Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pemilu dalam negara-negara demokrasi termasuk di Indonesia, merupakan suatu
proses yang meletakkan kedaulatan rakyat sepenuhnya ditangan rakyat itu sendiri melalui
sistim pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan oleh konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang
sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut serta dan aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan.
Sebuah negara berbentuk republik yang berarti kekuasaan dikembalikan ke
masyarakyat (publik) untuk menentukan arah dan substansi roda pemerintahan yang tidak
lepas dari pengawasan rakyat itu sendiri. Bentuk pemerintahan yang terbentuk karena
kemauan rakyat dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri disebut
demokrasi. Demokrasi merupakan sebuah proses, artinya sebuah republik tidak akan berhenti
di satu bentuk pemerintahan selama rakyat negara tersebut memiliki kemauan yang terus
berubah. Ada kalanya rakyat menginginkan pengawasan yang superketat terhadap
pemerintah, tetapi ada pula saatnya rakyat bosan dengan para wakilnya yang terus bertingkah
karena kekuasaan yang seakan-akan tak ada batasnya.
Melalui sistim demokrasi, pemerintah membuat kontrak atau perjanjian dengan
rakyat yang disebut dengan istilah kontrak sosial. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak
sosial atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui
pemilihan umum, rakyat dapat memilih secara langsung siapa yang menjadi perwakilannya di
lembaga legislatif dan memilih langsung atau melalui perwakilannya untuk memilih
pemerintah dilembaga eksekutif untuk penyaluran aspirasi atau kehendak rakyat yang
selanjutnya akan menentukan masa depan sebuah negara.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah Perbandingan Pelaksanaan Pemilu pada masa demokrasi parlementer
dengan pemilu pada masa reformasi ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas mata pelajaran
2. Untuk mengetahui Perbandingan Pelaksanaan Pemilu pada masa demokrasi
parlementer dengan pemilu pada masa reformasi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PEMILU PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER


Demokrasi Parlementer Indonesia lahir dari rangkaian kekecewaan. Empat tahun
setelah proklamasi, berdasarkan keputusan Ronde Tofel Conferentie atau dikenal dengan
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang ditandatangani pada 2
November dan efektif berlaku 27 Desember 1949.
Pasca pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949, bentuk negara berubah menjadi
negara serikat yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun RIS berumur kurang
dari setahun, atas kesepakatan dari tokoh-tokoh nasional, 16 Agustus 1950, Presiden
Soekarno membubarkan RIS dengan menyatakan bahwa Indonesia kembali ke bentuk negara
kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Perubahan itu juga disertai perubahan konstitusi,
yang semula Konstitusi RIS diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS
1950).
Menurut UUDS 1950, dengan sistem kepartaian yang menganut multipartai, partai
politik pemenang pemilulah yang berkuasa. Tanggungjawab pemerintahan ada pada perdana
menteri, sementara Presiden dan Wakil Presiden hanya sebagai simbol yang tidak memiliki
fungsi pemerintahan sehari-hari. Perdana menteri dapat jatuh bila kebijakannya tidak
didukung parlemen.
Tingkat Partisipasi
Secara umum, demokrasi Parlementer didasarkan pada kebebasan dan hak-hak
individu. Setiap warga negara (individu) tanpa memandang suku atau agama atau golongan
untuk berserikat (membuat/membentuk partai politik) dan hak dipilih. Mengutip Robert Dahl,
bahwa ada dua konsep penting dalam demokrasi Parlementer: kontestasi dan partisipasi.
Kontestasi (perdebatan, penyanggahan) dimana ada kebebasan membentuk partai yang
memungkinkan terakomodasinya aspirasi individu yang seringkali berbeda antara satu
individu dengan individu lainnya. Perbedaan pandangan inilah yang menjadi salah satu
pemicu timbulnya kontestasi. Partisipasi yang dimaksudkan Dahl dapat terwujud dengan
adanya pemilu. Pemilu yang diadakan pun harus diadakan secara adil dan dapat diikuti oleh
semua warga yang memiliki hak suara. Selama demokrasi Parlementer 1950-1959 tingkat
partisipasi sangat berkembang, rakyat secara antusias menyambut dan menunaikan hak

2
politiknya. Bahkan tidak hanya partai politik, organisasi massa dan tokoh perorangan pun
mengambil bagian sebagai kontestan dalam pemilu.
Memang saat itu, budaya politik yang berkembang adalah budaya politik partisipatif. Hal itu
ditunjukkan dimulai sejak pengumuman rencana pelaksanaan Pemilu 1955, rakyat secara
antusias menyambutnya. Partai politik juga demikian, bahkan organisasi massa dan tokoh
perorangan pun mengambil bagian sebagai kontestan.
Pemilu tahun 1955 menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Sebagimana dicatatan oleh Mudanto
Pamungkas, 2019 dalam Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (Arsip Nasional Republik Indonesia)
Pemilu 1955 dibagi dalam dua tahapan: 29 September pemilihan anggota DPR dan 15
Desember pemilihan anggota konstituante. Total 172 partai politik yang ikut pemilu dan
hasilnya tidak ada satupun partai yang dominan. Ada 28 partai yang berhasil mendapatkan
kursi di DPR, dimana total 257 kursi yang diperebutkan. Empat partai dengan perolehan
suara terbesar dalam pemilihan anggota DPR: PNI dengan suara sah 8.434.653 dengan 57
kursi, Masyumi 7.903.886 dengan 57 kursi, NU 6.955.141 dengan 45 kursi, PKI 6.179.914
dengan 39 kursi. Jumlah suara sah adalah 37.785.299.
Seperti halnya perolehan suara DPR, perolehan suara anggota Konstituante untuk
empat besar tetap diisi oleh PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Namun pada pemilihan anggota
Konstituante perolehan suara Masyumi mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu
sebesar 114.267 suara. Sedangkan tiga partai yang lain justru mengalami peningkatan suara.
PNI suara sah 9.070.218 dengan jumlah 119 kursi, Masyumi 7.789.619 112 kursi, NU
6.989.333 dengan jumlah 91 kursi, dan PKI 6.232.512 dengan 80 kursi. Jumlah suara sah
adalah 37.837.105
Namun, etika politik yang ideal belum berjalan pada masa demokrasi Parlementer.
Pada masa itu yang menonjol justru semangat untuk mengutamakan kepentingan kelompok,
akibatnya parlemen dengan mudah menjatuhkan pemerintah. Hal ini tidak lepas dari konflik
ideologi yang muncul pada saat itu.
Mengutip Soekarno dalam karya monumentalnya “Dibawah Bendera Revolusi” jilid 1
(hal 583), tahun 1941 Soekarno menulis artikel lagi berjudul “Demokrasi Politik Dengan
Demokrasi Ekonomi=Demokrasi Sosial” bahwa negeri Eropa mengenal parlementair
democratie sesudah Revolusi Prancis. Parlementair democratie (demokrasi dengan parlemen)
yang dinamakan demokrasi politik (politieke democratie ): semua lapisan rakyat mempunyai
hak campur tangan di dalam politik kenegaraan, hak buat memilih anggota parlemen dan hak
untuk dipilih menjadi anggota parlemen. Namun, kalau ditilik dengan sekelebatan mata saja,
3
maka memang cara pemerintahan semacam ini seperti sudah bisa menyenangkan 100%
kepada rakyat. Sudah boleh memilih atau dipilih, boleh membuat usul ini atau itu, boleh
menyetem pro kalau mufakat dan boleh menyetem menolak kalau tidak mufakat, boleh
mengadakan undang-undang baru atau meniadakan undang-undang lama, boleh menjatuhkan
menteri yang tidak disenangi atau mengangkat menteri baru yang dicocoki.
Demokrasi Parlementer Indonesia dengan jumlah partai yang demikian banyak
ditambah dengan semangat lebih mengutamakan kepentingan golongan karena saat itu politik
aliran-primordialisme masih sangat dominan. Hal ini menyebabkan terjadinya instabilitas
politik. Dominannya politik aliran membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik.
Akibat politik aliran tersebut, setiap konflik yang terjadi cenderung meluas melewati batas
wilayah, yang pada akhirnya membawa dampak yang sangat negatif terhadap stabilitas
politik.
Instabilitas politik tersebut ditandai dengan pergantian kabinet yang berlangsung
sangat cepat. Terhitung ada tujuh kabinet yang memerintah selama 1950-1959. Kabinet
Natsir 6 September 1950 – 21 Maret 1951; Kabinet Sukiman 27April 1951- 3 April 1952;
Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953); Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 –
12 Agustus 1955); Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956);
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957); dan Kabinet Djuanda (9 April
1957 – 5 Juli 1959). Mosi tidak percaya dari pihak oposisi yang ada di parlemen dengan
mudah menjatuhkan kabinet yang berkuasa. Mudahnya mosi tidak percaya, karena tidak ada
satupun partai politik yang mayoritas (perolehan kursinya dominan di DPR).
Politik yang tidak stabil menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil. Kabinet terlalu
sering berganti, sehingga pelaksanaan kebijakan ekonomi yang konsisten, berkesinambungan,
dan berorientasi jangka panjang tidak pernah terlaksana. Masing-masing kabinet mempunyai
prioritas program dan tidak pernah dilaksanakan dengan tuntas. Namun seperti yang
dikatakan Boediono (2016:84-85) dalam bukunya “Ekonomi Indonesia Dalam Lintas
Sejarah” ada dua hal yang menyatukan berbagai kelompok politik itu, yaitu: (a) tuntutan
kepada Belanda untuk mengembalikan Irian Barat; dan (b) kehendak kuat untuk mendobrak
dominasi ekonomi Belanda di Indonesia. Masing-masing kabinet melakukannya dengan cara
yang berbeda-beda. Tapi, dalam hal pengelolaan ekonomi makro, tidak ada kesatuan dan
kesinambungan cara pandang.
Melihat kabinet selalu jatuh dengan cepat, Soekarno kemudian mengusulkan apa yang
disebut dengan konsepsi presiden. Konsepsi presiden untuk membentuk pemerintahan yang
bersifat gotong royong yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada termasuk Partai
4
Komunis Indonesia. Melalui konsepsi ini presiden membentuk Dewan Nasional yang
melibatkan semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Konsepsi Presiden dan
Dewan Nasional ini mendapat tantangan yang sangat kuat dari sejumlah partai politik
terutama Masyumi dan PSI. Mereka menganggap pembentukan Dewan Nasional adalah
pelanggaran sangat fundamental terhadap konstitusi negara, karena lembaga tersebut tidak
dikenal dalam konstitusi
Memang betul bahwa demokrasi Parlementer memberi kesempatan yang sama kepada
semua orang di bidang politik, namun menurut Soekarno dalam prakteknya hanya
yang memiliki uang yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda. Hal ini
membuat Soekarno berkata “kita sebenarnya tidak boleh memakai demokrasi parlementer”.
Pada akhirnya, terlepas dari paradoks, Soekarno kembali mengingatkan bahwa layaknya mata
uang yang memiliki dua sisi. Menurutnya, kepincangan demokrasi itu, didalam parlemen,
dilapangan politik rakyat adalah raja, tetapi dilapangan ekonomi tetaplah ia budak, ia sama
sekali lemah dan tak berdaya apa-apa. Karena itu, timbul kesadaran baru: demokrasi politik
mesti ditambah lagi dengan demokrasi ekonomi. Sepertinya yang juga Soekarno katakana
bahwa “orang lapar tidak akan kenyang hanya dengan dilemparkan kitab UUD 1945”.
Pemilu tahun 1955 sudah direncanakan sejak masa kabinet pertama
dimasa Demokrasi Parlementer yaitu Kabinet Natsir tahun 1950. Namun dikarenakan belum
stabilnya politik di Indonesia maka baru terlaksana tahun 1955.
Tertulis dalam buku A History of Modern Indonesia since 1200 karya MC Ricklefs,
berdasarkan UU No 7 Tahun 1953 pemilu dilaksanakan dalam rangka memilih Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Konstituante merupakan lembaga yang
mempunyai wewenang dan tugas untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara.
Sistem yang digunakan dalam pemilu 1955 ialah perwakilan proporsional, artinya setiap
daerah pemilih akan mendapatkan jumlah kursi atas dasar jumlah penduduknya. Dalam hal
ini wilayah Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan. Namun, pada akhirnya hanya 15
daerah dikarenakan Irian Barat gagal melaksanakan pemilu. Kala itu Irian Barat masih
dikuasai oleh pemerintah Belanda.
Adapun latar belakang diselenggarakannya pemilu 1955 yaitu:
1. Belum adanya undang-undang pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu.
UU pemilu baru disahkan tanggal 4 April 1953.
2. Revolusi fisik atau perang kemerdekaan, menuntut seluruh potensi bangsa
memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan

5
3. Konflik internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup menguras
energi dan perhatian
Pada pemilu 1955 ini terdapat 260 jumlah kursi DPR yang diperebutkan dan 520 kursi
Konstituante. Ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.

Dilansir dari situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasil pemilu 1955 terbagi menjadi
dua tahap, yaitu:
1. Hasil pemilu tahap I
Pemilu tahap 1 tahun 1955 diikuti oleh 172 kontestan, namun hanya 28 kontestan yang
berhasil memperoleh kursi.
Adapun 4 partai besar yang menjadi pemenang pemilu tahap 1 yaitu PNI (22,3%), Masyumi
(20,9%), NU (18,4%), PKI (15,4%).
Selain itu, diangkat 6 anggota parlemen mewakili Tionghoa dan 6 mewakili Eropa. Sehingag
total anggota DPR sebanyak 272 orang.
2. Hasil pemilu tahap II
Pemilu tahap 2 memilih konstituante. Jumlah kursi anggota konstituante sebanyak 520,
namun dikarenakan Irian Barat tidak melakukan pemilu maka jatah kursi dikurangi 6
sehingga menjadi 514 kursi.
Hasil pemilihan anggota Konstituante ialah PNI, NU, PKI memiliki dukungan yang tinggi,
sedangkan Masyumi mendapatkan suara yang rendah dibandingkan pemilu tahap I.

B. PELAKSANAAN PEMILU PADA MASA REFORMASI

PEMILU 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998
jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan
publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu
1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau
13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu
adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia
internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk
Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan
penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

6
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya
keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri
memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu
kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU


tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim
7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil
dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan
Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali
peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta
Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat
setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu
hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie
menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang
dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi,
sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu
1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang
diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa
terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah
Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara
satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan
suara.

7
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara
dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap
penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara
dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan
dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:

Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999 : Partai Keadilan, PNU. PBI, PDI,
Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI,
PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, PARI.

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada
presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu
(Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang
diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data
tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa
hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan
pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan
alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian
kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil
Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya
mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan
bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan
pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian
kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua
pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama,
sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti
bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.

8
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil
pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai
besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan
perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga
mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan
13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara
atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997.
PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar,
partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari
pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil
perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.

9
BAB III
PENUTUP

Demikian makalah ini saya susun. Sebagai warga negara yang baik, kita harus
menunaikan hak dan kewajiban kita. Memilih dalam pemilu disatu sisi adalah hak, namun
disisi lainnya adalah kewajiban kita. Sebagai banagsa dan negara yang besar, harapan kita
banyak yang kesemuanya menuju Indonesia yang lebih baik.
Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, namunpun demikian,
penulis berharap ada manfaatnya bagi kita semua. Atas kekurangan yang ada, penulis
harapakan saran dan masukannya. Manfaat selalu ada dalam setiap pilihan yang tepat. Norma
tertinggi demokrasi bukan “jangkauan kebebasan” atau “jangkauan kesamaan”, tetapi ukuran
tertinggi partisipasi. (A. d. Benoist)

B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini juga penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya seperti yang diharapkan oleh karena
itu kritik dan saran baik itu dari bapak/Ibu Guru maupun rekan siswa/siswi yang bersifat
konstruktif sangat diharapkan guna memperbaiki penulisan lebih lanjut.

10

Anda mungkin juga menyukai