Anda di halaman 1dari 5

7 Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia

Indonesia, pada masa awal kemerdekaan telah menetapkan UUD 1945 sebagai
konstitusinya. Namun dalam perjalanannya konstitusi tersebut tidak sepenuhnya digunakan,
ada beberapa periode pelaksanaan konstitusi di Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1950,
negara RIS dibubarkan dan seluruh wilayah Indonesia kembali menjadi NKRI. Salah satu
dari konsekuensi dari hal tersebut, konstitusi RIS yang sebelumnya digunakan juga tidak
berlaku lagi.
Presiden Soekarno memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara, yang
kemudian dikenal dengan UUDS 1950 sesuai tahun awal diberlakukan. UUDS 1950
digunakan dengan alasan UUD 1945 sudah tidak relevan, dan Dewan Konstituante akan
menyusun undang-undang dasar baru. Dengan penggunaan UUD 1950, maka resmi juga
berlakunya demokrasi liberal di Indonesia dengan sistem pemerintahan parlementer.
Tujuh kabinet pada masa demokrasi liberal atau yang sempat dilaksanakan di
Indonesia saat berlakunya UUDS 1950, sebagai berikut:

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)


Kabinet ini merupakan kabinet yang pertama dipilih untuk menjalankan pemerintahan
setelah periode RIS dan dipimpin oleh Mohammad Natsir dari Partai Masyumi, maka disebut
Kabinet Natsir. Didukung oleh para tokoh terkenal dan mempunyai keahlian di bidangnya
masing-masing, seperti Sri Sultan Hamengkubowono IX, Mr. Mohammad Roem Royen, Mr.
Asaat, Ir. Juanda, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo yang merupakan ahli ekonomi. Ada 5
titik fokus utama yang digelar dalam masa kabinet ini, yaitu:
Meningkatkan usaha keamanan dan ketentraman
Konsolidasi ke semua golongan yang ada untuk penyempurnaan pemerintahan.
Menyempurnakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang saat itu disebut angkatan
perang.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat yang selama masa penjajahan terikat dan
dikuasai penjajah.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. Karena sesuai perjanjian RIS seharusnya
Irian Barat yang merupakan wilayah jajahan Belanda menjadi wilayah RI. (baca juga:
Macam-Macam Kebutuhan Manusia)
Masalah Irian Barat inilah yang kemudian menjadi pemicu yang menjatuhkan menjatuhkan
Kabinet Natsir. Karena gagal dalam perundingan penyelesaian masalah Irian Barat pada
tanggal 4 Desember 1950, parlemen kemudian melancarkan mosi tidak percaya. Tekanan
datang terutama dari tokoh Hadikusumo, Partai PNI. Kepercayaan parlemen semakin
berkurang dengan diketahuinya penyelewengan dana paket ekonomi Sumitro Plan dan
banyaknya pemberontakan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. PNI mengusulkan
pencabutan PP nomor 39 /1950 tentang DPRS dan DPRDS pimpinan Natsir dan diterima
oleh parlemen. Resmi tanggal 21 Maret 1951, Natsir mengembalikan mandat pemerintahan
yang dipimpinnya kepada Presiden Sukarno.
2. Kabinet Sukiman dan Suwirjo (27 April 1951 – 3 April 1952)
Pada awalnya, Prseden Sukarno tidak langsung menunjuk Perdana Menteri baru
pengganti Natsir. Beliau menunjuk Sartono yang pada saat itu menjadi Ketua PNI menjadi
formatur sampai terbentuk kabinet baru koalisi PNI dan Masyumi. Setelah sebulan, Presiden
Sukarnobaru berhasil membentuk kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI yang dipimpin
oleh Sukiman (Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Program kerja kabinet Sukirman dan Suwirjo,
antara lain:

Mengusahakan jaminan keamanan dan ketentraman kepada rakyat. (baca juga:


Perkembangan Awal Politik Pada Awal Kemerdekaan)
Mengusahakan kemakmuran rakyat, dengan salah satunya memperbaharui hukum agraria
(pertanahan) agar sesuai kepentingan para petani.
Mempercepat pemilihan umum.
Menetapkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif dan berusaha mengembalikan Irian
Barat menjadi wilayah Indonesia.
Menyiapkan undang-undang tentang serikat pekerja / buruh, perjanjian kerjasama dengan
serikat buruh tersebut, penetapan upah minimum pekerja, dan penyelesaian pertikaian yang
melibatkan buruh.

Program kerja kabinet ini tidak banyak berbeda dengan Kabinet Natsir dan beberapa hanya
meneruskan saja. Di lapangan, banyak terjadi kendala yang disebabkan adanya banyak
korupsi, masalah Irian Barat yang tidak kunjung selesai, dan tetap terjadinya pemberontakan
di berbagai wilayah. Puncaknya, kabinet ini pecah setelah pemberian bantuan ekonomi
Amerika serikat yang dengan perjanjian akan memperhatikan kepentingan Amerika di
Indonesia. Tindakan Sukiman dianggap oleh PNI sebagai pelanggaran terhadap politik bebas
aktif. Pertentangan antara Masyumi dan PNI kembali memuncak dan akhirnya kekuasaan
pemerintahan dikembalikan lagi kepada Presden Sukarno.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)


Kabinet pada masa demokrasi liberal, Sekali lagi Presiden Sukarno mencoba
mengkoalisikan dua partai besar yang berkuasa saat itu, yaitu Partai Masyumi dan PNI.
Presiden menunjuk Wilopo sebagai pimpinan kabinet yang baru sehingga dikenal dengan
nama Kabinet Wilopo. Program kerja utama Kabinet Wilopo, antara lain:
Mempercepat usaha peningkatan pendidikan dan pengajaran.
Membuat undang-undang perburuhan yang sebenarnya sudah menjadi program kerja kabinet
sebelumnya.
Menyempurnakan lembaga-lembaga negara yang ada. Ini juga merupakan lanjutan program
sebelumnya, yang salah satu caranya adalah degan mempercepat pemilu.
Meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat menjadi wilayah Indonesia
Kabinet ini kembali jatuh setelah bertahan hanya sekitar 3 bulan. Penyebab utama
kejatuhannya adalah Peristiwa Tanjung Morowa, yang merupakan peristiwa keributan karena
pembagian tanah yang ditunggangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). (baca juga: Batas
Wilayah Laut Indonesia)

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)


Kebinet keempat ini ditunjuk oleh Presiden Sukarno tanpa dukungan Partai Masyumi.
Namun didukung oleh banyak partai baru, seperti Partai Nahdhatul Ulama dan Partai
Iondonesia Raya (PIR). Program kerja pokok Kabinet Ali Sastroamijoyo, yaitu:

Meningkatkan keamanan rakyat dan segera melaksanakan pemilihan umum.


Menyegerakan pembebasan Irian Barat yang sudah menjadi masalah berlarut-larut.
Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang sesuai dengan undang-undang.
Penyelesaian masalah pertikaian politik dan pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah
Indonesia
Sebenarnya, dibandingkan kabinet lain, Kabinet Ali Sasatroamijoyo menghasilkan beberapa
kemajuan, antara lain:

Penetapan pelaksanaan pemilihan umum yang sudah direncanakan 23 September 1955.


Pelaksanaan Konfrensi Asia Afrika di Bandung yang menghasilkan dan kesepakatan Gerakan
Non Blok yang membuat Indonesia sangat dihargai di mata dunia.
Namun, kabinet ini juga tidak bertahan lama dengan banyaknya korupsi yang terjadi,
pemberontakan DI / TII yang tidak kunjung usai, dan yang terakhir Partai NU menarik
menteri-menteri yang ada dalam pemerintahan.

5. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)


Kabinet Burhanudin Harahap tidak langsung menggantikan Kabinet Ali
Sastroamijoyo, karena pada waktu itu Presiden Sukarno sedang menunaikan ibadah haji. Dan
pada awalnya, Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri, tetapi hal tersebut akan
bertentangan dengan kedudukan beliau sebagai Wakil Presiden. Program / rencana kerja
Kabinet Burhanudin, antara lain:
Mengembalikan kepercayaan moral rakyat terhadap pemerintah, terutama kepercayaan Partai
Masyumi.
Melaksanakan sistem yang sudah direncanakan kabinet dan pada akhirnya direncanakan
sesuai rencana pada tanggal 29 September 1955.
Memberantas korupsi.
Menyelesaikan masalah inflasi ekonomi yang semakin meningkat.
Meneruskan perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Indonesia.
Dengan terlaksananya pertama di Indonesia, maka otomatis kabinet kerja Burhanudin
berakhir masa jabatannya. Beliau menjadi satu-satunya cabinet yang melaksanakan tugas
sampai selesai.

6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)


Disebut sebagai Kabinet Ali II karena sebelumnya Ali Sasroamijoyo pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 65
tahun 1956. Program unggulan Kabinet Ali II, yaitu:

Mengajukan pembatalan hasil KMB yang pernah membentuk RIS.


Melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat.
Memulihkan keamanan negara dan memperbaiki ekonomi yang semakin terpuruk dengan
inflasi yang semakin tinggi.
Melaksanakan politik bebas aktif dengan bekerja sama dengan negara-negara Asia Afrika
yang kebanyakan sama-sama baru merdeka.
Kabinet Ali II membentuk propinsi Irian Barat yang beribu kota Soasio, Maluku Utara.
Selain itu, pada masa kabinet Ali II, Indonoesia mulai berperan aktif dalam ikut
melaksanakan ketertiban dunia dengan dikirimkannya Pasukan Garuda ke Mesir. Namun
akhirnya, karena pemberontakan masih ada di berbagai wilayah Indonesia, keretakan antar
partai pendukung di tubuh kabinet, dan Konsepsi Presiden 21 Febuari 1957, Kabinet Ali II
juga berakhir.

7. Kabinet Ir. Juanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)


Kabinet pada masa demokrasi liberal ini merupakan kabinet yang di dalamnya banyak
tokoh yang ahli dalam berbagai bidang dan bukan lagi kabinet yang terdiri dari partai-partai
pendukung. Program pokok Kabinet Djuanda disebut Panca Karya, yaitu:
Membentuk Dewan Nasional untuk menampung segala aspirasi rakyat
Menormalkan kondisi RI yang memburuk di segala bidang.
Melancarkan pelaksanaan KMB yang masih mengikat Indonesia akan terbentuknya RIS.
Melanjutkan perjuangan merebut Irian Barat dengan upaya diplomatik.
Meningkatkan proses pembangunan yang belum stabil sejak Indonesia merdeka
Kabinet ini masih mendapat tantangan yang sama dengan kabinet-kabinet sebelumnya,
seperti pemberontakan di berbagai wilayah, keadaan ekonomi yang semakin menurun, dan
krisis demokrasi liberal. Puncaknya adalah Peristiwa Cikini pada bulan November 1957 yang
merupakan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Kabinet ini dibubarkan
bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD
1945.

Anda mungkin juga menyukai