Demak berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah
Nusantara bagian timur. Di pusat kota kerajaan Demak didirikan Masjid Agung
Demak oleh Walisongo yang masih kokoh berdiri sampai sekarang. Dengan
bantuan para wali daerah kekuasaan Demak diperluas hingga meliputi: Jepara,
Pati, Rembang, Semarang, kepulauan di Selat Karimata dan beberapa daerah di
Kalimantan. Demak menguasai beberapa pelabuhan penting seperti Jepara,
Tuban, Sedayu, dan Gresik.
Pada tahun 1813 Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu
Kesultanan Yogyakarta dan Kerajaan Pakualaman, yang diperintah oleh Raja
Paku Alam I yang semula adalah Adipati Kesultanan Yogyakarta.
Kerajaan Cirebon
Terdapat dua pendapat mengenai asal-usul nama Cirebon. Menurut Babad
Cirebon, bahwa kata Cirebon berasal dari kata ci dan rebon (udang kecil). Nama
tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh
Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain
yang diambil dari kitab Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata Cirebon
adalah perkembangan kata Caruban yang berasal dari istilah sarumban yang
berarti pusat percampuran penduduk.
Pada awal abad ke-16, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Pangeran Walangsungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru
labuhan di Cirebon. Ia bergelar Cakrabumi. Setelah cukup kuat,
Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dan bergelar
Cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, Walangsungsang dan Nyai
Rara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah ia
memindahkan pusat kerajaannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian
didirikan keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.
Tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat. Fatahillah kemudian naik tahta
menggantikan beliau. Fatahillah menduduki tahta kerajaan Cirebon hanya dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570. Fatahillah dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana
Gunung Sembung.
Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati
Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran
Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi
raja, tahta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati
Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar
Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun
hingga tahun 1649.
Kerajaan Banten
Pada awalnya kawasan Banten –yang juga dikenal dengan Banten Girang–
merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak
di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut, selain untuk
perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Di samping, dipicu
oleh adanya kerja sama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik., hal
yang dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas
kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Maka, sultan
Trenggana, Maulana Hasanudin bersama dengan Fatahillah, Maulana melakukan
penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa pada sekitar tahun 1527, yang
waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Pada masa Pangeran Ratu putra dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja
pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar “Sultan” pada tahun 1638 dengan
nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini, Sultan Banten
telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan
lain yang ada pada waktu itu. Di antaranya, diketahui terdapat surat Sultan
Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada
Charles I.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar
Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja
Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan. Dalam perang ini, Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya
dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa. Namun, pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC.
Sultan Ageng bersama putranya yang lain, Pangeran Purbaya dan Syaikh Yusuf
dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Lalu, pada 14 Maret
1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.