1. Masa Demokrasi Liberal dimulai sejak tahun 1950 hingga lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada periode ini berbagai dinamika politik mewarnai bangsa Indonesia. Analisislah
keterkaitan antara perubahan politik pada masa Demokrasi Liberal dan demokrasi pada
masa kini. Aspek yang perlu anda analisa dalam tulisan anda adalah sistem kepartaian,
pelaksanaan pemilu, dan sistem pemerintahan
Demokrasi Liberal merupakan sebutan lain dari sistem demokrasi parlementer yang pernah
berlaku di Indonesia. Sistem ini dijalankan di Indonesia pada tahun 1950-1959. Periode
demokrasi liberal dimulai setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dari semula bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan RIS
berdasarkan persetujuan di Konferensi Meja Bundar yang kemudian dibatalkan secara sepihak
oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu orang yang meneliti perkembangan politik Indonesia pada dekade 1950-an,
yakni Herbet Feith, menyebut demokrasi liberal sebagai demokrasi konstitusional. Dalam
bukunya, The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia
(2007), Feith menyebutkan sistem demokrasi di Indonesia pada era 1950-1959
menitikberatkan kepada berjalannya sistem politik yang didominiasi oleh sipil. Selain itu, Feith
juga menyimpulkan, demokrasi liberal sebagai periode yang penuh dengan harapan-harapan
baru untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di berbagai bidang. Namun, Feith
membenarkan anggapan bahwa di masa tersebut, stabilitas politik Indonesia belum kokoh.
a) Sistem Kepartaian
Menurut Carl J. Friedrich yang dikutip dalam karya Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik (2008: 403), partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Menurut Abdurakhman, dkk dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2018:66), sistem
kepartaian di Indonesia pada era demokrasi liberal ialah sistem multipartai. Pembentukan
banyak partai, menurut Mohammad Hatta, bertujuan buat mengukur kekuatan perjuangan
Indonesia dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin
barisan perjuangan.
Akan tetapi, partai-partai politik kala itu gemar saling bersaing dengan cara mencari
kesalahan dan menjatuhkan. Akibatnya, pada era ini sering terjadi pergantian
pemerintahan.
Saat banyak kabinet tidak berumur panjang, program-programnya tidak bisa berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya ketidakstabilan, baik di
bidang politik, sosial, ekonomi, hingga keamanan.
Meski demikian, pada masa demokrasi liberal, pernah berlangsung pemilu pertama di
Indonesia, yakni pada tahun 1955. Pemilu yang diikuti oleh 29 partai politik, dan digelar
untuk memilih anggota DPR serta Dewan Konstituante ini, disebut-sebut sebagai
pemilihan umum paling demokratis dalam sejarah Indonesia.
b) Pelaksanaan Pemilu
Pemilu yang dilaksanakan pada era Demokrasi Liberal adalah pemilu pertama di
Indonesia yaitu Pemilu tahun 1955. Pemilu 1955 menggunakan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Sebagimana
dicatatan oleh Mudanto Pamungkas, 2019 dalam Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (Arsip
Nasional Republik Indonesia) Pemilu 1955 dibagi dalam dua tahapan: 29 September
pemilihan anggota DPR dan 15 Desember pemilihan anggota konstituante. Total 172 partai
politik yang ikut pemilu dan hasilnya tidak ada satupun partai yang dominan. Ada 28 partai
yang berhasil mendapatkan kursi di DPR, dimana total 257 kursi yang diperebutkan. Empat
partai dengan perolehan suara terbesar dalam pemilihan anggota DPR: PNI dengan suara
sah 8.434.653 dengan 57 kursi, Masyumi 7.903.886 dengan 57 kursi, NU 6.955.141 dengan
45 kursi, PKI 6.179.914 dengan 39 kursi. Jumlah suara sah adalah 37.785.299.
Seperti halnya perolehan suara DPR, perolehan suara anggota Konstituante untuk
empat besar tetap diisi oleh PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Namun pada pemilihan anggota
Konstituante perolehan suara Masyumi mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu
sebesar 114.267 suara. Sedangkan tiga partai yang lain justru mengalami peningkatan
suara. PNI suara sah 9.070.218 dengan jumlah 119 kursi, Masyumi 7.789.619 112 kursi,
NU 6.989.333 dengan jumlah 91 kursi, dan PKI 6.232.512 dengan 80 kursi. Jumlah suara
sah adalah 37.837.105.
Namun, etika politik yang ideal belum berjalan pada masa demokrasi liberal. Pada
masa itu yang menonjol justru semangat untuk mengutamakan kepentingan kelompok,
akibatnya parlemen dengan mudah menjatuhkan pemerintah. Hal ini tidak lepas dari
konflik ideologi yang muncul pada saat itu.
c) Sistem Pemerintahan
Mengutip dari buku Sejarah Indonesia Kelas 12 karya Abdurakhman, dkk (2018: 52),
sistem pemerintahan pada masa demokrasi liberal dilandasi oleh UUD Sementara 1950
(UUDS 1950) sebagai konstitusi tertinggi. Berdasar ketentuan dalam UUDS 1950, sistem
pemerintahan Indonesia dijalankan dengan sistem parlementer.
Sistem parlementer berarti kabinet pemerintahan disusun berdasarkan perimbangan
kekuatan kepartaian dalam parlemen. Maka itu, ia sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh
wakil-wakil partai dalam parlemen.
Dalam sistem parlementer, presiden hanya menjadi lambang kesatuan saja. Penerapan
sistem ini pada dasarnya bertujuan untuk mengakomodir kebebasan berpendapat dari
rakyat yang diwakili oleh partai di parlemen.
Akan tetapi, dalam perjalannya sistem ini seolah menjadi buah simalakama, karena
kebebasan berpendapat yang bertujuan mewujudkan kestabilan politik tidak sesuai dengan
kenyataan. Saat itu, situasi politik tidak stabil sebab sering kali terjadi pergantian kabinet
yang begitu cepat.
Salah satu sebabnya adalah perbedaan kepentingan di antara partai-partai yang ada.
Perbedaan di antara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik
sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali.
Adapun kabinet-kabinet pada masa demokrasi liberal, yakni sebagai berikut:
- Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951;
- Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952;
- Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953;
- Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955;
- Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956;
- Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957;
- Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959.
a. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian yang dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru didasarkan pada
konsep stabilitas politik sebagai dasar pembangunan Indonesia. Dalam jurnal Legitimacy
Questions and the Suharto Polity (1980) karya Herbert Feith, konsep stabilitas politik
merupakan konsep politik yang membentuk kondisi keamanan dalam negeri harus tetap
terjaga. Dalam konsep ini, pemerintah meniadakan oposisi dari kelompok-kelompok sipil
dan kekuatan politik lain. Berdasarkan konsep stabilisasi politik, berikut sistem kepartaian
masa Orde Baru: Depolitisasi Partai Depolitisasi adalah upaya untuk menghilangkan atau
menghapuskan kegiatan politik. Atas dasar TAP MPRS no IX tahun 1996 tentang Stabilitas
Politik dan Keamanan, pemerintah Orde Baru berusaha untuk menghilangkan partai politik
dengan ideologi ‘kiri’ seperti komunis dan sosialis di Indonesia.
Selain itu, partai-partai dengan haluan Islam fundamentalis juga dilemahkan dengan
membatasi kegiatan-kegiatan politik mereka. Penyederhanaan Partai Pemerintah Orde
Baru melaksanakan program penyederhanaan partai melalui Sidang Umum MPR tahun
1973. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari
penyaluran aspirasi masyarakat serta kemudahan dalam pengendalian partai politik.
Sembilan partai politik diggabungkan menjadi dua partai berdasarkan pandangan
politiknya. NU, Parmusi, Perti, dan PSII digabungkan menjadi PPP (Partai Persatuan
Pembangunan). PNI, Partai Katolik, Parkindo, Partai Murba, dan IPKI digabungkan
menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Politik Massa Mengambang Pemerintah Orde
Baru berusaha untuk meminimalisir perkembangan dan dinamika partai politik dengan
menerapkan konsep politik ‘’Massa Mengambang’’.
Dalam konsep politik ini, partai politik tidak diperbolehkan untuk memiliki cabang atau
ranting lebih rendah dari level kecamatan. Disisi lain, dibentuklah Golongan Karya
(Golkar) yang merupakan organisasi yang mewadahi massa mengambang, pegawai negeri
sipil dan angkatan bersenjata. Golkar sebagai sebuah organisasi diperbolehkan untuk
mengikuti Pemilu serta diperbolehkan untuk memiliki jaringan higga level desa melalui
aparat birokrasi dan militer. Hal tersebut menjadikan Golkar memiliki keunggulan dalam
sosialisasi dan mobilisasi dibandingkan dengan partai politik yang ada pada masa itu.
b. Pelaksanaan Pemilu
Dalam sila keempat Pancasila telah diatur mengenai nilai kerakyatan yang berbunyi
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusywaratan/perwakilan”. Bunyi sila keempat dari Pancasila ini seakan akan
menegaskan melalui kata “perwakilan” yang dimana frasa ini memiliki makna bahwa
kekuasaan yang diperoleh oleh individu atau pejabat di Indonesia merupakan amanat dari
rakyat yang dimana rakyat mempercayai para pejabat serta pemerintah untuk mengatur
atau mengakomodir kepentingan dari rakyat Indonesia. hal ini merupakan bentuk implikasi
dari sistem kedaulatan rakyat yang berlaku di Indonesia dimana kekuasaan tinggi negara
berada di tangan rakyat yang dilakukan melalui wakil wakilnya melalui suatu sistem yang
disebut dengan demokrasi sehingga jabatan yang diperoleh oleh seorang pejabat
pemerintah bukanlah merupakan suatu jabatan yang di peroleh sendiri namun merupakan
amanah dari masyarakat untuk kemudian digunakan semaksimal mungkin demi
kepentingan seluruh rakyat Indonesia (Sarira, 2022).
Pancasila dan undang undang dasar 1945 merupakan landasan utama dalam
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. hal ini sendiri tidak terlepas dari Undang- Undang
Dasar 1945 yang merupakan landasan idiil serta pedoman dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sehingga pelaksanaan demokrasi di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan
kedua landasan tersebut sehingga apabila pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami
penyimpangan atau tidak sesuai dengan semangat yang terdapat dalam Undang- Undang
Dasar 1945 serta Pancasila yang merupakan dasar negara serta konstitusi dari negara
kesatuan republik Indonesia.
Nilai kerakyatan yang terdapat dalam Pancasila serta pembukaan Undang- Undang
Dasar tahun 1945 merupakan dasar utama dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia sehingga
peraturan perundang- undangan serta aturan pelaksanaan dari peraturan perundang-
undangan tersebut tidak boleh membangkang atau bertentangan dengan nilai- nilai yang
terdapat dalam Pancasila maupun Undang- Undang dasar 1945. Apabila terdapat
pertentangan antara peraturan perundang undangan mengenai pemilu dengan nilai
kerakyatan yang diangkat dalam UndangUndang Dasar 1945 maupun peraturan
pelaksananya, maka hal tersebut merupakan suatu perbuatan inkonstitusional serta
memudarkan nilai- nilai demokrasi Pancasila yang telah dianut oleh bangsa Indonesia
(Salurante, 2022).
Nilai kerakyatan yang terkandung dalam Undang- Undang Dasar 1945 serta Pancasila
bukan hanya merupakan dasar hukum yang hanya bersifat letter lijk saja melainkan juga
harus diimbangi dengan suatu tindakan yang mencerminkan implementasi dari nlai
kerakyatan itu sendiri. terkait dengan pelaksanaan pemilu, tindakan ini dituangkan dalam
asas pemilu yaitu Langsung, Umum bebas, Rahsia, Jujur dan Adil yang artinya pelaksanaan
pemilu di Indonesia harus berlandskan pada 4 asas ini guna menghasilkan pemilu yang
menjunjung tinggi demokrasi Pancasila serta mencerminkan implementasi nilai nilai
kerakyatan dalam pelaksanaanya.
Pelaksanaan pemilu yang LUBER dan JURDIL sebagaimana asas pemilu yang telah
digaungkan sejak lama menjadi titik tumpu yang harus ditekankan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang merupakan pengatur jalannya kegiatan pemilihan umum di Indonesia
sehingga dengan dikuatkannya penerapan asas tersebut pada pelaksanaan pemilu di
Indonesia maka diharapkan akan mampu menghadirkan pemilu sebagai suatu ajang pesta
demokrasi sebagaimana yang lazim diistilahkan oleh para akademisi maupun praktisi
politik, namun bukan hanya sebagai suatu ajang pesta demokrasi semata melainkan mampu
dijadikan sebagai bukti yang nyata bahwa pelaksanaan demokrasi Indonesia telah berjalan
dengan kondusif serta apa yang diamanatkan oleh Pancasila maupun Undang- Undang
Dasar 1945 telah dapat dipenuhi baik dalam pelaksanaannya maupun implikasi dari
pelaksanaan pemilihan umum tersebut.
Meskipun Pancasila sebagai dasar negara yang kemudian diperkuat dengan pembukaan
Undang- Undang Dasar 1945 alinea ke 4 mengenai sistem demokrasi Pancasila khususnya
sila ke 4 mengenai nilai kerakyatan, namun pelaksanaan pemilu di era sekarang sudah
cukup menyimpang dari nilai- nilai demokrasi yang harusnya dijunjung tinggi dalam setiap
pelaksanaan nya. Benturan kepentingan yang terjadi di kalangan elit politik yang
diakibatkan oleh adanya ambisi terselubung para pejabat pemerintah untuk tetap berkuasa
dalam pemerintahan menjadi penyelenggaran pemilu yang harusya menjadi pesta
demokrasi kini menjadi pesta untuk para pejabat yang berdasi. Hal ini bukanlah merupakan
suatu rahasia umum dikarenakan baik masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah
maupun tinggi telah menyadari betapa buruknya sistem pelaksanaan pemilu yang diawali
dengan mosi tidak percaya masyarakat pada hasil pemilihan umum yang dilakukan pada
tahun 2019 yang lalu dimana banyak pihak yang mencurigai adanya kecurangan-
kecurangan yang dilakukan oleh oknum- oknum tertentu untuk mempertahankan
kepentingan kelompok atau golongannya untuk tetap berkuasa di dalam pemerintahan.
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat hanya sekedar menjadi suatu teori semata yang
hanya menjadi pegangan akademisi dalam melakukan suatu penelitian mengenai
demokrasi namun dalam penerapannya masih jauh dari kata harapan.
Pelaksanaan pemilu di Indonesia di era sekarang ini juga sedang dipenuhi oleh berbagai
isu yang dihembuskan secara kencang oleh berbagai kelompok kepentingan terhadap
kelompok yang lain. Mulai dari isu Presiden 3 (Tiga) periode, pemilihan umum
menggunakan sistem profesionalisme tertutup, serta berbagai macam isu politik menjadi
bumbu penyedap sebelum pelaksanaan pemilu di Indonesia sejak pemilu periode 2019.
Isu-isu politik seperti ini dipahami oleh masyarakat sebagai suatu isu yang biasa terjadi
dikarenakan dalam pemilu, masing- masing pihak akan bersaing untuk menduduki jabatan
penting di dalam pemerintahan sehingga selayaknya apa yang masyarakat umum saksikan
di beberapa media dimana para pejabat saling sikut opini dengan pejabat yang lain. Hal
tersebut dilakukan semata mata bukan untuk kepentingan rakyat melainkan hanya untuk
memenuhi ambisi dari para elit politik yang semakin kuat untuk menancapkan tajinya
dalam sektor pemerintahan.
Selain itu di atas, pengaturan threshold 25% dalam pencalonan presiden dan wakil
peresiden sebagai peserta pada pemilu di setiap periode juga menjadi salah satu catatan
kemunduran demokrasi di Indonesia dikarenakan adanya threshold 25% ini bukan hanya
akan merusak nilai- nilai keadilan dikarenakan membatasi setiap pihak untuk menjadi
peserta dalam pemilihan umum namun juga merusak nilai- nilai kerakyatan yang dimana
rakyat berhak untuk memilih pemimpin mana yang dianggap layak untuk dijadikan sebagai
pemimpin bagi negaranya. Oleh karena itu, penetapan threshold 25% berpotensi untuk
menghasilkan pemimpin yang kurang memenuhi ekspektasi rakyat sehinga berpotensi
untuk tidak cakap dalam hal penyelenggaraan negara serta pembuatan kebijakan. Hal inilah
yang sering digaungkan oleh para pengamat politik sebagai bentuk kepedulian mereka
terhadap penegakan demokrasi serta sistem politik yang berlandaskan nilai nilai Pancasila.
Meskipun demikian, pelaksanaan pemilu yang masih jauh dari kata demokratis serta
berlandaskan nilai- nilai Pancasila tidak secara otomatis menyebabkan marwah dari
pemilihan umum telah merusak nilai- nilai demokrasi serta prinsip kedaulatan rakyat yang
secara tegas tertuang dalam Pancasila sebagai dasar negara serta Undang Undang Dasar
1945 selaku konstitusi negara kesatuan republik Indonesia. hal ini dikarenakan jiwa yang
terdapat melalui pemiihan umum terbentuk atas dasar demokrasi serta penegakan prinsip
kedaulatan rakyat yang menjunjung tinggi adanya budaya politik partisipatif dimana semua
warga negara terlibat dalam setiap kegatan politik di Indonesia sehingga penyelenggaraan
demokrasi di Indonesia dapat terlaksana dengan baik melalui implementasi nilai- nilai
Pancasila dalam setiap penyelenggaraannya.
c. Sistem Pemerintahan
Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan
Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah
kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.
Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan.
Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian,
sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan.
Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan,
tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan
yang berasal dari kata perintah. kata-kata itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau.
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah.
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan
oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka
mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah
perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam
rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan diartikan sebagai
suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling
bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan.
Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala
negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan
kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin
oleh seorang menteri. Apabila semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang
perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk
presidensial, dan kabinet ministrial.
8. Ketidakstabilan kondisi politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Liberal
sangat mempengaruhi kondisi social masyarakat. Berbagai macam ketegangan politik yang
terjadi ditingkat pusat mempengaruhi kondisi social masyarakat. Analisislah kehidupan social
masyarakat, pendidikan, dan perkembangan budaya pada masa Demokrasi Liberal!
Demokrasi Liberal merupakan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia sejak 1950
hingga 1959. Pada masa ini, kehidupan sosial masyarakat Indonesia mengalami sejumlah
perubahan, baik positif maupun negatif.
• Perubahan Positif
Salah satu perubahan positif yang terjadi pada masa demokrasi Liberal adalah
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Hal ini terlihat dari
meningkatnya jumlah anak sekolah, baik di sekolah dasar, sekolah menengah, maupun
sekolah tinggi. Pada tahun 1955, jumlah anak sekolah dasar mencapai 10 juta orang, jumlah
anak sekolah menengah mencapai 2 juta orang, dan jumlah mahasiswa mencapai 100 ribu
orang.
Perubahan positif lainnya adalah berkembangnya kebudayaan nasional. Hal ini terlihat
dari semakin banyaknya karya seni dan sastra yang dihasilkan oleh para seniman dan
sastrawan Indonesia. Pada masa ini, lahirlah sejumlah karya seni dan sastra yang terkenal,
seperti film "Bengawan Solo" (1954), novel "Tiga Dara" (1951) karya Usmar Ismail, dan
puisi "Aku" karya Chairil Anwar.
• Perubahan Negatif
Selain perubahan positif, kehidupan sosial masyarakat Indonesia pada masa demokrasi
Liberal juga mengalami sejumlah perubahan negatif. Salah satu perubahan negatif yang
paling menonjol adalah meningkatnya konflik sosial. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
kepentingan antargolongan masyarakat, terutama antara golongan agama, golongan etnis,
dan golongan politik.
Kondisi sosial pada masa demokrasi liberal terbilang tidak stabil. Di mana banyak terjadi
pergolakan di berbagai daerah. Dikutip dari buku Demokrasi Pancasila di Era Kemajemukan
oleh Daemawan Harefa, demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada abad pencerahan
oleh penggagas teori kontrak sosial. Semasa perang dingin, demokrasi liberal bertolak
belakang dengan komunisme ala republik rakyat. Terlepas dari banyaknya terjadi pergolakan
di berbagai daerah, terdapat beberapa peningkatan di berbagai bidang, antara lain:
a. Kondisi Demografi
1. Pertamabahan jumlah penduduk menurut buku Sejarah Indonesia Modern
- 1950: 77 Jt jiwa
- 1955: 85,4 Jt jiwa
a. Sistem Pendidikan
1. Menurut buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7 : Pascarevolusi, dalam bab VII
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1950 > anak (6 - 8 th) wajib mengikuti
Pendidikan minimal selama 6 th.
2. Diselenggarakan dengan sistem desentralisasi - SD & SMP menjadi urusan Provinsi
dengan supervisi Pemerintah Pusat.
3. Perhatian pemerintah dalam sistem pendidikan masih kurang. Buktinya, alokasi dana
dari Pemerintah yang masih minim.
- Tahun 1950 : 250 juta rupiah ( 5,1 %)
- Tahun 1951 : 565 juta rupiah ( 8,9 %)
- Tahun 1952 : 810 juta rupiah ( 6,3 %)
- Tahun 1953 : 696 juta rupiah (7,9 %)
Dana yang sangat minim jika dibandingkan dengan pendidikan pada masa colonial
Belanda yaitu 9,3 %. Kesimpulan : Perhatian kolonial Belanda pada sektor pendidikan
lebih besar dibandingkan pemerintah Indonesia pada Demokrasi Liberal.
b. Perguruan Tinggi
Menurut Buku Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 8 : Orde Baru dan Reformasi (2012)
- Universitas pertama yang didirikan di Indonesia adalah Universitas Gajah Mada di
Yogyakarta (19 Desember 1949)
- Penggabungan Balai Perguran Tinggi RI dan Universiteit Van Indonesia menjadi
Universitas Indonesia (2 Ferbruari 1950)
- Mendirikan Universitas Airlangga di Surabaya (10 November 1954)
- Mendirikan universitas Hasanuddin di Makassar (1956)
- Mendirikan Universitas Padjajaran di Bandung dan Universitas Sumatera Utara di
Medan (1957)
Kehidupan Berbudaya
Pada masa ini, kebudayaaan bangs telah berkembang lebih baik daripada masa sebelumnya.
a. Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia
- Pada 28 Oktober - 2 November 1954 Departemen Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan mengadakan Kongres Bahasa Indonesia di Medan. Realisasinya ->
Pemerintah membentuk Panitia pembahasan Ejaan Bahasa Indonesia, dipimpin Prof.
Dr. Priejono. (Surat Keputusan Menteri PP dan K 448 / S pada 19 Juli 1956)
- Pada 1959 - Kongres Bahasa Melayu-Indonesia, dipimpin Slamet Muljana dan Syekh
Nasir Ismail. Meresmikan Pengumuman Bersama Ejaan Bahasa Melayu - Indonesia
(Melindo). Akan diterapkan pada 1962 tetapi tidak terealisasi karena konfrontasi
antara Indonesia dan Belanda.
b. Perkembangan Karya Sastra
- Menurut buku Indonesia dalam Arus Seiarah Silid 7: Pascarevolusi, periode 1950-an
merupakan perkembangan kesastraan dan mula berkembang mengenai kegetiran pada
masa perang kemerdekaan.
- Pada periode 1950 muncul sastrawan lokal yang memengaruhi karya sastra di
Indonesia. Karya sastra indonesia dipengaruhi banyak gaya bahasa. Sastrawan
indonesia juga berperan dalam menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat
kebangsaan melalui karya - karya mereka.
- Pada tahun 1950, dimulai pula pemberian hadiah bagi karya sastra yang dianggap
baik. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong dan memberikan rangsangan bagi
sastrawan untuk menghasilkan karya dengan kualitas lebih baik yang dimulai pada
tahun 1953 oleh BMKN.
Setelah pengakuan kedaulatan, di Yogyakarta berdiri organisasi Pelukis Indonesa atau
PI yang awalnya dipimpin oleh Sumutro kemudian diganti oleh Solihin dan Kusnadi.
Perkumpulan para pelukis muda adalah PIM atau Pelikis Indonesia Muda yang terbentuk
tahun 1954 dengan Widaya sebagai ketuanya. Paling awal di Yogyakarta berdiri PTPI
atau Pusat Tenaga PelukisIndonesia dengan Djajenggasmoro sebagai ketuanya.
Oleh pemerintah didirikan Akademi Seni Rupa Indonesai (ASRI) yangdibagi menjadi
lima bagian yaitu seni lukis, patung, ukir, reklame danpendidikan guru gambar. Di Solo
beberapa pelukis nergabung denganHimpunan Budaya Surakarta. Di Madiun berdir
Tunas Muda.
Seni tari pada periode tahun 1945-1955 pembaharuannya baru terbataspada teknik
penyajian. Pada waktu itu pengaruh komunis sangat terasa, tarian klasik yangdianggap
berbau keraton dikesampingkan dan muncuk tarian yangbertema kerakyatan dan
kehidupan sehari-hari, seperti tari tani, taritenun, tari nelayan dan tari koperasi.
Perkembangan semacam iniberkembang diseluruh tanah air.
Pada 27 Agustus 1950 di Surakarta didirikan Konservatori Karawitan,maksud dari
didirikannya konservatori karawitan ini adalah untukmempertinggi serta
memperkembangkan karawitan. Selanjutnya muncul tokoh-tokoh seniman dari
LembagaKebudayaan Rakyat (Lekra), merupakan sebuah ormas PKI yangmendukung
konsepsi Presiden Soekarno dan mendesak agarseluruh kehidupan seni diperpolitikan
sesuai dengan garis partaimereka. Tokoh-tokoh tersebut seperti Henk Ngantung,
Pramoedya AnantaToer, Basuki Resobowo, dan Kotot Sukardi.
Mengenai perkembangan seni bangunan dapat dikatakan bahwakeadaan bangunan di
kota-kota pada umumnya mengambiltempat tidak berketentuan dan tidak selaras dengan
keadaanalam. Sekolah-sekolah, kantor besar, Toko, Gedung tua, dan pondokrakyat
berselang-seling sepanjang jalan atau dalamsatu bagiankota yang seharusnya mempunyai
ketentuanpasti. Sedangkan untuk bangunan di desa-desa masih berpegang padacorak
lama hal ini disebabkan karena lemahnya ekonomi rakyat.
SUMBER REFERENSI
Journal of Law and Nation (JOLN) “Pelaksanaan Pemilu di Indonesia Berdasarkan Perspektif
Pancasila”
https://joln.org/joln/article/download