Anda di halaman 1dari 5

PAHLAWAN NASIONAL YANG BERJUANG SEBELUM TAHUN 1908

1. SULTAN AGENG TRITAYASA

Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 –
meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60 - 61 tahun)[1] adalah Sultan
Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul
Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi
Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya[2]
yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten
periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya,
kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai
Sultan Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Sultan Ageng
Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di
Kabupaten Serang)
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak
perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng
Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia
mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya,
Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan
Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten),
Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack
dan Saint-Martin.
2. SULTAN HASANUDIN

Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12


Januari 1631 – meninggal di Gowa, Sulawesi Selatan, 12
Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16
dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan
nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama
pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni
Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid,
seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi
Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan
Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai
Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal
dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya,
ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang
artinya Ayam Jantan/Jago dari Timur. Ia dimakamkan di
Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1] Nominal seratus repes

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, merupakan putera I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng
Lakiyung Sultan Malikulsaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan
Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan
rempah-rempah. Kerajaan Gowa|GOWA merupakan kerajaan besar di wilayah timur
Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Cornelis Speelman|Laksamana Cornelis Speelman,


Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil
menundukkan Kerajaan Gowa|Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta,
ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur
untuk melawan Kompeni.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada


akhirnya Kerajaan Gowa|Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18
November1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa
dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak
Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai
tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar
menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos
benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan
Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12
Juni 1670.
3. TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia, 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda
dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1]
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal
dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat
setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin
dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum
Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu
Naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat Jalan
Diponegoro No.4 Padang Sumatera Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di
Dinas Kearsipan dan Perpustakàan Provinsi Sumatera Barat.
4. PANGERAN DIPONEGORO

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih


dikenal dengan nama Diponegoro, lahir di
Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 –
meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari
1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran
Diponegoro terkenal karena memimpin Perang
Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan
pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut
tercatat sebagai perang dengan korban paling
besar dalam sejarah Indonesia.

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari


Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11
November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa
kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya.[1]

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan


ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita
dalam hidupnya, yaitu:

 B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;


 R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden
Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
 R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
 R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu
isteri selir;
 R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain
ibu;
 R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang
Kepadhangan;
 R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
 R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
 Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar),
makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah
Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk
Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad
bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
5. KAPITAN PATTIMURA

Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 –
meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal
dengan nama Kapitan Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija
menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa
Ina (Seram)". Ayahnya yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama
orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram.

Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di
Ambon.

Anda mungkin juga menyukai