Disusun Oleh :
Kelompok 4 :
1. DITA RAMAHDANI
2. NADIA AZZAHRA
3. M. SADAM A
4. BAYU ILHAM APRILIO
5. M. RIZKY MAISAPUTRA
6. CHOLDI ANSYAH
Kelas : X IPS 4
PENDAHULUAN
KERAJAAN BULELENG
A. Latar Belakang
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan ini berkembang pada
abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa. Keterangan
mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa dapat
dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan, dan Melatgede.
Den Bukit. I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde
Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg
berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari
lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan
menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12
tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan
Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa
(Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng
mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleleng adalah suatu
kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17. Menurut berita Cina di
sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan
dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling.
Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi
dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan
yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.
Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa
tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
Udayana, masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebutwanua. Sebagaian
besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua
dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi masyarakat.
Pada masa pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu golongancaturwarna dan golongan luar kasta (jaba). Pembagian ini
didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga
mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan nama
pengenal sebagai berikut.
1) Anak pertama dinamakan wayan. Kata wayan berasal dari wayahan yang berarti tua.
2) Anak kedua dinamakan made. Kata made berasal dari madya yang berarti tengah.
3) Anak ketiga dinamakan nyoman. Kata nyoman berasal dari nom yang berarti muda.
4) Anak keempat dinamakan ketut. Kata ketut berasal dari tut yang berarti belakang.
Selama pemerintahan Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil.
Masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat,
mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut
membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya.
Jiwa seperti inilah yang saharusnya dilakukan pemimpin pada saat itu. Jika Anda menjadi
seorang pemimpin, Anda harus mendegar dan merespons segala keluhan rakyat.
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng. Akan tetapi, tardisi
megalitik msih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan
penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura Hindu.
Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai
berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti
Pejeng, Bedulu, dan Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai
dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa di pura
Pegulingan.
Agama Hindu dan Buddha mulai medapatkan peranan penting pada masa Raja
Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu
penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan (inkarnasi)
dewa. Dalam prasasti Pohon Asem dijelaskan Anak Wungsu merupakan penjelmaan Dewa
Hari (Wisnu). Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng
merupakan penganut waisnawa, yaitu pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan Buddha,
di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu, misalnya
sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora (penyembah dewa Matahari).
Kerajaan Buleleng berpusat di Buleleng, Bali bagian utara. Letaknya yang berada di
pesisir menyebabkan Buleleng banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Sumatra dan Jawa.
Karakteristik wilayah Buleleng dibagi menjadi dua, yaitu dataran rendah di bagian utara dan
dataran tinggi di bagian selatan. Menyatunya pantai dan pegunungan ini menyebabkan
penduduk di Buleleng selalu menjunjung tinggi semboyan nyegara gunung. Konsep nyegara
gunung berarti segala pemberian alam maupun dari laut maupun gunung wajib disyukuri dan
selalu dijaga kesuciannya.
H. Peninggalan Kerajaan Buleleng
1. Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah
tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang
merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan
dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa.
Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah
Sanur, Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris
tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-
Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan
menggunakan bahasa Sanskerta.
Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula
tempat pemujaan dan beberapa arca kuno.
2. Prasasti Panempahan,
3. Prasasti Melatgede
4. Pura Tirta Empul
Sejarah pura tersebut yang terletak di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada
tahun 967 M (Tahun Caka : 889) oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura atau
Tempat suci ini, digunakan beliau untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari
keterikatan dunia materi, melakukan tapa, brata, yoga, semadi, dengan spirit alam
sekitarnya.
Penamaan Pura Tirta Empul yang dijelaskan dalam Babad Bali, adalah kemungkinan
besar diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta
Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara etimologi bahwa Tirta Empul
artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air
suci yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai
Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Air
suci yang ada di pura ini, sebagaimana disebutkan dalam purana bali dwipa,
berfungsi untuk memusnahkan racun yang disebarkan oleh Mayadenawa. Sehingga
Pura Tirta Empul ini digunakan untuk upacara melukat seperti penjelasan dalam tata
cara melukat / meruwat di Pura Tirta Empul, Tampak Siring.
5. Pura Penegil Dharma
Pura Penegil Dharma | sejarah pendirian pura ini dimulai pada 915 Masehi yang
keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang
anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.
I. Kemunduran Kerajaan Buleleng
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kerajaan ini pada suatu saat di taklukan oleh kerajaan lain. Dugaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa berita China hanya sekali saja menyebut kerajaan ini.
Kemudian, Tome Pires pengembara dari Portugis, dalam perjalanannya mencari rempah-
rempah di kepulauan Nusantara pada tahun 1512--1515, juga menyebut-nyebut
Tulangbawang. Berkaitan dengan inilah maka sejak beberapa tahun Ikatan Arkheologi
Indonesia, terus melakukan penelitian berkenaan dengan Kerajaan Tulangbawang.
B. LETAK KERAJAAN
D. RUMUSAN MASALAH
E. TUJUAN LAPORAN
di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang
Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan
tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa
makam tokoh-tokoh serta beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah
selatan Pulau Sumatera ini.
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang Bawang.
Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini terletak di hulu Way
Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa, kurang lebih dalam radius 20
kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota Menggala. Meski belum di dapat kepastian
letak pusat pemerintahan kerajaan ini, namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga
setempat, pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung
Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang
sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat,
pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang.
Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan pada suatu masa
ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu sudah terlanjur menjadi identitas
Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia modern. Pertanyaan-pertanyaan yang selanjutnya
mengemuka adalah bagaimana asal mula Kerajaan Tulang Bawang, di mana pusat
kerajaannya, siapa raja yang memerintah dan siapa pula pewaris tahtanya hingga sekarang.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber.
Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan
pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713).
Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi
ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia
menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Berdasarkan
catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina menyebutkan, dalam lawatannya ia
pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di mana di tempat itu, walau kehidupan
sehari-hari penduduknya masih bersipat tradisional, tapi sudah bisa membuat kerajinan
tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi. Warganya ada pula yang dapat membuat
gula Aren yang bahannya dari pohon Aren.
Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang Bawang
salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan Tulang Bawang yang hingga
kini belum di dapat secara mutlak, baik keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan-
peninggalannya, bahkan abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sipat-sipat ini sama
halnya dengan sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya.
Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan tulangnya. Riwayat
kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang Bawang ini banyak musuh. Semua musuh-
musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat pembuangan mayat ini di bawang atau lebak-
lebak yang akhirnya tertimbunlah mayat-mayat tersebut didalamnya, sampai tinggal
tumpukan tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-lebak di sungai ini, maka di sebut
Sungai Tulang Bawang. Riwayat ketiga, pada zaman raja Tulang Bawang yang pertama
sekitar abad ke IV masehi, dikisahkan permaisuri raja menghanyutkan bawang di sungai,
yang sekarang di kenal dengan sebutan Way (Sungai) Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri
itu menyumpah-nyumpah “Sungai Bawang” lah ini. Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan
Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip, 1976).
Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban
Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan
Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari
Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang
melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu
dan Buai Aji.
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan
lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan
lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan
pengaruh dari Kepaksian Skala Brak. Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu
pemerintahan demokratis yang di kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa
Lampung di sebut mego/megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada
waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama
kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun
adalah orang yang dimulyakan.
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut
dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah
barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah
berkuasa, baik di laut maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai
meningkatkan kekuasaannya. Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para
ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh
karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh
Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung. Seiring
dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran
Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah
pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan
wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal mengenai
catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
http://id.scribd.com/doc/188009330/Kerajaan-Buleleng-Dan-Dinasti-Warmadewa
http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Blanjong
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/wisata-budaya-puri-gede-
buleleng.html
http://sejarahbabadbali.blogspot.com/2013/09/dinasti-warmadewa.html
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/pura-tirta-empul.html
http://sr.rodovid.org/wk/Посебно:ChartInventory/777059
http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/uploads/2012/09/Buleleng.jpg