Anda di halaman 1dari 11

SITI FATIMAH ( X IIS 3)

Uji Kompetensi, halaman 234, no; 3, 4, 5, 9 dan 10

3. Gambarkan skema struktur birokrasi pemerintahan Kerajaan


Mataram!
4. Diskusikan dan buat tulisan ringkas tentang kejatuhan kerajaan
Banten ke tangan VOC (3-6 halaman)!
5. Tuliskan biografi singkat Sultan Ageng Tirtayasa!
9. Ceritakan secara singkat tentang Sultan Baabullah!
10. Ceritakan hubungan antara kerajaan Ternate dan Tidore dengan
tokoh-tokoh ulama dari Gresik!

Jawaban

3.
4. Selama tahun-tahun terakhir abad ke-16, Banten tidak diperintah
oleh raja melainkan anggota kerajaan yang lebih tua. hal ini terjadi
karena wafatnya Sultan Maulana Muhammad saat melakukan
penyerangan ke Palembang. Saat itu putra Maulana Muhammad,
Sultan Abdul Kadir masih kecil sehingga pemerintahan dikuasai
oleh Mangkubumi. Sayangnya, Mangkubumi berhasil ditaklukkan
oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berkuasa hingga nafas
terakhirnya. Setelah itu, Sultan Abdul Kadir yang sudah dewasa
memimpin kerajaan Banten sepenuhnya. Pada saat-saat inilah posisi
kerajaan Banten kurang diuntungkan.
Setelah Sultan Abdul Kadir dewasa dan memegang kekuasaan
Banten, maka para pedagang Belanda mulai berdatangan ke Banten
dengan bersikap angkuh dan kasar. Saat itu juga bertepatan dengan
penyerangan Banten terhadap Palembang. Sepulangnya dari
penyerangan itu Belanda masih berada di Banten untuk menunggu
hasil panen lada agar bisa dibeli dengan murah.

Melihat hal ini, Sultan Abdul Kadir menjadi murka.Begitu angkuhnya


Belanda, mereka merampok dua buah kapal milik orang Jawa yang
penuh dengan lada lalu kabur sambil menembaki kota Banten.Akan
tetapi beberapa pasukan Banten berhasil menangkap Cornelis de
Houtman sebagai pimpinannya. Setelah ditahan selama sebulan, ia
bebas dengan tebusan 45.000 gulden yang kemudian diusir pada
tanggal 2 Oktober 1596.

Dua tahun kemudian, Belanda kembali ke Banten dengan sikap yang


lebih sopan, berbeda dengan sebelumnya. Dengan dipimpin
oleh Jacob van Neck, Van Waerwijk dan Van Heemskerck. Mereka
merayu Sultan Abdul Kadir dengan cara memberikan hadiah kepada
beliau. Dan hasilnya mereka dapat berdagang di Banten dan
Jayakarta sehingga dapat membawa 3 kapal penuh lada ke negara
mereka, 5 kapal lagi dibawa ke tempat basis mereka yang berada di
Maluku. Disatu sisi, kekuasaan Belanda di Batavia membawa
keamanan dan ketertiban tersendiri bagi raja-raja Banten dari
pengaruh raja-raja Mataram ke arah barat dan serangan dari
Palembang.

Daerah Banten pun menjadi lebih ramai dari sebelumnya dengan


banyaknya kapal-kapal asing yang berlabuh. Tidak lain tujuan
mereka adalah berdagang. Tetapi dengan bertambahnya para
pedagang di daerah itu tidak menutup kemungkinan terjadinya
kecurangan. Di wilayah Kerajaan Banten didirikanlah Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC). Hal ini menyulitkan Kerajaan
Banten untuk bergerak lebih leluasa. Maka dengan ketegasan
Sultan Abul Mufakhir keberadaan VOC ini dapat teratasi dengan
memindahkan kantor VOC ke Batavia.

VOC mengadakan siasat blokade terhadap pelabuhan niaga Banten,


melarang dan mencegah jung-jung (kapal dagang) dari Cina dan
perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan
Banten yang membuat pelabuhan Banten hampir lumpuh.
Perlawanan sengit orang Banten terhadap VOC pecah pada bulan
November 1633 dengan mengadakan “gerilya” di laut sebagai
“perompak” dan di daratan sebagai “perampok” sehingga
memprovokasi VOC untuk melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer,
dan Lampung. Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Perjanjian
damai baru tertandatangani pada tahun 1639. Walau begitu
hubungan keduanya masih tetap memanas.

Situasi perang terus berlangsung selama enam tahun, dan


ketegangan masih terus terjadi hingga wafatnya Sultan Abul
Mufakhir pada tahun 1651 dan digantikan oleh Pangeran Adipati
Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Mu’ali Ahmad atau Pangeran
Ratu Ing Banten atau Sultan Abulfath Abdulfattah atau yang lebih
dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672).

Menginjak abad ke-17, Banten mencapai masa keemasan pada masa


pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kerajaan Banten semakin
memperuncing permusuhannya dengan VOC. hal ini terlihat dari
perusakan terhadap 2 kapal belanda karena dinilai terlalu memaksa
untuk memonopoli perdagangan di Banten.Demikian terus terjadi
konflik antara keduanya.

Sultan Ageng Tirtayasa yang ahli strategi perang berhasil membina


mental para prajurit Banten dengan cara mendatangkan guru-guru
agama dari Arab, Aceh, Makassar, dan daerah lainnya. Perhatiannya
yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam juga
mendorong pesatnya kemajuan agama Islam selama
pemerintahannya.

Pelabuhan Banten yang semula diblokade VOC perlahan namun pasti


mulai pulih ketika Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menarik
perdagangan bangsa Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis,
Denmark, dan Portugis yang notabene merupakan pesaing berat
VOC. Strategi ini bukan hanya berhasil memulihkan perdagangan
Banten namun sekaligus memecah konflik politik menjadi
persaingan perdagangan antar bangsa-bangsa Eropa.
Selain mengembangkan perdagangan, Sulta Ageng Tirtayasa gigih
berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke
wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah
perluasan wilayah Mataram yang telah masuk sejak awal abad ke-17.
Selain itu juga mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC
yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap
Banten.

VOC yang mulai terancam oleh pengaruh Sultan Ageng Tirtayasa


yang makin luas, pada tahun 1655 mengusulkan kepada Sultan
Banten agar melakukan pembaruan perjanjian yang sudah hampir 10
tahun dibuat oleh kakeknya pada tahun 1645. Akan tetapi, Sultan
dengan tegas bersikap tidak merasa perlu memperbaruinya selama
pihak VOC ingin menang sendiri.

Meskipun disibukan dengan urusan konflik dengan VOC, Sultan


tetap melakukan upaya-upaya pembangunan dengan membuat
saluran air untuk kepentingan irigasi sekaligus memudahkan
transportasi dalam peperangan. Upaya itu berarti pula meningkatkan
produksi pertanian yang erat hubungannya dengan kesejahteraan
rakyat serta untuk kepentingan logistik jika menghadapi peperangan.
Karena Sultan banyak mengusahakan pengairan dengan
melaksanakan penggalian saluran-saluran menghubungkan sungai-
sungai yang membentang sepanjang pesisir utara, maka atas jasa-
jasanya ia digelari Sultan Ageng Tirtayasa.

Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik maupun


bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain
semakin ditingkatkan. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi
pada pedagang asing dari Persia, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina,
Melayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa
dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan
Turki.

Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak


kejayaannya, di samping berhasil memajukan pertanian dengan
sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan
perangnya yang sangat disegani, memperluas hubungan diplomatik,
dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten
menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan
internasional di Asia.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul
konflik dalam istana. Putra Mahkota, Sultan Abu Nasr Abdul Kahar,
yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya
mengurus urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri
dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh puteranya
sendiri, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini
dimanfaatkan VOC untuk mendekati dan menghasut Sultan Haji
guna melawan ayahnya.Konflik dalam istana tersebut dimanfaatkan
oleh VOC dengan politik Devide Et Impera atau biasa kita sebut
politik adu domba. VOC membantu Sultan Haji untuk menjatuhkan
Sultan Ageng Tirtayasa. Ambisi Putra Mahkota menimbulkan konflik
dengan ayahnya, Sultan Ageng.

Dukungan Putra Mahkota (Sultan Haji) kepada VOC dikarenakan


pendekatan dan penghasutan yang dilakukan oleh wakil Belanda di
Banten bernama W. Caeff. Karenannya Putra Mahkota ini mencurigai
Sultan Ageng dan anaknya yang bernama Pangeran Arya Purbaya,
sebab takut dirinya tidak bisa naik tahta kesultanan karena masih
ada Pangeran Purbaya dan akhirnya Putra Mahkota ini meminta
bantuan VOC dan menerima persyaratan yang diajukan oleh mereka.

Pada tahun 1680 Sultan Ageng berniat untuk perang melawan VOC
ketika para pedagang Banten dianiaya. Namun, sebelum perselisihan
dimulai, muncullah tetek bengek dari Putra Mahkota karena ia
mengambil alih kekuasaan, terlebih lagi menawan Sultan Ageng di
kediamannya. Semakin dia berpaling ke Belanda, maka semakin
banyak pula dia kehilangan dukungan dari kaum muslim. Perang
saudarapun tidak dapat dielakkan.

Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari
istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa,
namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh
Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain
Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah
selatan pedalaman Sunda.

Sultan Haji mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan


Ageng.Setelah berhasil dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan
tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan Ageng menuju
ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Pangeran Purbaya
dan Syeh Yusuf berhasil lolos. Namun, artileri Belanda berhasil
menangkap Sultan Ageng dan menahannya di Banten yang kemudian
dipindahkan ke Batavia sampai meninggal pada tahun 1692.

Akan tetapi Belanda masih tidak bisa tidur lelap, karena perjuangan
pasukan Banten tidak terhenti sampai di situ. Sementara VOC terus
mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang
masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf.

Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat


letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan
pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan
kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember
1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.

Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan


menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya. Dalam
perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka
berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler,
namun terjadi pertikaian di antara mereka. Puncaknya pada 28
Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan. Untung
Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan
Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di
Batavia.

Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar


dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12
Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. Seperti
tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin,
Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat
itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus
1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan
lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April
1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang
tersebut kepada VOC.

Dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1684


antara Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Abdul
Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiai Suko Tajuddin, Pangeran
Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, dengan VOC yang diwakili
oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman
Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuer, serta kapten bangsa
Melayu Wan Abdul Bagus, maka lenyaplah kejayaan dan kemajuan
Kesultanan Banten, karena ditelan monopoli dan penjajahan Belanda
(VOC). Akibat perjanjian ini Kesultanan Banten diambang
keruntuhan.

Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan


atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi, selain
karena Sultan harus membayar biaya perang, juga karena monopoli
perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya,
terutama lada dan cengkeh, kepada VOC melalui pegawai kesultanan
yang ditunjuk, dengan harga yang sangat rendah. Sultan seolah-olah
hanya sebagai pegawai VOC dalam hal pengumpulan lada dari rakyat.
Pedagang-pedagang Inggris, Prancis dan Denmark karena banyak
membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang yang lalu, diusir
dari Banten.

Setelah Banten dalam ambang kehancuran, maka Sultan Hajilah


yang memegang kekuasaan. Pada masa pemerintahannya, Banten
semakin porak-poranda dengan maraknya kerusuhan,
pemberontakan, pembunuhan, perampokan, kekacauan di segala
bidang yang kerap terjadi di mana-mana. Perampokan dan
pembunuhan terhadap para pedagang dan patroli VOC, baik di luar
kota maupun di dalam kota. Pernah terjadi pembakaran yang
menghabiskan 2/3 bangunan di dalam kota. Ketidakamanan pun
terjadi di lautan, banyak kapal VOC dibajak oleh “bajak negara” yang
bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara sekarang (salah satu
kecamatan di Kabupaten Serang).

Selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten.


Benteng VOC mulai didirikan pada tahun 1684-1685 di bekas
benteng kesultanan yang dihancurkan, dan benteng ini dirancang
oleh arsitekur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota
kesultanan bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Benteng yang
didirikan itu diberi nama Speelwijk, untuk memperingati Gubernur
Jenderal Spleelma. Dengan demikian, praktis Banten sebagai pusat
kekuasaan dan kesultanan telah pudar. Demikian pula peranan
Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa telah tertutup. Tidak
ada lagi kebebasan melaksanakan perdagangan.

Sebagian besar rakyat tidak mengakui Sultan Haji sebagai sultan.


Oleh karena itu, kehidupan Sultan Haji selalu berada dalam
kegelisahan dan ketakutan. Penyesalan perlakuan buruknya terhadap
ayahnya sendiri, saudara, sahabat, dan prajurit-prajurit yang setia.
VOC yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya,
akhirnya menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya.
Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga
meninggal dunia pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di
pemakaman Sedakingkin sebelah utara Masjid Agung Banten, sejajar
dengan makam ayahnya.

Setelah meninggalnya Sultan Haji, VOC mulai mencengkramkan


pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya (1687-1690) diangkat mengantikan Sultan Haji. Sultan ini
sangat membenci Belanda dan berniat mengembalikan kejayaan
Banten. Akan tetapi selang tiga tahun kemudian ia sakit dan tak lama
kemudian wafat.

Selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan


gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian
dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten. Dengan
adanya campur tangan dari VOC dalam masalah kepemimpinan
menimbulkan ketidakefektifan dalam menjalankan tugasnya. Dan
puncaknya adalah ketika VOC pada tahun 1733 mulai berusaha
mendudukan orang-orang luar kerajaan yang bukan dari keturunan
Maulana Hasanudin di tahta Kerajaan Banten melalui agen-agen
politiknya yang masuk dalam lingkungan keraton Banten.

Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak


ketidakpuasan masyarakat Bantenpun merebak, atas ikut campurnya
VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak
pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa
Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai
Tapa.

Pada tahun 1751 denga kekuatan pasukan 7.000 orang melakukan


serangan ke titik pertahanan VOC. Namun apa daya kekuatan
persenjataan yang tidak seimbang mengakibatkan pasukan Ratu
Bagus dan Kiai Tapa ditekan habis-habisan oleh pasukan VOC
sampai ke pedalaman Banten dekat daerah Jasinga. Kekalahan ini
menyebabkan Kiai Tapa sampai pada suatu kesimpulan, yaitu
Belanda tidak bisa dihancurkan kecuali terlaksananya peperangan
secara serentak di berbagai daerah. Karena itu ia mencari dukungan
dari berbagai daerah, tetapi tidak mendapatkannya sesuai yang
diharapkan. Walaupun tahta kerajaan berhasil dikembalikan pada
keturunan Maulana Hasanudin, tetapi sebenarnya mereka telah
berada dalam genggaman Belanda yang pada akhirnya menjajah
daerah Nusantara. Sejak tahun 1752 Banten telah menjadi budak
pengikut dari VOC.

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal


Hindia Belanda (1808-1810), memerintahkan pembangunan Jalan
Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu
kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun
pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan
menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels
memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana
Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana
Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk.
Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808,
Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah
Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah


kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta
oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

5. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan pahlawan nasional yang hidup


pada tahun 1631 M – 1692 M. Selama kehidupannya, beliau
mencurahkan tenaganya dalam memimpin Kerajaan Banten dan
melawan penjajahan Belanda.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu Al-Ma’ali Ahmad
yang berkuasa pada tahun 1640 M – 1650 M dan cucu dari Sultan
Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa pada tahun 1605
M – 1640 M.
Ketika masih muda, dia digelari sebagai Pangeran Surya. Dan setelah
ayah dan kakeknya wafat, dia diangkat menjadi Sultan yang bergelar
Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki hobi seni budaya yang sangat kuat
hingga dapat memainkan wayang wong dan permainan sejenis
dedewaan. Selain itu, dia juga dikenal sebagai orang yang taat
beragama.
Pada masanya, Pendidikan Agama Islam mengalami kemajuan yang
pesat dengan adanya madrasah dan lembaga Islam lainnya, hingga
mampu mendatangkan guru-guru dari Aceh, Arab, dan wilayah-
wilayah lainnya.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai masa-masa puncak
perlawanan pribumi dengan VOC Belanda. Terjadi banyaknya
perlawanan untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda.
Sultan Ageng Tirtayasa tetap bergerilya melawan VOC Belanda
bersama rakyat hingga titik darah penghabisan ketika Sultan Ageng
Tirtayasa ditangkap pada tahun 1683 oleh Belanda dan diasingkan
hingga akhir hayatnya.
Terdapat beberapa peristiwa yang terjadi semasa Sultan Ageng
Tirtayasa menjabat. Wilayah kekuasaannya menjadi salah satu yang
disegani oleh para kolonial Belanda namun juga menjadi sasaran
wilayah yang ingin segera mereka hancurkan. Berikut peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi pada masa kepemimpinannya.
Sebagai Sultan yang dipercaya oleh rakyat, Sultan Ageng Tirtayasa
memiliki karakter yang tegas dan lebih cerdas dalam menjalankan
roda pemerintahan. Keinginannya untuk mengembalikan kejayaan
Banten akhirnya terwujud dengan memajukan perdagangan Banten
dan memperluas daerah kekuasaan.
Serta mengusir Belanda dari kota Batavia. Karena kebijakannya itu,
Banten akhirnya menjadi kota pelabuhan dagang yang sangat penting
di wilayah Selat Malaka dan peristiwa ini menjadi peristiwa penting
keberhasilan Sultan.
Selain itu, Sultan bercita-cita menjadikan Kerajaan Banten sebagai
Kerajaan Islam terbesar di Nusantara. Semua keberhasilan dan cita-
citanya tidak disukai oleh VOC dan kemudian VOC melakukan
blokade.
Tetapi usaha Belanda tidak menuai hasil, bahkan Sultan Ageng
Tirtayasa mampu menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Karena berulangkali usaha blokade gagal, Belanda akhirnya
melakukan strategi devide et impera (adu domba) untuk
meruntuhkan kekuasaan Sultan Ageng Titayasa.
Kejadian ini berlangsung ketika kedua anak Sultan Ageng Tirtayasa
beranjak dewasa yang bernama Sultan Haji dan Sultan Abdul Fathi.
Belanda bertujuan menghasut Sultan Haji bahwa kedudukan Sultan
akan diserahkan kepada Sultan Abdul Fathi, adiknya.
Akhirnya terjadilah perang saudara dimana pada tahun 1681 Sultan
Haji mengkudeta ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.
Selanjutnya Sultan Ageng Tirtayasa menyusun strategi untuk
mengepung Sultan Haji, dan membuat Sultan Haji terdesak.
Karena semakin terdesak, Sultan Haji meminta bantuan Belanda dan
dilakukanlah penyerangan terhadap benteng Tirtayasa hingga
menyebabkan kerugian besar dari pihak Belanda. Perjuangan tetap
terus dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa hingga suatu saat dia
terjebak dalam tipu muslihat yang dibuat oleh Sultan Haji dan pihak
Belanda.
Dia akhirnya ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Belanda hingga
akhir hayatnya. Perlawanan gerilyanya menjadi suatu peristiwa yang
tak terlupakan dalam sejarah.
9. Sultan Baabullah adalah sultan Ternate terbesar. Ia bertahta pada
1570-1583. Ia menggantikan ayahnya Sultan Khairun, yg dibunuh oleh
Portugis. Sultan Baabullah membalas dengan menyerang dan membuat
Portugise menyerah tanpa syarat pada 26 Desember 1575. Portugis
kemudian diusir dari Maluku. Pada masa pemerintahan Sultan
Baabullah, kekuasaan Ternate berkembang luas. Selain berkembang ke
seluruh wilayah kepulauan Maluku, kekuasaannya juga mencakup ke
Bulton dan Pulau Selayar di Sulawesi Selatan. Sultan Baabullah diberi
gelar " Heer van twee en zeventig eilanden " atau " Penguasa atas 72
pulau berpenghuni yang meliputi pulau-pulau di nusantara bagian timur,
Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.
10. Kerajaan Ternate dan Tidore letaknya berdekatan. Keduanya
menganut agama Islam sejak abad ke-16. Ajaran Islam dibawa oleh para
pedagang dari Malaka dan Jawa. Ajaran Islam yang dari Jawa ini
disebarkan oleh salah satu dari sembilan ulama yang terkenal dengn
sebutan wali songo. Nama ulama itu Maulana Malik Ibrahim yang
masyarakat umum mengenalnya sebagai Sunan Gresik.

Anda mungkin juga menyukai