Indikator :
A . Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal
1. Sistem Pemerintahan
2. Sistem Kepartaian
3. Pemilihan Umum 1955
Oleh :
Nama : Nella Fatmawati
Kelas : XII Ipa 4
No.absen : 16
Perlu kalian ketahui bahwa sistem multi partai di Indonesia diawali dengan maklumat
pemerintah tanggal 3 November 1945, setelah mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja.
Pemerintah pada awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai-
partai politik dan organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi, hal ini
seperti yang disebutkan dalam maklumat pemerintah yang garis besarnya dinyatakan bahwa:
1. Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya satu partai.
3. Dengan adanya partai politik dan organisasi politik, bagi pemerintahmudah untuk minta
tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisanperjuangan. (Wilopo, 1978).
A . Sistem Pemerintahan
Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan tahun 1950an
telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem
parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial
digantikan dengan system pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan
cabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri.
Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan
sistem parlementer ini tidak diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia
Serikat pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu
juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD
Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai
landasan hukum Republik Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang ditetapkan
oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem
pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950 adalah system parlementer. Artinya Kabinet
disusun menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat
dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya merupakan lambang
kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai
zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang
dikenal sebagai Zaken Kabinet.
Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian
kabinet. Mengapa sering kali terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya
perbedaan kepentingan diantara partaipartai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut
tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi
silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi)
1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955;
Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-
1957 dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957 1959. Adapun susunan kabinetnya sebagai
berikut :
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai
Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai
Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh
terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan
prof Dr Soemitro Djojohadikusumo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses
integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada
masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis,
Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).Kabinet Natsit memiliki keberhasilan
dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah
Irian Barat.Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan
Benteng yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini
bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional
(pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan
kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng
dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan
bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang
digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat
dari kredit yang mereka peroleh.
Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI di
Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan
DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951
dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir
harusmengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono
(Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada
presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian
menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai
formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama
Kabinet Soekiman-Soewirjo.
Program pokok dari Kabinet sukiman adalah:
Menjamin keamanan dan ketentraman
Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan
kepentingan petani.
Mempercepat persiapan pemilihan umum.
Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam
wilayah RI secepatnya.
Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,
penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman
negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah parlemen
mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.Kabinet
Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security
Act (MSA).
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena
menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih
condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.Kabinet
Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan kurang prograsif
menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya
menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara,
dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang
progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah
yang memperparah kondisi politik nasional.Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17
Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam
TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan
Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi
SelatanMunculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat
kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari
Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:
Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba
digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan
sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional
Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan
pengusaha asing
Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk
mendapatkan kredit dari pemerintah.Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu
mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut
dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini
keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan
NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya
pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat
korupsi
Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu,
PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.
Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet
ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang
baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet.
6. Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan
Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:
Pembatalan KMB
Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif
Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil
melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB.Pada masa kabinet ini muncul gelombang
anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin
menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di
Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan
daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan.
Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha
Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan
mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.
7. Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang
terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket
Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai
politik di dalamnya.
Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:
Membentuk Dewan Nasional
Normalisasi keadaan RI
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
Perjuangan pengembalian Irian Jaya
Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai
langkah awal demokrasi terpimpin.Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di
daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya
diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 tanggal 14 September 1957.Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah
Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan
(munap) pada bulan November 1957.
B . Sistem Kepartaian
Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya
perangkat organisasi politik, yaitu partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Agustus
1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai partai
tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan. Gagasan pembentukan
partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3
November 1945. Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai partai politik
dimunculkan kembali dan berhasil membentuk partai partai politik baru. Diantara partai partai
tersebut tergambar dalam bagan berikut ini.
Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multi partai.
Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar memudahkan dalam mengontrol
perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan
untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah meminta
tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya
partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan kepentingan golongan dari pada
kepentingan nasional.
Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling
menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak
memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan
berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini
sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya
tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik
di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan. Kondisi inilah yang mendorong Presiden
Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya
membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.
C . Pemilihan Umum 1955
Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang
akan duduk dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-
partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah
dirancang sejak kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk
Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954.
Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur
jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet
Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan
yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955
dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang dilaksanakan
pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante (badan
pembuat Undangundang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu pertama ini
39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.
Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan calon-
calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan
Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan
umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang
mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta
demokrasi yang pertama. (Feith, 1999) Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada
tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara
terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan suara terbanyak
memperoleh kursi sebagai berikut :
Pemilihan Umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan jumlah anggota
sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara
pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin
Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka berakhirlah masa tugas DPR yang lama
dan penunjukkan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah suara terbanyak di DPR. Pemilihan
Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota Dewan Konstituate. Pemilihan
Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955.
Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk
menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam
pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang
Dasar) bersama-sama pemerintah selekaslekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”. Berdasarkan hasil
pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956, perolehan suara partai-
partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante urutannya tidak jauh berbeda
dengan pemilihan anggota legislatif, empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang
diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jika ada golongan
penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah
yang ditetapkan dalam UUD S 1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal
adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6
kursi.
Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956 hingga
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh UUD S 1950. Dewan
memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait dengan
masalah dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang
mendasar diantara usulan dasar negara yang ada.
Pembahasan mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena adanya konflik
ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga usulan dasar negara yang
diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar negara Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI,
Permai, Parkindo, dan Baperki; Kedua, Dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi,
NU dan PSII; Ketiga, Dasar negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai
Buruh. Ketiga usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan
Islam karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi, hanya
sembilan suara.
Dalam upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah dasar
negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang kemungkinan
dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni
1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh
pendukung Pancasila.Semua upaya untuk mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi
kandas dan hubungan kedua kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan
Konstituante tidak berhasil menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini
mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante
mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante harus menerima UUD 1945 apa
adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan. Menyikapi usulan Presiden,
Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk pemandangan umum.
Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil
mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga kali diadakan
pemungutan suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua sidang menetapkan tidak
akan mengadakan pemungutan suara lagi dan disusul dengan masa reses (masa tidak bersidang).
Ketika memasuki masa sidang berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi.
Kondisi inilah mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat genting dan
peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat
(Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda,
melarang sementara semua kegiatan politik dan menunda semua sidang Dewan Konstituante.