Anda di halaman 1dari 15

MATERI

KESULTANAN MATARAM

Anggota: Caroline-XA/03
Jenifer-XA/16
Jonathan-XA/17
Billi-XA/26
Veldy-XA/35
Howen-XA/36

A. Judul
Kesultanan Mataram

B. Wilayah Kekuasaan

Pada masa pemerintahan Sultan Agung daerah pesisir seperi Surabaya dan
Madura berhasil ditaklukan. Pada kurun waktu 1613 sampai 1645 wilayah
kekuasaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian
Jawa Barat.

C. Sultan yang Memimpim


Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di
Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18. Kerajaan ini
didirikan oleh Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, dan mencapai
puncak kejayaannya di bawah Sultan Agung. Kerajaan Mataram Islam berakhir
setelah ditandatangani Perjanjian Giyanti yang membagi wilayahnya menjadi
dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Raja-raja Kerajaan Mataram Islam beserta masa pemerintahannya:
1.Panembahan Senopati (1586-1601)
Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutowijoyo yang juga dikenal
sebagai Sutawijaya. Ia merupakan putra Ki Gede Pemanahan, pendiri cikal bakal
kerajaan Mataram Islam.Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan
Panembahan Senopati merupakan sebuah kerajaan agraris yang beribukota di
Kotagede. Dibawah kepemimpinannya, Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi
kerajaan yang besar dan berhasil menguasai daerah Kerajaan Pajang yang
sedang dilanda perang saudara.Panembahan Senopati juga berhasil
menyatukan wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Di
bawah kepemimpinan Panembahan Senopati, desa tumbuh menjadi kota yang
makmur dan ramai, banyak sekali kerajaan-kerajaan yang menjadi daerah
taklukannya, antara lain Kedu, Bagelen, Pajang, dan Mangiran, kemudian
sebagian wilayah bang Wetan yaitu Blora, Madiun, Pasuruan, Ponorogo serta
sebagian wilayah Utara Jawa yaitu Jepara, Demak, dan Pati yang menjadikan
wilayah Mataram semakin luas.

Panembahan Senopati wafat tahun 1601 M dan dimakamkan di Kotagede, dan


diganti putranya Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyokrowati.

2.Panembahan Seda Ing Kapryak/ Mas Jolang (1601-1613)


Semasa pemerintahan Raden Mas Jolang, muncul perang saudara yang
disebabkan oleh Pangeran Puger dan Pangeran Jayaraga. Di samping
pemberontakan Pangeran Puger, terjadi juga pemberontakan Pangeran
Jayaraga pada tahun 1607. Mas Jolang tak setangguh ayahnya, ia gagal
memperluas wilayah kekuasaan mataram.

Raden Mas Jolang meninggal di Hutan Krapyak. Ia meninggal karena


kecelakaan saat berburu kijang di Hutan Krapyak pada tahun 1613. Oleh sebab
itu, Raden Mas Jolang dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.
Raden Mas Jolang dimakamkan di bawah makam ayahnya yang ada di daerah
makam Pasar Gede.

3.Sultan Agung Hanyrakakusuma /Mas Rangsang. (1613-1645)


Dibawah pemerintahannya Mataram mencapai puncak kejayaan nya (1647).
Sejak muda ia dikenal memiliki kepribadian Agung yang kuat, berani, dan
memiliki cita cita yaitu menyatukan jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada
masa pemerintahan Sultan Agung daerah pesisir seperi Surabaya dan Madura
berhasil ditaklukan. Pada kurun waktu 1613 sampai 1645 wilayah kekuasaan
Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat.
Kehadiran Sultan Agung sebagai penguasa tertinggi, membawa Kerajaan
Mataram Islam kepada peradaban kebudayaan pada tingkat yang lebih tinggi.
Sultan Agung memiliki berbagai keahlian baik dalam bidang militer, politik,
ekonomi, sosial dan budaya,yang menjadikan peradaban kerajaan Mataram
pada tingkat yang lebih tinggi.

Sultan Agung pernah berusaha menguasai Batavia yang merupakan pusat


pemerintahan VOC (1628 dan 1629).Perlawanan tersebut disebabkan karena
Sulan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan
hegemoni kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa. Kekuasaan Mataram Islam
pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon.
Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia. Selain
itu, kehadiran VOC akan menghambat penyebaran agama Islam di Jawa yang
dilakukan Sultan Agung. Sultan Agung memiliki prinsip untuk tidak penah
bersedia berkompromi dengan VOC maupun penjajah lainnya. Namun serangan
Mataram Islam terhadap VOC yang berkedudukan di Batavia mengalami
kegagalan disebabkan tentara VOC membakar lumbung persediaan makanan
pasukan kerajaan Mataram Islam pada saat itu.

Sultan agung pernah meneruskan pendahulunya untuk meletakan dasar


perkembangan Mataram Islam dengan memberikan pengajaran dan pendidikan
kepada rakyat Mataram Islam sehingga pada masa pemerintahannya,
menempatkan ulama dengan kedudukan terhormat, yaitu sebagai pejabat
anggota Dewan Parampara (Penasihat tinggi kerajaan).Selain itu Sultan Agung
juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan
Hindu dan Islam. Misalnya grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan
kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang saat ini dikenal sebagai garebeg Puasa
dan Grebeg Maulud. Selain itu Sultan Agung juga mengenalkan penanggalan
tahun saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing. Adapun keberhasilan Sultan
Agung dalam bdang kebudayaan yaitu dapat mengubah perhitungan peredaran
Matahari ke perhitungan peredaran bulan, sehingga dianggap telah menuliskan
tinta emas pada masa pemerintahannya. Berkat usaha yang dilakukan oleh
Sultan Agung dalam memajukan agama dan kebudayaan Islam, ia memperoleh
gelar Susuhunan (Sunan) yang selama ini diberikan kepada Wali.

Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Dia
membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja
Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra
Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya,
Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang
bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram.

4. Sunan Amangkurat 1(1645-1677)


Amangkurat I lahir pada 1618 atau 1619 dengan nama Raden Mas Sayyidin. Ia
adalah putra dari Sultan Agung dari istrinya yang bergelar Ratu Wetan, putri
Adipati Batang.Dalam bahasa Jawa, kata Amangku berarti "memangku" dan Rat
berarti "bumi". Dengan demikian, gelar Amangkurat berarti "memangku bumi"
atau makna harfiahnya "memerintah suatu negara". Ia kemudian menjadi raja
yang memiliki kekuasaan penuh atas seluruh Kesultanan Mataram dan negara
bawahannya. Pada penobatannya, semua anggota keluarga kerajaan
bersumpah setia kepadanya.

Amangkurat I mendapat warisan ayahnya berupa wilayah Mataram yang sangat


luas. Dalam hal ini, ia menerapkan sentralisasi. Setelah naik takhta, ia mencoba
untuk membawa stabilitas jangka panjang di pulau Jawa, yang luasnya cukup
luas tetapi dirusak oleh pemberontakan yang terus-menerus.

Pada tahun pertamanya berkuasa, ia menandatangani perjanjian damai dengan


VOC yang berisi enam pasal. Keenam pasal tersebut, yaitu: mengatur
pengiriman utusan Belanda ke Mataram, kesediaan Belanda mengatur
perjalanan ulama Mataram, pembebasan tawanan Belanda di Mataram,
penyerahan orang-orang berutang, perang bersama, dan pelayaran bebas di
Kepulauan Maluku. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 24 September
1646. Perjanjian ini disambut baik oleh Belanda. Dentuman-dentuman meriam
sebagai wujud perayaan perdamaian terdengar dari loji-loji Belanda. Oleh
Amangkurat I perjanjian ini menjadi bukti bahwa VOC telah takluk dengan
kekuasaan Mataram

Amangkurat I meninggal di Wanayasa (suatu desa di Banyumas utara) ketika


dalam pelarian dari Trunajaya, dan berwasiat agar ia dimakamkan di dekat
gurunya

5.Sunan Amangkurat 2 (1677-1703)


Amangkurat 2 merupakan anak dari Amangkurat 1 dan Ratu Kulon.Ia memiliki
nama kecil Raden Mas Rahmat dengan gelar Pangeran Adipati Anom.
Amangkurat II dibesarkan di Surabaya oleh kakeknya, Pangeran Pekik. Ia diasuh
kakeknya tersebut setelah ibunya, Ratu Kulon meninggal dunia. Ketika
menginjak dewasa, Amangkurat II pernah terlibat konflik dengan ayahnya,
Amangkurat I(1661). Konflik itu disebabkan adanya berita bahwa jabatan Adipati
Anom (putra mahkota) akan digantikan dengan putra Amangkurat I yang lain,
yaitu Pangeran Puger.

Ia merupakan Sultan Mataram yang memindahkan keraton Mataram dari Plered


ke Kartasura. Sultan Amangkurat II mendapat julukan Sultan Amral. Hal itu
disebabkan karena ia suka memakai seragam Angkatan Laut (Admiral) Belanda.
Amangkurat II dikenal haus kekuasaan dan perjalanannya ke singgasana
diwarnai konflik hingga akhir hayatnya

Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalannya, terjadi


perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan
adiknya, yaitu Pangeran Puger.

6.Sunan Amangkurat 3 (1703-1705)


Sunan Amangkurat III atau Sunan Mas memiliki nama asli Raden Mas Sutikna.
Dia adalah satu-satunya putra almarhum Amangkurat II. Ia juga dijuluki sebagai
Pangeran Kencet, karena menderita sakit di bagian tumit.

Sebagian pejabat karaton dan rakyat kebanyakan meyakini bahwa sejatinya


yang lebih layak menjadi susuhunan Mataram selanjutnya adalah Pangeran
Puger, paman Raden Mas Sutikna atau adik kandung Amangkurat II.Sebagai
satu-satunya anak lelaki Amangkurat II, Raden Mas Sutikna tetap naik takhta
dan dinobatkan sebagai susuhunan Mataram. Ia menyandang gelar Amangkurat
III, sering pula disebut dengan nama Sunan Mas.

7.Pakubuwana I (1705-1719)
Sunan Pakubuwana I atau Pangeran Puger terlahir dengan nama Raden Mas
Darajat, ia adalah putra Amangkurat 1 dan cucu dari Sultan Agung. Ayahnya
merupakan raja Mataram keempat, Pangeran Puger terlahir dari permaisuri
kedua, Ratu Wetan. Ratu Wetan berasal dari keluarga Kajoran, keturunan
Pajang.

Pangeran Puger pernah diangkat sebagai putra mahkota (adipati anom) ketika
terjadi konflik antara ayahnya, Amangkurat I dengan Raden Mas Rahmat
(kemudian bergelar Amangkurat 2). Raden Mas Rahmat adalah saudara tiri
Pangeran Puger, lahir dari Ratu Kulon (permaisuri pertama Amangkurat I).
Amangkurat I melepaskan gelar putra mahkota dari Raden Mas Rahmat dan
menyerahkannya kepada Raden Mas Darajat. Namun, ketika keluarga Kajoran
terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya pada tahun 1674, Amangkurat I
terpaksa mencabut gelar putra mahkota (adipati anom) dari Raden Mas Darajat
Untuk memperkokoh kedudukannya, Pakubuwono I terlibat perjanjian baru
dengan Belanda, yang salah satu isinya menyatakan bahwa Mataram harus
mengirim 13.000 ton beras setiap tahunnya. Berkat kerjasama tersebut, periode
pemerintahannya pun tergolong aman, karena semua pergolakan yang
mengancam takhtanya dapat ditumpas dengan bantuan Belanda. Di saat yang
sama, Pakubuwono I juga menjaga hubungan baik dengan para kerabat keraton.
Oleh karena itu, naskah babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai raja agung
yang bijaksana

Pakubuwono wafat di Kartasura pada 22 Februari 1719, setelah 15 tahun


memerintah Kesultanan Mataram. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan di
Imogiri, Yogyakarta, bersama para leluhurnya.

8.Raden Mas Suryaputa/ Amangkurat IV (1719-1726)


Amangkurat IV naik takhta pada tahun 1719 setelah kematian ayahnya,
Amangkurat III. Pada masa itu, hubungan antara Kesultanan Mataram dan VOC
Belanda mulai memanas.

Raden Mas Suryaputra merupakan putra dari Pakubuwana I yang memilih


menggunakan gelar Amangkurat. Pada saat kenaikan tahtanya menjadi seorang
sunan, telah diwarnai dengan berbagai pemberontakan oleh Pangeran Blitar,
Purbaya, Madiun, serta Arya Mataram di Pati.

Namun seluruh pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan bantuan dari


pihak kolonial Belanda. Sama halnya dengan sang ayah, putra dari Pakubuwana
I ini juga menjabat dalam waktu yang singkat karena wafat akibat diracun pada
tahun 1726.

Salah satu peristiwa penting selama pemerintahannya adalah Konflik Javase


Successie. Setelah kematian Amangkurat III, terjadi perjuangan kekuasaan
antara cucunya, Pangeran Puger, dan Raden Mas Suryaputra. VOC, yang ingin
memanfaatkan kesempatan ini, memilih untuk mendukung Pangeran Puger.

Tidak mampu menahan serangan VOC, Amangkurat IV terpaksa


menandatangani Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini membagi
Kesultanan Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta di bawah
pemerintahan Pangeran Mangkubumi (yang kemudian menjadi Sultan
Hamengkubuwana I), dan Kadipaten Yogyakarta di bawah pemerintahan
Pangeran Puger (yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwana II).
Amangkurat IV masih dibiarkan memerintah di bagian Mataram yang tersisa.

Setelah Perjanjian Giyanti, Amangkurat IV dan putranya, Pangeran Arya


Mataram, diasingkan ke Semarang oleh VOC. Amangkurat IV meninggal pada
tahun 1726, dan putranya yang diasingkan kemudian menjadi Sultan
Pakubuwana II dari Kesultanan Mataram.

9.Raden Mas Prabasuyasa/ Pakubuwana II (1726-1742)


Raden Mas Prabasuyasa naik takhta sebagai Pakubuwana II setelah kematian
ayahnya, Amangkurat IV, pada tahun 1726. Saat itu, Kesultanan Mataram telah
mengalami pembagian wilayah sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti.

Sebagai sultan, Pakubuwana II berusaha memperkuat kembali kekuasaan


kesultanan di tengah campur tangan VOC. Namun, hubungan antara Kesultanan
Mataram dan VOC tetap tegang. VOC berusaha untuk mempertahankan kendali
atas wilayah Jawa Tengah dan terus membatasi kekuasaan raja-raja lokal.

Pakubuwana II berupaya untuk memperluas kekuasaannya melalui perlawanan


terhadap VOC. Dia melakukan berbagai upaya untuk mengurangi pengaruh
Belanda di wilayahnya dan memperkuat kesultanan secara internal.

Meskipun dihadapkan pada tekanan dari VOC, Pakubuwana II berhasil


memperbaiki infrastruktur dan memperkuat posisi kesultanan di wilayahnya. Dia
membangun istana baru, memperbaiki sistem irigasi, dan mengembangkan
perdagangan serta seni dan budaya di kesultanan.

D. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat


1. Masyarakat Agraris: Mayoritas penduduk Kesultanan Mataram Islam adalah
petani padi. Sistem irigasi yang canggih, seperti subak, membantu mereka
mengoptimalkan hasil panen. Selain padi, tanaman lain seperti jagung, ketela
pohon, dan kacang-kacangan juga ditanam.
2. Pengaruh Hindu-Buddha dan Islam: Keberagaman budaya tercermin dari
perpaduan Hindu-Buddha dan Islam. Dalam seni ukir dan arsitektur, terdapat
perpaduan motif Hindu-Buddha dengan kaligrafi Islam. Upacara adat seperti
Sekaten dan Garebeg juga menunjukkan akulturasi ini.
3. Seni dan Arsitektur: Kesultanan Mataram Islam memiliki tradisi seni dan
arsitektur yang kaya. Seni ukir kayu dan batu berkembang pesat, menghasilkan
karya-karya seperti wayang kulit dan hiasan candi. Arsitektur keraton
mencerminkan perpaduan Hindu-Buddha dan Islam, dengan
bangunan-bangunan megah seperti Siti Hinggil dan Bangsal Kencono.
4.Sultan Agung dan Transformasi Budaya: Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1645) melakukan transformasi budaya untuk memperkuat identitas
Mataram Islam. Beliau mengubah beberapa istilah berbahasa Arab ke bahasa
Jawa, seperti "senopati" menjadi "panglima perang" dan banyak karya sastra
serta tulisan keagamaan ditulis dalam bahasa Jawa dengan menggunakan
aksara Jawa yang memiliki pengaruh Arab
5. Kebudayaan Jawa dan Upacara Grebeg: Kebudayaan Jawa berkembang
pesat di Kesultanan Mataram Islam. Kebudayaan ini menekankan tata krama
dan kesopanan sebagai dasar hubungan antar manusia. Upacara Grebeg, yang
merupakan tradisi dari Kerajaan Majapahit, dilestarikan dan dimodifikasi dengan
nuansa Islam.

E. Kondisi Politik Ekonomi Masyarakat


1. Sistem Pemerintahan Feodal (Politik): Kerajaan Mataram Islam menerapkan
sistem pemerintahan feodal yang kuat, di mana kekuasaan tertinggi berada di
tangan raja atau sultan. Raja adalah pemilik seluruh tanah kerajaan. Sistem ini
memungkinkan pemerintahan yang terpusat namun juga memberi kebebasan
kepada bangsawan untuk mengelola wilayahnya sendiri.
2. Agraris (Ekonomi): Ekonomi Kerajaan Mataram didasarkan pada pertanian
sebagai pilar utama. Sistem pertanian intensif diterapkan dengan menggunakan
sistem irigasi yang canggih untuk meningkatkan produksi padi dan tanaman
lainnya. Pengekspor beras terbaik karena terletak di letak geografis yang baik
yaitu di dekat pegunungan dan pesisir
3. Perdagangan dan Kerajinan: Selain pertanian, perdagangan juga menjadi
sektor ekonomi penting dalam Kerajaan Mataram. Mataram terletak di jalur
perdagangan yang strategis, memungkinkan mereka untuk mengendalikan dan
memonopoli perdagangan rempah-rempah, logam mulia, dan barang-barang
dagangan lainnya. Selain itu, kerajinan tangan seperti pembuatan kain batik,
ukiran kayu, dan perhiasan juga berkembang pesat dan menjadi sumber
penghasilan penting bagi masyarakat.
4. Pembangunan Infrastruktur: Raja-raja Mataram memperhatikan pembangunan
infrastruktur sebagai bagian dari kebijakan ekonomi mereka. Mereka
membangun sistem irigasi yang luas, jaringan jalan yang terkoneksi, dan
bangunan-bangunan publik seperti istana, masjid, dan pasar yang menjadi pusat
kegiatan ekonomi dan sosial.
5. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Kerajaan Mataram secara bijaksana
mengelola sumber daya alam mereka, seperti hutan, tambang, dan sumber air.
Mereka menerapkan kebijakan yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian
lingkungan dan memastikan ketersediaan sumber daya bagi kepentingan masa
depan.
6.Hubungan dengan Negara-negara Tetangga: Kerajaan Mataram menjalin
hubungan dagang dengan negara-negara tetangga seperti Kesultanan Aceh dan
Kesultanan Banten. Hubungan perdagangan ini membawa manfaat ekonomi
bagi kedua belah pihak dan memperkuat posisi politik Mataram di wilayah
Nusantara.

Di samping itu, raja juga berperan sebagai panatagama atau pengatur kehidupan
beragama Islam. Untuk menjalankan tugasnya, raja Kerajaan Mataram Islam
dibantu oleh beberapa pejabat tinggi kerajaan, misalnya tumenggung, patih,
adipati, serta bupati untuk mengurus berbagai kebutuhan pemerintahan,
peradilan, maupun perang.

F. Puncak Kejayaan
Kerajaan Mataram Islam mengalami masa keemasan ketika dipimpin oleh raja
ketiganya, yaitu Sultan Agung alias Raden Mas Rangsang. Ia adalah putra dari
Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Tatkala menaiki tampuk
kepemimpinan, Sultan Agung masih berusia belia, yakni 20 tahun. Namun, meski
usianya masih sangat muda, ia berhasil membawa Mataram Islam pada puncak
kejayaan dengan sifat tegas dan disiplin.

Pada masanya, sang Sultan membangun angkatan perang yang kuat nan
tangguh. Ia memerintahkan pasukan itu untuk segera bergerak menguasai Jawa
Timur. Ekspansi tersebut kemudian terus dilanjutkan ke Jawa Barat ke arah
Banten. Secara singkat, wilayah kekuasaan Mataram Islam masa Sultan Agung
begitu luas. Terhitung Pulau Jawa secara penuh dikuasainya, kecuali Batavia
dan Banten. Berbagai daerah di luar Jawa pun juga takluk, di antaranya
Palembang dan Sukadana. Setelah masa pemerintahan Sultan Agung berakhir,
banyak daerah yang mulai melepaskan diri. Hal ini menjadi salah satu faktor
alasan kejayaan Mataram Islam berangsur-angsur turun setelahnya.

Sultan Agung memindahkan ibukota kerajaan dari Kotagede ke Kerto (saat ini
bernama Padukuhan Kerto, Kalurahan/Desa Pleret, Kapanewon/Kecamatan
Pleret Kabupaten Bantul) yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kotagede.

Ekspansi yang dilakukan oleh Sultan Agung menggunakan strategi seimbang


yaitu dengan mengarahkan politik ekspansi ke arah timur dan arah barat. Sultan
Agung melakukan pemusatan ekspansi ke arah Timur untuk menguasai
Surabaya dan pemusatan ekspansi ke arah barat untuk merebut dan mengusir
Belanda dari Batavia karena saat itu dikuasai Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC).

Ekspansi ke arah timur dilakukan pada tahun 1613-1925 yang berakhir dengan
takluknya Madura pada tahun 1624 dan Surabaya pada tahun 1925. Sedangkan
ekspansi ke arah barat dilakukan pada tahun 1625-1636, titik puncaknya pada
tahun 1628-1629, pada saat dilakukannya pengepungan Batavia hingga 2 kali,
kegagalan atas pengepungan pertama pada tahun 1628, membuat Sultan Agung
melakukan pengepungan yang kedua pada tahun 1629 sebelum akhirnya
Gubernur Jenderal Van Diemen mengajukan politik damai pada tahun 1636.

Dengan mengetahui secara detail berbagai perkembangan yang terjadi, hal itu
akan mengantarkan kita pada puncak kejayaan Kerajaan Mataram Islam di
bawah pimpinan Sultan Agung.

A. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Sultan Agung adalah raja yang memiliki wawasan politik
yang luas dan jauh ke depan. Dengan kata lain, ia adalah seorang pemikir politik
yang hebat sekaligus praktisi politik yang tangguh. Karena itu, di bawah
kekuasaannya, Kerajaan Mataram Islam berhasil mencapai puncak kejayaannya.

1) Doktrin Politik Keagungbinataraan


Kemajuan pertama di bidang politik yang dicapai oleh Sultan Agung adalah
penerapan doktrin keagung- binataraan. Doktrin keagungbinataraan sebuah
konsep kekuasaan Jawa untuk menunjukkan kekuasaan seorang raja. Menurut
doktrin tersebut, kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan yang
utuh dan bulat. Kekuasaan itu tidak tersaingi, tidak terkotak atau terbagi, dan
merupakan totalitas, tidak hanya pada bidang tertentu. Sesuai dengan doktrin
keagungbinataraan, kedudukan raja ada di puncak piramida kekuasaan.
Kekuasaan raja bersifat totaliter, tidak terbagi dan tidak ada yang menandingi. 28
Dengan penerapan doktrin ini, maka Kerajaan Mataram Islam sangat solid dan
tidak terpecah-pecah.

2) Perluasan (Ekspansi) Wilayah Mataram


Kemajuan dalam bidang politik lainnya yang dicapai oleh Sultan Agung selama
menapaki tahta Mataram adalah memperluas wilayah Mataram hingga ke ujung
paling timur pulau Jawa dan ke ujung paling barat pulau Jawa. Seperti kita tahu,
Sultan Agung merupakan raja yang adil dan bijaksana serta berkemauan keras.
Pada waktu ia berkuasa, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan
Mataram. Oleh karena itu, Sultan Agung berusaha untuk mempersatukan
kembali seluruh daerah yang melepaskan diri tersebut di bawah naungan
Mataram. Dengan keberanian dan kemauannya yang keras, Sultan Agung
berusaha untuk menaklukkan seluruh Jawa. Selain berhasil mempersatukan
kembali wilayah kekuasaan Mataram yang melepaskan diri, Sultan Agung juga
berhasil menundukkan banyak daerah baru. Secara berturut-turut,
daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung adalah Wirasaba
(1615), Lasem (1616), Pasuruan (1617), Gresik (1618 dan 1822), Tuban (1619),
Madura (1624), Surabaya (1625). Bahkan, ekspansi Sultan Agung merambah
hingga ke Pasuruan, Giri (1636), dan Blambangan (1639).

Untuk wilayah bagian Barat, seluruh wilayah Pulau Jawa ke Barat berhasil
ditaklukkan oleh Sultan Agung, kecuali Banten yang tetap tidak mau menyerah
kepada Mataram. Selain Banten, wilayah di bagian Barat yang tidak bisa
ditaklukkan adalah Batavia, yang waktu itu dikuasai oleh VOC. Di samping
menguasai seluruh wilayah di Pulau Jawa, Sultan Agung juga berhasil
menguasai beberapa wilayah di luar pulau jawa, seperti Palembang, Jambi,
Banjarmasin, dan Makassar. Dengan dikuasainya daerah tersebut, maka
mataram pun semakin luas dan kokoh

3) Perlawanan terhadap VOC/Belanda


Seperti diketahui, Sultan Agung adalah satu-satunya raja Mataram yang sangat
antusias dan bersemangat dalam memerangi VOC alias penjajah. Meskipun
dalam hal ini usaha Sultan Agung menumpas VOC selalu gagal, tetap saja hal ini
dapat dikatakan sebagai pencapaian politik Mataram di bawah pemerintahannya.
Pasalnya, hanya pada masanya-lah, Mataram secara terbuka melancarkan
serangan terhadap VOC di Batavia.

Salah satu faktor yang menyebabkan Mataram di masa pemerintahan Sultan


Agung melancarkan serangan terhadap VOC adalah karena VOC telah
melakukan penekanan pada rakyat dan melakukan monopoli hasil bumi,
sehingga menyebabkan rakyat menderita. Kemudian, hal tersebut berimbas
pada stabilitas Kerajaan Mataram yang terganggu akibat perbuatan VOC
tersebut.

B. Bidang ekonomi
1) Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras
dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga
berhasil melakukan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang
kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut,
Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.

2) Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah


kekuatan politik, tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian, ekonomi
Mataram tidak semata-mata tergantung pada ekonomi agraris, tetapi juga pada
pelayaran dan perdagangan.
Hal tersebut menjadikan pertanian sebagai salah satu sumber ekonomi.

C. Sosial dan Budaya


1) Lahirnya kebudayaan kejawen. Pencapaian gemilang pertama dalam bidang
sosial budaya yang ditorehkan pemerintahan Sultan Agung adalah lahirnya
kebudayaan kejawen. Kejawen yaitu suatu kepercayaan tentang pandangan
hidup yang diwariskan oleh para leluhur bangsa Jawa. Kepercayaan ini sudah
ada sebelum agama Islam datang di pulau Jawa. Nah, pada masa Sultan Agung,
kebudayaan kejawen merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli
Jawa (kejawen) dengan Islam. Akulturasi semacam ini biasanya lebih dikenal
dengan sebutan Islam Kejawen. Adapun contoh dari tradisi Islam Kejawen ini,
salah satunya, adalah upacara Grebeg. Perlu diketahui, upacara Grebeg

2) Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa
kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan
pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada
hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang
sebelumnya

merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh


Samsiah) dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan
pada peredaran bulan (tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan
perhitungan baru dan dikenal dengan Tahun Jawa.

G. Keruntuhan
Terkenal sebagai salah satu kerajaan yang aktif melakukan perlawanan terhadap
VOC, namun menjelang keruntuhannya Kerajaan Mataram Islam justru meminta
bantuan terhadap VOC. Masa-masa keruntuhan Kerajaan Mataram Islam sudah
mulai terlihat ketika pemerintahan Sultan Agung berakhir dan dilanjutkan oleh
putranya yang bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau
biasa disebut dengan Amangkurat I.

Tanda-tanda kemunduran, yakni dengan adanya serangan yang dilakukan oleh


Trunojoyo berhasil memporak-porandakan pertahanan Keraton Plered yang
merupakan istana dari Kerajaan Mataram Islam. Atas peristiwa tersebut
kemudian Amangkurat I pergi dan melarikan diri dari Keraton Plered serta
meminta perlindungan dari pihak VOC. Secara umum keruntuhan Kerajaan
Mataram Islam ditandai dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti pada tahun
1755 yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yakni
Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Sultan Agung adalah raja yang sangat anti kolonialisme dan tercatat dua kali
menyerang VOC di Batavia. Meski telah mengerahkan pasukan dalam skala
besar, serangan yang dilakukan pada 1628 dan 1629 itu mengalami kegagalan.
Akibat kekalahan tersebut, keadaan ekonomi rakyat Kerajaan Mataram Islam
menjadi susah dan menurun karena sebagian masyarakatnya dipaksa berangkat
berperang. Setelah periode Sultan Agung, Kerajaan Mataram Islam semakin
banyak menghadapi peperangan. Hal ini membuat bidang ekonominya kian
merosot dan penurunan penduduk di pedalaman tidak dapat dihindari. Selain
harus bertahan hidup di tengah kemiskinan dan kelaparan, masyarakatnya juga
menghadapi kegelisahan sosial. Pasalnya, kemunduran dalam bidang ekonomi
membuat kriminalitas semakin merajalela dan banyak orang telah kehilangan
akal.

H. Peninggalan
1. Keraton Yogyakarta atau Keraton Kasultanan Yogyakarta:
Dibangun pada tahun 1755 Masehi. Pada bagian utara keraton terdapat
alun-alun utara dan Masjid Agung di bagian sebelah barat. Sedangkan di bagian
selatan keraton, terdapat alun-alun selatan dengan ukuran lebih kecil
dibandingkan alun-alun utara.
2. Kompleks Makam Pajimatan Imogiri:
Kompleks Makam Imogiri terletak di Dusun Pajimatan, Girirejo, Kapanewon
Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Pendiri kompleks makam raja-raja Mataram Islam ini
adalah Sultan Agung pada tahun 1632. Kompleks ini digunakan sebagai makan
raja raja mataram dan keturunannya.
3. Taman sari:
Taman Sari merupakan situs bekas taman istana milik Keraton Yogyakarta yang
dibangun pada masa Sultan Hamangkubowono I pada tahun 1758-1765.
Sedangkan, penyelesaian pembangunan diperkirakan pada masa Sultan
Hamengkubuwono II. Taman Sari memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai tempat
istirahat, area meditasi, bengkel, area pertahanan, dan tempat persembunyian.
Lokasi pembangunan Taman Sari telah dikenal sebagai tempat pemandian yang
disebut Mata Air Pecethokan, sejak masa pemerintahan Sunan Amangkurat IV.
4. Kerajinan perak:
Saat Belanda masuk ke Indonesia melalui VOC, kerajinan perak tumbuh pesat
dengan adanya permintaan peralatan rumah tangga dari perak, emas, tembaga,
dan kuningan kualitas tinggi. (Penulis: Widya Lestari Ningsih, Editor: Nibras
Nada Nailufar dan Sri Nurul Utami)

I. Jalur Rempah
Kesultanan Mataram Islam memiliki beberapa wilayah di pulau Jawa yang
menjadi produsen utama rempah-rempah seperti cengkeh, lada, kayu manis,
dan lain-lain. Salah satu wilayah yang terkenal adalah daerah pegunungan di
sekitar Tengger, yang menjadi tempat produksi cengkeh yang sangat produktif.
Rempah-rempah dari wilayah produsen akan diangkut menggunakan
transportasi darat, seperti gerobak kerbau atau kuda, menuju pusat-pusat
perdagangan di Kesultanan Mataram, seperti Kota Yogyakarta, Surakarta (Solo),
atau pelabuhan-pelabuhan terdekat. Selain jalur darat ada jalur sungai dan laut.
Jalur sungai menjadi jalur utama transportasi perahu-perahu kecil. Di Kesultanan
Mataram memiliki sungai-sungai besar seperti Sungai Bengawan Solo dan
Sungai Brantas. Rempah-rempah dari wilayah produsen akan diangkut melalui
sungai-sungai menuju pelabuhan-pelabuhan penting seperti Pelabuhan Sunda
Kelapa (kini Jakarta), yang merupakan pusat perdagangan utama di wilayah
tersebut. Kemudian jalur laut menjadi jalur utama transportasi kapal-kapal besar
untuk mengirim ke luar negeri. Setelah sampai di pelabuhan, rempah-rempah
akan dimuat ke kapal-kapal dagang untuk dikirim ke pasar-pasar internasional.
Kesultanan Mataram Islam memiliki akses ke jalur perdagangan laut yang
menghubungkan Nusantara dengan pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara,
Tiongkok, India, dan Eropa.

Fakta unik
1. Batik mulai dikembangkan pada masa kesultanan Mataram, kemudian
berlanjut di masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Batik awalnya hanya
digunakan dalam keraton untuk pakaian para raja dan keluarganya, tetapi
kemudian mulai diproduksi oleh masyarakat umum dan menjadi populer
sebagai pakaian.
2. Kesultanan mataram mempunyai tari tradisional yaitu tari topeng mataram
yang menggambarkan tentang cerita cerita dari zaman kerajaan.
3. Pada tahun 1613-1645, dibawah pimpinan sultan Agung. Kesultanan
mataram berhasil memperluas dan menguasai pulau Jawa kecuali Batavia
dan Banten.

Anda mungkin juga menyukai