Anda di halaman 1dari 2

Proses Islamisasi di Tanah Jawa dimulai sejak abad ke-10 melalui pesisir utara Pulau Jawa.

Bukti sejarah tentang kedatangan Islam di Jawa antara lain adalah makam Fatimah binti
Maimun bin Hibatullah dan makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan yang ditemukan di
Gresik. Selain itu, di Mojokerto juga ditemukan ratusan makam Islam kuno, yang
diperkirakan merupakan makam keluarga istana Majapahit.
Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Kerajaan Demak yang didirikan pada tahun 1500 oleh
Raden Fatah atau Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Kerajaan Demak memiliki daerah pertanian
yang luas dan tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur perdagangan
antara Malaka dan Maluku. Selain itu, Demak juga menjadi pusat penyebaran agama Islam.
Para wali, seperti Sunan Giri, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam
kepada penduduk Jawa dan berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa.
Setelah Kerajaan Demak lemah, muncul Kerajaan Pajang. Kemudian, pada abad ke-16,
muncul Kerajaan Mataram yang merupakan perpaduan antara tradisi Hindu-Buddha dan
Islam. Kerajaan Mataram memiliki kebudayaan yang maju, seperti seni ukir dan batik. Raja-
raja Mataram juga dikenal sebagai penjaga agama Islam dan memberantas kepercayaan
animisme dan dinamisme.
Pada masa kejayaan Mataram, terjadi perang saudara yang mengakibatkan keruntuhan
kerajaan tersebut. Selanjutnya, muncul tiga kerajaan Islam, yaitu Kesultanan Yogyakarta,
Kesultanan Surakarta, dan Kesultanan Cirebon. Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta
merupakan penerus dari Kerajaan Mataram, sedangkan Kesultanan Cirebon merupakan
kerajaan yang terbentuk secara independen di pantai utara Jawa.
Proses Islamisasi di Tanah Jawa memiliki dampak yang signifikan dalam pembentukan
kebudayaan dan identitas Jawa. Agama Islam membawa perubahan dalam sistem sosial,
politik, dan ekonomi. Kebudayaan Islam yang masuk ke Jawa juga membentuk kebudayaan
Jawa yang baru, yang terlihat dalam seni, arsitektur, bahasa, dan adat istiadat.
Kerajaan Banten bermula pada tahun 1526 setelah Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa dan menaklukkan beberapa kawasan
pelabuhan, termasuk Pelabuhan Sunda Kelapa, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan
dan dijadikan Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin atau Fatahillah, putra Sunan Gunung
Jati, berperan penting dalam penaklukan ini. Pada awalnya, kawasan Banten dikenal dengan
nama Banten Girang dan merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Namun, setelah mengusir
Portugis dari Malaka pada tahun 1513, kerjasama Sunda-Portugis dianggap membahayakan
kedudukan Kerajaan Demak. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah menyerang dan
menaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527.
Setelah kemunduran Demak, Banten menjadi kerajaan yang mandiri. Pada tahun 1570,
Fatahillah meninggal dan digantikan oleh putra-putranya, Pangeran Yusuf dan Pangeran
Arya. Pangeran Yusuf melanjutkan usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan
ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan.
Pangeran Yusuf juga memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan untuk kepentingan
ini. Namun, tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh puteranya, Maulana
Muhammad, yang pada tahun 1596 melancarkan serangan ke Palembang yang pada waktu itu
diperintah oleh Ki Gede ing Suro, seorang penyiar agama Islam dan perintis perkembangan
pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan
musuh dan meninggal, sehingga serangan tentara Banten terpaksa dihentikan dan ditarik
mundur kembali ke Banten. Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai
perselisihan di istana.
Pada tahun 1596, orang-orang Belanda datang ke pelabuhan Banten untuk yang pertama kali.
Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda
dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda
bersikap angkuh dan sombong, sehingga hubungan antara Banten dan Belanda menjadi
kurang baik.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan
Mataram. Makamnya terletak di bukit Girilaya, Jogjakarta, dekat dengan makam raja-raja
Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Kematian Panembahan Girilaya menyebabkan terjadi
kekosongan penguasa dan Pangeran Wangsakerta pergi ke Banten meminta bantuan Sultan
Ageng Tirtayasa untuk menyelamatkan kakak-kakaknya. Sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat kedua Pangeran yang diselamatkan sebagai Sultan Cirebon dan menunjuk
Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon, dilakukan untuk mencegah agar
Cirebon tidak beraliansi dengan Mataram. Pada tahun 1677, Kesultanan Cirebon terpecah
menjadi tiga, masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Pangeran
Wangsakerta hanya diangkat sebagai Panembahan Cirebon dan tidak memiliki wilayah
kekuasaan atau keraton sendiri, tetapi berdiri sebagai kaprabonan, yaitu tempat belajar para
intelektual keraton. Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai
pada masa pemerintahan Sultan Anom IV, di mana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya ingin memisahkan diri dan membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan
Kacirebonan, didukung oleh pemerintah kolonial Belanda.

Anda mungkin juga menyukai