Anda di halaman 1dari 22

Partai Komunis

Indonesia
bekas partai politik di Indonesia

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah bubar.
PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Tiongkok,
yang pada akhirnya dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang
pada tahun berikutnya.[2][3]
Partai Komunis Indonesia

Pendiri Henk Sneevliet

Dibentuk 23 Mei 1914[1]

Dibubarkan 12 Maret 1966

Kantor pusat Jakarta

Surat kabar Soeara Rakjat

Harian Rakjat

Sayap pelajar CGMI

Sayap pemuda Pemuda Rakyat

Sayap perempuan Gerwani

Sayap buruh SOBSI

Sayap petani BTI

Keanggotaan (1960) 3 juta

Ideologi Komunisme,

Marxisme-Leninisme

Afiliasi internasional Komintern (sampai 1943)

Warna Merah

Lambang pemilu

Palu arit

Politik Indonesia
Partai politik
Pemilihan umum

Pelopor
Henk Sneevliet

Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia Belanda lainnya membentuk serikat tenaga kerja di
pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam
bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya
dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP dan Partai Sosialis
Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia
Belanda.[4] Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk
mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.

Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda, "Het
Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya,
ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar
100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi
Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis.
Perubahan terjadi kembali,ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke
Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agamawan,
nasionalis dan aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini sedang tumbuh di Hindia Belanda
sejak tahun 1900. Di bawah pimpinan Sneevliet, partai ini merasa tidak puas dengan
kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan menolak untuk
bekerja sama dengan pemerintah karena menolak "berpura-pura" menjadi Dewan Masyarakat
(Volksraad Volksraad (Hindia Belanda). Pada tahun 1917 kelompok reformis dari ISDV
memisahkan diri, dan membentuk partai sendiri dengan nama Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan sendiri publikasi pertama berbahasa Indonesia, Soeara
Merdeka.
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di
Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-
tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal
Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir
1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya di sebuah pangkalan angkatan
laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa
kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim
kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan dari kalangan militer
Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.[5]

Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam.
Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-
ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI
dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat
Rakjat.[6]

ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat. Setelah
kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam
Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia.
Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari
400.

Pembentukan dan pertumbuhan

Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat
sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang
Belanda.[6] PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional
1921.

Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota
menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim,
sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI
memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan
indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan
keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan
karena kecewa untuk kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia.
Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan
kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama,
meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif.[7]

Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor
Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap
pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat
buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara
pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.[7]

Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua
serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.[8]

Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama
dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena
tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).[9]

Pemberontakan 1926

Pertemuan PKI di Batavia (sekarang Jakarta), 1925

Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis di
Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi
nasionalis non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis didominasi oleh Alimin & Musso
menyerukan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda.[10] Dalam sebuah
konferensi di Prambanan, Jawa Tengah, serikat buruh perdagangan yang dikontrol komunis
memutuskan revolusi akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh kereta api
yang akan menjadi sinyal pemogokan yang lebih umum dan luas untuk kemudian revolusi
akan bisa dimulai. Hal ini akan mengarah pada PKI yang akan menggantikan pemerintah
kolonial.[10]

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di


Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Bersama
Alimin, Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI di era tersebut sedang tidak berada
di Indonesia. Ia sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju
dengan langkah pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan
brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500
dipenjara, sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke
Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [11]. Beberapa orang meninggal di dalam
tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan
kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan
terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan
rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu
tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan Malaka
memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena menurutnya basis kaum proletar
Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut
membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral
perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah
pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena
banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari
pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah
tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di
berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai
bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis,
Perhimpoenan Indonesia, yang tak lama kemudian berpihak pada PKI [12].

Kebangkitan pasca-perang

PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan
secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit
bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan
peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin
kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI
bermasalah sektor sayap kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan
asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian
hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada
umumnya berjalan sengit.

Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front Demokrasi
Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, tetapi Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI.
Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI.

Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni
Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5
September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet.
Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

Peristiwa Madiun 1948

Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan


perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia
menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Banyak unit
bersenjata dari Partai Republik kembali dari zona konflik. Hal ini memberikan beberapa
keyakinan sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara
militer. Unit gerilya dan milisi di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri.
Di Madiun kelompok militer PKI menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata
para anggota yang dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan itu
memicu pemberontakan kekerasan. Hal Ini memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini
diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI telah mengumumkan proklamasi 'Republik
Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan menyebut Musso sebagai presiden dan
Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Pada saat yang sama PKI mengecam
pemberontakan dan meminta tenang. Pada 30 September Madiun diambil alih oleh TNI dari
Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara. Di antara beberapa
pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober saat tertangkap
di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba melarikan diri
dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok. Namun,
PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

Bangkit kembali
DN Aidit berbicara pada pertemuan pemilu 1955

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya
yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai
nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis
dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya,
termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman,
menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang
berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari
sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta
pada 1959 [13]

Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat oleh
PKI selama tahun 1950.

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya,
para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara militer
dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi,
memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari.
Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkap ribuan anggota PKI di
daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan
pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya
dikalahkan.

Pada bulan Agustus 1959, terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah penyelenggaraan
kongres PKI. Namun kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani oleh Sukarno sendiri. Pada
tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama,
Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno
resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom, melihatnya dari segi
front persatuan multikelas.

Pemilu 1955

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Pemimpin DN Aidit bersama Sukarno di acara perayaan ulang tahun Partai Komunis Indonesia

Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan
merupakan pendukung aktif Sukarno.[14] Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat
dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang
diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI
memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada
September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya
PKI dilarang [15].

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah
pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini
merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai
sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai
condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar
pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil
bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di
Sumatra dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera
menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI
mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan
Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres
ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada
komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang
merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan
PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan
menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu
yang multi-kelas dan multi-golongan.

1960
D.N. Aidit (kanan) dan Revang dalam kongres kelima Partai Persatuan Sosialis Jerman, Berlin Timur, 11 Juli 1958

Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan Maret
1960, PKI mengecam penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno. Pada tanggal 8 Juli,
Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pemimpin
PKI sempat ditangkap oleh militer, tetapi kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan
Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965,
PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis
yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan
seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin
mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada bulan Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan
Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado
Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para
anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-
pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil
mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun
kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI aktif di wilayah
perbatasan Kalimantan.

Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah
dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI
bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung mobilisasi
massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini
membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.

Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-
perusahaan Inggris di Indonesia.

Pada pertengahan 1960-an Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperkirakan


keanggotaan partai meningkat menjadi sekitar 2 juta (3,8% dari populasi usia kerja
negara).[16]

Pembunuhan massal dan akhir dari PKI

Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, fraksi nasionalis, dan kelompok-
kelompok Islam yang terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI
menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis
lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih
dari 600 persen dan kehidupan Indonesia memburuk.

PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin kuat.
Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya.
Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan
Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan
pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI
menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965.
Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'.
Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap
secara resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno
cenderung mendukung Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar
2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim.
Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan
di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September
demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya.
Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak
anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat
dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap
krisis inflasi yang melanda.
Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965. (Gambar oleh
Departemen Penerangan Indonesia)

Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan
mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan
harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka
"Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati atau
hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang
gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut
dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia. Bukti yang mengaitkan
PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa
keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara
keseluruhan atau sebagian, dan mengkambinghitamkan kepada komunis. Dalam
pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis
(atau dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia
1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara politik dan diangkat
menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer
dan pemerintah.

Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat
mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi
spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI.
Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan
internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno
mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi
mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.

Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam
peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di
luar kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan
membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi
keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1
Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang
dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada
tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah
menambahkan dramatisasi terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in
factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah
kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah
memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan
akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah
antar manusia di Indonesia.

Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor
utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi
unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh
oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.

Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang
digelar.[17] [4] (http://users.erols.com/mwhite28/warstat3.htm#Indonesia) Para korban
termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh
asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka
pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang
dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang.[18] Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di
Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia
masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ...".[19]

Time menyajikan berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966:

Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang


mencapai ribuan. Unit tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan
komunis setelah diinterogasi di penjara-penjara terpencil. Berbekal
pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap
di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga
dan mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.

Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah


pedesaan di Jawa Timur, para milisi Islam menancapkan kepala
korban pada tiang dan mereka mengarak melalui desa-desa.
Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat
menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatra
Utara di mana udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung
dari daerah tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang telah
benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.

Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat


bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian
dari kekuatan anti-komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para
pelaku tindak kriminal seperti para preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam
tindakan yang tidak masuk akal berupa kekerasan.[20] Motif lain yang terjadi juga telah
dieksplorasi.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua, memberikan
versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia
yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta
oleh PKI.

Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI telah
berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November
bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota
dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu
dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama
Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di mana tentara lokal dalam
beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.

Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.

Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis.
Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan
para anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat
buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.

Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan
anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas
banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-
komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia
menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.[21]

Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan
difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously (1982).
Perkembangan pasca-1965

Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah
pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai
lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan
simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-
sisa partai politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerja sama sebelumnya
dengan rezim Sukarno. Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di
tingkat keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha
untuk membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota,
tetapi hanya berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember
1966 [22]. Pada tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati.

Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa
Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di
Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa
Timur Ruslan Widjajasastra. Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki
dukungan kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu
mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol
Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang membantu
memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada Maret 1968
kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul
Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam
penganiayaan antikomunis. Sekitar 60 kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia
Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar
telah dilakukan atas perintah dari para pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah
kantong PKI di Blitar tersebut dan menghancurkannya pada pertengahan tahun 1968.[23]

Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30 September.
Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok
untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya
telah meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan,
aparatur partai terus berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari
perkembangan politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal sebagai
tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang telah diidentifikasi oleh pihak
berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara hati-hati untuk waktu yang cukup.

Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari banyak
pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim
Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa presiden
Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada
tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi
komunis. Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945
Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan komunisme.
Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia, khususnya
kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang
disebut Front Islam Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan
Wahid. Tentara tidak segera menolak proposal tersebut, tetapi menjanjikan "studi
komprehensif dan teliti" terhadap ide tersebut.[24]

Wacana permintaan maaf

Presiden Joko Widodo berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang
telah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa pembangunan Orde Baru,[25]
namun kabar itu dibantah langsung oleh presiden.[26][27] Menurut Menkopolhukam Luhut
Panjaitan upaya-upaya untuk rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lampau diakui sedang
dilakukan dan terus mencari format yang tepat.[28] Sedangkan Jaksa Agung Muhammad
Prasetyo yang tengah mengupayakan langkah non yudisial atau rekonsiliasi yang berujung
pada ungkapan penyesalan negara terhadap peristiwa itu dengan tetap menolak permintaan
maaf oleh Presiden.[29]

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan presiden dapat mengambil inisiatif untuk
meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965
mengingat dampaknya begitu besar berkelanjutan ke anak, saudara dan keturunan terkait.
Dengan tidak berdirinya proses peradilan pada peristiwa 1965, tidak semua korban baik yang
sudah dibunuh, dibuang ke pulau pengasingan maupun dipenjara terlibat langsung dengan
PKI.[30]

Kontra

Beberapa ormas dan elemen agama menolak wacana permintaan maaf tersebut dan
menggelar aksi unjuk rasa.[31][32] Menhan Ryamizard Ryacudu menolak permintaan maaf
terhadap PKI dengan alasan PKI yang melakukan pembunuhan terhadap 7 jenderal.[33]
Permintaan maaf terhadap PKI juga ditolak oleh KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo.[34]

Penolakan permintaan maaf terhadap PKI juga datang dari budayawan Taufiq Ismail karena
menurutnya PKI telah 3 kali memberontak yaitu tahun 1927, 1948 dan 1965.[35]

Lihat pula
Komunisme Badan Permusjawaratan Pembantaian di Indonesia
Partai-Partai 1965–1966
Sosialisme
Gerwani Orde Baru
Marhaenisme
Lembaga Kebudajaan Jejak Langkah Orde Baru
Karl Marx
Rakjat
Sarwo Edhie Wibowo
Friedrich Engels
Pemuda Rakyat
Resimen Para Komando
Manifesto Komunis
Peristiwa Madiun 1948 Angkatan Darat
Komunisme di Sumatra
Gerakan 30 September Sejarah Indonesia (1965-
Angkatan Kelima 1965 1966)

Galeri

Perayaan ulang tahun Partai Komunis Indonesia bersama DN Aidit dan Sukarno

Pertemuan PKI di Batavia


DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5 Partai Persatuan Sosialis Jerman
(Sozialistische Einheitspartei Deutschlands) di Berlin (1958).

Pidato dari Presiden Sukarno yang menunjukkan bagaimana komunisme juga menjadi kekuatan
yang membawa Indonesia menuju identitas Negara yang kuat, dengan semangat nasionalis,
agama dan komunis.
Sorak-sorai dan pengibaran bendera bergambar palu arit menjadi pemandangan sehari-hari di
berbagai kota di pulau Jawa.

Pengemudi becak di Bandung memakai bendera palu arit sebagai hiasan di becaknya. Juga
sebagai identitas ideologi warga.
Anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia menyandingkan foto pemimpin besar
revolusi Indonesia dengan bendera Partai Komunis Indonesia

Referensi

Referensi umum
Crouch, Harold (1978). The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell
University Press. ISBN 0-8014-1155-6.

Mortimer, Rex (1974). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-
1965. Ithaca, New York: Cornell University Press. ISBN 0-8014-0825-3.

Ricklefs, M.C. (1982). A History of Modern Indonesia. London: MacMillan. ISBN 0-333-


24380-3.

Sinaga, Edward Djanner (1960). Communism and the Communist Party in Indonesia (MA
Thesis). George Washington University School of Government.

Roosa, John (2006). Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement & Suharto's
Coup D'état. Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press. ISBN 978-0-299-22034-1.

Catatan
1. https://www.marxists.org/indonesia/indones/1955-AiditLahirnyaPKI.htm

2. Mortimer (1974) p19

3. Ricklefs(1982)p259

4. marxist.com (http://www.marxist.com/Asia/earlyPKI.html)

5. Nuri, Wasul (2008). "Perseteruan Partai Masyumi dengan Partai Komunis Indonesia 1945-1960" (htt
p://digilib.uin-suka.ac.id/2312/) . Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Partai_Komunis_Indonesia&oldid=19687403
"


Terakhir disunting 8 bulan yang lalu oleh Bennylin

Anda mungkin juga menyukai