Anda di halaman 1dari 14

Kesultanan Banten

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Langsung ke: navigasi, cari
Kasultanan Banten
Kesultanan Banten

  1527–1813 →
>←

Bendera

Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin,


yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya

Surosowan, Kota
Ibu kota
Intan
Jawa, Melayu, Arab,
Bahasa [1]
Sunda
Agama Islam
Pemerintahan Kesultanan
Sultan
 - 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin
 - 1651–1683 Ageng Tirtayasa
Sejarah
 - Serangan atas
1527
Kerajaan Sunda
 - Aneksasi oleh
1813
Hindia-Belanda
¹ (1527-1552 sebagai bawahan Demak)
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara

Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha

Kutai (abad ke-4)

Tarumanagara (358–669)

Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)

Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)

Kerajaan Medang (752–1045)

Kerajaan Sunda (932–1579)

Kediri (1045–1221)

Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-


14)

Singhasari (1222–1292)

Majapahit (1293–1500)

Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam

Kesultanan Ternate (1257–sekarang)

Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)

Kesultanan Malaka (1400–1511)

Kerajaan Inderapura (1500-1792)

Kesultanan Demak (1475–1548)

Kesultanan Aceh (1496–1903)

Kesultanan Banten (1527–1813)

Kesultanan Mataram (1588—1681)


Kesultanan Siak (1723-1945)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa

Portugis (1512–1850)

VOC (1602-1800)

Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional (1899-1942)

Pendudukan Jepang (1942–1945)

Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka

Orde Lama (1950–1959)

Demokrasi Terpimpin (1959–1966)

Orde Baru (1966–1998)

Era Reformasi (1998–sekarang)

 l
 b
 s

Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi
Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang
dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten
menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan
pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan
sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah
melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan
Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol
kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para
Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Daftar isi
 [sembunyikan] 

 1 Pembentukan awal
 2 Puncak kejayaan
 3 Perang saudara
 4 Penurunan
 5 Penghapusan kesultanan
 6 Agama
 7 Kependudukan
 8 Perekonomian
 9 Pemerintahan
 10 Daftar penguasa Banten
 11 Warisan sejarah
 12 Rujukan
 13 Perpustakaan
 14 Pranala luar

[sunting] Pembentukan awal

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn,
Amsterdam, 1726[3]

Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari
Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak
selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah
Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan
Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang
dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan
dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten


yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan
yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7]
melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan
Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba
menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan
tersebut.[8]

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau
Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir
Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan
hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat
Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]

[sunting] Puncak kejayaan


Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam
menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang
pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[9] Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Cina dan Jepang.[10]

Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten.[11] Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh
Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[12] Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.[13]
Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[12]

[sunting] Perang saudara


Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan
ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara
dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng
terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa,
namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC.
Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang
masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC
mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung
dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan
Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan
Syekh Yusuf.[14] Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk
menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke
Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler,
namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan
Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi
buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di
Batavia.[15]

[sunting] Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan
kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan
kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin,
Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh
hak monopoli perdagangan lada di Lampung.[16] Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17
April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
[17]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan
dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya
diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya
digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad
Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan


masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten[18] maupun gejolak ketidakpuasan
masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat
kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa
Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik
yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam
beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
[13]

[sunting] Penghapusan kesultanan


Reruntuhan Keraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten.

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris.[19] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya
ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan
akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.
Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian
dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.[20]

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[21] Pada
tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa
turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang
mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

[sunting] Agama

Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.

Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa
kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan
Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana
Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten
Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada
penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah
sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang
besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang
di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak
terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat,
seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain


bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam
penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]

Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh
muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di
mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan
Banten.

[sunting] Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis.
Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah
signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat
antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain
menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul
senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673)
menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di
kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang.
Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan
berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.[23]

Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang
migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya.
Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta
memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab.
Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda,
Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar
Ci Banten.

[sunting] Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk
daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini
berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak,
perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran
dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma
(peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih
kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung,
kored dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan
tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar
sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di
atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan
saudagar Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan
penduduk Banten meningkat signifikan.[13]

Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.[23]

[sunting] Pemerintahan

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar
Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati,
Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan
Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang
memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten
terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid,
dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum
ulama, pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana
dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan
dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten.

Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan
alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten
berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang
dikenal dengan nama mandala.[13] Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung
yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan
Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama
Syahbandar Kaytsu.

[sunting] Daftar penguasa Banten


 Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
 Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
 Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
 Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
 Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
 Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
 Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
 Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
 Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
 Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
 Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
 Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
 Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
 Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
 Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813

[sunting] Warisan sejarah


Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan
kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan
keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan
kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia
berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan
melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.

Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai
oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan
keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang
dominan di Nusantara.

[sunting] Rujukan
1. ^ a b c Titik Pudjiastuti, (2007), Perang, dagang, persahabatan: surat-surat Sultan
Banten, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-650-8.
2. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer
Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
3. ^ From Valentijn, Beschrijving van Groot Djava, ofte Java Major, Amsterdam, 1796.
Ludwig Bachhofer, India Antiqua (1947:280) notes that Valentijn had been in Banten
in 1694.
4. ^ Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
5. ^ Titik Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai
tinjauan aksara dan amanat.
6. ^ Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto,
University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
7. ^ Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten,
Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
8. ^ Keat Gin Ooi, (2004), Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat
to East Timor, Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.
9. ^ Heriyanti Ongkodharma Untoro, (2007), Kapitalisme pribumi awal kesultanan
Banten, 1522-1684: kajian arkeologi-ekonomi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
UI, ISBN 979-8184-85-8.
10. ^ Yoneo Ishii, (1998), The junk trade from Southeast Asia: translations from the
Tôsen fusetsu-gaki, 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 981-230-
022-8.
11. ^ Nana Supriatna, Sejarah, PT Grafindo Media Pratama, ISBN 979-758-601-4.
12. ^ a b Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten,
Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5.
13. ^ a b c d Atsushi Ota, (2006), Changes of regime and social dynamics in West Java:
society, state, and the outer world of Banten, 1750-1830, BRILL, ISBN 90-04-15091-
9.
14. ^ Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia:
networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and
eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
15. ^ Ann Kumar, (1976), Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions,
Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.
16. ^ Amir Hendarsah, Cerita Kerajaan Nusantara, Great! Publisher, ISBN 602-8696-
14-5.
17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional
Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
18. ^ Atsushi Ota, Banten Rebellion, 1750-1752: Factors behind the Mass Participation,
Modern Asian Studies (2003), 37: 613-651, DOI: 10.1017/S0026749X03003044.
19. ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas,
PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. 1 November 2008. hlm. 1–2. ISBN
978-979-709-391-4.
20. ^ Sartono Kartodirdjo, (1966), The peasants' revolt of Banten in 1888: Its conditions,
course and sequel. A case study of social movements in Indonesia, Martinus Nijhoff.
21. ^ R. B. Cribb, A. Kahin, (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press,
ISBN 0-8108-4935-6.
22. ^ Euis Nurlaelawati, (2010), Modernization, tradition and identity: the Kompilasi
hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts, Amsterdam
University Press, ISBN 90-8964-088-6.
23. ^ a b Claude Guillot, Banten in 1678, Indonesia, Volume 57 (1994), 89-114.
[sunting] Perpustakaan
 Hussein Jayadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi
Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
 Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude
archéologique de Banten Girang (Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum
Islam - Studi arkeologis tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École française
d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
 Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten
Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-
24
 Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)

[sunting] Pranala luar

Wikimedia Commons memiliki kategori mengenai Kesultanan Banten

 (Indonesia)Sia-sia, Kalau Bangkitkan Sosok Sultan Banten. Harian Kompas, 28 Maret


2003
 (Indonesia)Menunggu Kembalinya Sultan Banten. Republika, 7 September 2003
 (Indonesia)Ribuan Peziarah Serbu Masjid Agung Banten. TempoInteraktif, 26
Oktober 2006
 (Indonesia)Kesultanan Banten? Wallahualam…. Harian Kompas, 26 April 2003

[sembunyikan]

 l
 b
 s

Kerajaan di Jawa
0-600
(Hindu-
Buddha Salakanagara · Tarumanagara · Sunda-Galuh · Kalingga · Kanjuruhan
pra-
Mataram)
600-1500
Mataram Hindu · Kahuripan · Janggala · Kadiri · Singasari · Majapahit ·
(Hindu-
Pajajaran · Blambangan
Buddha)
1500-
Demak · Kalinyamat · Pajang · Banten · Cirebon · Sumedang Larang · Mataram
sekarang
Islam (Kartasura (Surakarta · Yogyakarta · Mangkunagara · Paku Alam))
(Islam)
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kesultanan_Banten&oldid=5406740"
Kategori:

 Pendirian tahun 1527


 Pembubaran tahun 1813
 Kesultanan Banten
 Kerajaan di Nusantara
 Kerajaan di Banten
 Bekas negara di Asia

Akun

 Masuk log / buat akun

Ruang nama

 Halaman
 Pembicaraan

Varian

Halaman

 Baca
 Sunting
 Versi terdahulu

Tindakan

 ↑

Pencarian

Istimew a:Pencari

Navigasi

 Halaman Utama
 Perubahan terbaru
 Peristiwa terkini
 Halaman sembarang

Komunitas

 Warung Kopi
 Portal komunitas
 Bantuan

Wikipedia

 Tentang Wikipedia
 Pancapilar
 Kebijakan
 Menyumbang

Cetak/ekspor

 Buat buku
 Unduh versi PDF
 Versi cetak

Peralatan

 Pranala balik
 Perubahan terkait
 Halaman istimewa
 Pranala permanen
 Kutip halaman ini

Bahasa lain

 English
 Español
 Français
 Italiano
 日本語
 Basa Jawa
 한국어
 Bahasa Melayu
 Nederlands
 Русский
 Basa Sunda

 Halaman ini terakhir diubah pada 08.05, 14 April 2012.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons;
ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih
jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Tampilan seluler

Anda mungkin juga menyukai