Anda di halaman 1dari 13

1.

1 Latar Belakang

Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Pemberlakuan Undang Undang
Dasar Sementara 1950 tersebut dimulai pada saat Republik Indonesia Serikat berakhir karena
adanya demo besar-besaran dari rakyat yang menuntut kembalinya Indonesia menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, pada akhirnya pemerintah membubarkan Republik Indonesia Serikat
dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Undang Undang
Dasar Sementara sejak 17 Agustus 1950, dengan menganut sistem kabinet parlementer, artinya
kabinet bertanggung jawab pada parlemen.

Pada masa Undang Undang Dasar Sementara 1950 tersebut diberlakukan, gejolak politik yang panas
menimbulkan berbagai gerakan yang politik yang tidak stabil, sehingga kabinet pemerintahanpun
ikut kena imbasnya, tercatat pada periode 1950 hingga 1959 ada 7 kali pergantian kabinet, yaitu :
1950 – 1951 : Kabinet Natsir, 1951 – 1952 : Kabinet Sukiman Suwirjo, 1952 – 1953 : Kabinet Wilopo,
1953 – 1955 : Kabinet Ali Sastroamidjojo I, 1955 – 1956 : Kabinet Burhanuddin Harahap, 1956 – 1957
: Kabinet Ali Satroamidjojo II, 1957 – 1959 : Kabinet Djuanda.

Hingga puncaknya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya seperti yang
telah ditulis diatas, dan pada masa berakhirnya UUDS 1950 dan kembali ke Undang Undang Dasar
45, sistem kabinet parlementer ikut juga berakhir menjadi sistem Demokrasi Terpimpin dimana
seluruh keputusan dan pemikiran hanya terpusat pada Presiden.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok penulisan pada


makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)      Bagaimana kehidupan politik pada masa demokrasi liberal ?

2)      Bagaimana kehidupan ekonomi pada masa demokrasi liberal ?

3)      Bagaimana kehidupan sosial – budaya pada masa demokrasi liberal ?

4)      Bagaimana kehidupan hankam pada masa demokrasi liberal ?

1.3  Tujuan

Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini diantaranya adalah :

1)      Untuk mengetahui dan memahami kehidupan politik pada masa demokrasi liberal.

2)      Unutk mengetahui dan memahami kehidupan ekonomi pada masa demokrasi liberal.

3)      Untuk mengetahiu dan memahami kehidupan sosial – budaya pada masa demokrasi liberal.

4)      Untuk mengetahui dan memahami kehidupan hankan pada masa demokrasi liberal.

BAB 2. PEMBAHASAN
2.1    Kehidupan Politik Masa Demokrasi Liberal

Sejak kembalinya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia
menganut sistem Demokrasi Liberal, dimana kedaulatan rakyat disalurkan melalui partai-partai
politik. Pada waktu itu ada empat partai besar yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan, yaitu
PNI, Masyumi, NU, dan PKI.

          Dalam masa Demokrasi Liberal Indonesia menganut sistem Kabinet Parlementer, artinya
kabinet dipimin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana Menteri dan para Menteri bertanggung
jawab kepada Parlemen (DPR). Dimana jatuh banguanya pemerintah atau kabinet sangat tergantung
kepada DPR. Bila mayoritas dalam parlemen  tidak mempercayai atau mendukung kabinet, maka
kabinet harus mengembalikan mandate kepada presiden dan perlu dibentuk kabinet baru.

          Para menteri mewakili partainya. Partai yang wakilnya duduk dalam pemerintahan
disebut partai pemerintah,dan yang tidak duduk dalam pemerintahan disebut partai oposisi. Partai
pemerintah banyak mengurus kepentingan partainya, sehingga timbul mosi tidak percaya terhadap
Kabinet yang sedang berkuasa. Krisis kabinet dan jatuhnya kabinet sering terjadi. Keadaan seperti ini
memberi peluang pada partai oposisi untuk menyatakan ketidakpercayaan terhadap kabinet yang
memerintah, sehingga terjadilah jegal-menjegal antar partai politik.

a.    Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal

1)        Periode 1950 - 1955

Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat empat buah kabinet yang memerintah sehingga rata-
rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet. Kabineet-kabinet tersebut secara berturut-turut ialah
Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951), Kabinet sukiman (April 1951-April 1952), Kabinet
Wilopo (April 1952- Juli 1953), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 – Agustus 1955). Dapat
digambarkan, dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinet yang dapat melaksanakan
programnya, karena Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet jika kelompok oposisi kuat.
Bahkan, pernah terjadi partai pemerintah menjatuhkan kabinetnya sendiri. Boleh dikatakan bahwa
semua kabinet, termasuk yang resminya bersifat Zaken Kabinet (yang menteri-menterinya dianggap
ahli pada bidangnya masing-masing), didukung oleh koalisi diantara perbagai partai. Juga komposisi
dipihak oposisi dapat berubah-ubah. Inilah yang menyebabkan berkecamuknya Instabilitas Politik.

a)        Kabinet Natsir memerintah (September 1950 – Maret 1951)

Kabinet Natsir adalah kabinet koalisi, akan tetapi, PNI sebagai partai kedua terbesar dalam paremen
tidak duduk dalam kabinet karena, tidak diberi kedudukan yang sesuai. Inti kabinet ini adalah
Masyumi, walaupun diantara para menterinya terdapat juga tokoh-tokoh nonpartai. Banyak di
antara mereka yang cukup terkenal dan dianggap ahli pada bidangnya, sehngga sesungguhnya
formasi kabinet ini termasuk kuat. Tokoh-tokoh terkenal diantaranya adalah Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr.Assaat(bekas Pejabat Presiden RI, Ir. Djuanda, dan Prof.Dr.Sumitro
Djojohadikusumo. Diantara program-programnya yang paling penting adalah :

(1)      Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;

(2)      Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan Pemerintahan


(3)      Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota-anggota tentara
dan gerilya ke dalam masyarakat;

(4)       Memperjuangkan penyelesaian soal irian secepatnya,

(5)      Menegembangkan dan memperkuat kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar untuk


melakanakan ekonomi nasional yang sehat.

Selain soal keamanan, yang menjadi beban pemerintah adalah perjuangan Irian Barat ke tangan
Indonesia. Belanda rupa-rupanya tidak bermaksud untuk mengembalikan wilayah ini kepada
Indonesia. Perundingan antara Indonesia dengan belanda dimulai pada tanggal 4 Desember 1950
semasa kabinet Natsir, tetapi menemui jalan buntu. Baik Indonesia ataupun Belanda tidak beranjak
dari pendirian masing-masing. Hal ini menimbulkan mosi tidak percaya dari parlemen terhadap
kabinet. Krisis menjadi lebih mendalam dengan adanya mosi Hadikusumo(PNI) sekitar pencabutan
PP No.39/1950 tentang pemilihan anggota perwakilan daerah supaya lebih demokratis. Kabinet
Hatta mengeluarkan mosi yang diterima parlemen yang menyebabkan menteri dalam negeri Assaat
mengundurkan diri, tetapi pengunduran diriitu ditolak oleh kabinet. Natsir mengingatkan parlemen
bahwa pembentukan lembaga-lembaga perwakilan daerah menurut PP No.39 itu sudah diseujui oleh
Parlemen. Hubungan kabinet dan parlemen menjadi tegang. Semetara itu, tanggal 20 Maret 1951
Partai Indonesia Raya (PIR) yang merupakan partai pendukungb kabinet menarik menteri-
menterinya dari kabinet. Sehari kemudian, 21 Maret, Natsir mengembalikan mandatnya kepada
Presiden Soekarno.

Presiden Soekarno akhirnya menunjuk Mr.Sartono dari PNI untuk membentuk kabinet baru. Sartono
berusaha membentuk kabinet koalisi PNI-Masyumi, sebab kedua partai ini merupakan partai yang
terkuat dalam DPR saat itu. Akan tetapi, usaha Mr. Sartono menemui kegagalan dan pada tanggal 18
April 1951 ia mengembalikan mandatnya kepada presiden. Presiden Soekarno pada hari itu juga
menunjuk da orang formatur baru, untuk dalam waktu lima hari membentuk kabinet koalisi atas
dasar nasional an luas. Akhirnya setelah diadakan perundingan, dan pada tanggal 26 April
diumumkan susunan kabinet baru dibawah pimpinan dr. Sukiman Wiryosandjojo(Masyumi) dan
Suwirjo (PNI).

b)   Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952)

Pada tanggal 26 April diumumkan susunan kabinet baru dibawah pimpinan dr. Sukiman
Wiryosandjojo(Masyumi) dan Suwirjo (PNI). Yang terpenting dalam program kabinet ini adalah:

(1)   Keamanan, akan menjalankan tindakan – tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketrentraman;

(2)   Sosial-ekonomi, mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaharui hukum


agraria agar sesuai dengan kepentingan petani, serta mempercepat usaha penempatan bekas
pejuang dilapangan usaha;  

(3)   Mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum.

(4)   Polik luar negeri, menjalankan politik luar negeri secara bebas-aktif serta memasukkan Irian
Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.

Kabinet ini juga tidak berusia lama karena banyak soal yang medapat tantangan dalam parlemen
termasuk dari Masyumi dan PNI sendiri. Konflik politik muncul akibat Menteri Dalam Negeri Mr.
Iskaq (PNI) mengistruksikan penonaktifan dewan-dewan perwakilan daerah yang dibentuk
berdasarkan PP No.39. Konflik kepentingan bertambah tajam ketika Iskaq mengangkat tokoh PNI
menjadi gubernur di Jawa Barat dan Sulawesi. Sementara itu, Menteri kehakiman Muh.Yamin, tanpa
persetujuan kabinet,membebaskan 950 orang tahanan SOB. Tindakan ini ditentang oleh Perdana
Menteri Sukiman dan golongan Militer. Akibatnya, Yamin mengundurkan diri. Akan tetapi, penyebab
jatuhnya Kabnet Sukiman ialah mosi Sunario (PNI) berkaitan dengan penandatanganan
perjanjian Matual Security Act (MSA) oleh menteri Luar Negeri Ahmad Subarjo dan Duta Besar
Amerika Serikat, Merle Cochran.

c)     Kabinet Wilopo (April 1952- Juli 1953)

Program kabinet wilopo terutama ditunjukkan kepada persiapan pelaksanaan pemilihan umum
untuk konstituante, DPR, dan DPRD, kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan. Program luar
negeri, terutama ditujukan pada penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda dan
pengembalian Irian Barat ke Indonesia serta menjalankan politik bebas aktif menuju perdamaian
dunia. Wilopo dengan kabinetnya berusaha melaksanakan program itu sebaik-baiknya.

Selain soal kedaerahan dan kesukuan, pada tanggal 17 oktober 1952 timbul soal dalam Angkatan
Darat yang terkenal dengan nama Peristiwa 17 oktober. Peristiwa ini dimulai dengan perdebatan
sengit di DPR selama berbulan-bulan mengenai masalah pro dan kontra kebijakan Menteri
Pertahanan dan pimpinan Angkatan Darat. Aksi pihak kaum politisi itu akhirnya menimbulkan reaksi
keras dari pihak angkatan darat.

Untuk membentuk kabinet baru, yang diharapkan mendapat dukungan yang cukup dari parlemen,
pada tanggal 15 juni 1953 Presiden Soekarno menunjuk Sarmidi Mangunsarkoro (PNI) dan
Moh.Roem (Masyumi) sebagai formatur. Kedua formatur gagal mencapai kesepakatan dengan
beberapa partai. Pada tanggal 24 Juni 1953 mereka mengembalikan mandat kepada Presiden.

d)       Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 – Agustus 1955)

Setelah mukarto mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 juli Presiden Soekarno menunjuk Mr.
Wongsonegoro (PIR) sebagai formatur. Ia berhasil menghimpun partai-partai kecil untuk
mendukungnya. Pada tanggal 30 juli kabinet baru dilantik tanpa mengikutsertakan Masyumi, tetapi
memunculkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan baru. Ali Sastroamijoyo diangkat sebagai
Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal dengan nama Kabinet Ali I atau kabinet Ali Wongso.

Walaupun kabinet Ali Wongso dapat dikatakan merupakan kabinet yang paling lama bertahan,
akhirnya pada tanggal 24 Juli 1955 Ali Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya. Penyebab yang
utama adalahh persoalan dalam TNI AD sebagai lanjutan dari Peistiwaa 17 oktober dan soal
pimpinan  TNI AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan Iwa
Kusumasumantri tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku didalam lingkungan TNI-AD. Selain
itu, juga karena keadaan ekonomi yang semakin buruk dan korupsi yang mengakibatkan
kepercayaan rakyat merosot.

Pada tanggal 20 juli 1955, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-menterinya, yang
kemudian diikuti oleh partai-partai lain. Terjadinya keretakan dalam kabinetnya memaksa Ali
Sastroamijoyo mengembalikan mandatnya. Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sebelum
diadakan pemilihan umuml. Prestasi menonjol kabinet Ali –Wongso adalah dilangsungkanya
Konferensi Asia Afrika bulan april 1955.

2)        Periode tahun 1955 -1959

Masa lamanya empat tahun ini mengalami tiga kabinet yang silih berganti, yaitu Kabinet Burhanudin
Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamijoyo II, (Maret 1956-Maret 1957), dan
Kabinet Djuanda(Maret 1957-Juli 1959). Pada periode 1955-1959 ditandai dengan telah
dilaksanakanya pemilihan umum, berikut pergantian kabinet pada tahun 1955 – 1959 :

a)    Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956 )

Kabinet ini terbentuk pada tanggal 12 Agustus 1955 yang dipimpin oleh Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Program kerja Kabinet Burhanuddin diantaranya adalah
sebagai berikut :

(1)     Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan Darat
dan masyarakat

(2)     Akan dilaksankan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan


pemberantasan korupsi

(3)     Perjuangan mengembalikan Irian Barat.

Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum pertama di Indonesia
tahun 1955. Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk pada
bulan Maret 1956.

b)        Kabinet Ali  II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957 )

Kabinet Ali II terbentuk pada tanggal 24 Maret 1956 di pimpin oleh Perdana Menteri Mr. Ali
Satroamijoyo (koalisi PNI, NU dan Masyumi). Alasan teerbentuknya kabinet ini adalah
karena munculnya pemberontakan di daerah-daerah, serta ditarikmundurnya menteri-menteri dari
Masyumi Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama hasil pemilihan umum. Program kerja dari
Kabinet Ali II :

(1)   Menyelesaikan pembatasan hasil KMB

(2)   Menyelesaikan masalah Irian Barat

(3)   Pembentukan provinsi Irian Barat

(4)   Menjalankan politik luar negeri bebas aktif.

Kabinet Ali II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan oleh kabinet
Juanda.

c)        Kabinet Juanda atau Kabinet Karya ( 9 April 1957 – 5 Juli 1959 )

Kabinet Djuanda resmi terbentuk pada tanggal 9 April 1957 merupakan zaken kabinet, Perdana
Menteri ir. Juanda ( dari Non Partai atau ekstra parlementaer). Selain harus menghadapi pergolakan
daerah juga perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaaan ekonomi keuangan
yang buruk dengan merosotnya devisa an rendahnya eksport. Program kabinet Djuanda terdiri dari
lima pasal atau Panca Karya yaitu :

(1)   Membentuk Dewan Nasional

(2)   Normalisasi keadaan Republik

(3)   Melancarkan pelaksanakan pembatalan KMB

(4)   Perjuangan Irian

(5)   Mempergia pembangunan

Dari sini ternyata, walaupun sudah diadakan pemilihan umum sesuai dengan aturan permainan
demokrasi barat yang menurut peninjau-peninjau luar negeri berjalan dengan bersih, pemerintahan
yang stabil tetap tidak tercapai. Rata-rata kabinet memerintah selama 1 tahun. Dengan demikian,
kiranya terbukti bahwa demokrasi Liberal tidak cocok dengan atau tidak sesuai dengan kondisi di
Indonesia.

b.        Pemilihan Umum Tahun 1955 dan Susedahnya

Periode ini dimulai dengan diadakannya pemilu 1955 dan berakhir dengan diumumkannya Dekrit
Presiden tahun 1959 tentang kembaliu ke UUD 1945.

1)        Pelaksanaan Pemilu 1955

                             Pemilihan Umum merupakan program pemerintah dari setiap kabinet, namun baru
dapat terlaksana pada masa Kabinet Burhanudin Harahap yang sebelumnya pada masa kabinet Ali I
panitianya sudah terbentuk. Pemilhan umum ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu :

a)      Tahap I, tanggala 29 September 1955 memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

b)      Tahap II, tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota Badan Kontituante ( Badan Pembuat
Undang-undang Dasar )

Pemilu 1955 berlangsung secara demokratis. Dalam pemilu 1955 telah keluar empat partai besar
pemenang pemilu, yaitu PNI dengan 57 kursi, Masyumi dengan 57 kursi, NU dengan 45 kursi, dan PKI
dengan 39 kursi. Kemudian anggota Konstituante berjumlah 542 0rang. Anggota DPR hasil pemilu
1955 dilantik pada tanggal 20 Maret 1956, sedankan pelantikan anggota Badan Konstituante pada
tanggal 10 November 1956.

                  Pada semester kedua tahun 1957 diadakan pemilihan anggota Dewan Provinsi. Pada
pemilihan daerah, PKI menjadi partai rakyat yang sangat dikenal terutama di desa-desa. Oeh karena
itu pada pemilihan daerah PKI mengalami peningkatan yang sangatluar biasa dalam perolehan suara.

                  Hal ini menunjukkan bahwa PKI  makin kuat pengaruhnya di masyarakat. Basis PKI adalah
jawa. Terkait dengat kenyataan ini, Presiden Sukarno berpendapat bahwa PKI harus diberi peranan
dalam pemerintahan.  Keadaan yang demikian ini sangat menguntungkan PKI di masa-masa
berikutnya.

                             Pemilihan umum telah terlaksana dengan baik , namun tidak berhasil membawa
stbilitas politik seperti yang didambakan oleh rakyat.Hal ini ini disebabkan masih adanya perselisihan
antar partai yang masih berlanjut seperti sebelumnya. Merka masih mempertahankan partai masing-
masing. Akhirnya di Indonesia mengalami krisis yan menghasilkan system politik Demokrasi
Terpimpin.

2)        Kegagalan Dewan Konstituante dan Dekrit presiden

Pemilu tahun 1955 tahap II telah memilih anggota Dewan Konstituante yang bertugas membuat
Undang-Undang Dasar ( konstitusi ), karena waktu itu Indonesia belum memiliki Undang-Undang
Dasar yang tetap sebab masih enggunakan UUDS

Dewan Konstituante mulai bersidang tanggal 10 November 1956 bertempat di Bandung. Sidang
pertama dipimpin oleh  ir. Wilopo. Namun hingga tahun 1959 sidang Dewan Konstituante tidak
mampu menghasilkan UUD baru. Justru dalam siding tersebut terjadi perpecahan antar partai atau
golongan. Setiap partai mempejuangkan partainya masing-masing sehingga terjadi perdebatan yang
tidak ada habis-habisnya. Hal ini membuat pemerintah tidak stabil. Untuk itu Presiden Sukarno pada
tanggal 21 Februari 1957 mengeluarkan Konsepsi Presiden. Adapun isi konsepsi presiden adalah
sebagai beerikut :

a)      Sistem demokrasi paerlementer model barat  tidak sesuai kepribadian Indonesia maka harus
diganti dengan demokrasi terpimpin.

b)      Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk cabinet Gotong Royong.

Melihat keadaan yang serba tidak stabil, rakyat merasa tidak puas. Mereka telah lama
mendambakan keadaan yang tenteram, aman dan damai. Melihat kenyataan itu maka timbul
pendapat untuk kembali ke UUD 1945. Presiden Sukarno sendiri mengamanatkan Dewan
Konstituante menetapkan kembali berlakunya UUD 1945. Teapi Dewan Konstituante sendiri tidak
berhasil mengambil kesepakatan dalam menaggapi usulan kembali ke UUD 1945.

Situasi yang demikian dipandang oleh presiden Sukarno sebagai keadaan yang kritis. Situasi
ketatanegaraan Indonesia berada pada tahap yang membahayakan bagi  persatuan dan kesatuan
bangsa. Oleh karena itu demi keselamatan bangsa dan negara Presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959. Adapun isi Dekrit Presiden adalah:

a)        Pembubaran Dewan Konstituante

b)        Berlakunya kembali UUD 1945

c)        Akan dibentuk DPRS dan DPAS

Dengan dikeluarkannnya Dekrit Presiden berarti UUDS tidak berlaku lagi dan bangsa Indonesi
kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Dekrit Presiden itu mendapat dukungan
dari TNI AD dan sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga rakyat memiliki harapan besar bangsa ini
akan menjadi lebih baik setelah adanya Dekrit Presiden. 

c.    Politik Luar Negeri Setelah Pengakuan Kedaulatan

Hubungan luar negeri yang dirintis sejak Perang Kemerdekaan berkembang sesudah pengakuan
kedaulatan 1949. Kabinet RIS dibawah Perdana Menteri Hatta melaksanakan hubungan luar negeri
yang dititikberatkan pada negara-negara Asia dan Negara-negara Barat, karena kepentingan
ekonomi Indonesia masih terkait di Eropa. ; pasar hasil bumi Indonesia masih berpusat di Negeri
Belanda dan Eropa Barat pada umumnya. Untuk kepentingan yang sama pemerintah mengirimkan
Djuanda guna mencari bantuan  yang tidak mengikat ke Amerika Serikat. Garis itu diteruskan oleh
kabinet penggantiannya yaitu kabinet Natsir(September 1950-Maret 1951) setelah kembali kepada
bentuk negara kesatuan. Adapun kabinet sukirman(April 1951-Februari 1952) pengganti Kabinet
Natsir, menempuh kebijakan yang menyimpang dari politik bebas-aktif. Pada bulan Januari 1952
Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo mengadakan pertukaran surat dengan Duta Besar Amerika
Serikat Merle Cochran dalam rangka mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat
berdasarkan Mutual Security Act (MSA). Pemerintah dianggap telah meninggalkan politik bebas-aktif
dan memasukkan Indonesia dalam Blok Barat.

d.   Konferensi Asia Afrika

Sesudah Perang Dunia II kofigurasi politik dunia mulai ditandai oleh munculnya dua kekuatan raksasa
dunia yang saling bertentangan, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kedua kekuatan raksasa itu
masing-masing mempunyai sistem politik yang masing-masing mempunyai sistem politik dan bentuk
pemerintahan yang berbeda. Kedua kekuatan itu saling bertentangan dan berlomba-lomba
menyusun dan mengembangkan kekuatannya baik secara politis maupun militer meliputi
pengembangan senjata nuklir. Situasi pertentangan itu disebut Perang Dingin. Tiap-tiap pihak
menuntut supaya semua negara didunia ini menjatuhkan pilihannya kepada salah satu blok itu. Tidak
“pro” sudah dianggap “anti”, sedangkan sikap netral dikutuk.

Republik Indonesia bukan penganut politik luar negeri netral karena menolak untuk mengaitkan
dirinya kepada negara atau kekuatan manapun, betapapun besarnya. Politik dan sikap indonesia
dilandaskan pada kemerdekaan dan bertujuan untuk memperkuat perdamaian. Terhadap dua blok
kekuatan raksasa dunia yang bertantangan itu indonesia tidak mau memilih salah satu pihak.
Indonesia, mengambil jalan sendiri dalam menghadapiu masalah-masalah internasional. Oleh karena
itu, politik ini disebut “politik bebas”. Sering pula politik ini diperjelas dengan menambahkan kata
“aktif” dimaksudkan bawa Indonesia berusaha sekuat-kuatnya untuk memelihara perdamaian dan
meredakan pertentangan-pertentangan sesuai dengan cita-cita PBB. Politik ini sedapat mungkin
diusahakan agar mendapat bantuan dan dukungan sebanyak mungkin dari negara-negara yang
menjadi anggota PBB.       

2.2    Kehidupan Ekonomi Masa Demokrasi Liberal

a.    Pemikiran Ekonomi Nasional

Sejak pengakuan kedaulatan pemerintah Indonesia dihadapkan pada masalah yang berkaitan
dengan dipertahankannya dominasi Belanda atas ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia masih
menghormati kepentingn historis dunia usaha Belanda di Indonesia. Hal ini banyak mendapat
tentangan dari para pemimpin revolusioner Indonesia. Banyak desakan agar Indonesia menutup
perusahaan-perusahaan swasta Belanda, dan sekaligus mendorong usaha swasta pribumi.Sehingga
diharapkan dapat mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Perhatian tentang perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr. Sumitro
Djojohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi indonesia pada hakikatnya
adalah pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah mengubah struktur ekonomi
umumnya dariekonomi kolonial ke ekonomi nasional.Sumitro mencoba mempraktikan pemikirannya
itu pada sektor perdagangan. Ia berpendapat bahwa pada bangsa indonesia harus selekas mungkin
ditumbuhkan kelas pengusaha. Para pengusaha bangsa indonesia yang pada umumnya bermodal
lemah, diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun ekonomi nasional. Pemerintah
hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha itu, baik dalam bentu bimbingan kongkret
maupun dengan bantuan pemberian kredit karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha
pengusaha indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup. Jika usaha berhasil maka
secara bertahap pengusaha bangsa indonesia akan dapat berkembang maju, dan tujuan mengubah
struktur ekonomi kolonial dibidang perdagangan akan tercapai.Usaha ini dikenal dengan Program
Benteng. Sasaran program ini adalah pembangunan industri. Menurut Sumitro, Bangsa Indonesia
harus segera dibangun kelas pengusaha, sehingga struktur ekonomi kolonial dalam bidang
perdagangan dapat segera diubah. Program Benteng ini dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga
tahun, kurang lebih 700 perusahaan bangsa Indonesia mendapat bantuan dari proram ini. Namun
program in tidak tepat sasaran karena banyak pengusaha yang menyalahgunakan. Program ini
terjadi pada masa Kabinet Natsir.

b.    Sistem Ekonomi Liberal

Sesudah pengakuan kedaulatan, indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan sebagai
akibat ketentuan-ketentuan KMB: beban utang luar negeri sebesar Rp. 1.500 juts dan utang dalam
negeri sejumlah Rp. 2.800 juta. Struktur ekonomi yang diwarisi berat sebelah. Ekspor masih
tergantung kepada beberapa jenis hasil perkebunan. Produksi barang-barang ekspor ini dibawah
produksi sebelum Perang Dunia II.

Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah mengurangi jumlah uang
yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup, sedangkan maslah jangka panjang adalah
masalah biaya hidup, sedangkan masalah pertambahan penduduk dan tingkat hidup yang rendah.
Beban yang berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Defisit pemerintah pada
waktu itu dan sejumlah Rp.5,1 miliar. Defisit ini untuk sebagian berhasil dkurangi dengan pinjaman
pemerintah, yaitu dngan cara melakukan tindakan keuangan pada tanggal 20 Maret 1950. Jumlah
yang didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp.1,6 Miliar. Kemudian, dengan kesepakatan sidang
Menteri Uni Indonesia Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp. 200.000.000,00 dari negeri Belanda.
Pada tanggal 13 Maret dibidang perdagangan diadakan usaha untuk memajukan ekspor dengan
sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang eksport.

Sejak tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan oleh menurunnya volume
perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak memiliki
barang-barang eksport lainnya kecuali hasil perkebunan. Perkembangan ekonomi indonesia tidak
menunjukkan arah yang stabil, bahkan sebaliknya. Pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat
akibat tidak stabilnya situasi politik (perluasan program pemerintah, biaya untuk operasi-operasi
keamanan dalam negeri), adalah sebab utama bagi defisit. Disamping itu, pemerintah sendiri tidak
berhasil meningkatkan produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk
peningkatan pendapatan nasional kecuali itu, kelemahan pemerintah lainnya adalah politik
keuangan tidak dibuat di Indonesia tetapi di rancang di Nederland. Jadi, penyebab terjadinya
instabilitas tidak semata-mata terletak pada perluasan program, tetapi dipengaruhi juga oleh dua
faktor diatas. Hal ini karena politik kolonial belanda. Pemerintah Belanda tidak mewariskan ahli-ahli
yang cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
tidak menghasilkan perubahan yang derastis.

2.3    Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Liberal

a.    Pendidikan

Setelah diadakan pengalihan pendidikan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RIS tahun
1950, oleh mentri pendidikan Dr. Abu Hannifah, disusun sebuah konsep pendidikan yang menitik
beratkan pada spesialisasi. Garis bersar konsep tersebut mencakup berbagai hal diantaranya adalah
pendidikan umum dan pendidikan teknik dilaksanakan dengan perbandingan 3 : 1. Bagi setiap
sekolah umum mulai dari bawah ke atas diadakan 1 sekolah teknik. Sebagai lanjutannya adalah
sekolah teknik menengah dan sekplah teknik atas yang masing-masing ditempuh dalam 3 tahun.

Selain itu, karena Iindonesia adalah negara kepulauan, maka dibeberapa kota didakan akademik
pelayaran. Akademik Oseonografi dan Akademik Reserch Laut yang didirikan di kota Surabaya,
Makasar, Ambon, Manado, Padang dan Palembang. Untuk tenaga pengajar didatangkan dari luar
negeri seperti Inggris, Amerika dan Prancis. Selanjutnya juga didirikan sekolah tinggi pertanian.
Direncanakan diSumatra Barat dekat Payakumbuh diadakan filial dari Sekolah Tinggi Pertanian
Bogor. Namun, konsepsi tersebut hilang saat kabiner Hatta berhenti. Oleh Menteri Abu Hafiah juga
dirancangkan kota universiter untuk kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bukittinggi.
Direncanakan pula untuk mendirikan akademik voor wetenschappen.

Sistem pendidikan diadakan dengan titik berat desentralisasi, yaitu dari sekolah dasar hingga sekolah
menengah pertama menjadi urutan daerah dan supervisi pusat. Sekolah menengah atas menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat baik mengenai masalah keuangan maupun mata pelajaran.
Dalamrangka konsolidasi universitas-universitas negara, dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 7
tahun 1950 yang mewajibkan Mentri Pendidikn Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia
Serikat, jika perlu mengambil tindakan dari peraturan yang berlaku dan lain lain.

Dalam pelaksanannya tanggal 2 Februari 1950 Ir. Surachman diangkakt menjadi Rektor Universitas
Indonesia. Selama periode domookrasi liberal berdasarkan peraturan pemerintah No. 57 tahun 1954
yang mulai berlaku tangal 10 November 1954 didirikan sebuah universitaslain di Jawa, yaitu
Universitas Airlangga di Surabaya. Perluasan universitas-universitas di luar Jawa direalisasikan
dengan dikeluarkannya PP No. 23, 1 September yang menetapkan berdirinya Universitas Hasanudin
di Makasar, serta PP No. 24 tahun 1956 yang menetapkan berdirinya Universitas Andalas di
Bukittinggi. Kemudian berutrurt-turut berdasarkan PP No. 37 tahun 1957 mulai 1 September 1957 di
Bnadung didirikan Universitas Padjajaran, serta dengan PP No. 48 tahun 1957 tanggal 1 September
1957 didirikan Universitas Sumatra Utara di Medan.

Dalam perkembangan selanjutnya tahun 1958 dibawah Menteri PP dan K. Prof. Prijno disusun
konsepsi pengajaran yang disebut Sapta Usaha Tama yang terdiri atas tujuh ketentuan yaitu

1)      Penertiban aparatur dan usaha-usaha departemen PP dan K

2)      Meningkatkan seni dan olahraga


3)      Mengharuskan usaha halaman

4)      Mengharuskan penabungan

5)      Mewajibkan usaha-usaha koperasi

6)      Mengadakan kelas masyarakat serta

7)      Membentuk regu kerja dikalangan SLA dan universitas

Mengenai sekolah asing, pada tahun 1957 pemerintah menganbil tindakan pengawasan yang
dilasanakan oleh Departemen Pengajaran dan pihak penguasa Perang Pusat. Sekoah asaing
merupakan sekolah partikelir yang mengunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantarnya. Pada
pertengahan tahun 1957 sekoalh asing yang terdiri atas 1.800 sekolah Cina dan 125 sekoalh Belanda
dinilai mempunyai aspek khusus yaitu

1)        Karena Belanda belum bersahabat dengan Indonesia,

2)        Timbulnya sengketa politik antara Kou MinTang dan Kung Chang Tang di Cina yang telah
meluas sampai ke masyarakat Cina di indonesia.

Maka dari itu pemerintah mengambil keputusan utuk mencegah merembetnya persoalan Cina ke
Indonesia. Tentang pengawasan pengajaran aing tersebut maka dikeluarkan Peraturan Penguasaan
Militer pada 6 November 1957 No. 4/PMT tahun1957 yang berlangsung sampai 17 April 1958.

Dalam bidang pendidikan jasmani tanggal 2 Januari 1950 dikeluarkan Undang-Undang No.4 tahun
1950 tentng pengajaran. Pada bab IV pasal 9 tentang pendidikan jasmani tercantum “Tujuan
pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Dengan
adanya ini maka jumlah kantor inspeksi pendidikan jasmani dan sekolah Gguru Pendidikan Djasmani
(SGPD) juga kantor instruktur, aplikasi dari pendidikan jasmani dinentuk.

b.    Bahasa

Gagasan untuk menyempurnakan ejaan bahasa Indonesia timbul pasca diadakan Kongres Bahasa
Indonesia di Medan yang menghasilkan keputusan penyelidikan dan penetapan dasar-dasar ejaan
praktis bagi bahasa Indobesia. Dibentuklah panitia Panitia Pembahas ejaan Bahasa Indonesia dengan
surat keputusan Mentri PP dan K No. 448/S 19 Juli 1956.

Pada 17 April 1957 diadakan perjajian persahabatan antar RI dan Persekutuan Tanah Melayu.
Selanjutnya tanggal 4-7 Desember 1959 di Jakarta diadakan sidang bersama antara
Panitia  Pelsanaan Kerja sama Bahasa Melayu-Bahasa Indonesia yang diketuai olelh Prof. Dr.
Slametmuljana dan Kuasa Bahasa Resmi Baharu Persekutuan Tanah Melayu dipimpin Syeh Nasir bin
ismail. Sidang ini menghasilkan pengumuman bersama Ejaan Bahasa Melayu-Bahasa Iindonesia yang
pada tahun 1961 diterbitkan oleh Departemen PP dan K Republik Indonesia.

c.    Seni

Setelah pengakuan kedaulatan, di Yogyakarta berdiri organisasi Pelukis Indonesai atau PI yang
awalnya dipimpin oleh Sumutro kemudian diganti oleh Solihin dan Kusnadi. Perkumpulan para
pelukis muda adalah PIM atau Pelikis Indonesia Muda yang terbentuk tahun 1954 dengan Widaya
senagai ketuanya. Paling awal di Yogyakarta berdiri PTPI atau Pusat Tenaga Pelukis Indonesia dengan
Djajenggasmoro sebagai ketuanya. Oleh pemerintah didirikan Akademi Seni Rupa Indonesai (ASRI)
yang dibagi menjadi lima bagian yaitu seni lukis, patung, ukir, reklame dan pendidikan guru gambar.
Di Solo beberapa pelukis nergabung dengan Himpunan Budaya Surakarta. Di Madiun berdir Tunas
Muda.

Seni tari pada periode tahun 1945-1955 pembaharuannya baru terbatas pada teknik penyajian. Pada
waktu itu pengaruh komunis sangat terasa, tarian klasik yang dianggap berbau keraton
dikesampingkan dan muncuk tarian yang bertema kerakyatan dan kehidupan sehari-hari, seperti tari
tani, tari tenun, tari nelayan dan tari koperasi. Perkembangan semacam ini berkembang diseluruh
tanah air. Pada 27 Agustus 1950 di Surakarta didirikan Konservatori Karawitan, maksud dari
didirikannya konservatori karawitan ini adalah untuk mempertinggi serta memperkembangkan
karawitan.

Selanjutnya muncul tokoh-tokoh seniman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), merupakan
sebuah ormas PKI yang mendukung konsepsi Presiden Soekarno dan mendesak agar seluruh
kehidupan seni diperpolitikan sesuai dengan garis partai mereka. Tokoh-tokoh tersebut seperti Henk
Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Basuki Resobowo, dan Kotot Sukardi. Dalam tubuh PPFI tinbul
ketegangan antara pendukung Konsepsi Presiden dan golongan yang tidak menyetujui para artis film
berpolitik praktis. Akhirnya, golongan akhitnya golongan komunis (PKI) berhasil mempengaruhi PPFI
sehingga ditengah kancah pergolakan para artis film itu muncul istilah :Artis film yang
berpolotik”.oleh A.S Bey diusulakan untuk diadakannya simposium film dengan acara artis film yang
berpolitik, yang kemudian diadakan pada tanggal 8 September 1957 di Aula Univesitas Indonesia.

Mengenai perkembangan seni bangunan dapat dikatakan bahwa keadaan bangunan di kota-kota
pada umumnya mengambil tempat tidak berketentuan dan tidak selaras dengan keadaan alam.
Sekkolah-sekolah, kantor besar. Toko. Gedung tua, dan pondok rakyat berselang-seling sepanjang
jalan atau dalam  satu bagian kota yang seharusnya mempunyai ketentuan pasti. Sedangkan untuk
baguanan di desa-desa masih berpegang pada corak lama hal ini disebabkan karena lemahnya
ekonomi rakyat.

d.   Media Komunikasi Masa

Ciri umum dari pers pada masa demokrasi liberal adalah ditandai dengan prinsip-prinsip liberal
dalam penulisan berita, tajuk rencana da pojok. Pada umumnya memiliki segi komersial yang kurang
meskipun telah diasuh secara liberal.

Suatu ciri khusus pada masa liberal adalah surat kabar bekas milik Dinas Penerangan Belanda yang
kemudian diambil alih oleh tenaga bangsa Indonesia. Ternyata dalam pengurusannya jauh lebih baik
dibandingkan pers yang diusahakan oleh modal awasta nasional.

Pada tahun 1957, dengan dinasiolisasikannya perusahaan-perusahaan Belanda, membuat surat


kabar dengan bahasa Belanda lenyap dari peredaran. Peristiwa terpenting dalam perkembngan surat
kabar selama masa demokrasi liberal adalah diselenggarakannya seminar pers di Tugu, Bogor
tanggal 24-26 Juli 1955.

Jika dilihat dari segi komersialnya pers daerahmemang kurang menguntungkan. Faktor penduduk
yang ada disuatu daerah juga memperngaruhi kaitannya dengan kemajuan surat kabar, selain itu
juga faktor ekonomi perdagangan serta taraf kecerdasan penduduk juga ikut mempengeruhi maju-
mundurnya surat kabar.

Dikota-kota besar seperti Medan, Bandung dan Surabaya surat kabar dikatakan lumayan
berkembang jika dibandingkan dengan kota-kota kecil. Keterlambatan kemajuan pers didaerah
disebabkan karena kebangganan akan pers daerah yang kurang. Hal ini mungkin juga dissebabkan
karena pers daerah yang belum memperhatikan sifat-sifat yang layakuntuk dijadikan kebangaan bagi
daerah yang bersangkutan.

Sifat pers Indonesia dapat dikatakan masih regional. Artinya tidak dapat untuk memusatkan atau
konsentrasi surat kabar pada suatu tempat, misalnya saja ibu kota. Disetiap profinsi  terdapat surat
kabar besar maupun kecil yang berjumlah 79 surat kabat. 15 harian terbit di Jakarta, selebihnya
terbit didaerah-daerah.

Dalam memberikan kriteria pembedaan pers pusat dan daerah yang ditentukan adalah tempat
berdirinya. Pers pusat terbit di ibu kota dan pers daerah terbit di suatu ibu kota profinsi atau hanya
dalam sauatu kota besar. Sebenarnay tidak ada perbedaan yang esensial antara keduanya . uang
disebut dengan pers daerah kota tempa t terbitnya pers itu dan dan daerah sekitarnya. Dengan
demikian dalam pemberitaanya pers daaerah mau tidak mau harus memeperhatikan dan
mempertimbangkan keinginan pembacanya dalam penyebaran bereitanya yang meliputi dua macam
suasana yaitu kota dan desa.

Hal yang menjadi masalah lain sat itu adalh adanya anggapam umum bahwa pers atau media masa
di tanah air memiliki andil yang besar dalam merusak nahasa Indonesia. Meskipun demikian tidak
sedikit pula yang beranggaan bahwa pers memiliki andil dalam erkembangan bahasa Indonesia. Dari
kedua anggapan ini dapat dilihat bahwa media masa memiliki peranan besar kaitannya dengan
perkembangan bahasa Indonesia.

Sarana komunikasi vital lainnya adalah radio, sejak proklamasi kemerdekaan penyiaran radio
dikuasai oleh masyarakat Ondonesia. Setelah pengakuan kedaulatan corak penyiaran radio
mengalami perubahan, yaitu lebih digunakan untuk kepntingan nasional.

Anda mungkin juga menyukai