Anda di halaman 1dari 10

1.

SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Kerta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. Masa pemerintahan Raden Mas Rangsang naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya, Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622. Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap. Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan. Wafatnya Sultan Agung Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I

2. SULTAN AGENG TIRTAYASA

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi dul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Riwayat Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.

3. SULTAN HASANUDDIN

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1] Sejarah Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

4. PATTIMURA

Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), memiliki nama asli Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia. Nama dan Silsilah Pattimura, lahir di Saparua.Ia adalah putra Frans Matulesi dengan Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan". Perjuangan Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[2] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[3] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan [4] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.

5. TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1838. Nama dan gelar Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Riwayat perjuangan Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya. Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah SAW. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah). Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat. Penangkapan dan pengasingan Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

6. PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo. Riwayat perjuangan Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Penangkapan dan pengasingan 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia. 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

7. PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Martapura, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, 1797 atau 1809 meninggal di Bayan Begok Kampung Sampirang, Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia meninggal karena penyakit paru-paru dan cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman dan mangkubumi Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) serta cucunya Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) dan Ratu Zaleha. Pada 14 Maret 1862 beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. y Perlawanan terhadap Belanda Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Verspyck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861. dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan) Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok Sampirang, Murung Raya, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung Tundakan. Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.

8. SISINGAMANGARAJA XII

Raja Sisingamangaraja XII (Bangkara, Tapanuli, 1849 Simsim, Tano Batak, 17 Juni 1907); bergelar Ompu Pulo Batu adalah seorang penguasa di daerah Tapanuli, Sumatra Utara pada akhir abad ke-19. Dia wafat pada 17 Juni 1907 saat membela diri dari serangan pasukan Belanda. Makamnya berada di Soposurung, Balige setelah dipindahkan dari Tarutung. Nama Sisingamangaraja berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti singa dan mangaraja (maharaja). Asal Usul Sisingamangaraja, dinasti Sisingamangaraja XII, adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau, dah bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung. Kerajaan Raja Sisingamangaraja XII Perlu diketahui bahwa kerajaan Raja Singamangaraja XII yang diwarisinya dari leluhurnya bukanlah sebuah kerajaan dalam pengertian umum. Secara politik, beliau hanyalah raja negerinya sendiri, negeri Bangkara (diucapkan Bakkara). Setelah pendeta Ludwig Ingwer Nommensen membuka pos zending di Silindung maka Singamangaraja khawatir kekuasaan Belanda akan segera masuk ke Tanah Batak. Beliau menjadi pemimpin negeri-negeri Batak yang menentang penjajahan Belanda. Karena merasa terancam oleh Singamangaraja XII maka Nomensen minta agar Belanda mengirim pasukan untuk segera menaklukkan Silindung. Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman penginjil Ludwig Ingwer Nommensen, dan bersama-sama dengan penginjil Nommensen pasukan Belanda berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Si Singamangaraja yang merasa terprovokasi mengumumkan perang (pulas) pada tanggal 16 Februari. Dalam perang yang menjadi terkenal dengan Perang Toba (juga disebut Perang Batak atau Perang Singamangaraja), pasukan Belanda yang diperbantukan oleh pasukan Batak Kristen untuk memberantas perlawanan Singamangaraja, membakar puluhan kampung, termasuk Bangkara, kampungnya Singamangaraja XII sendiri. Singamangaraja terpaksa mengundurkan diri ke daerah Dairi dan dari situ ia berkali-kali menyerang Belanda hingga akhirnya ditembak mati dalam sebuah patroli Belanda di tengah hutan daerah Dairi pada tahun 1907 Gelar Gelar Singamangaraja adalah gelar kelompok turun temurun yang memiliki keistimewaan wibawa (sahala) raja iman dari cabang marga Sinambela, tinggal di Bangkara. Karena keistimewaan, keunggulan, kearifan yang berlangsung turun-temurun mereka dihormati sebagian besar orang Batak, khususnya dari belahan marga besar Sumba. Pahlawan nasional Indonesia ini yang disebut juga Ompu Pulo Batu adalah Singamangaraja yang keduabelas.

9. TEUKU UMAR

Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar. Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuangpejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap. Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn. Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda. Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899

10. CUT NYAK DIEN

Ia dikenal sebagai Pahlawan Aceh yang lahir pada tahun 1848 , merupakan anak dari bangsawan Teuku Nanta Setia dan Putri Uleebalang Lampagar . Cut Nyak Dien adalah seorang gadis yang cantik . Namun pada umur 12 tahun , ia telah dinikahkan oleh orang tuanya dengan Teuku Cak Ibrahim Lamnga pada tahun 1862 . Pernikahan mereka tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki . Pada tanggal 26 Maret 1873 , Belanda melepaskan tembakan meriam ke Aceh dan sekaligus menyatakan perang kepada Aceh . Pada perang tersebut , Aceh dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah , sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Kohler . Setelah kejadian tersebut , pada tanggal 8 April 1873 , Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dan hebatnya Belanda langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan serta merta membakarnya . Pada tanggal 29 Juni 1878 ketika suami Cut Nyak Dien , Ibrahim Lamnga , bertempur di Gle Tarum ia tewas di tangan Belanda . Kejadian itu membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda . Melihat kesendirian Cut Nyak Dien , salah satu tokoh pejuang Aceh , Teuku Umar , mencoba untuk melamar Dien ( panggilan Cut Nyak dien ) , tetapi pada awalnya di tolak , namun ketika Teuku Umar membolehkan Dien untuk ikut bertempur di medan perang , maka Cut Nyak Dien menerima lamaran itu dan mereka menikah . Pernikahan mereka dikarunian seorang anak yang diberi nama Cut Gamblang . Setelah itu Cut Nyak Dien memimpin perlawanan di daerah pedalaman Meulaboh bersama dengan pasukan kecilnya . Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 . Di sisi lain Cut Nyak Dien semakin tua , matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok . Hal ini membuat iba pasukannya yang bernama Pang Laot , sehingga ia melaporkan markasnya kepada Belanda di Beutong Lie Sageu . Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh . Di situ ia dirawat , penyakitnya seperti encok dan rabun mata berangsur membaik . Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk. Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu". Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964 .

Anda mungkin juga menyukai