Anda di halaman 1dari 12

analisa kekuatan politik Indonesia

masa demokrasi liberal/parlementer


(1950-1959)
NAMA KELOMPOK:
Dian Ayu Lailatul I. I01219010
Dian Erika Rahmadhani I01219011
Hasna Nisaul Faiizah I01219013
Inas Zizma Karuna Darani I01219014
Laura Lintang Selfa Azella I01219015
Mas Ayu Ainun Nisa’ I01219016
M. Rifqi Daffa S. I01219020
Identifikasi kekuatan-kekuatan politiknya
Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa demokrasi Liberal adalah sistem
kabinet presidensial. Sistem kabinet presidensial berlandaskan pada UUD 1945 (Undang-Undang
Dasar tahun 1945) dan kekuasaan tertinggi negara ditempati oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden.
Sistem demokrasi ini menganut paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong
royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip NASAKOM
(nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan kekuatan-kekuatan politik
yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer, sehingga mulai tercipta sikap saling gotong
royong antar sesama anggota partai politik.
PERGANTIAN KABINET SECARA CEPAT
Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner
dengan prinsip NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan kekuatan-kekuatan politik
yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer, sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesama
anggota partai politik.
Selama periode demokrasi liberal, tercatat ada tujuh kabinet selama masa demokrasi liberal, yakni
● Kabinet Natsir (6 September 1950 – 2 Maret 1951),
● Kabinet Sukiman (26 April 195 – 23 Februari 1952),
● Kabinet Wilopo (30 April 1952 – 2 Juni 1953),
● Kabinet Ali I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955),
● Kabinet Burhanuddin Harahap (11 Agustus 1955 – 3 Maret 1956),
● Kabinet Ali II (20 Maret 1956 – 3 Maret 1957), dan
● Kabinet Djuanda (8 April 1957 – 5 Juli 1959) (Notosusanto, 1998: 48).

Pergantian kabinet secara cepat ini karena tersendatnya kabinet dalam menjalankan program-programnya karena sering muncul
perbedaan dalam parlemen yang mewadahi kursi-kursi partai pendukung dan penentang pemerintah.Adapun beberapa tujuan
yang hendak dicapai oleh ketujuh kabinet tersebut, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban rakyat, meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat, mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu, menyelesaikan masalah dan memperjuangkan Irian
Barat ke dalam wilayah Indonesia, dan melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif.
Peta koalisi dan oposisi antar kekuatan kekuatan politik
KOALISI
menjelaskan kabinet Natsir mendapat dukungan dari militer dan dari tokoh-tokoh terkenal yang
memiliki keahlian dan reputasi tinggi seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh.
Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2. Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
3. Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat
Pada masa pemerintahan dan kekuasaan Kabinet Natsir terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan
DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS. Perundingan-perundingan masalah
Irian Barat juga mulai dirintis, namun mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, muncul mosi tidak
percaya terhadap Kabinet Natsir. PNI juga tidak menyetujui berlakunya Peraturan Pemerintah No. 39
tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi itu disampaikan kepada
parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951
Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden.
OPOSISI
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955). Dua bulan setelah mundurnya Kabinet Wilopo
terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali mendapat dukungan dari PNI dan NU,
sedangkan Masyumi memilih sebagai oposisi. Kabinet Ali mempunyai program 4 pasal:
a. Program dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera diselenggarakan
pemilihan urnum.
b. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
c. Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik bebas-aktif
dan peninjauan kembali Persetujuan KMB.
d. Penyelesaian pertikaian politik.
Meskipun keamanan dan kemakmuran menjadi program utama,
realisasinya memang sangat sulit. Kabinet Ali juga mendapatkan kesulitan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA) pimpinan Daud Beureueh yang menuntut Aceh sebagai provinsi dan meminta perhatian penuh atas
pembangunan daerah. Daud Beureueh menilai bahwa tuntutan itu diabaikan, sehingga ia menyatakan Aceh
menjadi bagian dari Nil (Negara Islam Indonesia) buatan Kartosuwiryo (September 1953). Usaha meningkatkan
kemakmuran mengalami kegagalan karena inflasi dan korupsi yang meningkat.
Aspirasi Dan kepentingan yang di perjuangkan kekuatan kekuatan politik

Dalam hal ini berada pada pemilihan umum (pemilu) pertama yang direncanakan akan dilaksanakan
pada tahun 1955. Selain itu, NU harus membuktikan peran-perannya dalam peta politik nasional.
Strategi Politik NU Menghadapi Pemilu 1955, Dalam sistem demokrasi, pemilu merupakan mekanisme
politik yang inheren di dalamnya. Pemilu 1955 yang merupakan pesta demokrasi diharapkan mampu
mewujudkan sistem multi-partai sebagai kekuatan konstruktif di alam demokrasi liberal. Partai NU
harus membuktikan eksistensinya dalam pemilu ini yang sekaligus menjadi sebuah alat uji kehadirannya
dalam sistem multi-partai.
fakta bahwa penerimaan NU terhadap dekrit yang mengandung keputusan pembubaran Konstituante
karena memandang bahwa majelis ini sudah tidak konstruktif. Maka cara untuk kembali kepada UUD
1945 melalui dekrit merupakan cara yang paling cepat. Meskipun demikian NU masih menaruh harapan
dikemudian atas suatu badan serupa yang dapat menyusun kembali kekuatan - kekuatan politik Islam
setelah situasi kondusif.

● Muhammad Ilham Gilang, DASAR NEGARA ISLAM ATAU PANCASILA : SIKAP POLITIK PARTAI NAHDLATUL ULAMA DALAM MAJELIS KONSTITUANTE,
Jurnal Candrasangkala Vol. 4, No. 1 (Mei 2018)
Strategi memperjuangkan Aspirasi dan kepentingan dari kekuatan-kekuatan politik.
Adapun strategi NU pada persidangan yang membahas mengenai rancangan UUD baru. Fraksi NU mengajukan 28 poin yang patut
dimasukkan dalam UUD. Pada saat membahas landasan negara muncul perdebatan yang serius. NU tetap bergabung dalam barisan ‘blok
Islam’. NU memandang bahwa konstituante merupakan ajang yang tepat untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. NU
memandang bahwa perjuangan dasar negara merupakan asasi karena langsung menyentuh pada jantung permasalahan I’tiqad dan
keyakinan. Islam diyakini dapat menjadi dasar hukum negara yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. NU melihat situasi
di luar konstituante tidak cukup kondusif untuk melanjutkan perundingan, karena ada tekanan dari pihak Soekarno dan militer. Jadi NU
merubah strategi dan sikap politiknya dengan tidak lagi bersikeras terhadap pengusungan bentuk negara Islam dan berusaha
mengakomodasi kepentingan nasionalis yang secara substantif tidak bersebrangan dengan pandangan NU. Maka pada bulan oktober 1958,
NU mengambil inisiatif untuk mengajukan gagasan ‘Pancasila-Islam’ sebagai penghubung antara dasar negara Pancasila. Namun gagasan
ini gagal sebelum dibawa untuk dirundingkan dalam persidangan konstituante karena penolakan sebagian kalangan di ‘blok Islam’. pada
awal 1959 terjadi tekanan dari Soekarno dan militer yang berusaha mencari jalan keluar dari pertentangan ideologis „blok Islam‟ dan
„blok Pancasila‟ dengan mengajukan diberlakukannya kembali UUD 1945. Atas latar belakang ini, NU yang mulanya bersikeras menolak
UUD 1945 dan berusaha memasukkan „Piagam Jakarta‟ pada UUD baru, perlahan merumuskan pandangan politiknya terhadap UUD 1945.
Perumusan ini terjadi pada tanggal 23 Maret 1959 mealalui sidang Dewan Partai NU. NU menyatakan bahwa tujuannya berkompromi
dengan UUD 1945 adalah dalam rangka menyelamatkan sistem kepartaian dan manyalurkan keinginan Presiden Soekarno untuk kembali
pada UUD 1945. NU menerima dekrit yang mengandung keputusan pembubaran konstituante karena memandang bahwa majelis ini sudah
tidak konstruktif. Maka cara yang cepat untuk kembali pada UUD 1945 melalui dekrit ini adalah cara yang cepat. NU masih menaruh
harapan adanya badan yang serupa yang dapat menyusun kekuatan politik Islam setelah situasi kondusif.
Gilang, M. I. (2018). Dasar Negara Islam Atau Pancasila: Sikap Politik Partai Nahdlatul Ulama Dalam Majelis Konstituante. Jurnal
Candrasangkala Vol, 4(1).
Siapa yang berhasil memperjuangkan aspirasi dan Kepentinganya
● Tokoh-tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal juga sebagai Demokrasi Liberal
di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan
partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari
rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.
● Pada masa demokrasi liberal Indonesia menggunakan UUD 1950 Sementara dan sistem pemerintahan Parlementer. Artinya
Kabinet bertanggungjawab kepada parlemen (DPR) bukan kepada Presiden waktu itu adalah Ir. Soekarno. Kabinet dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri, sementara itu Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara saja. Pemerintahan pada masa
Demokrasi Parlementer dijalankan oleh tujuh kabinet dengan masa jabatan berbeda

● Referensi
● Asshiddie, Jimly. 2006. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Kahkamahh Konstitusi. Kunstitusi Press.
Jakarta
● Mohammad Hatta. 2008. Demokrasi Kita. Bandung: Segaarsy
implikasi kontestasi/konflik antar kekuatan-kekuatan politik bagi masa
depan bangsa dan demokrasi.
● Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi Parlementer, atau yang dikenal juga dengan sebutan Demokrasi
Liberal adalah sistem kabinet parlementer. Sistem pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia tahun 1950). Sistem pemerintahan ini menetapkan bahwa kabinetkabinet atau para menteri bertanggung jawab kepada
parlemen. Sistem cabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan suara (voting) yang digunakan dalam pemilihan umum (Pemilu),
mosi, dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik (Matroji, 2002:67).

● Selain itu, adanya sistem multipartai pada masa ini menyebabkan terciptanya golongan mayoritas dan minoritas dalam masyarakat, serta adanya
sikap mementingkan kepentingan golongan partai politik masing-masing dari pada kepentingan bersama. Sistem pemerintahan dalam bidang
politik yang dianut pada masa demokrasi Liberal adalah sistem kabinet presidensial. Sistem cabinet presidensial berlandaskan pada UUD 1945
(Undang-Undang Dasar tahun 1945) dan kekuasaan tertinggi negara ditempati oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Sistem demokrasi ini
menganut paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan
musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip NASAKOM (nasionalisme,
agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer,
sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesame anggota partai politik.
● Pada masa ini ada beberapa konflik yang terjadi termasuk pergamtian kabinet dengan cepat dan
akhir dari demokrasi liberal adalah munculnya dekrit presiden pada tahun 1959. Lalu implikasi
dari masa demokrasi liberal adalah kembali kepada UUD 1945 juga pembubaran konstituente.
Dan sesuai dengan sub materi yaitu implikasi konflik pada demokrasi liberal untuk masa depan
adalah terbentuknya MPR yang sampai saat ini masih berfungsi sebagai lembaga yang bertugas
untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, juga melantik presiden dan wakil
presiden. Lalu implikasi kedua adalah sistem multipartai yang terjadi pada demokrasi liberal
masih ada hingga sekarang, walaupun sempat terhalang pada masa orde baru yang didominasi
oleh 1 partai. Namun banyaknya partai saat ini adalah implikasi dari demokrasi liberal yang
membebaskan rakyatnya mempunyai hak individu. Lalu pada saat itu juga terjadi beberapa
pemberontakan akibat pergantian kabinet yang terlalu sering, pergantian itu menimbulkan jarak
antara masyarakat dengan pemerintahan yang mengakibatkan tidak puasnya masyarakat pada
pemerintah pada saat itu.

● Matroji. Sejarah. 2002, Erlangga. Hal 67


● Paizon Hakiki. Sistem Pemerintahan pada Masa Demokrasi Liberal.
implikasi kontestasi/konflik antar kekuatan-kekuatan politik bagi masa
depan bangsa dan demokrasi.
Demokrasi liberal - atau tepatnya demokrasi parlementer cocok untuk negara-negara yang memerlukan seorang
tokoh pemersatu bangsa. Tokoh ini tidak boleh berpolitik praktis, karena kalau dia ikut berpolitik praktis, dia tidak
bisa lagi menjadi pemersatu bangsa.Indonesia pernah menganut sistem demokrasi parlementer (1950–1959), sebagai
warisan dari demokrasi parlementer yang dijalankan sewaktu Indonesia berbentuk negara serikat (1949 - 1950).
Tidak mengherankan karena RIS sendiri adalah bentukan Belanda, penganut demokrasi parlementer. Sukarno
menjadi tokoh pemersatu itu, dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh para Perdana Menteri.
Kelemahan dari demokrasi parlementer adalah kekuasaan eksekutif (Perdana Menteri) sangat bergantung pada
kekuatannya menguasai mayoritas di parlemen. Ketika peta koalisi di parlemen berubah oleh sesuatu hal, dan koalisi
partai partai pendukung Perdana Menteri berubah menjadi minoritas karena sebagian partai pendukungnya lompat
pagar menjadi mendukung oposisi, Perdana Menteripun jatuh dan kehilangan kekuasaan eksekutifnya. Kekuasaan
eksekutif beralih ke oposisi yang sekarang menjadi mayoritas di parlemen. Pemerintahan yang tidak stabil ini
mengakibatkan eksekutif tidak dapat menjalankan tugas tugasnya dengan baik.demokrasi liberal diwarnai dengan
besarnya peranan parpol dalam mengkritik bahkan menjatuhkan PM yg sedang memimpin kabinetnya. Karena saat
itu belum ada satu partai tunggal yang besar dan kuat, parpol-parpol berlomba-lomba melakukan koalisi untuk
mementingkan kepentingan politik masing-masing. pada masa ini keputusan banyak diambil lewat voting bukan
masyawarah atau mufakat.
Masa demokrasi liberal juga kerap kali menimbulkan konflik antara parpol (sipil) dengan
militer. Inilah asal usul adanya dwi fungsi ABRI dalam ranah politik pada masa demokrasi
terpimpin 1959 nanti. Hal ini terjadi karena parpol sering menekan militer untuk tidak
berurusan/bergabung dengan politik sehingga militer menambahkan fungsinya ke politik bersama
dengan fungsi aslinya (pertahanan).
bagaimana seandainya Indonesia saat ini menerapkan demokrasi parlementer, maka perlu kita lihat
peta koalisi partai partai politik sejak dimulainya pemilu langsung 2004. Dari sejak pemerintahan
SBY 1, SBY 2, sampai Jokowi 1 dan 2 pun tidak banyak partai politik yang lompat pagar dari
pendukung pemerintah menjadi oposisi. Yang tercatat hanya PKS dan PAN, partai partai kecil
yang tidak mempengaruhi kekuatan parlemen. Sehingga apabila polanya masih demikian,
penerapan demokrasi parlementer tidak akan menimbulkan banyak masalah karena pemerintahan
tetap stabil selama 5 tahun. namun Indonesia punya system demokrasi lebih baik, Panca Sila, Sila
ke-4; Permusyawaratan dalam perwakilan rakyat, dan UUD45, pasal 30; Hal-hal yang
menyangkut kehidupan rakyat banyak diatur oleh Negara. Artinya, demokrasi dilakukan oleh
masyarakat tanpa intervensi, dan Negara berperan memfasilitasi kebutuhan publik dalam hal
sarana sosial, ekonomi, keamanan, dan hukum.

Anda mungkin juga menyukai