Anda di halaman 1dari 39

Kerajaan

Islam Di
Nusantara
Hafizh fmt/XIPS2/14
Kerajaan Islam Di Jawa

Kerajaan
Kerajaan Islam Kerajaan Islam Kerajaan
Demak
Cirebon Banten Mataram

Jawa Tengah Jawa Barat Bhumi Mataram


Provinsi Banten
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak berdiri pada awal abad ke-16 Masehi seiring kemunduran Majapahit.Pendiri
Kerajaan Demak adalah Raden Patah. Raden Patah adalah putra Raja Majapahit dan istrinya yang
berasal dari China dan menjadi mualaf, seperti dikutip dari buku Sejarah 8 Kerajaan Terbesar di
Indonesia oleh Siti Nur Aidah dan Tim Penerbit KBM.Kerajaan Demak menjadi pusat
penyebaran agama Islam di bawah kepemimpinan Raden Patah dengan adanya peran sentral Wali
Songo. Periode kepemimpinan Raden Patah adalah fase awal semakin berkembangnya ajaran
Islam di Jawa. Raja Kerajaan Demak setelah Raden Fatah wafat pada 1518 yaitu Adipati Unus
(1488 - 1521). Adipati Unus adalah putra Raden Patah.Sebelum menjadi sultan, Pati Unus
terkenal dengan keberaniannya sebagai panglima perang. Julukan Pati Unus yaitu Pangeran
Sabrang Lor muncul dari keberaniannya sebagai panglima tersebut.Pati Unus memimpin
penyerbuan kedua ke Malaka melawan Portugis pada 1521. Pati Unus wafat pada pertempuran
tersebut.
Kerajaan Demak

Masa kejayaan Kerajaan Demak berlangsung saat dipimpin Sultan Trenggana (1521 - 1546). Sultan Trenggana naik
takhta setelah Pati Unus.Letak Kerajaan Demak berada di Demak, Jawa Tengah. Pada periode Sultan Trenggana, wilayah
kekuasaan Demak meluas ke Jawa bagian timur dan barat. Pada 1527, pasukan Islam gabungan dari Demak dan Cirebon
yang dipimpin Fatahillah atas perintah Sultan Trenggana berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.Nama Sunda
Kelapa lalu diganti menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang sempurna. Jayakarta kelak berganti nama menjadi
Batavia, lalu Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.Sultan Trenggana wafat pada 1546. Insiden saat menyerang Panarukan,
Situbondo, yang saat itu dikuasai Kerajaan Blambangan (Banyuwangi) membuat Sultan Trenggana terbunuh.Wafatnya
Sultan Trenggana membuat tampuk kepemimpinan Kerajaan Demak diperebutkan. Pangeran Surowiyoto atau Pangeran
Sekar berupaya untuk menduduki kekuasaan mengalahkan Sunan Prawata, putra Sultan Trenggana. Sunan Prawata lalu
membunuh Surowiyoto dan menduduki kekuasaan.Kejadian tersebut menyebabkan surutnya dukungan terhadap
kekuasaan Sunan Prawata. Ia lalu memindahkan pusat kekuasaan Demak ke wilayahnya di Prawoto, Pati, Jawa Tengah.
Ia hanya berkuasa selama satu tahun karena dibunuh Arya Penangsang, putra Surowiyoto pada 1547.Arya Penangsang
menduduki takhta Kerajaan Demak setelah membunuh Sunan Prawata. Ia juga menyingkirkan Pangeran Hadiri atau
Pangeran Kalinyamat, penguasa Jepara karena dianggap berbahaya bagi kekuasaannya.
Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan oleh pemberontakan Adipati Hadiwijaya, penguasa Pajang
pada 1556. Hadiwijaya semula sangat setia pada Demak. Pemberontakan Hadiwijaya disebabkan oleh
Arya Penangsang yang membunuh Sunan Prawata dan Pangeran Kalinyamat.Pemberontakan Adipati
Hadiwijaya menyebabkan runtuhnya Kerajaan Demak menjadi vazal atau wilayah kekuasaan
Kesultanan Pajang.
Kerajaan Islam Cirebon

Sumber sejarah Kerajaan Cirebon didapat dari Babad Tanah Sunda dan Carita Purwaka
Caruban Nagari. Berdasarkan dua sumber tersebut, diketahui bahwa Cirebon pada awalnya
adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai, wilayahnya pun berkembang menjadi kota besar di pesisir utara
Jawa. Setelah Ki Gedeng Tapa wafat, cucunya yang bernama Walangsungsang, mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, orang
yang dianggap sebagai pendiri Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Usai menunaikan ibadah haji, ia dikenal sebagai Haji Abdullah Iman dan
tampil sebagai raja Cirebon pertama yang aktif menyebarkan agama Islam kepada
rakyatnya. Kesultanan Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi
perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan Cirebon
menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan, yaitu budaya Jawa dan
Sunda.
Kerajaan Islam Cirebon

Salah satu raja terkenal Kerajaan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, yang berkuasa antara 1479-1568 M. Selain memajukan kerajaan, Syarif Hidayatullah
berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Cirebon. Pada masa pemerintahannya, ia
banyak menaklukkan daerah di Pulau Jawa untuk kepentingan politik dan menyebarkan
ajaran Islam. Beberapa wilayah yang berhasil dikuasai adalah Banten, Sunda Kelapa, dan
Rajagaluh. Sementara di bidang perekonomian, Sunan Gunung Jati menitikberatkan pada
perdagangan dengan berbagai bangsa, seperti Campa, Malaka, India, Cina, dan Arab.
Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon
dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Kerajaan Islam Cirebon

Runtuhnya Kerajaan Cirebon dimulai pada 1666, pada masa pemerintahan Panembahan
Ratu II atau Pangeran Rasmi. Penyebab keruntuhan dilatarbelakangi oleh fitnah dari
Sultan Amangkurat I, penguasa Mataram yang juga mertua Panembahan Ratu II. Sultan
Amangkurat I memanggil Panembahan Ratu II ke Surakarta dan menuduhnya telah
bersekongkol dengan Banten untuk menjatuhkan kekuasaannya di Mataram. Akibatnya,
Panembahan Ratu diasingkan dan wafat di Surakarta pada 1667. Setelah Panembahan Ratu
II wafat, kekosongan dalam Kerajaan Cirebon diambil alih oleh Mataram.
Pengambilalihan sepihak ini memicu amarah dari Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa di
Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian turun tangan untuk membebaskan putra
Panembahan Ratu II yang juga diasingkan oleh Mataram. Setelah itu, Kesultanan Cirebon
terpecah menjadi tiga, yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya. Pecahnya kesultanan juga menandai runtuhnya Kerajaan Cirebon, karena
keadaan semakin diperkeruh dengan politik adu domba VOC.
Kerajaan Islam
Banten
Sebelum periode Islam, Banten adalah kota penting yang masih dalam kekuasaan Pajajaran.
Pada awalnya,
penguasa Pajajaran bermaksud menjalin kerjasama dengan Portugis untuk membantunya
dalam menghadapi
orang Islam di Jawa Tengah yang telah mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja
bawahan Majapahit.
Namun, sebelum Portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian dengan mendirikan pos
perdagangan,
pelabuhan Banten telah diduduki oleh orang-orang Islam. Sunan Gunung Jati berhasil
menguasai Banten pada
1525-1526 M. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten adalah bagian dari misi Sultan
Trenggono dari Kerajaan
Demak untuk mengusir Portugis dari nusantara. Setelah berhasil menguasai Banten, Sunan
Gunung Jati segera
mengambil alih pemerintahan, tetapi tidak mengangkat dirinya sebagai raja. Pada 1552 M,
Kerajaan Islam
Banten
Kerajaan Banten berhasil mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Beberapa hal yang
dilakukannya untuk memajukan Kesultanan Banten di antaranya, sebagai berikut:
Memajukan wilayah perdagangan Banten hingga ke bagian selatan Pulau Sumatera dan Kalimantan

1.Banten dijadikan tempat perdagangan internasional yang memertemukan pedagang lokal dengan
pedagang Eropa

2.Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam

3.Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel

4.Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan dari kerajaan lain dan serangan pasukan Eropa
Kerajaan Islam
Banten
Kegigihan Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan VOC mendorong Belanda melakukan politik adu
domba. Politik adu domba ditujukan
kepada Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, Sultan Haji, yang kala itu sedang terlibat konflik. Siasat
VOC pun berhasil, hingga Sultan
Haji mau bekerjasama dengan Belanda demi meruntuhkan kekuasaan ayahnya. Pada 1683, Sultan Ageng
Tirtayasa ditangkap dan
dipenjara sehingga harus menyerahkan kekuasaannya kepada putranya. Penangkapan Sultan Ageng
Tirtayasa menjadi tanda berkibarnya
kekuasaan VOC di Banten. Meski Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji diangkat menjadi raja,
tetapi pengangkatan tersebut
disertai beberapa persyaratan yang tertuang dalam Perjanjian Banten. Sejak saat itu, Kesultanan Banten
tidak lagi memiliki kedaulatan
dan penderitaan rakyat semakin berat. Dengan kondisi demikian, sangat wajar apabila masa pemerintahan
Sultan Haji dan sultan-sultan
setelahnya terus diwarnai banyak kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang. Perlawanan
rakyat Banten terhadap VOC
berlangsung hingga awal abad ke-19. Untuk mengatasi hal itu, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels
menghapus Kesultanan Banten.
Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada abad ke-8 hingga ke-11 dan dikuasai oleh tiga dinasti yaitu Dinasti
Sanjaya, Dinasti Syailendra, dan Dinasti
Isyana. Mataram kuno pertama kali diperkirakan berdiri di Bhumi Mataram yang berada di sekitar Yogyakarta.
Berdasarkan periode
kepemimpinannya, lokasi ibu kota awalnya berada di Jawa Tengah ketika Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra berkuasa. Pada masa
kepemimpinan Dinasti Sanjaya, Kerajaan Mataram Kuno dengan corak Hindu memiliki pengaruh yang luar.
Setelah digantikan Rakai
Panangkaran mulai muncul perpecahan yang membuat kepemimpinan terbagi dua. Dinasti Sanjaya yang
memimpin Kerajaan Mataram Kuno
Dengan corak Hindu berkuasa di Jawa Tengah bagian utara. Sementara Dinasti Syailendra dengan Kerajaan
Mataram Kuno dengan corak
Buddha berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan. Di bawah kekuasaan Dinasti Syailendra, Kerajaan Mataram
Kuno mencapai puncak kejayaan.
Pada masa kepemimpinan Sri Dharmatungga, wilayah kekuasaan meluas hingga Semenanjung Malaka.
Penggantinya Syailendra juga berhasil
mengalahkan Chenla di Kamboja. Tak hanya kekuasaan, namun kebudayaan juga berkembang termasuk
membangun Candi Borobudur pada
masa kepemimpinan Samaratungga. Kedua dinasti ini bersatu kembali melalui pernikahan Rakai Pikatan dan
Kerajaan Mataram
Meninggalnya Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir pada tahun 1582, membuat kota-kota pesisir pada masa
tersebut terus
memperkuat diri. Pangeran Benowo, putra dari Sultan Hadiwijaya ternyata tak mampu menangani pergerakan
kota-kota
tersebut. Sang Pangeran kemudian menyerahkan kekuasaan Kerajaan Pajang pada Sutawijaya. Dengan
penyerahan kekuasan
tersebut, Kerajaan Pajang menjadi daerah kekuasaan
dari Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Agung
Hanyokrokusumo yang berkuasa dari tahun 1613 sampai 1645. Ia merupakan raja ketiga setelah Panembahan
Sedo Krapyak.
Letak geografis kerajaan yang berada di pedalaman membuat Mataram menjadi kerajaan agraris. Pertanian
yang menjadi
sumber pokok ekonomi masyarakat berkembang pesat karena didukung tanah yang subur. Pada masa
kejayaannya, Mataram
berhasil menjadi pengekspor utama beras. Meski mengandalkan pertanian sebagai pusat ekonomi, tak sedikit
masyarakat
yang melakukan aktivitas perdagangan laut. Dua kegiatan ekonomi yang berkembang pesat itu
Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram berhasil meraih perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Sultan Agung
Hanyokrokusumo. Sayangnya, setelah sang
sultan meninggal dunia, Kerajaan Mataram mengalami kemunduran. Sunan Amangkurat I yang menggantikan
sang sultan ternyata memimpin
kerajaan dengan zalim. Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I banyak melakukan pembunuhan.
Kezaliman sang Sunan memicu
permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) dengan ayahnya sendiri. Sayangnya, Amangkurat II ternyata juga
memiliki perangai yang buruk.
Dalam masa kepemimpinannya, Amangkurat II kerap dibenci oleh pemuka Kerajaan Mataram dan rakyat.
Puncak dari konflik dalam internal
kerajaan ini menyebabkan pecahnya Perang Trunajaya pada tahun 1677.
kerajaan islam di
sumatera

1.Kerajaan Samudera Pasai 4.Kerajaan Islam Di Jambi


2.Kesultanan Aceh Darussalam 5.Kerajaan Islam Di Sumatera Selatan
3.Kerajaan Islam Di Riau 6.Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Samudera Pasai
Dari catatan Ibnu Battutah, dapat dipastikan bahwa Kerajaan Samudera Pasai berdiri lebih awal
dibandingkan dinasti Usmani di Turki, kira-kira pada tahun 1297. Perkiraan tersebut dikuatkan
dengan catatan Marcopolo, seorang saudagar dari Venesia, Italia, yang singgah di Samudera
Pasai pada 1292. Marcopolo menerangkan bahwa telah melihat keberadaan kerajaan Islam yang
berkembang pada waktu itu, yakni Samudera Pasai dengan ibukota Pasai. Selain dua catatan
tersebut, sejarah Kerajaan Samudera Pasai juga dapat dilacak dari Hikayat Raja Pasai. Kerajaan
Samudera Pasai merupakan gabungan dari dua kerajaan, yakni Samudera dan Pasai.
Penggabungan tersebut dilakukan oleh Marah Silu, raja pertama dengan gelar Sultan Malik Al-
Saleh yang memimpin dari tahun 1285-1297. Setelah Marah Silu wafat, digantikan oleh putranya
bernama Sultan Muhammad yang bergelar Malik Al Tahir (1297-1326). Samudera Pasai terletak
di wilayah yang sangat strategis. Kawasan Pasai dekat dengan laut dan tidak jauh dari Selat
Malaka yang merupakan jalur perdagangan ke Persia, Arab, Cina serta India.
Masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai berlangsung saat dipimpin oleh Mahmud Malik Az
Zahir. Sultan Mahmud Malik Az Zahir adalah raja ketiga Samudera Pasai yang memerintah dari
Kerajaan Samudera Pasai
tahun 1326-1345. Ia meneruskan mempimpin setelah Marah Silu atau Sultan Malik Al Saleh
(raja pertama) dan Sultan Muhammad Malik Az Zahir atau Sultan Malik al Tahir I (raja kedua).
Pada masa kepemimpinannya Kerajaan Samudera Pasai mengalami perkembangan pesat dan
terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Puncak
kejayaan Kerajaan Samudera Pasai juga ditandai dengan aktivitas perdagangan yang sudah maju,
ramai, dan menggunakan koin emas sebagai alat pembayaran. Koin emas yang disebut dirham ini
pertama kali diperkenalkan oleh Sultan Muhammad Malik Az Zahir, ayah Mahmud Malik Az
Zahir, dan kemudian digunakan secara resmi di kerajaan. Pada masa kejayaannya, Samudera
Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan nusantara. Samudera Pasai memiliki
banyak bandar yang dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India,
Siam, Arab, dan Persia. Kerajaan ini juga dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terkemuka
di dunia dengan lada sebagai komoditas andalannya. Tidak hanya itu, Samudera Pasai juga
menjadi produsen sutra, kapur barus, dan emas. Di samping sebagai pusat perdagangan,
Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam. Menurut Ibnu Batutah,
Sultan Samudera Pasai disebut sebagai sosok yang menjunjung tinggi agama dan berhasil
mengislamkan penduduk di daerah-daerah sekitarnya. Masa kejayaan Samudera Pasai juga
dipengaruhi oleh lemahnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Samudera Pasai

Seiring perkembangan zaman, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Berikut beberapa faktor
yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai.

1.Menjadi sasaran Kerajaan Majapahit yang berambisi menyatukan nusantara.

2.Munculnya pusat politik dan perdagangan baru di Malaka yang letaknya lebih strategis.

3.Lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam, yang kemudian mengambil alih penyebaran agama Islam.
Kesultanan Aceh Darussalam
Berdirinya Kerajaan Aceh bermula ketika kekuatan Barat telah tiba di Malaka. Hal itu
mendorong Sultan Ali Mughayat Syah untuk menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-
kerajaan kecil di bawah payung Kerajaan Aceh. Untuk membangun kerajaan yang besar dan
kokoh, Sultan Ali Mughayat Syah membentuk angkatan darat dan laut yang kuat. Kesultanan
Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh).Sultan Ali
Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh, yang isinya
sebagai berikut.

1.Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar


2.Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara
3,Bersikap waspada terhadap negara Barat
4.Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar
5.Menjalankan dakwah Islam ke seluruh nusantara
Kesultanan Aceh Darussalam

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Setelah Sultan Iskandar Muda naik takhta, Kesultanan Aceh
mengalami perkembangan pesat hingga mencapai puncak kejayaannya. Di bawah pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas
perdagangan, bahkan menjadi bandar transit yang menghubungkan dengan pedagang Islam di
Barat. Sultan Iskandar Muda juga meneruskan perjuangan Aceh dengan menyerang Portugis dan
Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya supaya bisa menguasai jalur perdagangan di Selat
Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada. Di samping itu, Kerajaan Aceh memiliki
kekuasaan yang sangat luas, meliputi daerah Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri.
Kesultanan Aceh Darussalam

Masa keruntuhan Kerajaan Aceh Pada 1641, atau sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kerajaan
Aceh mengalami kemunduran. Faktor kejatuhan Kerajaan Aceh paling utama adalah adanya
perebutan kekuasaan di antara para pewaris takhta. Selain itu, kekuasaan Belanda di Pulau
Sumatera dan Selat Malaka semakin menguat. Pada masa pemerintahan raja terakhir Kerajaan
Aceh, Belanda terus melancarkan perang terhadap Aceh. Setelah melakukan peperangan selama
40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Belanda.
Kerajaan Islam
Riau
>Kerajaan Siak
Kerajaan melayu Islam yang berada di Kabupaten Siak, Provinsi Riau
yaitu
Kerajaan Siak yang merupakan kerajaan yang bercorak Islam pada abad
ke 15.
Kerajaan Siak ini juga menghasilkan padi, madu, timah, dan emas.
Kerajaan ini
adalah kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan
Sultan Mansyur Syah.

>Kerajaan Pekantua (1380-1505)


Kerajaan Pelalawan ini adalah Kerajaan Pekantua yang dibangun di
daerah yang
bernama Pematang Tuo. Kerajaan ini juga masuk ke Desa Tolam,
Kecamatan
Pelalawan, Kabupaten Pelalawan. Kerajaan ini berhasil membangun
kerajaan pertama di
Pekantua, Maharaja Indera (1380-1420) yang membangun candi Hyang
di Bukit Tuo sebagai
gambaran wujud rasa syukur.Dalam kerajaan ini banyak barang
Kerajaan Islam
Riau
>Kerajaan Tanjung Nageri (1675-1725)
Ketika masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kotanya kerajaan
dipindahkan
ke Sungai Nilo. Kerajaan yang diberi nama Kerajaan Tanjung Negeri.
Setelah
Maharaja Lela Utama digantikan dengan putranya Maharaja Wangsa
Jaya (1686-
1691). Masa pemerintahan Raja ini banyak wilayah Tanjung Negeri ini
yang diserang
dengan wabah penyakit, sehingga membuat banyak korban di kerajaan
tersebut.
Ketika masa ini banyak keinginan untuk memindahkan pusat kerajaan di
Tanjung
Negeri tapi tidak disepakati oleh pembesar kerajaan .

>Kerajaan Pekantua (1380-1505)


Kerajaan ini adalah kerajaan yang tertua di Indonesia yang berdiri pada
abad
pertama Masehi lebih tua dari kerajaan Kutai. Kerajaan ini berada di
tengah-
Kerajaan Islam
Riau

>Kerajaan Indragiri
Kerajaan ini berada di Kabupaten Indaragiri Hilir, Kabupaten Indragiri
Hulu,
Provinsi Riau. Kerajaan yang berdiri sejak tahun 1298 yang didirikan
oleh Raja
Kecik Mambang atau bisa disebut dengan Raja Merlang. Kerajaan ini
berkembang karena
kerajaan ini bercorak islam pada abad ke 15.
Kerajaan Islam Di Jambi
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi sekarang.
Adanya Islam di Jambi karena kedatangan kapal dari Kesultanan Turki untuk penyebaran
agama Islam di Jambi, rombongan tersebut di pimpin oleh Ahmad Ilyas atauAhmad Barus.
Mereka datang kemari karena kapal rombongannya terdampar di Pulo Berhalo kaerna
Ahmad Ilyas menyebarkan agama Islam di Jambi selain itu beliau yang menghancurkan
patung-patung berhala sembahan di pulau berhala sehingga Ahmad Ilyas dijulukisebagai
Datuk Paduko Berhalo. Diketahui bahwa masuknya Islam pada masyarakat Jambi Seberang
banyak dipengaruhi oleh pedagang-pedagang Islam yang masuk dan berlayar di sepanjang
sungai Batanghari. Ditemukannya beberapa peninggalan dari pedagang-pedangang Arab,
Persia dan Turki menjadi salah satu bukti bahwa proses penyebaran Islam tersebut pernah
terjadi. Ditambah lagi bahwa Budaya Arab Melayu sangat melekat kuat pada masyarakat
Jambi Seberang. Bahkan melekat pada adat orang Melayu Jambi yang kita kenal dengan
“Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah”
kerajaan jambi mengalami kejayaan pada masa Sultan Abdul Kahar yang memerintah sampai
Kerajaan Islam Di Jambi
tahun 1643. Pada jamannya, kerajaan melayu Jambi terus mengalami kemajuan. Hal ini
disebabkan karena Portugis menguasai malaka pada tahun 1511. Akhirnya, para pedagang itu
memilih Jambi.

Penyebab runtuhnya kerajaan islam di Jambi adalah


- Serangan bertubi2 dari Kerajaan Colamandala (India).
- Kerajaan taklukan jambi (Ligor, Tanah Genting Kra, dll) banyak yang melepaskan diri dari
Kerjaan Jambi
- Terdesak oleh kerajaan di Thailand yang meluaskan pengaruhnya ke arah selatan .
-Mundurnya perekonomian dan perdagangan Kerajaan Jambi karena bandar-bandar
pentingnya sudah melepaskan diri.
- Adanya serangan dari Raja Dharmawangsa 990 M.
- Muncul dan berkembangnya kerajaan Islam Samudra Pasai.
- Adanya serangan dari kerajaan Majapahit.
- Pengkhianatan yang dilakukan VOC
Kerajaan Islam Di Sumatra Selatan
Ketika terjadi kemelut di Kesultanan Demak, banyak keluarga kerajaan yang melarikan diri ke Palembang.
Salah satunya adalah Ki Gede Sedo Ing Lautan, yang kemudian mendirikan kerajaan di Palembang pada
sekitar pertengahan abad ke-16. Ki Gede Sedo Ing Lautan inilah yang nantinya menurunkan raja-raja di
Kesultanan Palembang. Namun, kerajaannya saat itu masih menjadi bawahan Kesultanan Mataram, yang
dianggap sebagai pelindung dari Kesultanan Banten. Barulah pada masa Ki Mas Hindi (1659-1706),
Kerajaan Palembang memutuskan segala hubungan dengan Kesultanan Mataram. Ki Mas Hindi kemudian
menyatakan dirinya sebagai sultan, yang kedudukannya setara dengan penguasa Mataram. Oleh karena itu,
Ki Mas Hindi dikenal sebagai pendiri dan raja pertama Kesultanan Palembang, yang kemudian bergelar
Sultan Abdurrahman. Kerajaan (Kesultanan) Palembang terletak di tepi sungai Musi. Ibukota Kesultanan
adalah Kota Palembang yang terletak di kaki bukit Siguntang. Sungai Musi membelah kota Palembang
menjadi dua bagian yaitu bagian Ilir dan bagian Ulu. Sungai Musi bermuara di Sunsang.
Kerajaan Islam Di Sumatra Selatan
Kesultanan Palembang Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin II pada awal abad ke-19.Pada masanya dibangun Masjid Agung Palembang dan Benteng Kuto
Besak.Kesultanan Palembang runtuh Pada 12 Juni 1819, pertempuran Palembang melawan Belanda dimulai,
yang berlanjut hingga masa sultan berikutnya. Setelah sempat mengalami kekalahan, Belanda meluncurkan
serangan dadakan pada Juni 1821, yang berhasil melumpuhkan Palembang. Tidak lama kemudian,
Palembang resmi jatuh ke tangan Belanda. Sementara Sultan Ahmad Najamuddin III dibawa ke Batavia
untuk diasingkan ke Maluku hingga akhir hidupnya. Pada 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang resmi
dihapus oleh Belanda dan Kuto Tengkuruk dihancurkan hingga rata dengan tanah. Setelah sekian lama,
Majelis Adat Palembang memutuskan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Palembang dan melantik
Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin III. Sultan
Mahmud Badaruddin III kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang
naik takhta pada 2017. Penobatan tersebut berlangsung di Masjid Lawang Kidul, dekat makam Sultan
Mahmud Badaruddin I, pada 2003.
Kerajaan Minangkabau
Dari manuskrip yang terdapat pada bagian belakang arca Amoghapasa, diketahui bahwa pada
1347 M Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja di Malayapura. Meski nama Pagaruyung
tidak ditemukan dalam berbagai sumber sejarah, Adityawarman diduga kuat sebagai pendiri
Kerajaan Pagaruyung. Adityawarman adalah seorang keturunan Minangkabau-Jawa, putra dari
Adwayawarman (pemimpin Ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Kediri) dan Dara Jingga (putri
Kerajaan Dharmasraya). Namun, sebagian sejarawan berpendapat bahwa Adityawarman adalah
putra dari Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan Dara Jingga. Terlepas dari perbedaan
pendapat para ahli, Adityawarman adalah sepupu Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dari
pihak ibu. Sebelum mendirikan Kerajaan Pagaruyung, ia pernah menaklukkan Bali dan
Palembang bersama Mahapatih Gajah Mada. Pasalnya, Adityawarman adalah raja bawahan
(uparaja) dari Majapahit yang dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera.
Dalam perjalanannya, ia berusaha melepaskan diri dari Majapahit hingga dikejar oleh pasukan
dari Jawa Timur. Setelah terlibat pertempuran dahsyat di daerah Padang Sibusuk, Adityawarman
akhirnya menang.
Kerajaan Minangkabau

Puncak kejayaan Kerajaan Pagaruyung Di bawah pemerintahan Adityawarman dan putranya,


Ananggawarman, Kerajaan Pagaruyung menjadi sangat kuat hingga berhasil melebarkan
kekuasaannya ke wilayah Sumatera bagian tengah. Dari berita China, diketahui bahwa antara
1371 hingga 1377 Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Dinasti Ming sebanyak enam
kali. Namun, keturunan Ananggawarman bukanlah raja-raja yang kuat dan dapat melanjutkan
kejayaan pendahulunya. Setelah Adityawarman meninggal, Kerajaan Majapahit diduga kembali
mengirimkan ekspedisi pada 1409. Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau
sendiri, yaitu Rajo Tigo Selo yang dibantu oleh Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar,
dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Aceh.
Kerajaan Minangkabau
Keruntuhan Kerajaan Pagaruyung Kemunduran Kerajaan Pagaruyung hingga akhirnya runtuh
disebabkan adanya Perang Padri (1803-1838). Pada awal abad ke-19, kekuasaan raja Pagaruyung
memang telah melemah, meskipun masih tetap dihormati. Permusuhan antara keluarga kerajaan
dengan kaum Padri tidak dapat dicegah hingga menimbulkan korban jiwa. Untuk melawan kaum
Padri, keluarga Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan kepada Belanda. Pada 10
Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, menandatangani pernjanjian
dengan Belanda, yang dianggap sebagai bentuk penyerahan. Dalam perjanjian itu, Belanda
berjanji membantu perang melawan kaum Padri dan sultan akan menjadi bawahan pemerintah
pusat. Belanda bahkan berusaha menaklukkan kaum Padri dengan mendatangkan pasukan dari
Jawa dan Maluku. Namun, ambisi Belanda untuk menguasai Pagaruyung membuat kaum adat
dan pihak kerajaan bersatu demi memertahankan wilayahnya. Alhasil, Sultan Alam Bagagarsyah
ditangkap oleh Belanda pada 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Betawi. Kerajaan
Pagaruyung runtuh setelah ditandatangani perjanjian antara kaum adat dengan pihak Belanda.
Dalam perjanjian itu, kawasan Kerajaan Pagaruyung resmi berada dalam pengawasan Belanda.
Kerajaan Islam Di
Sulawesi
Kerajaan Gowa-Tallo
Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo terbagi dalam dua zaman, yaitu periode sebelum memeluk Islam dan
setelah memeluk Islam. Kerajaan
Gowa-Tallo merupakan gabungan dari dua kerajaan yang berasal dari keturunan sama, yakni Kerajaan
Gowa. Pada awalnya, di
wilayah Gowa terdapat sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang atau Sembilan
Bendera. Sembilan komunitas
tersebut adalah Tambolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agangjene, Bisei, Kalili, dan Sero.
Dengan berbagai cara, baik
damai ataupun paksaan, sembilan komunitas tersebut membentuk Kerajaan Gowa. Tomanurung
kemudian diangkat menjadi raja dan
mewariskan Kerajaan Gowa kepada putranya, Tumassalangga. Bukti genealogis dan arkeologis
mengisyaratkan bahwa pembentukan
Kerajaan Gowa terjadi pada sekitar tahun 1300, di mana masyarakat dan penguasanya masih menganut
kepercayaan animisme.
Kerajaan Gowa pernah terbelah menjadi dua setelah masa pemerintahan Tonatangka Lopi pada abad
ke-15. Dua putra Tonatangka
Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo pada masa Islam Seiring berkembangnya Gowa-Tallo menjadi pusat perdagangan
di kawasan timur nusantara,
para saudagar muslim mulai berniaga ke wilayah ini. Pada akhir abad ke-16, Kerajaan Gowa-Tallo
memasuki masa Islam dan berubah
menjadi kesultanan. Penguasa Gowa-Tallo pertama yang memeluk Islam adalah I Mangarangi Daeng
Manrabbia (1593-1639) dengan
gelar Sultan Alauddin I. Masa kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo Sultan Hasanuddin atau dijuluki sebagai
Ayam Jantan dari Timur yang
naik takhta pada 1653 berhasil membawa Kerajaan Gowa-Tallo mencapai puncak kejayaan. Pada masa
kejayaannya, kerajaan ini
dikenal sebagai negara maritim yang menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. Sementara
perkembangan kerajaan di
bidang sosial masa pemerintahan Sultan Hasanudin adalah memajukan pendidikan dan kebudayaan
islam sehingga banyak murid
yang belajar agama islam ke Banten. Sultan Hasanuddin adalah sosok raja yang sangat anti terhadap
dominasi asing. Oleh karena
Kerajaan Gowa-Tallo

Keruntuhan Siasat politik adu domba yang dijalankan Belanda terbukti ampuh. Sebab, Raja Bone yaitu
Aru Palaka, akhirnya mau
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makassar. Perang inilah yang kemudian dikenal dengan
nama Perang Makassar.
Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Makassar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangani Perjanjian Bongaya pada
1667. Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Makassar, tetapi harus diterima Sultan
Hasanuddin. Dua hari setelah
perjanjian itu, Sultan Hasanuddin turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Amir
Hamzah. Perjanjian Bongaya menjadi
awal keruntuhan Kesultanan Gowa-Tallo. Pasalnya, raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja
yang merdeka dalam
penentuan politik kenegaraan.
Sejarah berdirinya Kerajaan Wajo dikatakan masih gelap karena terdapat beberapa versi cerita.

Kerajaan Wajo
Di antara cerita tersebut ada yang menghubungkan kemunculannya dengan pendirian kampung
Wajo oleh tiga anak raja dari kampung tetangga, yaitu Cinnotabi. Kepala keluarga dari mereka
kemudian menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Akan tetapi, Batara Wajo yang
ketiga dipaksa untuk turun takhta dan dibunuh karena kelakuan buruknya. Sejak saat itu,
pengangkatan raja di Wajo tidak lagi turun-temurun, tetapi melalui pemilihan oleh Dewan
Perwakilan menjadi Arung Matoa. Masuknya Islam ke Kerajaan Wajo Terlepas dari beberapa
serangannya yang mengalami kegagalan, Kerajaan Gowa-Tallo tetap berkembang menjadi
kekuatan utama di Semenanjung Sulawesi Selatan yang menyokong perdagangan internasional
dan menyebarkan Islam. Pada akhirnya, Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menundukkan dan
mengislamkan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611). Akan tetapi, Kerajaan Gowa-
Tallo tidak membubarkan Persekutuan Tellumpoccoe dan membiarkan Wajo mengatur urusan
dalam negerinya. Selain itu, dari sumber hikayat lokal diketahui bahwa seorang ulama terkenal
dari Minangkabau bernama Dato ri Bandang memberikan pelajaran agama Islam kepada raja-raja
Wajo dan rakyatnya.
Kerajaan Wajo
Masa kejayaan Kerajaan Wajo Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Wajo sempat mengalami
masa suram saat memilih mendukung Kerajaan Gowa-Tallo menghadapi armada gabungan Bone,
Soppeng, Buton, dan VOC. Ketika Kerajaan Gowa-Tallo menyerah, Wajo menolak
menandatangani Perjanjian Bongaya dan memilih untuk tetap melawan. Perjuangan pun harus
terhenti pada 1670, saat ibu kota Kerajaan Wajo yang berlokasi di Tosora jatuh ke pihak VOC
dan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka. Setelah itu, rakyat Wajo memilih untuk bermigrasi
karena tidak sudi dijajah. Pada 1726, muncul sosok bernama La Maddukelleng, yang menjadi
musuh bebuyutan Belanda. Melihat tekad dan usaha-usahanya untuk membebaskan Wajo dan
Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda, La Maddukelleng kemudian diangkat menjadi Arung
Matoa ke-31 pada 1736. Di bawah kekuasaan La Maddukelleng, rakyat dapat memenangkan
perang melawan Bone dan Kerajaan Wajo dapat direbut kembali dari Belanda. La Maddukelleng
pun sempat memajukan kehidupan sosial dan politik Wajo di antara kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 1754.
Kerajaan Wajo
Keruntuhan Kerajaan Wajo Pada akhir pemerintahan La Maddukelleng, Wajo mulai mengalami
pergolakan yang terus berlangsung hingga abad ke-18. Memasuki abad ke-19, Islam semakin
mengakar kuat di Wajo. Akan tetapi, kemelut di kerajaan juga tidak kunjung usai karena para
anggota dewannya tidak dapat bersepakat untuk memilih Arung Matoa yang baru. Pada 1905,
Kerajaan Wajo akhirnya takluk kepada Belanda dan menyerahkan semua urusannya kepada
pemerintahan kolonial.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai