Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selat Malaka dikuasai oleh Portugis (1511), pelabuhan Banten otomatis


menjadi pusat perdagangan internasional untuk beberapa wilayah di
Nusantara. Bahkan dengan berdirinya kesultanan Banten pada tahun 1526,
kota ini menjadi pusat penyabaran Islam yang berperan besar dalam
pengislaman daerah Jawa Barat, Jakarta (Sunda Kelapa), Lampung,
Sumatra Selatan dan beberapa daerah lain di sekelilingnya, dari daerah yang
di warnai oleh kebudayaan Hindu dan Animis menjadi daerah yang di
warnai oleh agama dan kebudayaan Islam.

Dalam upaya mengusir pengaruh pengaruh kolonialisme Belanda, peran


Kesultanan Banten sangatlah besar. Hal ini dapat di pahami karena memang
dari Banten-lah Belanda memulai menghancurkan usaha Belanda itu sejak
dari permulaanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Awal Pembentukan Banten?
2. Kapan Puncak Kejayaan Banten?
3. Bagaimana Runtuhnya Puncak Kejayaan Banten?
4. Bagaimana Kebudayaan Khas Yang Ada Di Wilayah Banten?
5. Apa Saja Keunikan Lain Dari Wilayah Banten?

C. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan agar bisa dijadikan sumber informasi
dan referensi membaca bagi semua orang agar mereka dapat mengetahui
tentang sejarah banten, penyebab runtuhnya kejayaan di banten,
kebudayaan banten, dan keunikan lainnya yang ada dibanten.

STUDI KEBANTENAN 1
BAB II

ISI

A. Sejarah Banten

Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di


Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak
memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan
beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer
serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati
berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana
Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang
kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang
berdiri sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai


kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah
berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan
dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta
ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten
atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813
setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan
dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak
lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

B. Pembentukan Awal

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François


Valentijn, Amsterdam, 1726 Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan
Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan
Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut
selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi
dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak
selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah
Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan
Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan
utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan di
Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah
penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu
(Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris
oleh raja tersebut.

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,


Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan
menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin,

STUDI KEBANTENAN 2
naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman
Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan
anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596
sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di
nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut. Pada
masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di
Pulau Jawa yang mengambil gelar “Sultan” pada tahun 1638 dengan nama Arab
Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai
secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada
waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I
tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles

C. Puncak Kejayaan

Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan


dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung,
menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan
Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting
pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi
kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten
berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa


kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan,
dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada
Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan
Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga
berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah
melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

D. Perang Saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji.
Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak
dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan
Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui
Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan
pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682
kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama
putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke
arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.Sementara VOC terus mengejar dan
mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam
pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim

STUDI KEBANTENAN 3
Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung
dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan
kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka
berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran
Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC
yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan
berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC.
Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.

E. Penurunan

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan
kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac
de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten.
Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682
yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti
mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.Setelah meninggalnya
Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan
Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan
dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun,
selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul
Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang
Sinuhun ing Nagari Banten.Perang saudara yang berlangsung di Banten
meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara
keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten,
atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali
memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa
Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat
konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam
meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah
menjadi vassal dari VOC.

F. Penghapusan Kesultanan

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan
pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk
memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk
membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan
menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin

STUDI KEBANTENAN 4
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah
diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.Kesultanan Banten resmi dihapuskan
tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad
bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh
Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang
mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

1. Kebudayaan Banten

Di Banten terdapat peninggalan warisan leluhur yang sangat dihormati, antara lain
Mesjid Agung Banten Lama, Makam keramat Panjang, Masjid Raya AL-A’zhom
dan beberapa peninggalan historis lainnya yang bernuansa religi. Latar belakang
historis ini membuat mayoritas penduduk Banten memiliki semangat religius
keislaman yang sangat kuat dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sebagian besar
masyarakat memang memeluk Islam, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup
berdampingan dengan damai. Dalam ukuran tertentu, Banten bisa menjadi salah
satu contoh laboratorium raksasa pluralisme agama di Indonesia.

Kondisi sosial budaya masyarakat Banten diwarnai oleh potensi dan kekhasan
budaya masyarakatnya yang sangat variatif, mulai dari seni bela diri pencak silat,
debus, rudat, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung, dan
lojor. Hampir semua seni tradisionalnya sangat kental diwarnai dengan etika Islam.
Ada juga seni tradisional yang datang dari luar kota Banten, tapi semua itu telah
mengalami proses akulturasi budaya sehingga terkesan sebagai seni tradisional
Banten, misalnya seni kuda lumping, tayuban, gambang kromong dan tari cokek.
Bahasa yang digunakan masyarakat Banten khususnya yang berada di wilayah utara
menggunakan bahasa Jawa Serang, sedangkan di wilayah selatan menggunakan
Bahasa Sunda. Namun demikian, masyarakat setempat umumnya lebih sering
menggunakan Bahasa Indonesia.

Provinsi Banten juga terkenal dengan masyarakat tradisonalnya yang masih


memegang teguh adat tradisi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya.
Mereka dikenal dengan suku Baduy yang tinggal di desa Kanekes, kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya
terletak di daerah aliran sungai Ciujung di pegunungan Kendeng.

2. Kebudayaan Pencak Silat

Pencak silat merupakan seni beladiri yang berakar dari budaya asli bangsa
Indonesia. Disinyalir dari abad ke 7 Masehi silat sudah menyebar ke pelosok
nusantara. Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika
penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiring dengan penyebaran
agama Islam pada abad ke15 di Nusantara. Kala itu pencak silat telah diajarkan
bersama-sama dengan pelajaran agama di pesantren-pesatren dan juga surau-surau.
Budaya sholat dan silat menjadi satu keterikatan erat dalam penyebaran pencak
silat. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi
bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga
pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual.Banten yang namanya sangat

STUDI KEBANTENAN 5
dikenal untuk ilmu silatnya juga penyebarannya tidak terlepas dari ajaran agama
Islam. Tidak heran banyak nama dari jurus dan gerakan perguruan silat asli Banten
diambil dari aksara dan bahasa arab. Pencak silat Banten mulai dikenal seiring
dengan berdirinya kerajaan Islam Banten yang didirikan pada abad 15 masehi
dengan raja pertamanya Sultan Hasanudin. Perkembangan pencak silat pada saat
itu tidak terlepas dari dijadikannya silat sebagai alat untuk penggemblengan para
prajurit kerajaan sebagai bekal ketangkasan bela negara yang diajarkan oleh para
guru silat yang mengusasai berbagai aliran. Silat juga sebagai dasar alat pertahanan
kerajaan dan masyarakat umum Banten dalam memerangi kolonialisme para
penjajah.Pada saat ini pun Banten masih dikenal dan diakui secara luas dengan
pendekar dan jawaranya, sebutan untuk orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.

3. Kebudayaan Debus

Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada
abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570).
Debus, suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa,
kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa
utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain.

Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi,
mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah
para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu
dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan
variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan
benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun
tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi
sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan
mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram
tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah
beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka
lakukan.

Dibanten sendiri kesenian debus atau keahlian melakukan debus menjadi sesuatu
yang lumrah dan banyak perguruan yang mengajarkannya.

4. Kebudayaan Rudat Banten

Rudat adalah kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur
tari, syair shalawat, dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan
tepuk tangan. Rudat terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh
setidaknya delapan orang penerbang (pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga
dua belas penari.Menurut beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama
alat yang dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang
dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa
pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan
Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).

STUDI KEBANTENAN 6
Tidak banyak yang mengetahui siapa yang menciptakan kesenian ini, karena
sekarang sesepuh yang mengetahui seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan
sebagian sudah meninggal. Naskah yag berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis
tentang rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang yang salah satunya
merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.

Meskipun tidak banyak yang mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila
meyakini bahwa Rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian.
Langkah-langkahnya merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan
menjadi tarian dan diiringi musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi
rangkaiaan utama tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam
acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.

Pasang surut Seni Rudat sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten.
Saat kedatangan Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun
Kasultanan Banten IV Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin
Abdul Kadir (1596-1651 M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang
Belanda karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih
bela diri dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.

5. Kebudayaan Tari Dzikir Saman Banten

Dzikir Saman yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini
para pemainnya terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil
berputar, sambil menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir
Saman ini tidak diiringi dengan perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan
menyebut asma Allah, alok dan gerakan tubuh yang berputar-putar. Seni ini sudah
ada sejak dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir
Jailani, Rasullan, dan acara keagamaan lainya.

6. Kebudayaan Ubrug Banten

Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya
bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang
bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang berada dalam satu
tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari kata sagebrug
yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara
nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.

Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong
kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab,
kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang disebut tukang kanco
karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan alat-alat
tersebut.

Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan
kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya
disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton.

STUDI KEBANTENAN 7
Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian yang rapi dan
sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.

Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu gamelan ditabuh
sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai
pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar
2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan lakon atau cerita yang akan
disuguhkan. (4) Soder yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan
goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke
tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari beberapa saat dan
kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik
menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30 menit.

Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang
bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu
blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong
atau lampu petromak.

Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda seadanya cukup
dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton
mengelilingi arena. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau
ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat
menyaksikannya dari segala arah.

STUDI KEBANTENAN 8
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pengaruh besar yang diberikan oleh Islam melalui Kesultanan dan para ulama
serta para mubaligh Islam di Banten seperti yang telah disaksikan sekarang ini,
menunjukkan betapa besar arti Islam dan peranan penyebar-penyebarnya baik
melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi dimasa lampau.
Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu menarik
untuk di teliti dan di kaji terutama di kalangan ahli sejarah dan ilmuwan
lainnya. Di samping karena sejarah pertumbuhan dan perkembangan
kesultanan Banten, belum banyak diteliti secara tuntas, sehingga masih banyak
hal-hal penting yang perlu di kaji dan di pelajari secara mendalam dam
menyeluruh.Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai
kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan.
Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing unsur berbeda pada
tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap unsur-unsur
yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi
pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman
dan penularan kebudayaan.

STUDI KEBANTENAN 9

Anda mungkin juga menyukai