Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KERAJAAN ISLAM DI JAWA

KELOMPOK : 3
NAMA ANGGOTA :

1.Alandi Raiyen
2.Adzis Almuntaza
3.Bumi Sagita
4.Hurul Dwi Adriani
5.Rizky Rahmadan
6.Rista Lestari
7.Sumitri
KELAS : X Mia 1

SMA NEGERI 4 KAUR


TAHUN PELAJARAN 2021/2022
KERAJAAN ISLAM DI JAWA

A. Kerajaan Demak
Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak berdiri pada awal abad ke-16 Masehi seiring
kemunduran Majapahit.

Pendiri Kerajaan Demak adalah Raden Patah. Raden Patah adalah putra
Raja Majapahit dan istrinya yang berasal dari China dan menjadi mualaf,
seperti dikutip dari buku Sejarah 8 Kerajaan Terbesar di Indonesia oleh
Siti Nur Aidah dan Tim Penerbit KBM.

Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam di bawah


kepemimpinan Raden Patah dengan adanya peran sentral Wali Songo.
Periode kepemimpinan Raden Patah adalah fase awal semakin
berkembangnya ajaran Islam di Jawa.

Raja Kerajaan Demak setelah Raden Fatah wafat pada 1518 yaitu Adipati
Unus (1488 – 1521). Adipati Unus adalah putra Raden Patah.

Sebelum menjadi sultan, Pati Unus terkenal dengan keberaniannya


sebagai panglima perang. Julukan Pati Unus yaitu Pangeran Sabrang Lor
muncul dari keberaniannya sebagai panglima tersebut.

Pati Unus memimpin penyerbuan kedua ke Malaka melawan Portugis


pada 1521. Pati Unus wafat pada pertempuran tersebut.

Masa kejayaan Kerajaan Demak

Masa kejayaan Kerajaan Demak berlangsung saat dipimpin Sultan


Trenggana (1521 – 1546). Sultan Trenggana naik takhta setelah Pati
Unus.

Letak Kerajaan Demak berada di Demak, Jawa Tengah. Pada periode


Sultan Trenggana, wilayah kekuasaan Demak meluas ke Jawa bagian
timur dan barat. Pada 1527, pasukan Islam gabungan dari Demak dan
Cirebon yang dipimpin Fatahillah atas perintah Sultan Trenggana
berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.

Nama Sunda Kelapa lalu diganti menjadi Jayakarta yang berarti


kemenangan yang sempurna. Jayakarta kelak berganti nama menjadi
Batavia, lalu Jakarta, ibu kota Republik Indonesia.

Sultan Trenggana wafat pada 1546. Insiden saat menyerang Panarukan,


Situbondo, yang saat itu dikuasai Kerajaan Blambangan (Banyuwangi)
membuat Sultan Trenggana terbunuh.

Wafatnya Sultan Trenggana membuat tampuk kepemimpinan Kerajaan


Demak diperebutkan. Pangeran Surowiyoto atau Pangeran Sekar
berupaya untuk menduduki kekuasaan mengalahkan Sunan Prawata,
putra Sultan Trenggana. Sunan Prawata lalu membunuh Surowiyoto dan
menduduki kekuasaan.

Kejadian tersebut menyebabkan surutnya dukungan terhadap


kekuasaan Sunan Prawata. Ia lalu memindahkan pusat kekuasaan Demak
ke wilayahnya di Prawoto, Pati, Jawa Tengah. Ia hanya berkuasa selama
satu tahun karena dibunuh Arya Penangsang, putra Surowiyoto pada
1547.

Arya Penangsang menduduki takhta Kerajaan Demak setelah membunuh


Sunan Prawata. Ia juga menyingkirkan Pangeran Hadiri atau Pangeran
Kalinyamat, penguasa Jepara karena dianggap berbahaya bagi
kekuasaannya.

Runtuhnya kerajaan Demak

Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan oleh pemberontakan Adipati


Hadiwijaya, penguasa Pajang pada 1556. Hadiwijaya semula sangat setia
pada Demak. Pemberontakan Hadiwijaya disebabkan oleh Arya
Penangsang yang membunuh Sunan Prawata dan Pangeran Kalinyamat.
Pemberontakan Adipati Hadiwijaya menyebabkan runtuhnya Kerajaan
Demak menjadi vazal atau wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang.

B. Kerajaan Mataram
Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram
Sejarah awal terbentuknya Kerajaan Mataram Islam diketahui berdiri
sekitar abad ke-16, tepatnya pada tahun 1582 di Pulau Jawa. Kesultanan
ini merupakan kerajaan berbasis pertanian, dengan menerapkan ajaran
Islam dalam perjalanan kejayaannya.
Kerajaan Mataram Islam pernah mempersatukan tanah Jawa dan
Madura. Kesultanan ini juga pernah memerangi Vereenigde
Oostindische Compagnie atau VOC di Batavia untuk mencegah
penyebaran kekuasaan VOC.
Pusat Pemerintahan Kesultanan Mataram Islam terletak di wilayah
Kuthagedhe yang berada di Kota Yogyakarta sekarang.
Dalam perjalanannya, Kesultanan ini meninggalkan beberapa jejak
sejarah yang masih terlihat hingga kini, seperti kampung Matraman di
Jakarta, sistem persawahan di Jawa Barat (Pantura), serta beberapa
batas administrasi wilayah yang masih diberlakukan hingga kini.

Masa Awal dan Kejayaan Kerajaan Mataram Islam


Masa awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam ini dimulai dari perebutan
wilayah Pajang oleh Sutawijaya. Lalu, Kerajaan Mataram menjadi salah
satu Kesultanan Islam yang dinilai berkembang di tanah Jawa.
Kerajaan Mataram rutin menerjemahkan naskah Arab dan
menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa. Mulai saat itu, kesultanan ini
mendirikan pesantren yang menjadikan wilayahnya sebagai pusat agama
Islam.
Selain membangun pesantren, ada bermacam cara dilakukan para
penguasa untuk menjadikan wilayah Kesultanan Mataram sebagai pusat
agama Islam, di antaranya dengan mendirikan rumah ibadah.
Kejayaan Kesultanan Mataram terjadi pada saat Raden Mas Rangsang
atau biasa dikenal dengan Sultan Agung memimpin Kerajaan Islam
Mataram pada 1613-1645.
Pada masa kepemimpinannya, ia diklaim sebagai raja terbesar dari
semua pemimpin kerajaan Mataram.
Pada masa kejayaannya, Sultan Agung Hanyokrokusumo berhasil
melakukan ekspansi ke sebagian pulau Jawa dengan cara menundukkan
raja-raja lainnya.
Cakupan wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
sebagian wilayah di Jawa Barat.

Sultan Agung Hanyokrokusumo juga melakukan perlawanan kepada VOC


dengan memboyong beberapa kerajaan untuk disatukan, meliputi
Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon.
Namun sayangnya, kejayaan itu harus berakhir karena ia wafat saat
menyerang VOC di Batavia pada 1628 hingga 1629 M.

Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam


Setelah Sultan Agung Wafat, takhta kesultanan diserahkan pada
putranya, Susuhunan Amangkurat I. Di bawah kepemimpinan
Amangkurat I, ia memindahkan lokasi keraton ke Plered. Sejak saat itu
gelar Sultan diganti menjadi Sunan.
Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I justru bukan sosok anti-VOC. Ia
justru berteman dengan VOC.
Pada 1645 hingga 1677 terjadi pertentangan dan perpecahan dalam
keluarga Kerajaan Mataram Islam. Lantas, momen ini dimanfaatkan VOC
untuk menguasai Kesultanan tersebut.
Kemudian pada 1677 Susuhunan Amangkurat I meninggal. Putra
Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II. Di masa
kepemimpinan itu, Susuhunan II memindahkan pusat pemerintahan ke
Kertasura.
Belanda pun mulai menguasai sebagian besar wilayah kerajaan Mataram
saat Raja Amangkurat II memimpin. Hal ini kemudian membuat rakyat
menderita karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Belanda.
Kepemimpinan Kesultanan Mataram terus berganti. Takhta kerajaan
diwariskan kepada Amangkurat III, Pakubuwana I, Amangkurat IV, dan
Pakubuwana II.
Pada kepemimpinan Pakubuwana II merupakan akhir dari kejayaan
Kerajaan Mataram Islam. Hal ini ditandai dengan penandatanganan
penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC pada 11 Desember 1749.
Namun secara de facto, Mataram ditundukkan sepenuhnya pada 1830.
Sampai akhirnya pada 13 Februari 1755 menjadi puncak perpecahan
Kerajaan Mataram Islam. Hal ini ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang
membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta
dan Yogyakarta.
Usai dibagi menjadi dua wilayah, perpecahan kembali melanda Kerajaan
Mataram Sehingga pada 1757 terjadi perjanjian Salatiga. Namun
perpecahan ini berakhir pada 1830 saat perang Dipenogoro selesai.
Seluruh daerah kekuasaan Surakarta dan Yogyakarta dirampas oleh
Belanda. Akhirnya pada 27 September 1830 terjadi perjanjian Klaten
yang menentukan wilayah kekuasaan Belanda.
Akhirnya secara permanan Kerajaan Mataram diserahkan kepada
Belanda lewat perjanjian tersebut.

Peninggalan Kerajaan Mataram Islam


Warga melihat bekas longsor di Kompleks Makam Raja Mataram,
Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (18/3/2019). Hujan deras yang
turun sejak Sabtu (16/3) mengakibatkan longsor di sisi timur kompleks
Makam Raja Mataram. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.
Ada banyak peninggalan dari Kerajaan Mataram Islam yang masih bisa
disaksikan hingga kini. Yakni Pasar Kotagede, Masjid Agung Negara di
Yogyakarta, Kompleks Makam Kerajaan Imogiri di Bantul Yogyakarta,
hingga Masjid Agung Surakarta di Solo.
Selain itu, ada juga kitab Sastra Gending yang menjadi sumber sejarah
Kerajaan Mataram Islam.
Itulah perjalanan panjang berdiri dan berjaya, hingga runtuhnya
Kerajaan Mataram Islam yang menjadi salah satu kesultanan terbesar
kerajaan Islam Nusantara.

C. Kerajaan Banten
Kerajaan Banten atau disebut juga Kesultanan Banten adalah sebuah
kerajaan Islam yang pernah berdiri di tanah Sunda, tepatnya di Provinsi
Banten pada abad ke-16.
Pada masa itu, Kesultanan Banten menjadi salah satu kerajaan yang
punya peranan penting dalam perdagangan rempah sekaligus
penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.

Sejarah Kerajaan Banten


Kerajaan atau Kesultanan Banten didirikan oleh Syarif Hidayatullah atau
dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Ia mengangkat anaknya, Sultan
Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama Kesultanan Banten.

Pada masa kepemimpinan Maulana Hasanuddin (1552-1570),


perdagangan Kerajaan Banten berkembang pesat yang didukung dengan
adanya pelabuhan sebagai gerbang perdagangan antarnegara.

Lokasinya yang strategis, menjadikan Kerajaan Banten sangat


mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya.

Lada menjadi komoditas yang paling diunggulkan dan berkembang pesat


pada masa itu. Bahkan monopoli perdagangan lada di Lampung dikuasai
oleh Banten.

Belum lagi didukung oleh niaga melalui jalur laut yang membuat Banten
berkembang tak hanya di Nusantara, melainkan sampai pada pedagang
Persia, India, Arab, Portugis, hingga Tiongkok.

Kejayaan Kerajaan Banten


Masa keemasan Kerajaan Banten disebut berlangsung ketika
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M).

Di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, ia banyak memimpin


perlawanan terhadap Belanda lantaran VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.

Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa juga menginginkan Banten menjadi


kerajaan Islam terbesar. Tak heran jika Islam telah menjadi pilar dalam
Kerajaan Banten maupun pada kehidupan masyarakatnya.

Kemunduran Kerajaan Banten


Perang saudara adalah salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Banten.
Sekitar tahun 1680 terjadi perselisihan dalam Kesultanan Banten. Anak
dari Sultan Ageng Tirtayasa, yakni Sultan Haji, berusaha merebut
kekuasaan dari tangan sang ayah.

Perpecahan ini dimanfaatkan oleh kompeni VOC dengan memberi


dukungan dan bantuan persenjataan kepada Sultan Haji, sehingga
perang saudara menjadi tak terhindarkan.

Akibat sengketa tersebut, Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya


dan pindah bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya. Kemudian
pada 1683 Sultan Ageng ditangkap VOC dan ditahan di Batavia.

Perang saudara yang berlangsung di Banten menyisakan ketidakstabilan


dan konflik di masa pemerintahan berikutnya.

VOC semakin ikut campur dalam urusan Banten bahkan meminta


kompensasi untuk menguasai Lampung sekaligus hak monopoli
perdagangan lada di sana.

Merujuk Kemhub, usai Sultan Haji meninggal, VOC semakin menekan


Kerajaan Banten. Hal tersebut pun membuat pengaruh Kerajaan Banten
memudar dan ditinggalkan.
Peninggalan Kerajaan Banten
Kerajaan Banten memiliki benda peninggalan yang menjadi bukti bahwa
kerajaan ini pernah berjaya di masanya.

Jejak peninggalan Kerajaan Banten banyak berupa bangunan seperti


Masjid Agung Banten, Istana Keraton Kaibon, Keraton Surosowan, Vihara
Avalokitesvara, Benteng Speelwijk, dan Meriam Ki Amuk.

Anda mungkin juga menyukai