Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap
berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC Belanda. Saat
itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang dikenal
memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng Somba Opu.
Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa yang
dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha
menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan
Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada
tahun 1660.
Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang merupakan
kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang masih sangat kuat
membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan.
Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka berhasil
meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang tersebut berakhir
dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian dilakukan.
Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang
merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis dan
Leeuwin. Belanda pun marah besar.
Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran kerajaan
Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika itu dipimpin
oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis Speelman.
Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta Arung Palakka,
penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga total pasukan berjumlah
1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia menuju kerajaan Gowa pada bulan
November 1966.
Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa melawan Belanda yang dibantu oleh Arung
Palakka dari Bone. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk
menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667.
Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap Belanda.
Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir
Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat Sultan Hasanuddin mengakui
kekuasaan Belanda.
Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan
Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan Gowa dan wafat
pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Gowa di
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo'mo Tobo
merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan oleh I
Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang merupakan anak dari
Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan karaeng Galesong. Perjuangan
melawan Belanda selanjutnya dilakukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar hingga ke Jawa
membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten melawan Belanda.