Anda di halaman 1dari 3

Kondisi politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan

Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 setelah Jepang


mengalami kekalahan dari Sekutu.

Proklamasi kemerdekaan ini menjadi titik akhir dari perjuangan bangsa Indonesia


setelah bertahun-tahun hidup dalam penjajahan.

Secara politik, keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu baik.

Masih adanya ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden yang terjadi di


Indonesia pada awal kemerdekaan.

Hal ini bisa terjadi karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela jika Indonesia
merdeka, Adjarian.

Kondisi Politik Indonesia pada Awal Kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan Indonesia, rakyat Indonesia masih harus bersinggungan


dengan sisa-sisa kekuatan Jepang.

Selain itu rakyat Indonesia juga harus berhadapan dengan tentara Sekutu dan
Belanda atau NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berhasil datang
kembali ke Indonesia.

Meski begitu, pemerintah Indonesia sudah membentuk alat kelengkapan negara,


tetapi masih banyak kekuranggan karena baru awal kemerdekaan.

PPKI yang keanggotaannya sudah sempurna kemudian berhasil mengadakan


sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia.

Soekarno dana Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama
Indonesia pada 18 Agustus 1945.

Nah, Indonesia pada saat itu menerapkan sistem presidensial sebagai sistem
pemerintahan negara.

Kemudian, Soekarno dan Hatta membentuk Kabinet Presidensial yang bertujuan


memenuhi alat kelengkapan negara.

Selain itu, dibentuk juga Tentara Nasional Indonesia atau TNI untuk menjaga
keamanan negara.

Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang terpusat pada


Presiden dan Wakil Presiden.

Hal ini tidak lepas karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah mempercayakan
Indonesia pada keduanya.
Kondisi politik bangsa pada masa demokrasi liberal

Situasi politik Indonesia sebelum pemilu tahun 1955 menunjukkan beberapa perbedaan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pertama, Indonesia menganut sistem multi
partai. Hal ini bertujuan untuk menampung aspirasi masyarakat untuk berpolitik. 

Kedua, salah satu akibat dari sistem multi partai tersebut adalah terjadinya persaingan
di antara partai politik. Partai yang memiliki banyak suara di parlemen akan menjadi
mayoritas, sedangkan yang suaranya sedikit menjadi partai oposisi. Tidak jarang sering
terjadi pergantian kabinet/pemerintahan akibat persaingan antar partai mayoritas dan
oposisi.

Kondisi Politik Masa Demokrasi Liberal


Setelah kembali dibentuk negara kesatuan, sistem demokrasi yang dianut adalah
demokrasi liberal, sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Dengan
menganut demokrasi liberal, maka perkembangan politik di Indonesia diberi ruang
seluas-luasnya. Dari tahun 1950 hingga 1959, terdapat 7 kabinet yang memerintah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini kabinet-kabinet masa Demokrasi liberal, :

1. Kabinet Natsir (7 September 1950 s.d. Maret 1951)


Kabinet Mohammad Natsir disebut dengan Zaken Kabinet. Kabinet ini diusung oleh partai
inti yaitu Masyumi. Berlangsungnya masa Kabinet Natsir tidak terlalu lama. Tepat pada
tanggal 21 Maret 1951 kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah adanya mosi
pembubaran dan pembekuan DPRD Sementara. Penyebab lain lengsernya kabinet ini
adalah seringnya mengeluarkan Undang-Undang Darurat yang kemudian mendapat
kritikan dari partai oposisi.

2. Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952)


Kabinet Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI (Partai Nasional
Indonesia). Beberapa gangguan keamanan muncul saat pada masa kabinet Sukiman.
Contohnya seperti pemberontakan DI/TII di beberapa wilayah di Indonesia, dan RMS
(Republik Maluku Selatan).

Kabinet Sukiman kemudian jatuh karena penandatanganan Mutual Security Act (MSA).
Perjanjian ini berisi kerjasama keamanan dan ekonomi yang dianggap lebih condong ke
pihak Blok Barat.

3. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1952)


Kabinet Wilopo didukung oleh partai PNI, Masyumi, dan PSI. Peristiwa penting yang
terjadi semasa pemerintahannya adalah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yaitu
tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat yang dipimpin oleh Nasution, agar
DPR sementara dibubarkan diganti dengan parlemen baru.

Sedangkan peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Timur mencakup persoalan


perkebunan asaing di Tanjung Morawa. Peristiwa Tanjung Morawa merupakan salah satu
penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo.

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Tanggal 31 Juli 1953 s.d. 24 Juli 1955)


Kabinet ini merupakan koalisi antara partai PNI dan PIR (Partai Indonesia Raya). Kabinet
Ali I dikenal dengan nama Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro).
Contoh prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali I adalah terlaksannya KAA
(Konferensi Asia Afrika) pada tanggal 18 hingga 24 April. Kabinet ini kemudian jatuh
karena masalah pergantian Pimpinan Angkatan Darat (Peristiwa 27 Juni 1945).

5. Kabinet Burhanudin Harahap (Tanggal 12 Agustus 1955 s.d. 3 Maret 1956)


Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan partai inti dari Masyumi. Program
kerja utama kabinet ini adalah perjuangan pengembalian Irian Barat. Penyelenggaraan
pemilu pertama pada tahun 1955 adalah salah satu pencapaian/keberhasilan yang diraih
oleh kabinet Burhanudin Harahap. Kemudian karena terjadi beberapa mutasi di
kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan
mandatnya.

6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 s.d. Maret 1957)


Program kerja kabinet ini Ali II disebut dengan Rencana Lima Tahun. Program ini
memuat masalah jangka panjang, misalnya perjuangan pengembalian Irian Barat.
Kemudian kabinet Ali II jatuh karena munculnya semangat anti Cina dan kekacauan di
daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah, akhirnya pada bulan Maret 1957
Ali Sastroamijoyo kembali menyerahkan mandatnya.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957 – April 1957)


Sama seperti Kabinet Natsir, Kabinet Djuanda juga sering disebut Zaken Kabinet, karena
para menterinya merupakan ahli di bidangnya masing-masing. Tugas utama kabinet
Djuanda adalah membebaskan Irian Barat dan memperbaiki keadaan ekonomi dan
keuangan yang saat itu sedang buruk/kacau.

Prestasi atau keberhasilan yang diraih Kabinet Djuanda adalah berhasil menetapkan
batas wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut. Ketetapan ini dikenal sebagai Deklarasi
Djuanda. Selain itu, pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, kabinet ini menjadi domisionernya.

Anda mungkin juga menyukai