Hingga pada 397 M, Raja Purnawarman membangun ibu kota kerajaan baru
terletak lebih dekat ke pantai. Kota itu bernama Sundapura dan pertama kali nama
“Sunda” digunakan. Sedangkan untuk posisi pastinya jika dibandingkan dengan
masa sekarang, wilayah Sundapura masih menjadi perdebatan.
Sekitar tahun 650 kekuatan Tarumanegara mulai pudar setelah diserang dan
dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Setelah itu, pengaruh Tarumanegara terhadap
daerah kekuasaannya juga hilang.
Maka pada 1522, Kerajaan Demak mengirim pasukan ke Barat Jawa dipimpin
oleh Fatahillah (Sunan Gunung Jati) menuju ke Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.
Saat itu, tiga wilayah tersebut masih termasuk dalam wilayah kerajaan Pajajaran.
Wilayah Banten akhirnya bisa direbut oleh Fatahillah, kemudian pihak Demak
memperluas penyerangan ke daerah Sunda Kelapa.
Pada saat yang sama, Portugis datang dengan tujuan ingin membangun
kantor perdagangan dan benteng di Sunda Kelapa. Kemudian perang antara armada
Portugis dan Demak terjadi dan dimenangkan oleh pihak sehingga armada Portugis
dihancurkan.
Pada tanggal 22 Juni 1527 setelah Sunda Kelapa dikuasai Demak, wilayah ini
berganti nama yaitu Jayakarta.
Untuk menyebarkan ajaran Agama Islam, Raja Demak saat itu Sultan
Trenggono mengutus panglima terkuat dan kepercayaannya, Fatahilah untuk
memimpin pasukan Demak menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kelapa (Batavia
atau daerah Jakarta sekarang).Fatahilah ini adalah seorang wali dan juga pendiri
kerajaan Banten dan Cirebon. Ia juga memiliki nama lain, Sunan Gunung Jati.
Setelah diwarisi wilayah Banten oleh sang ayah, kerajaan Banten didirikan
oleh Sultan Hasanudin. Dia pun mulai membuat peraturan dan dasar-dasar kerajaan.
Hingga akhirnya mendeklarasikan diri sebagai Raja Kerajaan Banten pertama pada
tahun 1552. Sultan Hasanuddin juga mendirikan benteng bernama Surosowan, yang
kemudian menjadi pusat pemerintahan setelah kesultanan Banten merdeka.
Mencapai masa keemasannya pada paruh pertama abad ketujuh belas, Kesultanan
Banten bertahan selama 300 tahun (1526-1813 M).
Berikut ini adalah daftar raja yang pernah memimpin Kerajaan Banten:
Di sisi lain, Sultan Haji dengan ambisinya, mengirimkan dua orang utusan,
menemui Raja Inggris di London pada tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan
dan bantuan persenjataan melawan keluarganya sendiri. Dalam perang ini Sultan
Ageng Tirtayasa terpaksa mundur dan pindah ke wilayah yang disebut Tirtayasa,
namun pada tanggal 28 Desember 1682 wilayah ini juga dikuasai oleh Sultan Haji
bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf dari Makassar mundur ke selatan pedalaman Sunda.
Dari 16 raja yang pernah memimpin, terdapat beberapa raja-raja Banten yang
melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Yang pertama, adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Bisa dibilang beliaulah raja
Banten yang paling gigih menolak kedatangan dan ikut campur kolonial Belanda di
tanah Banten. Ini terlihat dari bentuk perlawanan yang dilakukan Sultan Ageng
Tirtayasa dalam blokade terhadap kapal-kapal dagang Belanda menuju Banten.
Disamping itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan perang gerilya dan
merampok hasil perdagangan Belanda di Batavia.
Meski tercatat hampir tiga abad Kerajaan Banten mampu bertahan bahkan
sempat mencapai kejayaan yang luar biasa di bawah Sultan Ageng Tirtayasa.
Pengaruh Belanda, perang saudara hingga persaingan dengan kekuatan global
membuat kerajaan ini bagai kerajaan boneka. Perang saudara yang terjadi di Banten
meninggalkan periode ketidakstabilan pemerintahan berikutnya. Konflik antara
keturunan penguasa Banten serta gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas
campurnya VOC semakin menjadi-jadi. Akibat konflik yang sedang berlangsung
Sultan Muhammad Fathi Abul Zainul Arifin Shifa meminta bantuan VOC untuk
meredam beberapa perlawanan rakyat sehingga sejak tahun 1752 Banten menjadi
vassal VOC.Hingga akhirnya kesultanan Banten resmi dihapuskan pada tahun 1813
oleh pemerintah Inggris setelah berhasil menginvasi Jawa pada tahun yang sama.
Tanggal 4 Oktober 2000 ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Banten yang
saat itu dipimpin oleh H.D. Munandar sebagai Gubernur dan H. Ratu Atut Chosiyah,
SE sebagai wakil Gubernur. Provinsi Banten berbatasan dengan Jawa Barat dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) di bagian timur, Laut Jawa di bagian utara,
Samudra Hindia di sisi selatan, dan Selat Sunda di sisi barat.
Sama seperti saat masa kerajaan, Provinsi Banten menjadi jalur transit ke
pulau Sumatera dan jalur masuk menuju pulau Jawa (jika berangkat dari arah
Barat). Luas provinsi ini adalah 9.662,82 Km2 dan memiliki populasi lebih dari 11,9
juta pada Sensus 2020.
Hingga saat ini Provinsi Banten memiliki 4 kabupaten dan 4 kota, di antaranya
adalah:
Dari semua kabupaten dan kota yang ada di Banten, terdapat total 155
kecamatan, 313 kelurahan dan 1.238 desa. Banten adalah provinsi yang memiliki
keberagaman. Wilayah ini dihuni oleh banyak suku bangsa, meskipun yang paling
dominan adalah orang atau suku Banten.
Di Banten, bahasa Sunda digunakan sebagai Basantara (lingua franca) atau
bahasa pergaulan. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh banyak orang di provinsi ini
terutama orang-orang keturunan Jawa pendatang dari Jawa Tengah atau Jawa
Timur dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi utama. Selain itu, hingga
sekarang di Kabupaten Lebak juga terdapat masyarakat adat Baduy yang
menjunjung tinggi tradisi dan hidup sederhana,
Orang Badui menyebut diri mereka Urang Kanekes. Urang berarti orang dalam
bahasa Sunda, sedangkan Kanekes adalah nama daerah suci mereka yang terletak
di Gunung Kendeng di selatan Banten, Jawa. Suku Baduy berasal dari kerajaan
Pajajaran atau kerajaan Sunda terakhir yang jatuh ke tangan penakluk Islam.
Menurut legenda, Badui memberontak melawan Islam, tersesat, dan melarikan diri
ke pegunungan di mana mereka berada sekarang. Suku Baduy terkenal dengan
kemampuan mereka untuk mempertahankan citra misterius dengan membatasi
komunikasi dengan dunia luar dan menolak untuk berhubungan dengan orang
asing. Dan untuk melindungi tradisi dan budaya leluhur, masyarakat Badui dibagi
menjadi dua kelompok yaitu Baduy dalam dan Baduy luar.
Badui dalam, atau anggota suci adalah kelompok orang Badui yang menempati
tiga desa suci di Taneh Larangan atau Wilayah Terlarang. Mereka melindungi
komunitas mereka dari paparan pengaruh eksternal untuk memastikan kemurnian
adat. Sedangkan Panamping, atau Badui luar, tinggal di sekitar 28 desa dan
mewakili rakyat jelata dan mayoritas penduduk Kanekes. Desa mereka terletak di
perbatasan antara Daerah Terlarang dan pemukiman Sunda.
Sumber : https://primagama.co.id/blog/banten-dalam-3-masa-kerajaan-
penjajahan-dan-masa-kini/