Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PPKN

PAHLAWAN NASIONAL

Kelompok 5 :
 Reyzhard Yahuda
 Sadrak Wenda
 Setia Wenda
 Stan Yahuli
 Thea Kogoya
 Valint Samma
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
dengan hikmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan tugas ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu kami mohon maaf apabila ada kekurangan
dalam tugas kami ini.

Wamena, 07 Februari 2023.


1.Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640–1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya,
kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai
Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sulthan 'Abdul-Fattah al-Mafaqih.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa
(terletak di Kabupaten Serang).

2. Sultan Hasanuddin.

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada 12 Januari 1631. Dia lahir dari pasangan Sultan
Malikussaid, Sultan Gowa ke-15, dengan I Sabbe To’mo Lakuntu. Jiwa kepemimpinannya
sudah menonjol sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia juga pandai
berdagang. Karena itulah dia memiliki jaringan dagang yang bagus hingga Makassar, bahkan
dengan orang asing.

Hasanuddin kecil mendapat pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala. Sejak kecil ia sering
diajak ayahnya untuk menghadiri pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap
ilmu diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia dipercaya menjadi delegasi untuk
mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.

Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan urusan pertahanan Gowa.
Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat menjadi raja, yaitu saat berusia
24 tahun atau pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari
perbedaan tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya diteruskan oleh
Hasanuddin. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670 karena penyakit ari-ari.

3. Tuanku Imam Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah
seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan
yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803–1838.[1] Tuanku Imam Bonjol
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Syahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal
dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat
setempat, Muhammad Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam.[4] Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang
pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin)
bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Salah satu naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat
Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatra Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari
di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat.

4. Pangeran Diponegoro.

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (atau biasa dikenal dengan nama Pangeran
Diponegoro, 11 November 1785 – 8 Januari 1855) adalah salah seorang pahlawan nasional
Republik Indonesia, yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode
tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang
menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia
Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.

5. Kapiten Pattimura.

Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia, dikenal sebagai Kapitan Pattimura atau
Pattimura (8 Juni 1783 – 16 Desember 1817), adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang
berasal dari Haria, Saparua, Maluku.

Menurut buku "Kisah Perjuangan Pattimura" yang ditulis oleh M. Sapija, Pattimura
tergolong keturunan bangsawan dari Nusa Ina.

Kapitan Pattimura lahir sebagai Thomas Matulessy pada 8 Juni 1783 di Saparua. Leluhur
keluarga Matulessy berasal dari Pulau Seram. Turun-temurun mereka berpindah Moyang
Thomas Matulessy ke Titawaka (sekarang negeri Itawaka). Di antara turunannya ada yang
menetap di Itawaka, ada yang berpindah ke Ullath, dan ada yang berpindah ke Haria. Yang
di Haria menurunkan ayah dari Yohannis dan Thomas. ayah dari Thomas Matulessy yang
bernama Frans Matulessy lahir di Itawaka datang ke Negeri Haria belum menikah Ketika
ayah dari Thomas Matulessy menetap di Negeri Haria Ayah dari Thomas Matulessy tersebut
sudah tidak kembali lagi ke Itawaka dan menikah dengan Ibu dari Thomas yang bernama
Fransina Silahoi yang berasal dari Siri Sori Serani. Orang tua dari Thomas Matulessy
bernama Frans Matulessy dan Fransina Silahooi, dan dia memiliki seorang kakak laki-laki
bernama Yohannis Matulessy. “Keluarga Matulessy beragama Kristen Protestan. Nama
Yohannis dan Thomas diambil dari Alkitab,”.

6. I Gusti Ketut Jelantik.

I Gusti Ketut Jelantik (meninggal pada tahun 1849) adalah pahlawan nasional Indonesia
yang berasal dari Karangasem, Bali. Ia merupakan patih Kerajaan Buleleng. Ia berperan
dalam Perang Bali I, Perang Jagaraga, dan Perang Bali III yang terjadi di Bali pada tahun
1849. Ia gugur ketika peperangan berakhir, yaitu pada tahun 1849.

I Gusti Ketut Jelantik menjadi pemimpin dalam perlawanan terhadap invasi Belanda ke Bali,
perlawanan tersebut terjadi beberapa kali di Bali utara selama tahun 1846, 1848, dan 1849.
[2] Perlawanan ini bermula karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan
tawan karang yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk
mengambil kapal yang kandas di perairannya beserta seluruh isinya. Pada kala itu, Belanda
berusaha memanipulasi rempah rempah Bali dan melalui pelayaran Hongi, kapal Belanda
karam Di Bali. Kapal tersebut langsung ditawan oleh Kerajaan Buleleng. Ucapannya yang
terkenal ketika itu ialah "apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup, aku tidak akan
mengakui kekuasaan Belanda di negeri ini". Pada tahun 1849, ia melarikan diri dari serangan
Belanda di Buleleng. Dengan penguasa Buleleng, ia melarikan diri ke sekutu Karangasem,
tetapi ia akhirnya terbunuh oleh pasukan Lombok, sekutu Belanda.[2] Perang ini berakhir
sebagai suatu puputan, seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya bertarung mempertahankan
daerahnya sampai titik darah penghabisan. Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung
Batur, Kintamani dan pada pada saat inilah perjuangannya harus gugur. Setelah ia wafat,
perjuangan Raja-Raja Bali mulai mengalami kemunduran. Seluruh Bali dapat dikuasai
dengan mudah, hanya Bali Selatan saja yang masih melakukan perlawanan.

KATA PENUTUP
Sekian Tugas yang kami sampaikan ini, Semoga dapat bermanfaat bagi
kita semua. Kami sadar bahwa dalam pembuatan tugas ini masih ada
kesalahan, jadi kami mohon maaf apabila ada kesalahan.
Hidup kesepian tanpa kasih
Cukup sekian dan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai