Anda di halaman 1dari 9

TUGAS SEJARAH

Banten dalam 3 Masa


Kerajaan, Penjajahan, dan Masa Kini

NAMA : PUSNAURA YASMIN QAISARA


KELAS : 3 (TIGA) A
SEKOLAH : SDN CILAMPANG KOTA SERANG

Banten dalam 3 Masa


Kerajaan, Penjajahan, dan Masa Kini
Banten mungkin termasuk salah satu provinsi terbaru di Indonesia, tetapi
sejarah Banten dimulai pada abad ke-5 saat Kerajaan Tarumanegara disusul
oleh sejarah Kerajaan Banten terukir.

Wilayah Banten bertahan dengan berbagai pergantian kerajaan hingga


kesultanan. Wilayah yang berada di paling ujung pulau Jawa ini juga memiliki ciri
khas, adat istiadat hingga budaya yang dipengaruhi oleh kerajaan yang pernah
menguasai daerah ini.

Banten pada Masa Kerajaan

Di bawah Kekuasaan Kerajaaan Tarumanegara


Sebelum nama nusantara tercetus, sama seperti provinsi lainnya di Indonesia,
wilayah Banten juga memiliki beberapa kerajaan yang pernah berdiri di atas
tanahnya. Sebelum pengaruh Islam masuk dan kerajaan Hindu-Budha menguasai
nusantara, Banten masuk dalam wilayah Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan ini
adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang pernah memerintah di wilayah barat
Jawa pada abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi.

Kerajaan Tarumanegara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara


dan raja yang pernah berkuasa serta sangat terkenal dalam masa kepemimpinannya
adalah raja ketiga dari Tarumanegara yaitu Raja Purnawarman.

Bukti bahwa Banten pernah menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara


adalah ditemukannya prasasti di daerah Lebak, Banten.

Prasasti ini bernama Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul atau


Prasasti Lebak ditemukan di aliran sungai Cidanghiang yang mengalir di desa Lebak,
Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten, Indonesia. Isi prasasti ini adalah puji-pujian
bagi Raja Purnawarman.
Selain Prasasti Lebak, terdapat 6 prasasti lainnya sebagai bukti kejayaan
kerajaan ini, yaitu:

 Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M, ditemukan di perkebunan kopi


milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor.
 Prasasti Tugu yang terdapat di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan
Tarumajaya, Bekasi, kini disimpan di museum-museum di Jakarta.
 Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor.
 Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor.
 Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor.
 Prasasti Pasir Awi, Coventry, Bogor.

Wilayah kekuasaan Raja Purnawarman menurut prasasti Tugu meliputi hampir


seluruh wilayah Jawa Barat yang terbentang dari Banten, Jakarta, Bogor hingga
Cirebon.

Daerah Banten sebagai bagian kekuasaan Tarumanegara tidak banyak


disebutkan. Kerajaan Tarumanegara sendiri memiliki pusat di dekat Sungai Citarum
di daerah Bogor, Jawa Barat.

Hingga pada 397 M, Raja Purnawarman membangun ibu kota kerajaan baru
terletak lebih dekat ke pantai. Kota itu bernama Sundapura dan pertama kali nama
“Sunda” digunakan. Sedangkan untuk posisi pastinya jika dibandingkan dengan
masa sekarang, wilayah Sundapura masih menjadi perdebatan.

Dengan petunjuk dekat pantai, banyak sejarawan mengasumsikan ibukota


Tarumanegara ini berada di daerah Karawang, Jawa Barat. Tarumanegara hanya
berhasil memiliki 12 orang raja, kemudian konflik internal dan eksternal kerajaan
mulai mencuat ke permukaan. Ini bermula saat dua anak dari raja ke-12
Tarumanegara, Raja Linggawarman, menikah dengan lelaki dari kerajaan lain. Putri
bungsunya, Putri Sobakancana menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang
kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya. Dan putri sulungnya, Putri Manasih,
menikah dengan Tarusbawa atau Sri Maharaja Tarusbawa yang merupakan raja
pertama di kerajaan Sunda.

Sekitar tahun 650 kekuatan Tarumanegara mulai pudar setelah diserang dan
dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Setelah itu, pengaruh Tarumanegara terhadap
daerah kekuasaannya juga hilang.

Di bawah Kekuasaan Kerajaan Demak


Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Sebelumnya,
Kerajaan Demak adalah Kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah yang masih merupakan
keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) raja Majapahit pada tahun
1500. Kerajaan Demak meliputi Jepara, Semarang, Tegal, Lembang, Jambi, atau
pulau-pulau antara Kalimantan dan Sumatera.
Kerajaan Demak mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Trenggana yang memerintah dari tahun 1521-1546 M. Sultan Trenggana mencoba
memperluas wilayah Kerajaan Demak ke Jawa Barat.

Maka pada 1522, Kerajaan Demak mengirim pasukan ke Barat Jawa dipimpin
oleh Fatahillah (Sunan Gunung Jati) menuju ke Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon.
Saat itu, tiga wilayah tersebut masih termasuk dalam wilayah kerajaan Pajajaran.
Wilayah Banten akhirnya bisa direbut oleh Fatahillah, kemudian pihak Demak
memperluas penyerangan ke daerah Sunda Kelapa.

Pada saat yang sama, Portugis datang dengan tujuan ingin membangun
kantor perdagangan dan benteng di Sunda Kelapa. Kemudian perang antara armada
Portugis dan Demak terjadi dan dimenangkan oleh pihak sehingga armada Portugis
dihancurkan.

Pada tanggal 22 Juni 1527 setelah Sunda Kelapa dikuasai Demak, wilayah ini
berganti nama yaitu Jayakarta.

Daftar sultan atau raja yang pernah memimpin Kerajaan Demak:

 Raden Patah (1475–1518)


 Pati Unus (1518–1521)
 Sultan Trenggana (1521–1546)
 Sunan Mukmin (1546–1549)
 Arya Penangsang (1549–1554)

Di bawah Kekuasaan Kerajaan Banten


Sejarah kerajaan Banten dimulai dari bentuk perluasan kekuasaan Kerajaan
Demak di ujung barat pulau Jawa.

Untuk menyebarkan ajaran Agama Islam, Raja Demak saat itu Sultan
Trenggono mengutus panglima terkuat dan kepercayaannya, Fatahilah untuk
memimpin pasukan Demak menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kelapa (Batavia
atau daerah Jakarta sekarang).Fatahilah ini adalah seorang wali dan juga pendiri
kerajaan Banten dan Cirebon. Ia juga memiliki nama lain, Sunan Gunung Jati.

Setelah kemenangan ini Fatahilah akhirnya mengislamkan daerah Banten dan


menyerahkan Banten kepada anaknya, Sultan Hasanudin atau Maulana
Hasanuddin. Sedangkan ia sendiri memilih fokus beribadah dan memperdalam Islam
serta memutuskan untuk hidup tenang di Cirebon.

Setelah diwarisi wilayah Banten oleh sang ayah, kerajaan Banten didirikan
oleh Sultan Hasanudin. Dia pun mulai membuat peraturan dan dasar-dasar kerajaan.
Hingga akhirnya mendeklarasikan diri sebagai Raja Kerajaan Banten pertama pada
tahun 1552. Sultan Hasanuddin juga mendirikan benteng bernama Surosowan, yang
kemudian menjadi pusat pemerintahan setelah kesultanan Banten merdeka.
Mencapai masa keemasannya pada paruh pertama abad ketujuh belas, Kesultanan
Banten bertahan selama 300 tahun (1526-1813 M).

Sultan Hasanudin memiliki misi untuk melepaskan pengaruh Kerajaan Demak


dari Kerajaan Banten. Melihat potensi yang sangat besar dari Banten, dimana
Banten terletak di tepi Timur Selat Sunda yang menjadi pusat perdagangan saat itu,
akhirnya Kerajaan Banten berhasil berkembang secara mandiri.

Sultan Hasanudin juga memerintahkan untuk memperluas wilayah kekuasaan


Kerajaan Banten dengan cara menaklukkan Kerajaan Pajajaran tahun 1519. Misi ini
berhasil pada masa kekuasaan raja selanjutnya, yaitu raja Panembahan Yusuf.
Karena serangan ini jugalah Kerajaan Pajajaran menemui keruntuhannya.

Sultan Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah-daerah


penghasil lada di Lampung. Ia berjasa dalam penyebaran Islam di wilayah tersebut
dan memiliki hubungan dagang yang baik dengan Raja Malangkabu (Minangkabau,
Serikat Inderapura). Kemudian, raja ketiga Kerajaan Banten Maulana Muhammad
juga mencoba meneruskan perjuangan ayah dan kakeknya dengan mencoba
menguasai Palembang pada tahun 1596 sebagai bagian dari upaya mempersempit
pergerakan Portugal di Nusantara, namun gagal karena ia tewas dalam percobaan
penaklukan.

Kerajaan Banten mengalami kejayaan di bawah pimpinan Raja Sultan Ageng


Tirtayasa (1651-1682). Pada masa ini, Banten berhasil memiliki armada yang besar,
sumber daya yang banyak dan wilayah kekuasaan yang luas.

Berikut ini adalah daftar raja yang pernah memimpin Kerajaan Banten:

 Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 – 1570


 Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 – 1585
 Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 – 1596
 Sultan Mahmud Abu al-Mafakhir Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 – 1647
 Sultan Ahmad Abu al-Ma’ali 1647 – 1651
 Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
 Sultan Abu Sultan Haji Abdul Qahar Nashar 1683 – 1687
 Sultan Abu Fadl Mohammad Yahya 1687 – 1690
 Sultan Zainul Abidin Muhammad Abul Mahasin 1690 – 1733
 Fathi Abul Sultan Zainul Arifin Mohammed Shifa 1733 – 1747
 Syarifah Ratu Fatimah 1747 – 1750
 Zainul Arif Sultan al-Qadiri Asyiqin 1753 – 1773
 Sultan Abul Muhammad Aliuddin Mafakhir 1773 – 1799
 Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 – 1803
 Sultan Abul Muhammad Ishaq Nashar Zainul Muttaqin Nashar 1803 – 1808
 Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 – 1813

Banten pada Masa Penjajahan

Namun, kejayaan Kerajaan Banten mulai terusik saat Belanda memasuki


wilayah nusantara. Armada dagang Belanda yang berlabuh di Banten pertama kali
dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1596.

Awalnya, tujuan utama mereka adalah untuk memperoleh rempah-rempah


namun tujuan ini berubah haluan karena melihat kekayaan alam dan letak strategis
Banten. Belanda berniat memonopoli dan menjajah daerah setempat. Melihat hal
tersebut, Raja dari Banten yang gigih menentang VOC adalah Sultan Ageng
Tirtayasa yang merupakan raja ke-6 Banten. Karena ia melihat Belanda sebagai
saingan bagi kerajaannya dalam hal perdagangan.

Kemudian, sekitar tahun 1680 timbul perselisihan yang mengakibatkan perang


saudara di Kesultanan Banten. Perang saudara yang terjadi di Banten disebabkan
oleh perebutan kekuasaan dan konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan
putranya, Sultan Haji.

Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Belanda, dalam hal ini Vereenigde


Oostindische Compagnie (VOC) untuk melakukan strategi politik adu-domba (Devide
et Impera) agar bisa memenangkan persaingan dagang di sekitar selat Sunda.
Mereka pun berpihak pada Sultan Haji.

Di sisi lain, Sultan Haji dengan ambisinya, mengirimkan dua orang utusan,
menemui Raja Inggris di London pada tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan
dan bantuan persenjataan melawan keluarganya sendiri. Dalam perang ini Sultan
Ageng Tirtayasa terpaksa mundur dan pindah ke wilayah yang disebut Tirtayasa,
namun pada tanggal 28 Desember 1682 wilayah ini juga dikuasai oleh Sultan Haji
bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf dari Makassar mundur ke selatan pedalaman Sunda.

Dari 16 raja yang pernah memimpin, terdapat beberapa raja-raja Banten yang
melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Yang pertama, adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Bisa dibilang beliaulah raja
Banten yang paling gigih menolak kedatangan dan ikut campur kolonial Belanda di
tanah Banten. Ini terlihat dari bentuk perlawanan yang dilakukan Sultan Ageng
Tirtayasa dalam blokade terhadap kapal-kapal dagang Belanda menuju Banten.
Disamping itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan perang gerilya dan
merampok hasil perdagangan Belanda di Batavia.

Raja Banten lainnya yang melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah


Sultan Abul Muhammad Ishaq Zainulmutaqin Nashar. Meski perlawanan yang
dilakukannya tidak sekuat Sultan Ageng Tirtayasa, ia menolak perintah Herman
Willem Daendels pada tahun 1808 yang saat itu adalah Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk memindahkan ibu kota ke Anyer dan menyediakan pekerja dari
Banten untuk membangun Pelabuhan di Ujung Kulon. Namun sayang, perlawanan
Sultan Abul Muhammad Ishaq Zainulmutaqin Nashar tidak berhasil. Sebagai bentuk
kemarahan karena keinginannya tidak dituruti Daendels memerintahkan
penyerangan dan penghancuran Istana Surosowan Banten dan menawan sultan
beserta seluruh keluarga kerajaan lain di Benteng Speelwijk.

Meski tercatat hampir tiga abad Kerajaan Banten mampu bertahan bahkan
sempat mencapai kejayaan yang luar biasa di bawah Sultan Ageng Tirtayasa.
Pengaruh Belanda, perang saudara hingga persaingan dengan kekuatan global
membuat kerajaan ini bagai kerajaan boneka. Perang saudara yang terjadi di Banten
meninggalkan periode ketidakstabilan pemerintahan berikutnya. Konflik antara
keturunan penguasa Banten serta gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas
campurnya VOC semakin menjadi-jadi. Akibat konflik yang sedang berlangsung
Sultan Muhammad Fathi Abul Zainul Arifin Shifa meminta bantuan VOC untuk
meredam beberapa perlawanan rakyat sehingga sejak tahun 1752 Banten menjadi
vassal VOC.Hingga akhirnya kesultanan Banten resmi dihapuskan pada tahun 1813
oleh pemerintah Inggris setelah berhasil menginvasi Jawa pada tahun yang sama.

Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin


dilucuti dan digulingkan oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan
pukulan terakhir yang mengakhiri sejarah Kesultanan Banten.Setelah Inggris
mengembalikan Jawa kepada Belanda pada tahun 1814 sebagai bagian dari
Perjanjian Inggris-Belanda, pada tahun 1817 Kesultanan Banten dijadikan
Karesidenan Banten, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari
Provinsi Jawa Barat.

Banten pada Masa Kini

Melemahnya kekuatan Jepang dan serangan Bom atom yang dijatuhkan


Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945 kota
Nagasaki membuat Kaisar Jepang, Hirohito terpaksa menyerah tanpa syarat dan
mengakui kekalahannya dalam Perang Dunia II pada tanggal 14 Agustus 1945. Ini
menimbulkan keuntungan bagi pihak Indonesia untuk melepaskan diri dan
mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus. Namun, setelah Indonesia
merdeka, perjalanan Banten menjadi provinsi sendiri dan terpisah dari Provinsi Jawa
Barat memiliki tahap yang cukup panjang.
Kejayaan masa lalu untuk menginspirasi masyarakat Kesultanan Banten
kembali menjadikan Banten sebagai daerah otonom, reformasi pemerintah Indonesia
untuk mendorong peran Provinsi Banten sebagai daerah tersendiri kemudian
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Undang-Undang ini
membuat Provinsi Banten menjadi provinsi ke-30 yang dimiliki Indonesia dengan
ibukotanya, Serang.

Tanggal 4 Oktober 2000 ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Banten yang
saat itu dipimpin oleh H.D. Munandar sebagai Gubernur dan H. Ratu Atut Chosiyah,
SE sebagai wakil Gubernur. Provinsi Banten berbatasan dengan Jawa Barat dan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) di bagian timur, Laut Jawa di bagian utara,
Samudra Hindia di sisi selatan, dan Selat Sunda di sisi barat.

Sama seperti saat masa kerajaan, Provinsi Banten menjadi jalur transit ke
pulau Sumatera dan jalur masuk menuju pulau Jawa (jika berangkat dari arah
Barat). Luas provinsi ini adalah 9.662,82 Km2 dan memiliki populasi lebih dari 11,9
juta pada Sensus 2020.

Hingga saat ini Provinsi Banten memiliki 4 kabupaten dan 4 kota, di antaranya
adalah:

 Kabupaten Lebak ibukotanya Rangkasbitung


 Kabupaten Pandeglang ibukotanya Pandeglang
 Kabupaten Serang ibukotanya Ciruas
 Kabupaten Tangerang ibukotanya Tigaraksa
 Kota Cilegon
 Kota Serang
 Kota Tangerang
 Kota Tangerang Selatan

Dari semua kabupaten dan kota yang ada di Banten, terdapat total 155
kecamatan, 313 kelurahan dan 1.238 desa. Banten adalah provinsi yang memiliki
keberagaman. Wilayah ini dihuni oleh banyak suku bangsa, meskipun yang paling
dominan adalah orang atau suku Banten.
Di Banten, bahasa Sunda digunakan sebagai Basantara (lingua franca) atau
bahasa pergaulan. Bahasa Jawa juga dituturkan oleh banyak orang di provinsi ini
terutama orang-orang keturunan Jawa pendatang dari Jawa Tengah atau Jawa
Timur dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi utama. Selain itu, hingga
sekarang di Kabupaten Lebak juga terdapat masyarakat adat Baduy yang
menjunjung tinggi tradisi dan hidup sederhana,

Orang Badui menyebut diri mereka Urang Kanekes. Urang berarti orang dalam
bahasa Sunda, sedangkan Kanekes adalah nama daerah suci mereka yang terletak
di Gunung Kendeng di selatan Banten, Jawa. Suku Baduy berasal dari kerajaan
Pajajaran atau kerajaan Sunda terakhir yang jatuh ke tangan penakluk Islam.
Menurut legenda, Badui memberontak melawan Islam, tersesat, dan melarikan diri
ke pegunungan di mana mereka berada sekarang. Suku Baduy terkenal dengan
kemampuan mereka untuk mempertahankan citra misterius dengan membatasi
komunikasi dengan dunia luar dan menolak untuk berhubungan dengan orang
asing. Dan untuk melindungi tradisi dan budaya leluhur, masyarakat Badui dibagi
menjadi dua kelompok yaitu Baduy dalam dan Baduy luar.

Badui dalam, atau anggota suci adalah kelompok orang Badui yang menempati
tiga desa suci di Taneh Larangan atau Wilayah Terlarang. Mereka melindungi
komunitas mereka dari paparan pengaruh eksternal untuk memastikan kemurnian
adat. Sedangkan Panamping, atau Badui luar, tinggal di sekitar 28 desa dan
mewakili rakyat jelata dan mayoritas penduduk Kanekes. Desa mereka terletak di
perbatasan antara Daerah Terlarang dan pemukiman Sunda.

Banten juga berhasil bertahan di masa-masa kritis di tengah serangan penjajah


dan monopoli perdagangan.

Di masa sekarang, Banten sudah bisa membuktikan berdiri sendiri menjadi


provinsi mandiri dan melepaskan diri dari Jawa Barat dengan tetap mempertahankan
tradisi dan adat istiadat leluhur.

Sumber : https://primagama.co.id/blog/banten-dalam-3-masa-kerajaan-
penjajahan-dan-masa-kini/

Anda mungkin juga menyukai