NIM :22042252
Tugas Pertemuan 12 Pengantar Sejarah Indonesia
A. Latar Belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam hal adat
istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi politik Jawa,
semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia memiliki masalah
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter. Berbagai gerakan separatis juga
muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara
Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga
1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah dengan
pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961. Perekonomian Indonesia
terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat tahun perang melawan Belanda.
Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum berpengalaman, perekonomian tidak mampu
mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan penduduk.
Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial.
Inflasi meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat
membutuhkan devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.
Pada masa Soekamto, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal),
hingga demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi penyimpangan UUD
1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang
merupakan wewenang MPR.Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah
terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang
diprakasai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata
tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke
negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad
Hatta menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
C. Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada bulan
September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih
wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.Konstituante, setelah dipilih pada
tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk
membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan
draf-draf UD berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara
golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila)
terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi
undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang
merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada
hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro
Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng sebagai salah satu
usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas
gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.Gagasan
Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950 dengan nama
Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun (1950-1953) dengan
3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha
bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari
program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para
pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara
cepat, dan menikmati kemewahan.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar dapat
bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para importir pribumi
hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah menerima 80% sampai 90%
pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000
perusahaan.Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang
menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal
ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera
sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan
dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah
beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng
diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini
dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad
Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan pembangunan
perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi.
Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak
mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar
Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja. Puncaknya,
Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April 1951.Jatuhnya
Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan antara
Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual
Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri
yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong
ke blok Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat
dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.Lain halnya dengan
Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh karena tidak dapat
menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII yang
berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu, ada pula konflik antara PNI dan
NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.Jatuh bangunnya
kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik yang mengakibatkan
program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang kemudian membuat
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.