PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah perlawanan sultan agung
2. Untuk mengetahui sejarah perlawanan banten ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
4
2) Jalannya Perang Kedua (1629)
Setelah mengalami kekalahan pada serangan yang pertama(1628),dari VOC
di Batavia, Mataram kembali berencana melakukan serangan yang kedua, maka
persiapan pun dilakukan, bahkan dikatakan pasukan Mataram telah menyiapkan
perbekalan logistik para prajurit di tempat-tempat tertentu dalam perjalanan ke
Batavia. Pasukan Mataram berangkat dalam 2 gelombang, pertama berangkat akhir
mei 1629 dan yang kedua 20 juni 1629, Agustus pasukan Mataram telah tiba di
Batavia. Pada tanggal 20 juni 1629 tersebut ada kejadian penting yang akan merubah
jalannya cerita kemenangan pasukan Mataram dalam menghadapi VOC, yaitu,
seorang Mataram bernama Warga, beserta beberapa orang pengikutnya, sebenarnya
tugas mereka adalah sebagai mata-mata Mataram itu sendiri, namun dalam
kenyataannya, pihak VOC mencurigai aksi para utusan Mataram ini, dalam sebuah
sumber disebutkan bahwa Warga bertugas untuk meminta maaf kepada kompeni
mengenai hal yang telah terjadi. Sementara orang-orang mataram mengumpulkan
padi di Tegal, padi tersebut akan ditumbuk di Tegal dan diperdagangkan di Batavia,
inilah cara Mataram membawa beras ke Batavia, namun salah seorang anak buah
Warga ini membocorkan rahasia dan siasat ini, maka pada waktu Warga datang ke
Batavia yang kedua kalinya, ia ditanggap dan diinterogasi dan ditanyai perihal
kebenaran beriat bahwa mataram akan melakukan serangan yang kedua kali, rahasia
ini dibenarkan oleh warga sehingga VOC membakar semua persediaan beras
pasukan mataram yang ada di Tegal dan Cirebon, maka otomatis persiapan yang
telah matang sebelumnya akan berdampak besar pada kemenangan pihak mataram,
karena hal ini berurusan dengan logistic pasukan Mataram.8 september 1629
pasukan mataram mengagali parit pertahanan yang dilindungi kayu dan bamboo,
parit ini digali dari markas pertahanan pasukn mataram menuju benteng VOC
”HOLANDIA”, namun seperti biasa VOC selalu bisa menggagalkan proyek
pertahanan Mataram tersebut, kelompok lain yang juga berusaha merongrong
pertahanan VOC, menyerang benteng “BOMMEL” beberapa prajurit berusaha
masuk ke benteng untuk membuka pintu benteng, namun sebelum hal itu terjadi
pasukan VOC telah menembaki prajurit mataram tersebut, pasukan Mataram
berencana menyerang tembok benteng VOC dengan serangan meriam Mataram,
namun pasukan VOC dibawah pimpinan Antonio van Diemen bias mengatasi
serangan itu dan melakuakn serangan balik pada pasukan Mataram, dalam beberapa
sumber juga disebutkan bahwa pada tanggal 20 September 1629 gubernur Jendral
5
Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena serangan penyakit.
B. PERLAWANAN BANTEN
1. Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang
membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis,
Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang
merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat
dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke
Nusantara setelah Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511.
Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana
Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya
lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan
letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat
pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII
untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut,
6
Banten dipilih sebagai Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-
kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan
terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai
dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653
sampai 1678. Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC
terlama dengan kedudukan selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker
inilah VOC mengalami masa keemasannya.
Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan
memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor
perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh
Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda
sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan[28] dan kegiatan
perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan
menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi,
VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya
memperbaharui perjanjian tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.
1.1 Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC
Tahun 1651-1682
Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan gelar
Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfath
Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya Banten
diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud
Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang segala
bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak
menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang
berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal
yang hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.
Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik VOC
di wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan
7
Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten. Tangerang dan
Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan
Banten menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali pada
tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah- hadiah
yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan
Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656
untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-
kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan
terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari[33]. Selain
itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan
Benten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal
kapal-kapal tersebut. Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali
mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan
Mataram serta dengan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten
dapat memperkuat kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari
Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa
senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun melakukan penyatuan terhadap daerah yang
dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan
pasukan Surosowan.
Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan
menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis
karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu
pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih banyak
berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.
Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam
menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat VOC pada sekitar
bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata. Pertempuran
antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru
dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada
tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal.
Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun,
hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.
8
Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa
bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga
jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng
Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC
pada tanggal 11 Mei 1658. Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-
16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus
mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk
melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC.
Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa
orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya
berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah
Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai
terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi
balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).
Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat
kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC
mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan
senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut.
Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan
Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659[40], ditandatangani perjanjian
gencatan senjata antara Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan
konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan
Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat
blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai
cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan
pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti
Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda
tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan
Banten(Tjandrasasmita, 1967:35).
9
1.2 Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut
untukmempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan
kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika
Amangkurat II menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di
bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali
VOC, maka posisi Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan
kesultanan yang memiliki hubungan baik dengan Banten.
10
Inilah akhir dari kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga
berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan
perlindungan kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten
Sloot dan W. Caeff, Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di
Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC
yaitu memberikan hak monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7
April 1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack dan De Sant
Martin, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan
ini berhasil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah itu,
pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan Ageng
Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus
52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil dibujuk,
Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan
Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos. Kemudian
Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692. Sultan
Haji sendiri akhirnya naik tahta dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai
dengan 1687. Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa
Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai
berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya monopoli VOC atas Banten.
Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh
anaknya sendiri.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam
kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki
militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan
kebudayaan. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditundukkan oleh Kasultanan Mataram
adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622.
Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat
di Sulawesi saat itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar
yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun
melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian.
Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara dengan letak yang
stategis di ujung barat pulau Jawa dekat dengan selat Sunda yang merupakan titik pertemuan
jalur perdagangan Asia bahkan dunia setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511.
Hal tersebut membuat Banten selalu ramai oleh lalu lintas perdagangan. Disamping itu,
Banten memiliki potensi alam yang cukup menguntungkan, dimana Banten merupakan
penghasil lada terbesar di Jawa Barat. Pada rentang waktu antara 1651 sampai dengan 1682,
Banten mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada beras dibawah
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan kondisi alam dan letak geografis inilah yang
membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker (1653-1678)
berkeinginan untuk menguasai Banten, menjadikannya sebagai pusat pertemuan (Rendez-
vous) sekaligus memonopoli perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.
B. Saran
Saran kami selaku yang membuat makalah ini kita harus selalu mengenang dan
menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah memperjuangkan nyawa
dan hidupnya untuk membela negeri kita dari para penjajah. Dan dalam penulisan
makalah ini juga penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya atau masih
jauh dari kesempurnaannya seperti yang diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik
itu dari bapak/Ibu Guru maupun rekan siswa/siswi yang bersifat konstruktif sangat
diharapkan guna memperbaiki penulisan lebih lanjut.
12
DAFTAR PUSTAKA
13