Anda di halaman 1dari 5

KELOMPOK 3

Anggota :
1. Jihan Nur Rohmah (16)
2. Libina Naura Bilqis (18)
3. Lovelyn Pradiktya Artian Riyadi (19)
4. Nadila Dwi Astuti (20)
5. Nofita Putri (24)
6. Serlly Rishma Anugrahani (31)

KERAJAAN BANTEN

Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah menjadi penguasa jalur
pelayaran dan perdagangan. Salah satu faktor kemajuan dari Kesultanan Banten adalah posisinya yang
strategis, yaitu di ujung barat Pulau Jawa, lebih tepatnya di Tanah Sunda, Provinsi Banten. Ibu kota
Kesultanan Banten adalah Surosowan, Banten Lama, Kota Serang. Kerajaan Banten didirikan oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati pada abad ke-16. Kendati demikian, Sunan Gunung Jati
tidak pernah bertindak sebagai raja. Raja pertama Kesultanan Banten adalah Sultan Maulana
Hasanuddin, yang berkuasa antara 1552-1570 M. Sedangkan masa kejayaan Kerajaan Banten
berlangsung ketika pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M). Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil memajukan kekuatan politik dan angkatan perang Banten untuk melawan VOC. Hal itu pula
yang kemudian mendorong Belanda melakukan politik adu domba hingga menjadi salah satu
penyebab runtuhnya Kerajaan Banten.

 Sejarah Kerajaan Banten


Sebelum periode Islam, Banten adalah kota penting yang masih dalam kekuasaan Pajajaran. Pada
awalnya, penguasa Pajajaran bermaksud menjalin kerjasama dengan Portugis untuk membantunya
dalam menghadapi orang Islam di Jawa Tengah yang telah mengambil alih kekuasaan dari tangan
raja-raja bawahan Majapahit. Namun, sebelum Portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian
dengan mendirikan pos perdagangan, pelabuhan Banten telah diduduki oleh orang-orang Islam. Sunan
Gunung Jati berhasil menguasai Banten pada 1525-1526 M. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke
Banten adalah bagian dari misi Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak untuk mengusir Portugis dari
nusantara. Setelah berhasil menguasai Banten, Sunan Gunung Jati segera mengambil alih
pemerintahan, tetapi tidak mengangkat dirinya sebagai raja. Pada 1552 M, Sunan Gunung Jati
kembali ke Cirebon dan menyerahkan Banten kepada putra keduanya, Sultan Maulana Hasanuddin.
Sejak saat itu, Sultan Maulana Hasanuddin resmi diangkat sebagai raja pertama Kerajaan Banten.
 Perkembangan agama Islam dan kehidupan sosial Kerajaan Banten.
Setelah menjadi raja, Sultan Maulana Hasanuddin melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan
pengaruh Islam di tanah Banten. Bahkan Banten mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam
di nusantara, khususnya di wilayah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan. Menurut
catatan sejarah Banten, sultan yang berkuasa masih keturunan Nabi Muhammad, sehingga agama
Islam benar-benar menjadi pedoman rakyatnya. Meski ajaran Islam memengaruhi sebagian besar
aspek kehidupan, masyarakatnya telah menjalankan praktik toleransi terhadap pemeluk agama lain.
Terlebih lagi, banyak orang India, Arab, Cina, Melayu, dan Jawa yang menetap di Banten. Salah satu
bukti toleransi beragama pada masa pemerintahan Kesultanan Banten adalah dibangunnya sebuah
klenteng di pelabuhan Banten pada 1673 M. Kehidupan sosial masyarakat Banten semakin makmur
pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, sultan sangat memerhatikan kesejahteraan
rakyatnya, salah satu caranya dengan menerapkan sistem perdagangan bebas.

 Kehidupan ekonomi Kerajaan Banten.


Sebelum menjadi kesultanan, Banten merupakan penghasil rempah-rempah lada yang menjadi
komoditas perdagangan. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, hal itu dimanfaatkan
untuk mengembangkan Banten menjadi bandar perdagangan yang lebih besar. Setelah Sultan
Maulana Yusuf berkuasa, menggantikan Maulana Hasanuddin, sektor pertanian juga dikembangkan
untuk mendukung perekonomian rakyatnya.
Dalam meletakkan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah
pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang
karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya
ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda
ngkaresian yang menceritakan adanya istilah  pahuma  (peladang),  panggerek  (pemburu)
dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan
nama peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored, dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga
sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40.000 ribu hektare sawah baru
dan ribuan hektare perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut,
termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Tiongkok pada
tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat
signifikan.
Tak dapat dimungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan
jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar
di dunia pada masa tersebut.

 Masa kejayaan Kerajaan Banten.


Kerajaan Banten berhasil mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa. Beberapa hal yang dilakukannya untuk memajukan Kesultanan Banten di antaranya,
sebagai berikut.
- Memajukan wilayah perdagangan Banten hingga ke bagian selatan Pulau Sumatera dan
Kalimantan. Banten dijadikan tempat perdagangan internasional yang mempertemukan
pedagang lokal dengan pedagang Eropa
- Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam
- Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel
- Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan dari kerajaan lain dan serangan
pasukan Eropa Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai raja yang gigih menentang
pendudukan VOC di Indonesia. Di bawah kekuasaannya, kekuatan politik dan angkatan
perang Banten maju pesat.
 Kemunduran Kerajaan Banten.
Kegigihan Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan VOC mendorong Belanda melakukan politik adu
domba. Politik adu domba ditujukan kepada Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, Sultan Haji,
yang kala itu sedang terlibat konflik. Siasat VOC pun berhasil, hingga Sultan Haji mau bekerja sama
dengan Belanda demi meruntuhkan kekuasaan ayahnya. Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap
dan dipenjara sehingga harus menyerahkan kekuasaannya kepada putranya. Penangkapan Sultan
Ageng Tirtayasa menjadi tanda berkibarnya kekuasaan VOC di Banten. Meski Sultan Abu Nashar
Abdul Qahar atau Sultan Haji diangkat menjadi raja, tetapi pengangkatan tersebut disertai beberapa
persyaratan yang tertuang dalam Perjanjian Banten. Sejak saat itu, Kesultanan Banten tidak lagi
memiliki kedaulatan dan penderitaan rakyat semakin berat. Dengan kondisi demikian, sangat wajar
apabila masa pemerintahan Sultan Haji dan sultan-sultan setelahnya terus diwarnai banyak kerusuhan,
pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang. Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
berlangsung hingga awal abad ke-19. Untuk mengatasi hal itu, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels
menghapus Kesultanan Banten.

 Peninggalan Kerajaan Banten

- Masjid Agung Banten - Benteng Speelwijk


- Benteng Keraton Surosowan

- Masjid Kasunyatan - Masjid Pacinan


KERAJAAN PAJANG

Kerajaan Pajang adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa yang terletak di daerah perbatasan
Desa Pajang, Kota Surakarta, dan Desa Makamhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Kerajaan
Pajang berdiri pada tahun 1568 dan runtuh pada 1587. Pendiri Kerajaan Pajang adalah Sultan
Hadiwijaya atau dikenal juga sebagai Jaka Tingkir. Sultan Hadiwijaya pula yang berhasil
mengantarkan Pajang ke puncak kejayaan. Pajang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di
Jawa yang letaknya berada di pedalaman. Karena itu, kerajaan ini bersifat agraris dan mengandalkan
pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Setelah 21 tahun berdiri, Kesultanan Pajang
mengalami kemunduran dan akhirnya dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.

 Berdirinya Kerajaan Pajang


Babad Banten menyebutkan bahwa keturunan Sultan Pajang berasal dari Pengging, kerajaan kuno di
Boyolali yang dipimpin oleh Andayaningrat. Andayaningrat, yang juga memakai nama Jaka Sanagara
atau Jaka Bodo, konon masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit. Meski
Majapahit ditaklukkan orang-orang Islam pada 1625, Pengging masih berdaulat hingga di bawah
pemerintahan Kebo Kenanga, yang bergelar Ki Angeng Pengging. Ketika Ki Angeng Pengging wafat
karena dibunuh oleh Sunan Kudus, ia meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet, yang
diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Mas Karebet atau lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir justru
memutuskan untuk mengabdi pada Kesultanan Demak. Kesultanan Demak kemudian mengutus Jaka
Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang sekaligus menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan
Hadiwijaya. Saat Kesultanan Demak mengalami kemunduran dan diserang Arya Penangsang, Sultan
Hadiwijaya maju untuk menghadapinya. Hadiwijaya berhasil membunuh Arya Penangsang dan
menjadi pewaris tahta Kesultanan Demak dan memindahkan ibu kotanya ke Pajang. Dengan begitu,
Kerajaan Pajang resmi berdiri pada 1568 M.

 Raja-raja Kerajaan Pajang


Selama 21 berdiri, berikut ini tiga raja yang pernah bertahta di Kerajaan Pajang :
- Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (1568-1583 M)
- Arya Pangiri atau Ngawantipura (1583-1586 M)
- Pangeran Benawa atau Prabuwijaya (1586-1587 M)
 Masa kejayaan Kerajaan Pajang
Sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya berkuasa selama 15 tahun.
Selama memerintah, ia berhasil mengantarkan Pajang mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan
Kerajaan Pajang mencapai Madiun, Blora, dan Kediri. Selain itu, Pajang adalah kerajaan bersifat
agraris yang mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian. Hal ini didukung oleh letaknya yang
berada di dataran rendah yang mempertemukan Sungai Pepe dan Dengkeng, sehingga menjadi
lumbung beras utama di Pulau Jawa.

 Kemunduran Kerajaan Pajang


Pada 1582 M, meletus perang Pajang dan Mataram. Sepulang dari pertempuran, Sultan Hadiwijaya
jatuh sakit dan meninggal dunia. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, Pajang mulai mengalami
kemunduran karena terjadi perebutan tahta. Putra Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa, dan
menantunya yang bernama Arya Pangiri saling bersaing untuk menjadi raja. Arya Pangiri berhasil
naik tahta pada 1583, sedangkan Pangeran Benawa tersingkir ke Jipang. Namun selama
pemerintahannya, Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram,
sementara kehidupan rakyatnya terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa merasa prihatin dan
melancarkan serangan pada 1586, dibantu oleh Sutawijaya dari Mataram. Dalam serangan itu, Arya
Pangiri kalah dan dipulangkan ke Demak. Sementara Pangeran Benawa dinobatkan sebagai raja
Kerajaan Pajang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa hanya berlangsung singkat karena ia lebih
memilih menjadi penyebar agama Islam. Pada 1587, kekuasaannya pun berakhir tanpa meninggalkan
putra mahkota. Atas kebijakan Sutawijaya, Pajang kemudian dijadikan negeri bawahan Mataram.
Riwayat Kerajaan Pajang benar-benar berakhir pada 1618 saat dihancurkan oleh pasukan Mataram
yang dipimpin Sultan Agung.

 Peninggalan Kerajaan Pajang


Peninggalan Kerajaan Pajang tidak banyak ditemukan, hanya Masjid Laweyan yang konon didirikan
oleh Sultan Hadiwijaya. Masjid yang telah beberapa kali mengalami pemugaran ini masih terjaga dan
digunakan untuk beribadah hingga kini. Selain itu, di daerah Pajang hanya ditemui reruntuhan yang
dipercaya sebagai petilasan keraton Pajang.

*Gambar Masjid Laweyan

Anda mungkin juga menyukai