Anda di halaman 1dari 7

DEMOKRASI PARLEMENTER /LIBERAL

A. Sistem Pemerintahan Masa Demokrasi Liberal

Salah satu hasil sidang KMB adalah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam sidang 16 Desember 1945, Soekarno terpilih sebagai presiden RIS, membentuk empat
kabinet Presiden yaitu Muhammad Hatta dan Hamengkubuwono IX dari RI, Anak Agung
Gede Agung dan Sultan Hamid II dari negara federal. Kabinet RIS terbentuk dengan
Mohammad Hatta sebagai perdana menteri tanggal 20 Desember 1949. Kabinet ini
merupakan Zaken Kabinet yaitu mengutamakan keahlian anggota-anggotanya daripada
koalisi yang bersandar pada kekuatan partai. Kabinet Hatta memerintah hingga tanggal 17
Agustus 1950.

Sejak dibubarkannya RIS maka diikuti pula perubahan Konstitusi RIS ke UUD
Sementara 1950. Ciri dari demokrasi liberal adalah multipartai, rakyat memilih langsung,
pelaksanaan pemerintah adalah perdana menteri. Sistem multi partai di Indonesia diawali
dengan maklumat presiden 3 November 1945, setelah mempertimbangkan usulan Badan
Pekerja. Awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa bertujuan untuk memperkuat
revolusi. Maklumat pemerintah antara lain adalah untuk menjunjung asas demokrasi maka
tidak dapat didirikan hanya satu partai; dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk
mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita; dengan adanya parpol dan organisasi
politik bagi pemerintah mudah untuk minta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin
barisan perjuangan. Maklumat tersebut akhirnya memunculkan partai-partai baru. Dari sini
Indonesia mulai mengubah sistem pemerintahan dari presidensial ke Parlementer.

Sistem pemerintahan negara menurut UUDS 1950 adalah sistem parlementer, artinya
kabinet disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-
waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya lambang
kesatuan. Maka dari itu sering terjadi pergantian kabinet karena adanya perbedaan
kepentingan partai-partai yang ada. Kabinet-kabinet tersebut secara berturut-turut adalah
Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, dan Kabinet Ali Satroamijoyo I.

B. Perkembangan Kabinet Masa Demokrasi Liberal


1. Kabinet Natsir

Kabinet Natsir yang memerintah dari tanggal 6 September 1950 hingga 20 Maret
1951 adalah kabinet koalisi, PNI sebagai patai terbesar kedua dalam parlemen tidak diberi
kedudukan sesuai, kebanyakan adalah Masyumi. Program-programnya yang penting adalah
sebagai berikut:

a. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman,

b. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan,

c. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota-anggota


tentara dan gerilya ke dalam masyarakat,

d. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian secepatnya,

e. Mengembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar untuk


melaksanakan ekonomi nasional yang sehat (Djamhari, dkk. 2010:308).

Jatuhnya kabinet Natsir adalah karena gagalnya pengembalian Irian Barat, sehingga
menimbulkan mosi tidak percaya, selain itu karena mosi Hadikusumo (PNI), pencabutan PP
No 39 tentang pemilihan anggota perwakilan daerah agar lebih demokratis, mosi ini
didukung parlemen. Tanggal 20 Maret 1951 Partai Indonesia Raya yang merupakan
pendukung kabinet menarik menteri-menterinya, 21 Maret 1951 Natsir mengembalikan
mandat kepada Presiden.

2. Kabinet Sukiman

Kabinet Sukiman merupakan kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI, kabinet ini
memerintah dari 26 April 1951 hingga April 1952. Susunan kabinet dipimpin oleh dr.
Sukiman (Masyumi), dan Suwirjo sebagai wakil PM dari PNI. Program kabinet ini antara lain
sebagai berikut:

a. Keamanan: akan menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum


untuk menjamin keamanan dan ketentraman,

b. Sosial-ekonomi: mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaharui


hukum agraria agar sesuai dengan kepentingam petani serta mempercepat usaha
penempatan bekas pejuang di lapangan usaha,

c. Mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum,


d. Politik luar negeri: menjalankan politik luar negeri secara bebas-aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatny (Djamhari, dkk. 2010:237-
309).

Masa Kabinet Sukiman muncul konflik politik akibat Menteri Dalam Negeri Mr.
Ishak (PNI) mengintruksikan penonaktifan dewan-dewan perwakilan daerah, konflik
memanas ketika Ishak mengangkat tokoh PNI menjadi Gubernur Jabar dan Sulawesi.
Sementara Menteri Kehakiman Muh Yamin membebaskan 950 tahanan SOB tanpa
persetujuan kabinet, tindakan ini ditentang Perdana Menteri dan golongan militer. Sebab
utama jatuhnya kabinet adalah mosi Sunario (PNI) karena penandatanganan perjanjian
Mutual Security Act (MSA) yaitu bantuan ekonomi dan persenjataan Amerika kepada
Indonesia oleh Menteri Luar Negeri Ahmad Soebarjo dan Dubes Amerika Serikat. Mosi ini
disusul oleh tuntutan PNI agar kabinet mengembalikan mandat. 23 Februari 1952 Sukiman
mengembalikan mandatnya kepada presiden.

3. Kabinet Wilopo

Kabinet wilopo memerintah dari April 1951- Juli 1953, Wilopo mengajukan susunan
kabinet yang terdiri dari PNI dan Masyumi masing-masing 4 orang, Partai Katholik Republik
Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Indonesia Raya, Partai Buruh, PSII, dan golongan
tidak berpartai. Kehadiran partai-partai kecil tetap diperhitungkan agar dapat mencapai
mayoritas di Parlemen. Pemerintahan saat itu dihadapkan pada keadaan ekonomi yang kritis
karena jatuhnya harga barang ekspor Indonesia seperti karet, timah, dan kopra,
kecenderungan impor meningkat, produksi panen menurun. Rencana kenaikan gaji Pegawai
Negeri 20% tetap dilaksanakan namun jatah beras terpaksa dihentikan, hadiah lebaran dapat
diberikan. Pemerintah mengambil langkah menurunkan pajak ekspor serta menghapuskan
sistem sertifikat, pembatasan impor. Program Kabinet Wilopo adalah sebagai berikut:

a. Persiapan pelaksanaan pemilu untuk Konstituante, DPR, dan DPRD, kemakmuran,


pendidikan rakyat, dan keamanan

b. Program luar negeri: penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda dan


pengembalian Irian Barat ke Indonesia, serta melaksanakan Politik Bebas Aktif
(Djamhari, dkk. 2010:312).

Kesulitan yang dihadapi Kabinet Wilopo adalah timbulnya provisialisme dan


separatisme, ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Sumatera dan Sulawes dan tuntutan
perluasan hak otonomi daerah, muncul perkumpulan kedaerahan seperti Paguyuban Daya
Sunda di bandung. Adapun persoalan dalam angkatan darat yang terkenal dengan nama
Peristiwa 17 Oktober. Kabinet menjadi semakin goyah, ditambah lagi peristiwa Tanjung
Morawa. Akibatnya tanggal 2 Juni 1953 Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden
(Djamhari, dkk. 2010: 312-313).

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I

Kabinet Ali I berlangsung Juli 1953 hingga Agustus 1955, Wongsonegoro (PIR)
berhasil menghimpun partai-partai kecil, tanpa mengikutsertakan Masyumi, tapi
memunculkan NU sebagai kekuatan baru. Persoalan yang dihadapi adalah DI/TII, dan
persiapan pemilu pada pertengahan 1955. Program kerjanya adalah

a. Meningkatkan kemanan dan kemakmuran

b. Melaksanakan pemilihan umum

c. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI

d. Menyelenggarakan politik bebas aktif

Dalam kabinet ali, masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen
terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU (Nahdatul Ulama)
kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Selain itu terdapat tokoh yang
berdapat tokoh yang bersimpati kepada PKI dimasukkan dalm kabinet ini dan Moh Yamin
yang dianggap sayap kiri dijadikan sebagai menteri Pendidikan. Politik kebijakna yang
diterapkan tersebut terlihat mengutamakan mengenai pertahanan kekuasan serta membegi
hasil hasilnya atas penguasaan (Riklef, 1999 : 371)
Tanggal 24 Juli 1955 Ali mengembalikan mandatnya karena keadaan ekonomi
merosot dan korupsi mengakibatkan kepercayaan rakyat menurun. NU juga memutuskan
menarik menteri-menterinya, kabinet ini berakhir sebelum pemilu mulai. Prestasi menonjol
dari kabinet Ali I adalah menyelenggarakan KAA April 1955 (Djamhari, dkk. 2010:314).

5. Burhanudiin Harahap

Sebelumnya Hatta mengumumkan tiga formatur untuk membentuk kabinet baru yaitu
Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Assaat (non partai), karena Presiden naik haji. Hatta
sebagai Perdana menterinya, namun timbul pertentangan antara PNI dan Masyumi karena
Hatta masih menjabat sebagai wakil presiden. Hatta kemudian menunjuk Burharuddin
Harahap (Masyumi), namun kabinet baru kali ini adalah tanpa PNI, karena PNI ketika
ditawarkan kedudukan Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pekerjaan
Umum namun menuntut hak menunjuk orang yang akan duduk di dalamnya. Kabinet
Baharuddin memerintah Agustus 1955- Maret 1956. Program Kabinet Burhanuddin adalah
sebagai berikut:

a. Pemberantasa Korupsi masa Kabinet Ali

b. Pelaksanaan Pemilihan umum,

c. Pengembalian Irian Barat

d. Kerjasama KAA berdasarkan politik bebas aktif

Tugas Kabinet Baharuddin dianggap selesai dengan selesainya pemilu, faktor-faktor


yang menyebabkan jatuhnya kabinet adalah adanya ketidaktenangan karena banyak mutasi
dilakukan di beberapa kementerian (Djamhari, dkk. 2010: 311-312).

6. Kabinet Ali II

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Presiden tidak menunjuk perseorangan menjadi
formatur, namun menunjuk Partai Pemenang Pemilu dan mengajukan calonnya kepada
Presiden. Partai pemenang pemilu saat itu adalah PNI, dan mengajukan nama Ali
Sastroamijoyo. Inti kabinet Ali adalah koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Presiden mengusulkan
PKI dimasukkan dalam formatur namun semua formatur menolak.

Pada bulan Oktober terjadi pergantian Kepala Staf TNI AD. Tiga orang calon
diajukan yaitu, Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Akan
tetapi, tidak ada kesepakatan dalam Parlemen siapa dari ketiga calon ini yang akan dipilih
sebab masing-masing ada yang menentangnya. Atas usul NU, A.H. Nasution dicalonkan dan
Nasution sendiri pada tanggall 25 Oktober 1955 menerima pencalonan itu. Akhirnya pada
tanggal 28 Oktober 1955 diputuskan bahwa kolonel A.H. Nasution kembali diangkat menjadi
Kepala Staff Angkatan Darat (Djamhari, dkk. 2010: 321). Program dari Kabinet Ali II ini
disebut dengan Rencana Lima Tahun, antara lan sebagai berikut:

a. Memuat soal-soal jangka panjang, yaitu usaha perjuangan memasukkan irian barat ke
dalam RI,
b. Melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonom dan mempercepat pemilihan
anggota-anggota DPRD,

c. Mengesahkan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai

d. Menyehatkan keungan negara sehingga tercapai imbangan anggaran belanja serta


berusaha mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.

Kesukaran yang dihadapi masa kabinet Ali II adalah berkobarnya semangat anti-Cina
di kalangan masyarakat dan adanya kekacauan di beberapa daerah, konflik di daerah-daerah
deperti munculnya Dewan militer, pembatalan KMB oleh Presiden, dan perpecahan antara
Masyumi dan PNI

7. Kabinet Djuanda

Kabinet Juanda memerintah April 1957 hingga Juli 1959, Presiden Soekarno
menunjuk dirinya menjadi pembentuk kabinet yang bernama Kabinet Karya dengan
programnya Panca Karya, dan Ir. Djuanda sebagai Perdana Menterinya. Kabinet ini
merupakan zaken kabinet, dimana terdiri dari para ahli dibidangnya. Program dari Kabinet ini
adalah sebagai berikut:

a. Membentuk Dewan Nasional

b. Normalisasi keadaan Republik Indonesia

c. Melaksanakan pelaksanaan pembatalan KMB

d. Perjuangan pengembalian Irian Barat

e. Mempergiat dan mempercepat proses pembangunan

Hasil dari kabinet Djuanda adalah mengatur kembali perairan nasional Indonesia
melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial, maka
dari itu terciptalah Kesatuan Wilayah Indonesia. Terbentuknya Dewan Nasional sebagai
badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Mengadakan MUNAS dan MUNAP untuk
mengatasi pergolakan daerah.
Kendala yang dihadapi adalah kegagalan menghadapi pergolakan karena peristiwa
Cikini, yang semakin menyebabkan pergolakan daerah meningkat, dan munculnya
PRRI/Permesta. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk.

C. Dampak Pergantian Kabinet-Kabinet Masa Demokrasi Liberal


Pergantian kabinet secara terus menerus dalam jangka waktu yang singkat
menyebabkan ketidakpuasan pemerintahan daerah, karena pemerintah pusat sibuk dengan
pergantian kabinet, daerah kurang mendapat perhatian. Tuntutan –tuntutan daerah ke pusat
sering tidak dikabulkan. Situasi semacam ini menyebabkan kekecewaan dan ketidakpuasan
daerah terhadap pusat. Situasi ini menyebabkan munculnya gejala provinsialisme atau sifat
kedaerahan, provinsialisme berkembang ke separatisme seperti RMS, PRRI/Permesta. Selain
itu pergantian kabinet terus menerus menyebabkan situasi politik tidak stabil dan terjadilah
demonstrasi menuntut dibubarkan parlementer.

Daftar Rujukan

Djamhari, S. A., Santoso, R., Imran, A., Ardhiati, Y., Wulan, A., Ferdinandus, P., Mahayana,
M.S. 2010. Zaman Jepang dan Zaman Republik. Dalam Soejono, R.P & Leiriza.
(Eds). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai