Islam Di
Nusantara
Hafizh fmt/XIPS2/14
Kerajaan Islam Di Jawa
Kerajaan
Kerajaan Islam Kerajaan Islam Kerajaan
Demak
Cirebon Banten Mataram
Masa kejayaan Kerajaan Demak berlangsung saat dipimpin Sultan Trenggana (1521 - 1546). Sultan Trenggana naik
takhta setelah Pati Unus.Letak Kerajaan Demak berada di Demak, Jawa Tengah. Pada periode Sultan Trenggana, wilayah
kekuasaan Demak meluas ke Jawa bagian timur dan barat. Pada 1527, pasukan Islam gabungan dari Demak dan Cirebon
yang dipimpin Fatahillah atas perintah Sultan Trenggana berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.Nama Sunda
Kelapa lalu diganti menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang sempurna. Jayakarta kelak berganti nama menjadi
Batavia, lalu Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.Sultan Trenggana wafat pada 1546. Insiden saat menyerang Panarukan,
Situbondo, yang saat itu dikuasai Kerajaan Blambangan (Banyuwangi) membuat Sultan Trenggana terbunuh.Wafatnya
Sultan Trenggana membuat tampuk kepemimpinan Kerajaan Demak diperebutkan. Pangeran Surowiyoto atau Pangeran
Sekar berupaya untuk menduduki kekuasaan mengalahkan Sunan Prawata, putra Sultan Trenggana. Sunan Prawata lalu
membunuh Surowiyoto dan menduduki kekuasaan.Kejadian tersebut menyebabkan surutnya dukungan terhadap
kekuasaan Sunan Prawata. Ia lalu memindahkan pusat kekuasaan Demak ke wilayahnya di Prawoto, Pati, Jawa Tengah.
Ia hanya berkuasa selama satu tahun karena dibunuh Arya Penangsang, putra Surowiyoto pada 1547.Arya Penangsang
menduduki takhta Kerajaan Demak setelah membunuh Sunan Prawata. Ia juga menyingkirkan Pangeran Hadiri atau
Pangeran Kalinyamat, penguasa Jepara karena dianggap berbahaya bagi kekuasaannya.
Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan oleh pemberontakan Adipati Hadiwijaya, penguasa Pajang
pada 1556. Hadiwijaya semula sangat setia pada Demak. Pemberontakan Hadiwijaya disebabkan oleh
Arya Penangsang yang membunuh Sunan Prawata dan Pangeran Kalinyamat.Pemberontakan Adipati
Hadiwijaya menyebabkan runtuhnya Kerajaan Demak menjadi vazal atau wilayah kekuasaan
Kesultanan Pajang.
Kerajaan Islam Cirebon
Sumber sejarah Kerajaan Cirebon didapat dari Babad Tanah Sunda dan Carita Purwaka
Caruban Nagari. Berdasarkan dua sumber tersebut, diketahui bahwa Cirebon pada awalnya
adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai, wilayahnya pun berkembang menjadi kota besar di pesisir utara
Jawa. Setelah Ki Gedeng Tapa wafat, cucunya yang bernama Walangsungsang, mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, orang
yang dianggap sebagai pendiri Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Usai menunaikan ibadah haji, ia dikenal sebagai Haji Abdullah Iman dan
tampil sebagai raja Cirebon pertama yang aktif menyebarkan agama Islam kepada
rakyatnya. Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi
perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon
menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan
Sunda.
Kerajaan Islam Cirebon
Salah satu raja terkenal Kerajaan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, yang berkuasa antara 1479-1568 M. Selain memajukan kerajaan, Syarif Hidayatullah
berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Cirebon. Pada masa pemerintahannya, ia
banyak menaklukkan daerah di Pulau Jawa untuk kepentingan politik dan menyebarkan
ajaran Islam. Beberapa wilayah yang berhasil dikuasai adalah Banten, Sunda Kelapa, dan
Rajagaluh. Sementara di bidang perekonomian, Sunan Gunung Jati menitikberatkan pada
perdagangan dengan berbagai bangsa, seperti Campa, Malaka, India, Cina, dan Arab.
Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon
dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Kerajaan Islam Cirebon
Runtuhnya Kerajaan Cirebon dimulai pada 1666, pada masa pemerintahan Panembahan
Ratu II atau Pangeran Rasmi. Penyebab keruntuhan dilatarbelakangi oleh fitnah dari
Sultan Amangkurat I, penguasa Mataram yang juga mertua Panembahan Ratu II. Sultan
Amangkurat I memanggil Panembahan Ratu II ke Surakarta dan menuduhnya telah
bersekongkol dengan Banten untuk menjatuhkan kekuasaannya di Mataram. Akibatnya,
Panembahan Ratu diasingkan dan wafat di Surakarta pada 1667. Setelah Panembahan Ratu
II wafat, kekosongan dalam Kerajaan Cirebon diambil alih oleh Mataram.
Pengambilalihan sepihak ini memicu amarah dari Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa di
Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian turun tangan untuk membebaskan putra
Panembahan Ratu II yang juga diasingkan oleh Mataram. Setelah itu, Kesultanan Cirebon
terpecah menjadi tiga, yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya. Pecahnya kesultanan juga menandai runtuhnya Kerajaan Cirebon, karena
keadaan semakin diperkeruh dengan politik adu domba VOC.
Kerajaan Islam
Banten
Sebelum periode Islam, Banten adalah kota penting yang masih dalam kekuasaan Pajajaran.
Pada awalnya,
penguasa Pajajaran bermaksud menjalin kerjasama dengan Portugis untuk membantunya
dalam menghadapi
orang Islam di Jawa Tengah yang telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja
bawahan Majapahit.
Namun, sebelum Portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian dengan mendirikan pos
perdagangan,
pelabuhan Banten telah diduduki oleh orang-orang Islam. Sunan Gunung Jati berhasil
menguasai Banten pada
1525-1526 M. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten adalah bagian dari misi Sultan
Trenggono dari Kerajaan
Demak untuk mengusir Portugis dari nusantara. Setelah berhasil menguasai Banten, Sunan
Gunung Jati segera
mengambil alih pemerintahan, tetapi tidak mengangkat dirinya sebagai raja. Pada 1552 M,
Kerajaan Islam
Banten
Kerajaan Banten berhasil mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Beberapa hal yang
dilakukannya untuk memajukan Kesultanan Banten di antaranya, sebagai berikut:
Memajukan wilayah perdagangan Banten hingga ke bagian selatan Pulau Sumatera dan Kalimantan
1.Banten dijadikan tempat perdagangan internasional yang memertemukan pedagang lokal dengan
pedagang Eropa
4.Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan dari kerajaan lain dan serangan pasukan Eropa
Kerajaan Islam
Banten
Kegigihan Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan VOC mendorong Belanda melakukan politik adu
domba. Politik adu domba ditujukan
kepada Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, Sultan Haji, yang kala itu sedang terlibat konflik. Siasat
VOC pun berhasil, hingga Sultan
Haji mau bekerjasama dengan Belanda demi meruntuhkan kekuasaan ayahnya. Pada 1683, Sultan Ageng
Tirtayasa ditangkap dan
dipenjara sehingga harus menyerahkan kekuasaannya kepada putranya. Penangkapan Sultan Ageng
Tirtayasa menjadi tanda berkibarnya
kekuasaan VOC di Banten. Meski Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji diangkat menjadi raja,
tetapi pengangkatan tersebut
disertai beberapa persyaratan yang tertuang dalam Perjanjian Banten. Sejak saat itu, Kesultanan Banten
tidak lagi memiliki kedaulatan
dan penderitaan rakyat semakin berat. Dengan kondisi demikian, sangat wajar apabila masa pemerintahan
Sultan Haji dan sultan-sultan
setelahnya terus diwarnai banyak kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang. Perlawanan
rakyat Banten terhadap VOC
berlangsung hingga awal abad ke-19. Untuk mengatasi hal itu, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels
menghapus Kesultanan Banten.
Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada abad ke-8 hingga ke-11 dan dikuasai oleh tiga dinasti yaitu Dinasti
Sanjaya, Dinasti Syailendra, dan Dinasti
Isyana. Mataram kuno pertama kali diperkirakan berdiri di Bhumi Mataram yang berada di sekitar Yogyakarta.
Berdasarkan periode
kepemimpinannya, lokasi ibu kota awalnya berada di Jawa Tengah ketika Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra berkuasa. Pada masa
kepemimpinan Dinasti Sanjaya, Kerajaan Mataram Kuno dengan corak Hindu memiliki pengaruh yang luar.
Setelah digantikan Rakai
Panangkaran mulai muncul perpecahan yang membuat kepemimpinan terbagi dua. Dinasti Sanjaya yang
memimpin Kerajaan Mataram Kuno
Dengan corak Hindu berkuasa di Jawa Tengah bagian utara. Sementara Dinasti Syailendra dengan Kerajaan
Mataram Kuno dengan corak
Buddha berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. Di bawah kekuasaan Dinasti Syailendra, Kerajaan Mataram
Kuno mencapai puncak kejayaan.
Pada masa kepemimpinan Sri Dharmatungga, wilayah kekuasaan meluas hingga Semenanjung Malaka.
Penggantinya Syailendra juga berhasil
mengalahkan Chenla di Kamboja. Tak hanya kekuasaan, namun kebudayaan juga berkembang termasuk
membangun Candi Borobudur pada
masa kepemimpinan Samaratungga. Kedua dinasti ini bersatu kembali melalui pernikahan Rakai Pikatan dan
Kerajaan Mataram
Meninggalnya Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir pada tahun 1582, membuat kota-kota pesisir pada masa
tersebut terus
memperkuat diri. Pangeran Benowo, putra dari Sultan Hadiwijaya ternyata tak mampu menangani pergerakan
kota-kota
tersebut. Sang Pangeran kemudian menyerahkan kekuasaan Kerajaan Pajang pada Sutawijaya. Dengan
penyerahan kekuasan
tersebut, Kerajaan Pajang menjadi daerah kekuasaan
dari Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Agung
Hanyokrokusumo yang berkuasa dari tahun 1613 sampai 1645. Ia merupakan raja ketiga setelah Panembahan
Sedo Krapyak.
Letak geografis kerajaan yang berada di pedalaman membuat Mataram menjadi kerajaan agraris. Pertanian
yang menjadi
sumber pokok ekonomi masyarakat berkembang pesat karena didukung tanah yang subur. Pada masa
kejayaannya, Mataram
berhasil menjadi pengekspor utama beras. Meski mengandalkan pertanian sebagai pusat ekonomi, tak sedikit
masyarakat
yang melakukan aktivitas perdagangan laut. Dua kegiatan ekonomi yang berkembang pesat itu
Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram berhasil meraih perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Sayangnya, setelah sang
sultan meninggal dunia, Kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Sunan Amangkurat I yang menggantikan
sang sultan ternyata memimpin
kerajaan dengan zalim. Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I banyak melakukan pembunuhan.
Kezaliman sang Sunan memicu
permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) dengan ayahnya sendiri. Sayangnya, Amangkurat II ternyata juga
memiliki perangai yang buruk.
Dalam masa kepemimpinannya, Amangkurat II kerap dibenci oleh pemuka Kerajaan Mataram dan rakyat.
Puncak dari konflik dalam internal
kerajaan ini menyebabkan pecahnya Perang Trunajaya pada tahun 1677.
kerajaan islam di
sumatera
Seiring perkembangan zaman, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Berikut beberapa faktor
yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai.
2.Munculnya pusat politik dan perdagangan baru di Malaka yang letaknya lebih strategis.
3.Lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam, yang kemudian mengambil alih penyebaran agama Islam.
Kesultanan Aceh Darussalam
Berdirinya Kerajaan Aceh bermula ketika kekuatan Barat telah tiba di Malaka. Hal itu
mendorong Sultan Ali Mughayat Syah untuk menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-
kerajaan kecil di bawah payung Kerajaan Aceh. Untuk membangun kerajaan yang besar dan
kokoh, Sultan Ali Mughayat Syah membentuk angkatan darat dan laut yang kuat. Kesultanan
Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh).Sultan Ali
Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh, yang isinya
sebagai berikut.
Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Setelah Sultan Iskandar Muda naik takhta, Kesultanan Aceh
mengalami perkembangan pesat hingga mencapai puncak kejayaannya. Di bawah pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas
perdagangan, bahkan menjadi bandar transit yang menghubungkan dengan pedagang Islam di
Barat. Sultan Iskandar Muda juga meneruskan perjuangan Aceh dengan menyerang Portugis dan
Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya supaya bisa menguasai jalur perdagangan di Selat
Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Di samping itu, Kerajaan Aceh memiliki
kekuasaan yang sangat luas, meliputi daerah Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri.
Kesultanan Aceh Darussalam
Masa keruntuhan Kerajaan Aceh Pada 1641, atau sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kerajaan
Aceh mengalami kemunduran. Faktor kejatuhan Kerajaan Aceh paling utama adalah adanya
perebutan kekuasaan di antara para pewaris takhta. Selain itu, kekuasaan Belanda di Pulau
Sumatera dan Selat Malaka semakin menguat. Pada masa pemerintahan raja terakhir Kerajaan
Aceh, Belanda terus melancarkan perang terhadap Aceh. Setelah melakukan peperangan selama
40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Belanda.
Kerajaan Islam
Riau
>Kerajaan Siak
Kerajaan melayu Islam yang berada di Kabupaten Siak, Provinsi Riau
yaitu
Kerajaan Siak yang merupakan kerajaan yang bercorak Islam pada abad
ke 15.
Kerajaan Siak ini juga menghasilkan padi, madu, timah, dan emas.
Kerajaan ini
adalah kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan
Sultan Mansyur Syah.
>Kerajaan Indragiri
Kerajaan ini berada di Kabupaten Indaragiri Hilir, Kabupaten Indragiri
Hulu,
Provinsi Riau. Kerajaan yang berdiri sejak tahun 1298 yang didirikan
oleh Raja
Kecik Mambang atau bisa disebut dengan Raja Merlang. Kerajaan ini
berkembang karena
kerajaan ini bercorak islam pada abad ke 15.
Kerajaan Islam Di Jambi
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi sekarang.
Adanya Islam di Jambi karena kedatangan kapal dari Kesultanan Turki untuk penyebaran
agama Islam di Jambi, rombongan tersebut di pimpin oleh Ahmad Ilyas atauAhmad Barus.
Mereka datang kemari karena kapal rombongannya terdampar di Pulo Berhalo kaerna
Ahmad Ilyas menyebarkan agama Islam di Jambi selain itu beliau yang menghancurkan
patung-patung berhala sembahan di pulau berhala sehingga Ahmad Ilyas dijulukisebagai
Datuk Paduko Berhalo. Diketahui bahwa masuknya Islam pada masyarakat Jambi Seberang
banyak dipengaruhi oleh pedagang-pedagang Islam yang masuk dan berlayar di sepanjang
sungai Batanghari. Ditemukannya beberapa peninggalan dari pedagang-pedangang Arab,
Persia dan Turki menjadi salah satu bukti bahwa proses penyebaran Islam tersebut pernah
terjadi. Ditambah lagi bahwa Budaya Arab Melayu sangat melekat kuat pada masyarakat
Jambi Seberang. Bahkan melekat pada adat orang Melayu Jambi yang kita kenal dengan
“Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah”
kerajaan jambi mengalami kejayaan pada masa Sultan Abdul Kahar yang memerintah sampai
Kerajaan Islam Di Jambi
tahun 1643. Pada jamannya, kerajaan melayu Jambi terus mengalami kemajuan. Hal ini
disebabkan karena Portugis menguasai malaka pada tahun 1511. Akhirnya, para pedagang itu
memilih Jambi.
Keruntuhan Siasat politik adu domba yang dijalankan Belanda terbukti ampuh. Sebab, Raja Bone yaitu
Aru Palaka, akhirnya mau
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Perang inilah yang kemudian dikenal dengan
nama Perang Makassar.
Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Makassar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangani Perjanjian Bongaya pada
1667. Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Makassar, tetapi harus diterima Sultan
Hasanuddin. Dua hari setelah
perjanjian itu, Sultan Hasanuddin turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Amir
Hamzah. Perjanjian Bongaya menjadi
awal keruntuhan Kesultanan Gowa-Tallo. Pasalnya, raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja
yang merdeka dalam
penentuan politik kenegaraan.
Sejarah berdirinya Kerajaan Wajo dikatakan masih gelap karena terdapat beberapa versi cerita.
Kerajaan Wajo
Di antara cerita tersebut ada yang menghubungkan kemunculannya dengan pendirian kampung
Wajo oleh tiga anak raja dari kampung tetangga, yaitu Cinnotabi. Kepala keluarga dari mereka
kemudian menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Akan tetapi, Batara Wajo yang
ketiga dipaksa untuk turun takhta dan dibunuh karena kelakuan buruknya. Sejak saat itu,
pengangkatan raja di Wajo tidak lagi turun-temurun, tetapi melalui pemilihan oleh Dewan
Perwakilan menjadi Arung Matoa. Masuknya Islam ke Kerajaan Wajo Terlepas dari beberapa
serangannya yang mengalami kegagalan, Kerajaan Gowa-Tallo tetap berkembang menjadi
kekuatan utama di Semenanjung Sulawesi Selatan yang menyokong perdagangan internasional
dan menyebarkan Islam. Pada akhirnya, Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menundukkan dan
mengislamkan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611). Akan tetapi, Kerajaan Gowa-
Tallo tidak membubarkan Persekutuan Tellumpoccoe dan membiarkan Wajo mengatur urusan
dalam negerinya. Selain itu, dari sumber hikayat lokal diketahui bahwa seorang ulama terkenal
dari Minangkabau bernama Dato ri Bandang memberikan pelajaran agama Islam kepada raja-raja
Wajo dan rakyatnya.
Kerajaan Wajo
Masa kejayaan Kerajaan Wajo Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Wajo sempat mengalami
masa suram saat memilih mendukung Kerajaan Gowa-Tallo menghadapi armada gabungan Bone,
Soppeng, Buton, dan VOC. Ketika Kerajaan Gowa-Tallo menyerah, Wajo menolak
menandatangani Perjanjian Bongaya dan memilih untuk tetap melawan. Perjuangan pun harus
terhenti pada 1670, saat ibu kota Kerajaan Wajo yang berlokasi di Tosora jatuh ke pihak VOC
dan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka. Setelah itu, rakyat Wajo memilih untuk bermigrasi
karena tidak sudi dijajah. Pada 1726, muncul sosok bernama La Maddukelleng, yang menjadi
musuh bebuyutan Belanda. Melihat tekad dan usaha-usahanya untuk membebaskan Wajo dan
Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda, La Maddukelleng kemudian diangkat menjadi Arung
Matoa ke-31 pada 1736. Di bawah kekuasaan La Maddukelleng, rakyat dapat memenangkan
perang melawan Bone dan Kerajaan Wajo dapat direbut kembali dari Belanda. La Maddukelleng
pun sempat memajukan kehidupan sosial dan politik Wajo di antara kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 1754.
Kerajaan Wajo
Keruntuhan Kerajaan Wajo Pada akhir pemerintahan La Maddukelleng, Wajo mulai mengalami
pergolakan yang terus berlangsung hingga abad ke-18. Memasuki abad ke-19, Islam semakin
mengakar kuat di Wajo. Akan tetapi, kemelut di kerajaan juga tidak kunjung usai karena para
anggota dewannya tidak dapat bersepakat untuk memilih Arung Matoa yang baru. Pada 1905,
Kerajaan Wajo akhirnya takluk kepada Belanda dan menyerahkan semua urusannya kepada
pemerintahan kolonial.
Thank You