklamasikannya “RMS” terlebih dahulu telah dilakukan propaganda pemisahan
diri dari NKRI yang dilakukan oleh gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan KNIL
dan Partai Timur Besar. Sementara menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
menghimpun kekuatan di lingkungan Maluku Tengah. Sementara itu, orang-orang yang
menyatakan dukungannya terhadap NKRI diancam dan dipenjarakan. Akhirnya pada tanggal
25 April 1950 di Ambon diproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Mr. Dr.
Ch. R.S. Soumokil.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini secara damai yaitu dengan mengirimkan misi
damai yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku, yaitu dr. Leimena. Namun misi ini ditolak oleh
Soumokil. Misi damai yang dikirim selanjutnya terdiri dari para politikus, pendeta, dokter,
wartawan pun tidak dapat bertemu dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya damai mengalami jalan buntu maka pemerintah melakukan operasi militer
untuk menumpas gerakan RMS yaitu Gerakan Operasi Militer (GOM)III yang dipimpin oleh
Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Operasi
berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950, berhasil menguasai pos-pos penting di Pulau Buru, 19
Juli 1950 pasukan APRIS berhasil menguasai Pulau Seram. Pada tanggal 28 September 1950
Ambon bagian utara berhasil dikuasai. 3 November 1950 benteng Nieuw Victoria berhasil
dikuasai. Dengan jatuhnya Ambon maka perlawanan RMS dapat dipatahkan dan sisa-sisa
kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam beberapa tahun
membuat serangkaian kekacauan.
Dr. Soumokil akhirnya ditangkap di Seram pada tanggal 2 Desember 1962. Dan dijatuhi
hukuman mati oleh pengadilan militer dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta pada
tanggal 12 April 1966.

6. Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta


(Perjuangan Rakyat Semesta).
Peristiwa Pemberontakan PRRI/PERMESTA, Latar Belakang, Tujuan, Upaya
Penumpasan - Berikut ini materi lengkapnya :

1. Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA. 


Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan
PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan
sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya
diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa
dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang
mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi
ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap
alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah
dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah. 
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan
Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini
diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama
dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX
Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu
menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan
Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi
politik, maka KASAD melarang perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut.
Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil
alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan
Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga
Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan
Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya
Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian. 
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap
pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu.
Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-
pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno. 
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini
terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo,
Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang
mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang
ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang
konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta
membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno.
2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut
Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan
umum yang akan datang.
4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan
Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.

Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota


kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh
dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.  
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi
sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang
diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya,
PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu
sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA
terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba,
Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.
 
2. Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA. 
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya
memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah
hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan
atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. 
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk
mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada
paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal
tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk
pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan
anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan
Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI
membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan
Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa
berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara
sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari
masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan
gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat
raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa
pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah
menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.
3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk
mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang
dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas
pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di
usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi
dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian
secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para
pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik
Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit
Tinggi, dan Manado. 
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah
pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan
itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di
ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret
1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat
pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya
Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas
pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri
ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut. 
 
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk
sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April
1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi
PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut
adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika)
yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961,
Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang
bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri. 
4. Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA.
Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar
terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat
terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika
menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA
terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot
bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon.
Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan
curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka
pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya
sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina,
Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan
yang dilakukan oleh PRRI. 
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk
menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan
darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan
menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama
daerah Padang.  
5. Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA. 
Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA,
tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.
1. Letnan Kolonel Ahmad Husein
2. Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat
sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri
Dalam negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba
di Padang. Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo menjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Moh Syafei
menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat sebagai Menteri
Pembangunan. Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Pemburuhan.
Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai
Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan
Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.
3. Mayor Eddy Gagola
4. Kolonel Alexander Evert Kawilarang
5. Kolonel D.J Somba
6. Kapten Wim Najoan
7. Mayor Dolf Runturambi
8. Letkol Ventje Sumual

7. Pemberontakan G-30-S/PKI di Indonesia.


Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 18 September 1948  pernah melakukan
pemberontakan terhadap Pemerintah RI di Madiun. Tujuannya ingin mendirikan negara
komunis dengan jalan kekerasan dan pembunuhan. Pada waktu itu banyak para ulama, TNI,
tokoh masyarakat serta rakyat yang tidak berdosa lainnya menjadi korban kebiadabannya.
Meskipun PKI waktu itu telah berhasil ditumpas oleh TNI bersama rakyat yang setia kepada
Pancasila, namun diyakini mereka yang tersisa masih tetap berbahaya, dan akarnya bisa
tumbuh sewaktu-waktu.

Sejak tahun 1950. PKI berhasil ikut dalam kehidupan partai politik, terutama pada masa
Demokrasi Terpimpin. Setelah berhasil dengan usahanya tersebut, mereka berhasil pula
mempengaruhi negara dan rakyat dengan tipudaya, bujukan dan hasutan yang tidak
betanggung jawab. 

Pada tahun 1965 PKI semakin giat melancarkan segala bentuk propagandanya. PKI
melancarkan pula aksi-aksi sepihak dan tindakan pisik lainnya. Yang mereka anggap
menghalangi atau lawan, mereka bunuh dan yang mereka anggap teman mereka rangkul dan
dilindungi.
Pada tahun 1965 ini juga, Presiden Soekarno menderita sakit. Ketika itu dokter yang sengaja
didatangkan dari RRC setelah memeriksa beliu menyatkan bahwa penyakit Presiden semakin
parah keadaannya. Selanjutnya dikatakan pula oleh dokter tersebut bahwa kemungkinan
Presiden akan menjadi lumpuh dan bahkan dapat segera meninggal dunia.
Mengetahui keadaan demikian. DN Aidit, tokoh pimpinan PKI memutuskan akan segera
melancarkan kudeta atau perebutan kekuasaan terhadap Pemerintah RI yang sah. Untuk itu
mereka melatih kader-kadernya seperti Pemuda Rakyat, Gerwani guna mempersiapkan diri
ikut pemberontakan. Selain itu mereka juga menyebarluaskan desas desus atau kabar bohong
dengan memberitakan bahwa Dewan Jenderal akan melakukan perebutan kekuasaan
pemerintah. PKI juga telah membentuk Biro Khusus dan mengirim agen-agennya menyusup
ke dalam tubuh ABRI. Tugas khusus ini seperti dilakukan oleh Brigjend Supardjo dan Letkol.
Untung.
Sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 Gerakan 30 September PKI mulai melancarkan
aksinya. mereka melakukan penculikan terhadap beberapa perwira TNI Angkatan Darat.
Penculikan dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa. Pasukan ini dikenal sebagai Pasukan
Pengawal Presiden. Para Jenderal yang mereka culik itu dianiaya terlebih dahulu sebelum
dibunuh. Setelah itu jenazahnya mereka masukan ke dalam sumur tua di daerah Lobang
Buaya, Jakarta Timur
Diantara para Jenderal yang menjadi korban kekejaman G 30 S/PKI antara lain:
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani 2. Mayor Jenderal Soeprapto

3. Mayor Jenderal M.T. Haryono 4. Mayor Jenderal S. Parman

5. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo 6. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan


7. Letnan Satu Pierre Tendean 8. Brigadir Jenderal Katamso
Darmokusumo

8. Kolonel Sugiono. 9. AIP Karel Satsuit Tubun

Sedangkan usaha penculikan terhadap diri Jenderal AH. Nasution mengalami kegagalan
karena ia berhasil meloloskan diri. Tetapi putrinya bernama Ade Irma Suryani yang berusia 5
tahun gugur akibat terkena tembakan Pasukan Cakrabirawa yang mengepung rumahnya.
Demikian pula ajudannya Letnan Satu Pierre Tendean juga menjadi korban penculikan dan
dibawa gerombolan G 30 S/PKI ke Lubang Buaya kemudian dibunuh.

Dalam aksinya PKI juga membunuh seorang polisi yaitu Peltu Politis Karel Sasuit Tubun yang
berusaha mencegah Gerombolan PKI itu masuk ke dalam rumah Dr. Leimena.
Di Jawa Tengah, G 30 S/PKI berhasil merebut Markas Kodam VII Dikonegoro di Semarang
dan Markas Korem 072 di Yogyakarta. Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono telah
pula menjadi korban keganasan PKI.
Setelah kejadian penculikan itu, Mayor Jenderal Soeharto yang meneriman laporan tentang
adanay penculikan terhadap para perwira TNI AD, segera bertindak dengan melakukan
langkah-langkah yang perlu guna mengatasi keadaan yang gawat dan membahayakan
keamanan negara dan pemerintah. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Panglima Kostrad, Mayor
Jenderal Soeharto dapat menguasai situasi. Kemudian Mayor Jenderal Soeharto menugaskan
Kolonel Sarwo Edi Wibowo, Komandan Pasukan RPKAD memimpin pasukannya guna
merebut dua tempat yang telah dikuasai oleh PKI. Kedua temapt yang telah dikuasai PKI ialah
Pangkalan udara Halim Perdana Kusuma dan Kantor Pusat Pemberitaan RRI.  Berkat
kesiagaan dan keberaniaan Pasukan RPKAD ini, maka lapangan terbang Halim Perdana
Kusuma dan RRI berhasil direbut kembali dari penguasaan gerombolan PKI.

Sementara itu DN Aidit, tokoh pimpinan PKI yang juga dalang pemberontakan G 30 S/PKI
tertewas di Surakarta sewaktu berusaha akan melarikan diri ke Rusia. Dengan terjadinya
peristiwa tersebut, jelas bahwa PKI masih merupakan bahaya nyata yang ingin terus berusaha
merebut kekuasaan Pemerintah RI yang sah. Karena itu PKI harus lenyap dan tidak boleh hidup
di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Untuk memperingati dan menghargai jasa para pahlawan revolusi yang gugur akibat kekejaman
G 30 S/PKI maka Pemerintah membangun Tugu Peringatan Monumen Pancasila Sakti di daerah
Lubang Buaya (tempat terjadinya peristiwa). Pemerintah kemudian menetapkan tanggal 1
Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
SOAL LATIHAN

A. Pilihan Ganda
Pilihlah jawaban yang paling tepat dengan memberikan tanda silang ( X )pada huruf A, B, C,D,
atau E

1. Pada 28 Juni 1948, sayap kiri membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR pada dasarnya
merupakan....
A. Organisasi sayap bersenjata PKI
B. Organisasi sayap bersenjata golongan atau sayap kiri
C. Sayap buruh, petani, dan fakir miskin sayap kiri
D. Nama resmi partai sayap kiri
E. Organisasi yang mempersatukan seluruh golongan sosialis kiri dan komunis.

2. Langkah awal yang umumnya ditempuh pemerintah Indonesia dalam rangka mengatasi gerakan-
gerakan yang mengancam integrasi bangsa adalah....
A. Memberi peringatan tertulis kepada pemimpinnya
B. Memperkuat angkatan bersenjata
C. Mengambil tindakan tegas dengan menggelar operasi militer
D. Memetakan wilayah basis gerakan yang mengancam integrasi
E. Melakukan perundingan dengan gerakan-gerakan itu

3. Apa yang dilakukan Westerling merupakan wujud perlawanan terhadap kebijakan pemerintah
Indonesia. Berikut yang bukan merupakan sikap yang menolak kebijakan pemerintah RIS
adalah....
A. Membantu memperkuat pertahanan keamanan Negara Indonesia Timur
B. Bersedia menggabungkan tentaranya dengan TNI
C. Ingin mempertahankan bentuk negara federal
D. Melakukan pembunuhan massal terhadap mereka yang pro RI
E. Mendirikan gerakan APRA yang melakukan pemberontakan di Jawa Barat

4. Motif dari pemberontakan Andi Azis yang dilakukan di Makassar terutama disebabkan oleh....
A. Sikapnya yang menolak program pemerintah menerapkan tes potensi bagi yang ingin masuk
TNI
B. Keinginanya memiliki negara sendiri yang terlepas dari RIS
C. Sikapnya yang mempertahankan bentuk negara federal untuk Indonesia
D. Sikapnya yang menolak masuknya pasukan APRIS dari TNI ke Sulawesi Selatan
E. Keberadaan negara federal lebih menjanjikan kesejahteraan hidup

5. Pemberontakan RMS, APRA, dan juga pemberontakan Andi Azis karena dipicu masalah....
A. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib para mantan anggota KNIL
B. Pengintegreasian yang tidak adil dari para laskar bekas pejuang ke dalam TNI
C. Ketidakpuasan terhadap proses kembali ke negara kesatuan RI setelah pelaksanaan KMB
D. Keberadaan negara federal lebih menjanjikan kesejahteraan hidup
E. Gaji yang diperoleh tidak sebanding denga gaji TNI yang ada di Jawa
6. Sebagai penggagas berdirinya NII, Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo ternyata memiliki banyak
pengikut yang tidak saja berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur tetapi meluas
hingga....
A. Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya
B. Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh
C. Maluku, Aceh dan Lampung Selatan
D. Sulawesi Selatan, Aceh dan Bali
E. Madura, Aceh dan Maluku

7. Gerakan yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta di berbagai daerah umumnya berkembang
dengan cepat dan meluas karena....
A. TNI segan bertindak karena pergerakan dipimpin oleh perwira tinggi
B. Wilayah gerakan sulit dijangkau sehingga menguntungkan pemberontak
C. Dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh
D. Kondisi di daerah kurang mendapat perhatian pemerintah pusat
E. Pertahan nasional yang dilakukan TNI tidak difokuskan di daerah yang rawan

8. Tujuan pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan juga tahun 1965 adalah....
A. Untuk menculik dan membunuh para perwira TNI
B. Melakukan kudeta terhadap pemerintahan RIS
C. Meruntuhkan negara RI dan menggantikannya dengan negara komunis
D. Membentuk FDR di bawah pimpinan Amir Syarifuddin
E. Kekecewaan PKI terhadap pemerintah RI

9. Mayor Jenderal Soeharto menugaskan Kolonel Sarwo Edi Wibowo untuk merebut dua tempat
yang telah dikuasai oleh PKI. Kedua tempat tersebut adalah....
A. Kantor Kwartir Divisi Siliwangi dan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma
B. Rumah Soekarno dan Kantor Pusat Pemberitaan RRI
C. Pangkalan udara Halim Perdana Kusuma dan Kantor Pusat Pemberitaan RRI
D. Kota Bandung dan Kota Madiun
E. Kantor Masyumi dan PNI

10.

Gambar diatas dibangun pemerintah untuk memperingati dan menghargai jasa para pahlawan
revolusi yang gugur akibat kekejaman G 30 S/PKI. Nama tugu tersebut adalah....

A. Tugu Pahlawan Revolusi D. Patung Pahlawan Revolusi


B. Monumen Tugu Muda E. Tugu Monumen Pancasila Sakti

C. Monumen Juang 1945

B. Essay
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan tepat dan benar.

1. Pemberontakan di dalam negeri terjadi karena dipicu oleh beberapa masalah, salah satunya
adalah mempertahankan negara agar tetap berbentuk negara federal. Jelaskan mengapa hal
tersebut terjadi.
2. Jelaskan mengapa setiap tahunnya pada tanggal 1 Oktober diperingati sebagai “Hari Kesaktian
Pancasila” dan apa makna dari Hari Kesaktian Pancasila tersebut?
3. Mengapa Daud Bereuh melakukan pemberontakan terhadap NKRI dan ingin membentuk NII?
4. Jelaskan mengapa PRRI dan Permesta melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia.
5. Jelaskan apa motif dari pemberontakan Andi Azis di Makassar.

Anda mungkin juga menyukai