Anda di halaman 1dari 6

1.

Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang
berbeda, yaitu sistem predensial dan sistem parlementer. Tidak sampai 1 tahun setelah
kemerdekaan, sistem pemerintahan predensial digantukan dengan sistem pemerintahan
perlementer. Pembentukan cabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan syahrir
sebagai Perdana mentri. Namun pelaksanan sistem parlementer ini tidak diikuti dengan
perubahan UUD. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) sistem parlementer dilandasi oleh
Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer
dilandasi oleh UUD sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal. Ketika Indonesia
kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai landasan Hukum Republik
Indonesia bukanlah UUD 1945 melainkan ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan namun
menggunakan UUD sementara 1950, sistem yang digunakan UUD 1950 adalah sistem
parlementer. Yang artinya Kabinet disusun menurut perimbnagan kekuatan kepartaian dalam
parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen.
Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi Liberal,
sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa ini berbeda
dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet. Salah satu ciri yang nampak
dalam masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian kabinet. Perbedaan diantara partai-partai
tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun
1959 terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman
(Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-
1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI)
1956-1957 dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959.

2. 1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabinet Natsir adalah kabinet koalisi yang berintikan Partai Masyumi dengan Perdana Menteri
Muhammad Natsir. Tokoh pendukung kabinet ini adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Assaat, Ir.
Djuanda, dan Prof. Sumitro Joyohadikusumo.

Program kerja Kabinet Natsir sebagai berikut :

a. Meningkatkan keamanan dan ketertiban.

b. Menguatkan konsolidasi, penyempurnaan susunan pemerintahan.

c. Penyempurnaan angkatan perang.

d. Memusatkan perhatian pada ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi sosial.

Kabinet Natsir mulai goyah sejak kegagalan dalam perundingan dengan Belanda mengenai Irian
Barat. Kabinet ini jatuh setelah Hadikusuma dari PNI mengajukan mosi tidak percaya menyangkut
pencabutan PP No. 39/1950 tentang DPRS dan DPRDS. Akhirnya pada tanggal 21 Maret 1951, Natsir
mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)

Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara PNI dan Masyumi dengan Perdana Menterinya Sukiman
Wiryosanjoyo. Program kerja Kabinet Sukiman sebagai berikut :

a. Penerapan tindakan tegas untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

b. Memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperbarui hukum agrarian


untuk kesejahteraan rakyat.

c. Mempersiapkan segala usaha untuk pemilu.

d. Memperjuangkan Irian Barat dalam wilayah Indonesia.

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama karena banyak hal yang ditentang oleh parlemen
termasuk dari Masyumi dan PNI. Penyebab utama jatuhnya Kabinet Sukiman adalah pertukaran
nota antara Menlu Subarjo dengan Duta Besar Amerika, Merle Cochran.

Nota tersebut berisi tentang pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika
kepada pemerintah Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Kabinet ini dianggap
telah menyelewengkan Indonesia dari politik luar negeri bebas aktif. Kabinet Sukiman jatuh setelah
PNI dan Masyumi menarik dukungannya.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953)

Kabinet Wilopo disebut juga zaken kabinet, karena terdiri atas para pakar di bidangnya. Kabinet
Wilopo dipimpin oleh Mr. Wilopo dengan program kerjanya sebagai berikut :

a. Mempersiapkan dan menyelenggarakan kemakmuran, pendidikan dan keamanan rakyat.

c. Berusaha menyelesaikan masalah Irian Barat, memperbaiki hubungan dengan Belanda dan
konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.

Tantangan yang dihadapi Kabinet Wilopo selain kondisi ekonomi yang kritis juga munculnya gerakan
separatisme di sejumlah daerah. Ujian terberat Kabinet ini adalah "Peristiwa 17 Oktober 1952" dan
"Peristiwa Tanjung Morawa".

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat menekan Presiden
Soekarno agar membubarkan kabinet. Sedangkan Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara
merupakan bentrokan antara aparat kepolisian dan para petani liar.
Peristiwa ini mendapatkan sorotan tajam, baik dari pers maupun dari parlemen. Sidik Kertapati dari
Serikat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak percaya terhadap Kabinet Wilopo. Dan pada
tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)

Kabinet Ali Sastroamijoyo I dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamijoyo dan merupakan koalisi antara PNI
dan NU. Program kerjanya sebagai berikut :

a. Mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang rencananya diadakan pada pertengahan tahun


1955.

b. Mengatasi gangguan keamanan dan pemberontakan di daerah.

c. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dan turut berperan dalam menciptakan
perdamaian dunia.

Kabinet ini berhasil menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika pada tahun.1955. Sedangkan masalah
yang dihadapi adalah masalah TNI-AD sebagai kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952.

Mayor Jenderal Bambang Sugeng, Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui
kabinet. Sebagai gantinya ditunjuk Kolonel Bambang Utoyo. Pimpinan baru tersebut ditolak oleh
para Panglima AD karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan TNI-AD.

Masalah lain yang dihadapi Kabinet Ali Sastroamijoyo adalah pada tanggal 20 Juli 1955 NU
memutuskan untuk menarik kembali menteri-menterinya yang kemudian diikuti oleh partai-partai
lain. Keretakan dalam kabinet ini memaksa Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya kepada
Presiden.

5. Kabinet Burhannudian Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956

Kabinet ini dipimpin oleh Burhannudian Harahap dengan program kerjanya sebagai berikut :

a. Memerintahkan polisi militer untuk menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas dasar kasusu
korupsi di Departemen Kehakiman.

b. Melaksanakan pemilu secara baik, maksimal dan secepat mungkin.

c. Mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD pada tanggal 28 Oktober 1955.
Prestasi yang terlihat pada Kabinet Burhannudian Harahap adalah penyelenggaraan pemilu yang
demokartis. Pada tahun 1955 perjuangan diplomasi Irian Barat yaitu dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Kabinet Burhannudian Harahap jatuh setelah tidak mendapatkan dukungan
dalam pemilu 1955.

6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 - 4 Maret 19570

Kabinet ini dipimpin oleh Ali Satroamijoyo yang merupakan koalisi tiga partai, yaitu PNI, Masyumi
dan NU. Program Kabinet ini disebut rencana pembangunan lima tahun yang memuat program-
program jangka panjang sebagai berikut :

a. Perjuangan pengembalian Irian Barat.

b. Pembentukan daerah-daerah otonom dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.

c. Mengusahakan perbaikan nasib buruh dan pegawai.

d. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.

e. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan


rakyat.

Masalah yang dihadapi kabinet Ali Satroamijoyo II adalah pergolakan di daerah yang semakin
menguat, seperti pembentukan dewan militer di Sumatera dan Sulawesi. Dalam kabinet sendiri
timbul perpecahan antara Masyumi dan PNI.

Masyumi menghendaki agar Ali Satroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai dengan tuntutan
daerah, tetapi dari PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas
demokrasi dan parlementer. Posisi Kabinet Ali melemah setelah pada bulan Januari 1957 Masyumi
menarik menteri-menterinya dari kabinet. Akhirnya pada tanggal 14 Maret 1957, Ali terpaksa
menyerahkan mandatnya kepada presiden.

7. Kabinet Karya atau Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)

Kabinet Karya atau Djuanda dipimpin oleh Djuanda dengan 3 orang wakilnya, yaitu Mr. Hardi, Idham
Chalid dan dr. Leimena. Tugas kabinet ini adalah menghadapi pergolakan di daerah, perjuangan
mengembalikan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kabinet Djuanda menyusun program yang disebut
Pancakarya. Oleh karena itu, Kabinet Djuanda disebut sebagai Kabinet Karya. Berikut program-
program Pancakarya :

a. Membentuk Dewan Nasional.

b. Normalisasi keadaan Republik.

c. Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB.

d. Perjuangan Irian Barat.


e. Mempergiat pembangunan.

Pada tanggal 14 September 1957 diadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan
pergolakan di daerah. Munas berlangsung di gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 yang
dihadiri tokoh-tokoh dari pusat dan daerah.

Masalah yang dibahas dalam Munas seperti masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembangunan wilayah RI. Kemudian Munas dilanjutkan
dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) pada bulan November 1957.

Pada masa kabinet ini terjadi peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang
dikenal sebagai Peristiwa Cikini. Peristiwa Cikini terjadi di depan Perguruan Cikini pada tanggal 30
November 1957.

3. Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai


orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk
memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya
partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan. Penerapan Demokrasi Terpimpin ditafsirkan
oleh Soekarno sebagai demokrasi, sehingga Soekarno dijuluki 'Pemimpin Besar Revolusi. Kondisi
pada masa Demokrasi Terpimpin berbeda dengan Demokrasi Liberal, salah satunya dalam
sistem kepartaiannya yang cenderung tidak jelas. Adanya partai-partai politik, bukan untuk
mempersiapkan diri dalam kerangka untuk mengisi jabatan politik dipemerintahan (karena
pemilu tidak pernah dijalankan). Dan, adanya sikap presiden yang cenderung otoriter dengan
mudahnya menyingkirkan lawan-lawan politik atau pihak yang tidak sepaham dengan Soekarno
terutama kritikan yang datang dari partai berideologi Islam seperti Masyumi dan NU.
Dicetuskannya Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno disambut baik oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan Soekarno pun menyambut hangat PKI karena Soekarno beranggapan PKI
dapat mengakomodasi persatuan konsepsi Nasionalis, Agama, Komunis (NASAKOM) dan
selanjutnya PKI mendukung semua kebijakan presiden, seperti operasi Trikora dan menekan
perlawanan penduduk adat yang dianggap separatis. Kemudian PKI semakin berkembang dan
menjadi partai besar dan dianggap Soekarno sebagai partai yang selalu loyal pada pemerintahan
yang dijalankan Soekarno. Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah
multi partai. Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar memudahkan
dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan partai
politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk
mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan.
Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan
kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang ada saling
bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak
memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering
melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang
memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet,
kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana
mestinya yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial
ekonomi dan keamanan.
4. a. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli
1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31
Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur
jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet
Burhanuddin Harahap.
b. Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208
kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2
tahap. Tahap pertama untuk memilih
anggota parlemen yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih
anggota Dewan Konstituante (badan pembuat Undangundang Dasar) dilaksanakan pada 15
Desember 1955. Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di
kotak-kotak suara. Pemilihan umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia.
Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di
kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka.
Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955 merupakan pemilu yang paling
demokratis yang dilaksanakan di Indonesia. Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana
Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan
diundurkan barang sehari pun, karena pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan
hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini
dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan
jadwal semula. Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956
hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUD S 1950.
Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait
dengan masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan
yang mendasar diantara usulan dasar negara yang ada.
c. Urutan perolehan suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI.
Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat
oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika ada golongan penduduk
minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah yang
ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal
adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6
kursi.
d. Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
duduk dalam parlemen dan dewan Konstituante.

Anda mungkin juga menyukai