Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam.


Disebut Mataram Islam untuk membedakan dengan Mataram Hindu di Jawa Tengah dulu. la
adalah cucu dari Panembahan Senapati (Sutawijaya) dan putra Panembahan Seda ing
Krapyak. Penembahan Senapati yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan pendiri Dinasti
Mataram islam. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di
seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya ditaklukkannya supaya kelak tidak
membahayakan kedudukan Kerajaan Mataram.
Monopoli perdagangan dan lahirnya VOC sebagai dalih persekutuan dagang bangsa
Belanda di Nusantara telah membawa dampak yang sangat beragam dari sekian banyak
kerajaan yang bertahta di wilayah Nusantara. Konflik kepentingan antara kerajaan nusantara
dengan para pendatang eropa, sedikit banyaknya telah mempengaruhi pula pada peristiwa-
peristiwa penting yang akan terjadi masa mendatang.
Pada tanggal 2 April 1595, berangkatlah 4 buah kapal dari pangkalan Tessel di
Belanda Utara dan sampai di Banten pada tanggal 23 Juni 1596. Saat Belanda tiba di
Banten, saat itu kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Abdulmafakhir Mahmud
Abdulkadir. Belanda kemudian menjadi tertarik dengan Banten karena Banten merupakan
salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad ke 16. Dengan adanya lada, para
pedagang baik dari Cina, Arab, maupun bangsa Eropa tertarik untuk berdagang di Banten.
Saat Belanda pertama kali mendarat di Banten dengan 3 kapal dan 89 awak kapal dibawah
pimpinan Cornelis de Houtman, mereka terkagum-kagum dengan pelabuhan lada terbesar di
Jawa Barat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah perlawanan sultan agung?
2. Bagaimanakah sejarah perlawanan banten ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah perlawanan sultan agung
2. Untuk mengetahui sejarah perlawanan banten ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERLAWANAN SULTAN AGUNG


1. Mataram Dibawah Sultan Agung Hanyokrokusumo
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan
adiknya (beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari.
Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram,
namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna
grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada
istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian,
patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan
oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada
tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota
Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618. Sultan Agung (memerintah 1613-1646),
raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak,
setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613. Dalam kenyataannya dia tidak memakai
gelar sultan sampai tahun 1641; mula-mula dia bergelar pangeran atau panembahan dan
sesudah tahun 1624 dia bergelar susuhunan (yang sering disingkat sunan, gelar yang juga
diberikan kepada kesembilan wali). Namun demikian, disebut Sultan Agung sepanjang masa
pemerintahannya dalam kronik-kronik Jawa, dan gelar ini biasanya dapat diterima oleh para
sejarawan.
Pesaing besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan
Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di
Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu
Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang
dipasang Tumenggung Alap-Alap. Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung
penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya
mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-
ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat
dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Kemenangan Sultan Agung
berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616.
Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan
panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
2
Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat
membahayakan kesatuan negara yang dalam hal ini terutama meliputi Pulau Jawa. di
samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak
berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa
adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem
ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617) Tuban (1919), Madura (1624), dan
Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara
dapat dicegah intervensi kekuasaan asing. Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak
memberontak dilakukan pohtik doniestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika
Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh
Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram.

2. Perlawanan Menghadapi Voc Di Batavia


Mataram dan politik perluasan wilayahnya telah menjadi embrio yang kelak akan
membawanya ke dalam sebuah peperangan yang justru menjatuhkan hegemoninya di
hadapan para daerah taklukannya karena tidak bisa menaklukkan Batavia dibawah kekuasaan
VOC, tapi sebelum kita sampai lebih jauh lagi tentang perang Mataram dengan VOC, mari
kita kupas sedikit tentang hubungan awal Mataram dengan VOC sebelum konflik.
Seperti yang sudah tertera pada informasi di atas, bahwa hampir seluruh wilayah
Pulau jawa telah menjadi wilayah kekuasaan Mataram, kecuali Banten, serta Batavia, yang
dikuasai oleh Banten dan VOC. juga daerah Blambangan. Pada tahun 1613, tepatnya 22
September 1613 serombongan Utusan VOC, yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen merapat di
daerah Mataram yang telah menjadi pelabuhan penting Mataram yaitu, Jepara dan Kudus,
utusan tersebut ingin menjalin kerjasama dengan Mataram dalam hal penyediaan beras
karena Mataram terkenal sebagai penghasil beras.

1) Persiapan dan Jalannya Perang ( serangan pertama )


Konflik kepentingan antara ketiga belah pihak yaitu Mataram yang ingin
memeperluas pengaruh dan daerah taklukkan ke seluruh daerah pulau jawa, dengan
VOC yang ingin menambah pundi-pundi keuntungan dari perdagangan mereka di
pulau jawa, serta Benten yang ingin menunjukkan eksistensi kerajaan dan kemajuan
perniagaannya, akan menjadi benang merah, perang yang akan terjadi di Batavia.
Mataram yang cenderung agresif dan bernafsu untuk melengkapi hegemoninya di
pulau jawa, jelas menjadi dilema ketika berhadapan dengan Banten, dan VOC di
3
Batavia. Sejak tahun 1620 telah disebut-sebut adanya maksud susuhunan Mataram
untuk menyerang Batavia, Susuhunan Mataram pernah diberitakan mengumpulkan
100.000 prajurit, untuk menyerang Batavia, namun pasukan ini batal menjalankan
misinya karena ada kepentingan kerajaan yang lebih mendesak, 1626 Sultan kembali
diberitakan mengumpulkan pasukan sebanyak 900.000 yang akan dipersiapkjan untuk
menyerang orang kafir (VOC) di Batavia, namun misi ini juga gagal karena pasukan
mataram harus memadamkan pemberontakan Pati (1627), namun jumlah pasukan ini
perlu dikaji lebih jauh lagi karena masih adanya perbedaan interpretasi dari beragam
sudut pandang.pertanyaan dari mana pasukan atau prajurit yang akan berperang
melawan VOC di Batavia, akan kita bahas pada sub bab ini, menurut salah satu
sumber buku yang penulis gunakan, bahwa raja Mataram mengumpulkan kepala
daerah bawahan Maataram terutama yang berada di pesisir yang akan disertakan
dalam penyerangan, dikatakan pula bahwa Sultan agung pernah mengajak banten
untuk sama sama menyerang VOC di Batavia, namun jelas Banten tidak setuju karena
khawatir jika Batavia telah dikuasai sasaran Mataram selanjutnya adalah Banten itu
sendiri. Pada tahun 1628 Mataram melakukan serangan pertamanya ke Batavia, April
1628 Kyai Rangga dikirim ke Batavia dengan 14 perahu yang memuat beras,Rangga
ini datang untuk meminta bantuan VOC untuk Mataram yang ingin menyerang
Banten, tapi hal ini ditolak pihak VOC, 22 agustus 1628, 50 kapal mendarat di
Batavia, dengan perlengkapan yang sangat komplit. 2 hari kemudian muncul 7 perahu
meminta izin perjalanan ke Malaka, VOC telah menangkap sinyal serangan yang akan
terjadi maka VOC berusaha tidak mempertemukan kapal yang baru datang dengan
yang terakhir datang, karena dikawatirkan terjadi pertukaran senjata antar
kapal,namun usaha itu gagal, pagi hari 20 buah kapal Mataram menyerang pasar dan
benteng Batavia, banyak korban yang jatuh. Siasat VOC ialah mengorbankan daerah
di sekitar benteng dan membakar kampung di sekitarnya serta meratakannya dengan
tanah, pada waktu tentara Mataram mendekati benteng, sangat mudah bagi VOC
untuk mengusirnya karena tidak ada tempat persembunyian bagi pasukan Mataram,
melihat keadaan ini terpaksa pasukan Mataram menarik diri dari arena peperangan,
dan mengungsi ke daerah yang agak berpohon dan membangun benteng dari bambu
anyaman, tentara mataram membangun parit-parit di sekitar wilayah peperangan,
tetapi VOC mengirim tentara ker parit tersebut dan mengusir tentara Mataram yang
ada di parit tersebut.

4
2) Jalannya Perang Kedua (1629)
Setelah mengalami kekalahan pada serangan yang pertama(1628),dari VOC
di Batavia, Mataram kembali berencana melakukan serangan yang kedua, maka
persiapan pun dilakukan, bahkan dikatakan pasukan Mataram telah menyiapkan
perbekalan logistik para prajurit di tempat-tempat tertentu dalam perjalanan ke
Batavia. Pasukan Mataram berangkat dalam 2 gelombang, pertama berangkat akhir
mei 1629 dan yang kedua 20 juni 1629, Agustus pasukan Mataram telah tiba di
Batavia. Pada tanggal 20 juni 1629 tersebut ada kejadian penting yang akan merubah
jalannya cerita kemenangan pasukan Mataram dalam menghadapi VOC, yaitu,
seorang Mataram bernama Warga, beserta beberapa orang pengikutnya, sebenarnya
tugas mereka adalah sebagai mata-mata Mataram itu sendiri, namun dalam
kenyataannya, pihak VOC mencurigai aksi para utusan Mataram ini, dalam sebuah
sumber disebutkan bahwa Warga bertugas untuk meminta maaf kepada kompeni
mengenai hal yang telah terjadi. Sementara orang-orang mataram mengumpulkan
padi di Tegal, padi tersebut akan ditumbuk di Tegal dan diperdagangkan di Batavia,
inilah cara Mataram membawa beras ke Batavia, namun salah seorang anak buah
Warga ini membocorkan rahasia dan siasat ini, maka pada waktu Warga datang ke
Batavia yang kedua kalinya, ia ditanggap dan diinterogasi dan ditanyai perihal
kebenaran beriat bahwa mataram akan melakukan serangan yang kedua kali, rahasia
ini dibenarkan oleh warga sehingga VOC membakar semua persediaan beras
pasukan mataram yang ada di Tegal dan Cirebon, maka otomatis persiapan yang
telah matang sebelumnya akan berdampak besar pada kemenangan pihak mataram,
karena hal ini berurusan dengan logistic pasukan Mataram.8 september 1629
pasukan mataram mengagali parit pertahanan yang dilindungi kayu dan bamboo,
parit ini digali dari markas pertahanan pasukn mataram menuju benteng VOC
”HOLANDIA”, namun seperti biasa VOC selalu bisa menggagalkan proyek
pertahanan Mataram tersebut, kelompok lain yang juga berusaha merongrong
pertahanan VOC, menyerang benteng “BOMMEL” beberapa prajurit berusaha
masuk ke benteng untuk membuka pintu benteng, namun sebelum hal itu terjadi
pasukan VOC telah menembaki prajurit mataram tersebut, pasukan Mataram
berencana menyerang tembok benteng VOC dengan serangan meriam Mataram,
namun pasukan VOC dibawah pimpinan Antonio van Diemen bias mengatasi
serangan itu dan melakuakn serangan balik pada pasukan Mataram, dalam beberapa
sumber juga disebutkan bahwa pada tanggal 20 September 1629 gubernur Jendral
5
Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena serangan penyakit.

3. Dampak Dari Perang Melawan Voc


Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia
mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama
menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari
posisi Portugis saat itu sudah lemah. Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah
bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan yang
dilakukan oleh kelompok ulama di Tembayat yang berhasil ditumpas pada sekitar
tahun 1630.
Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih
setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632. Pemberontakan-
pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak
mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan
Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi
melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri
telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633.
Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada
tahun 1636.

B. PERLAWANAN BANTEN
1. Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang
membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis,
Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang
merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat
dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke
Nusantara setelah Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511.
Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana
Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya
lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan
letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat
pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII
untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut,
6
Banten dipilih sebagai Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-
kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan
terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai
dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653
sampai 1678. Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC
terlama dengan kedudukan selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker
inilah VOC mengalami masa keemasannya.
Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan
memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor
perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh
Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda
sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan[28] dan kegiatan
perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan
menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi,
VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya
memperbaharui perjanjian tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.
1.1 Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC
Tahun 1651-1682
Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan gelar
Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfath
Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya Banten
diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud
Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang segala
bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak
menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang
berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal
yang hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.

Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik VOC
di wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan

7
Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten. Tangerang dan
Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan
Banten menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada
tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah- hadiah
yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan
Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656
untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-
kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan
terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari[33]. Selain
itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan
Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal
kapal-kapal tersebut. Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali
mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan
Mataram serta dengan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten
dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari
Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa
senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang
dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan
pasukan Surosowan.
Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan
menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis
karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu
pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih banyak
berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.
Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam
menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat VOC pada sekitar
bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata. Pertempuran
antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru
dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada
tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal.
Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun,
hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.

8
Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa
bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga
jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng
Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC
pada tanggal 11 Mei 1658. Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-
16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus
mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk
melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC.
Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa
orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya
berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah
Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai
terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi
balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).

Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat
kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC
mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan
senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut.
Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan
Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659[40], ditandatangani perjanjian
gencatan senjata antara Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan
konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan
Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat
blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai
cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan
pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda
tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan
Banten(Tjandrasasmita, 1967:35).

9
1.2 Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut
untukmempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan
kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika
Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di
bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali
VOC, maka posisi Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan
kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan Banten.

Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam kesultanan


Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya
Purbaya mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam
kesultanan. Sementara kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W.
Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya
dan saudaranya sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan kekuasaannya untuk
sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada
adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti yang bergelar Sultan
Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari Mekah,
kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga membuat Sultan
Haji iri. Hal tersebut yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan
Haji dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran
Arya Purbaya. Konflik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah
kekuatan Banten

1.3 Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC


Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan persekongkolan
dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji
dengan mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada
dikendalikan oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik
pasukan Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan. Syarat
tersebut dipenuhi oleh Sultan haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang antara
Sultan Haji dengan dibantu VOC melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.

10
Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga
berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan
perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten
Sloot dan W. Caeff, Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di
Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC
yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7
April 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack dan De Sant
Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan
ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah itu,
pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng
Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus
52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk,
Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan
Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos. Kemudian
Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692. Sultan
Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai
dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa
Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai
berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas Banten.
Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh
anaknya sendiri.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam
kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki
militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan
kebudayaan. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditundukkan oleh Kasultanan Mataram
adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat
di Sulawesi saat itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar
yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun
melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.

Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara dengan letak yang
stategis di ujung barat pulau Jawa dekat dengan selat Sunda yang merupakan titik pertemuan
jalur perdagangan Asia bahkan dunia setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511.
Hal tersebut membuat Banten selalu ramai oleh lalu lintas perdagangan. Disamping itu,
Banten memiliki potensi alam yang cukup menguntungkan, dimana Banten merupakan
penghasil lada terbesar di Jawa Barat. Pada rentang waktu antara 1651 sampai dengan 1682,
Banten mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada beras dibawah
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan kondisi alam dan letak geografis inilah yang
membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker (1653-1678)
berkeinginan untuk menguasai Banten, menjadikannya sebagai pusat pertemuan (Rendez-
vous) sekaligus memonopoli perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.

B. Saran
Saran kami selaku yang membuat makalah ini kita harus selalu mengenang dan
menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah memperjuangkan nyawa
dan hidupnya untuk membela negeri kita dari para penjajah. Dan dalam penulisan
makalah ini juga penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya atau masih
jauh dari kesempurnaannya seperti yang diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik
itu dari bapak/Ibu Guru maupun rekan siswa/siswi yang bersifat konstruktif sangat
diharapkan guna memperbaiki penulisan lebih lanjut.

12
DAFTAR PUSTAKA

Djadjadiningrat, Hosein.1983.TINJAUAN KRITIS SEJARAH BANTEN .Jakarta:


Djambatan
Kartodirjo, Sartono.Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto.1975.SEJARAH
NASIONAL INDONESIA III. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional

13

Anda mungkin juga menyukai