Anda di halaman 1dari 3

Tugas bahasa Indonesia :

Isi dari buku yang pernah di baca ...

Judul : wali Sanga

Kategori : NOVEL

Wali Sanga merupakan para tokoh penyebar Agama Islam di tanah Jawa pada awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16. Wilayah tersebut terutama adalah Surabaya, Gresik serta Lamongan di Jawa
Timur, Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.

Setiap murid di sekolah, termasuk saya dan (mungkin) anda, mendapat pengetahuan Wali Sanga
adalah; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Sedikit siswa yang tahu Wali Sanga
terdiri dari beberapa periode, mereka tidak hidup pada kurun waktu yang sama. Sembilan orang
yang disebutkan adalah yang dianggap memiliki pengaruh paling kuat dalam penyebaran Islam,
tentunya dengan tidak mengecilkan arti yang lainnya.

Buku yang terdiri dari tiga belas pupuh ini mengisahkan bagaimana penyebaran Islam di Jawa seiring
dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat serangan Demak pada Tahun 1478. Penulis mampu
menggambarkan suasana bagaimana runtuhnya sebuah kerajaan besar dalam kalimat-kalimat
menawan. Contohnya, "Orang-orang Atas Angin telah merajai lautan. Kebesaran Majapahit
merosot. Lautan, kunci utama utama kebesaran Majapahit, kini telah dikuasai mereka. Carbon,
Dermayu, Pergota, Demak, Jepara, Lasem, Pamotan, Tandhes, Ujung Galuh semuanya telah
dikuasai."

Saat itu para pemuka agama mulai mencampuri urusan administrasi negara atau urusan
ketatanegaraan yang harusnya menjadi wewenang kesatria. Setiap kali para wali betemu, mereka
seakan sekumpulan mantri kerajaan, sibuk membahas kekuasaan.

Syekh Siti Jenar yang tidak setuju dengan sikap tersebut memutuskan keluar dari perkumpulan
pemuka agama tersebut. Konon dari sanalah istilah Wali Sanga bersumber. Keluarnya Syekh Siti
Jenar membuat perpecahan dalam tubuh Wali Sanga serta membuat suasana kian memanas di Bumi
Jawa.

Bagaimana suasana tidak bergejolak. Sunan Giri selaku pemimpin para wali memerintahkan
pembakaran lontar leluhur Siwa Budha yang masih disimpan oleh para penduduk penganutnya.
Umumnya lontar tersebut berisi tata cara upacara yang rumit, tak mungkin dihafalkan. Para prajurit
yang mengambil paksa lontar dari rumah penduduk jelas menimbulkan keresahan.
Dibandingkan dengan film dengan judul sama, buku ini jelas menawarkan cerita yang berbeda. Sosok
Sunan Kali Jaga , yang dalam buku ini disebut Susuhunan Kali misalnya. Dalam film , sang sunan, yang
merupakan putra adipati Tuban, Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur hanya diceritakan suka
mencuri dan merampok untuk diberikan kepada rakyatnya yang membutuhkan. Sementara dalam
buku ini dikisahkan betapa liarnya Susuhunan Kali alias Raden Said alias Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman hingga akhirnya menjadi murid Sunan Bonang. Ada
perbedaan versi, tapi semuanya berpulang pada keyakinan pembaca masing-masing.

Susuhunan Kali sangat toleran pada budaya lokal. Beliau berpendapat bahwa masyarakat akan
menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil
mempengaruhi. Dahwah dilakukan melalui kesenian misalnya wayang. Konon lagu Ilir-ilir dan
Gundul-gundul Pacul merupakan gubahan beliau. Begitu juga dengan pencetus perayaan sekatenan,
garebeg maulud, serta lakon Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”).

Peran Susuhunan Kali dalam buku ini tergambar begitu besar. Simak kalimat berikut, “Di layar ikatan
Susuhunan Kali, seketika terbayang perjanjian yang dibuatnya dengan Sabda Palon di tlatah
Blambangan, tak lama setelah Majapahit hancur. Perjanjian yang menegaskan bahwa penguasaan
atas Nusantara diserahkan kepada mereka yang seagama dengan Susuhunan Kali, dan Nusantara
harus dimakmurkan. Jika sampai lima ratus tahun kemudian kemakmuran belum menghampiri
Nusantara, maka Sabda Palon akan menagih janjinya. Susuhunan Kalijaga harus bekerja keras untuk
itu.” (halaman 320-321)

Secara garis besar, buku ini memberikan pemcerahan dan pemahaman yang berbeda mengenai
penyebaran Islam di Pulau Jawa, sosok para wali serta Syekh Siti Jenar. Penulis menguraikan sejarah
dengan bahasa yang mudah dipahami. Terpenting tidak berkesan menggurui dan membosankan.
Lokasi yang berpindah-pindah bukan menjadi kendala menikmati kisah ini.
Sinopsis novel WALI SANGA.

Ketika Majapahit hancur oleh serangan Dêmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan
pergolakan. Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran. Majelis Wali Sanga,
selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di pesisir utara, mulai merambah
ranah politik. Bahkan Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha,
yang masih banyak disimpan penduduk Jawa. Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan
sebagai pencerah dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti Jênar menyatakan diri
keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.

Dalam pada itu, di Jawa belahan timur, kerajaan-kerajaan pecahan Majapahit mencoba terus
bertahan. Salah satunya adalah Daha. Pada tahun 1486 Daha menggempur Majapahit, yang berada
dalam kuasa Dêmak. Sejak itu ia menyatakan diri sebagai Majapahit baru yang lepas dari
cengkeraman Dêmak. Dan Dêmak ternyata tak bisa berbuat apa-apa karena ia sibuk
mengembangkan kekuatan maritimnya. Dêmak berhasrat menjadi penguasa Nusantara layaknya
Majapahit, yang berjaya di lautan.

Tetapi yang paling ditakuti Dêmak bukanlah Daha, melainkan justru ahli waris takhta Majapahit di
Jawa belahan tengah, Ki Agêng Pêngging. Ia pun menjadi ancaman Giri Kêdhaton, kerajaan bercorak
Islam di Jawa belahan timur. Ditambah perselisihan dalam Majelis Wali Sanga antara Sunan Giri dan
Syekh Siti Jênar, sosok berpengaruh yang sangat dekat dengan Ki Agêng Pêngging, Dêmak merasa
keberadaannya makin terjepit. Novel ini membabar konflik-konflik di tanah Jawa sepanjang tahun
1493-1494, yang sangat jarang dikisahkan.

Anda mungkin juga menyukai