Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
KERAJAAN BULELENG
A. Latar Belakang
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan ini
berkembang pada abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh
Dinasti Warmadewa. Keterangan mengenai kehidupan masyarakat
kerajaan Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa dapat dipelajari dari
beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong. Panempahan, dan
Melatgede.
Den Bukit. I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I
Gusti Gde Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir
bernama Si Luh Pasek Gobleg. Berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit,
I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari lahir, I Gusti Ngurah
Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan
menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji
yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal
ibunya, Desa Panji.
1 Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya
Kerajaan
Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur
pulau Jawa
(Blambangan). Setelah 1 Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun
1704, Kerajaan Buleleng
Mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun ingin mengetahui:
1. Bagaimana kehidupan politik masyarakat kerajaan Buleleng 2.
Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan
Buleleng?
2. Bagaimana kehidupan ekonomi masyarakat kerajaan Buleleng?
3. Bagaimana kehidupan agama masyarakat kerajaan Buleleng?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas Sejarah serta
1. Memahami kehidupan politik masyarakat kerajaan Buleleng

2. Memahami kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan


Buleleng
3. Memahami kehidupan ekonomi masyarakat kerajaan
Buleleng
4. Memahami kehidupan agama masyarakat kerajaan Buleleng

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Buleleng


Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan
Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan
sekitar pertengahan abad ke-17. Menurut berita Cina di
sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-
tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-
pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya,
penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang
meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam
mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan
yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan
Bali telah berkembang.
B. Kehidupan Politik Kerajaan Buleleng

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa.


Berdasarkan prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa
merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal
menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan
tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi
ke Bali dan mendirikan sebuah pemerintahan baru di wilayah
Buleleng.

Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh


Udayana Warmadewa. Udayana memiliki tiga putra, yaitu
Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak,
Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang
Kamulan di Jawa Timur. Menurut prasasti terdapat di pura batu
Madeg. Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti
Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena
permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni
merupakan keturunan Mpu Sindok. Kedudukan Raja Udayana
digantikan putranya, yaitu Marakatapangkaja.
Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai
sumber kebeneran hukum i karena ia selalu melindungi
rakyatanya. Marakatapangkaja membangun beberapa tempat
peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan
Marakatapangkaja adalah kompleks candi di Gunung Kawi
(Tampaksiring). Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan
oleh adiknya. Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan raja
terbesar dari Dinasti Warmadewa Anak Wungsu berhasil
menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai
gangguan, baik dari dalam maupun luar kerajaan.

C. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Buleleng


Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada
masa Dinasti Warmadewa tidak begitu jauh berbeda dengan
masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan Udayana,
masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang
disebutwamua. Sebagaian besar penduduk yang tinggal di
wanna bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua
dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu
mengayomi masyarakat. Pada masa pemrintahan Anak
Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu golongancaturwarna dan golongan luar kasta
(jaba). Pembagian ini. didasarkan pada kepercayaan Hindu
yang dianut masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga
mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua,
ketiga, dan keempat dengan nama. pengenal sebagai berikut.
1) (2) 3) Anak pertama dinamakan wayan. Kata wayan berasal
dari wayahan yang berarti tun, Anak kedua dinamakan made.
Kata made berasal dari madya yang berarti tengah. Anak ketiga
dinamakan nyoman. Kata nyoman berasal dari nom yang
berarti muda. 4) Anak keempat dinamakan ketut, Kata ketut
berasal dari tut yang berarti belakang. Selama pemerintahan
Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil.
Masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin
menyampaikan pendapat, mereka didampingi pejabat desa
untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut
membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib
rakyat yang dipimpinnya. Jiwa seperti inilah yang saharusnya
dilakukan pemimpin pada saat itu. Jika Anda menjadi seorang
pemimpin, Anda harus mendegar dan merespons segala
keluhan rakyat. Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan
berbagai kegiatan kesenian. Kesenian berkembang pesat pada
masa pemerintahan Raja Udayana. Pada masa ini kesenian
dibedakan menjadi dua, yaitu seni keraton dan seni rakyat.
Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana yang disebut
pagending sang ratu. Selain penyanyi dikenal pula kesenian
patapukan (topeng), pamukul (gamelan), banwal (gadelan),
dan pinus (lawak). Adapun jenis kesenian yang berkembang di
kalangan rakyat antara lain awayang ambaran (wayang
keliling), andling (peniup suling), atapukan (permainan topeng),
parpadaha (permainan genderang), dan abonjing (permainan
angklung). D. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Buleleng Kegiatan
ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor
pertanian. Keterangan kehidupan ekonomi masyarakat
Buleleng dapat dipelajari dari prasasti Bulian. Dalam prasasti
Bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan
sisitem bercocok tanam seperti sawah, parlak (sawah kering),
gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang di pegunungan).
dan kasuwakan (pengairan sawah). Pada masa pemerintahan
Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang pesat.
Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut
urutan menanam padi, yaitu mbabaki (pembukaan tanah),
mluku (membajak), tanem (menanam padi), matun
(menyiangi), ani-ani (menuai padi), dan nutu (menumbuk
padi). Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa
pemerintahan Marakatapangkaja penggarapan tanah sudah
maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada
masa ini. Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup
maju. Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya saudagar yang
bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan
penduduk Buleleng, Komoditas dagang yang terkenal dari
Buleleng adalah kuda. E. Kehidupan Agama Kerajaan Buleleng
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat
Buleleng. Akan tetapi, tardisi megalitik msih mengakar kuat
dalam masyarakat Buleleng Kondisi ini dibuktikan dengan
penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden
berundak di sekitar pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan
Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai
berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di
beberapa tempat di Buleleng seperti Pejeng. Bedulu, dan
Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng
ditandai dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca
Buddha di gua Gajah dan stupa di pura Pegulingan. Agama
Hindu dan Buddha mulai medapatkan peranan penting pada
masa Raja Udayana, Pada masa ini pendeta Syiwa dan
Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu penasihat raja.
Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan
(inkarnasi) dewa. Dalam prasasti Pohon Asem dijelaskan Anak
Wungsu merupakan penjelmaan Dewa Hari (Wisnu). Bukti ini
menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng
merupakan penganut waisnawa, yaitu pemuja Dewa Wisnu.
Selain agama Hindu dan Buddha, di Buleleng berkembang
sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu,
misalnya sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora
(penyembah dewa Matahari). F. Sistem Pemerintahan
Kerajaan Buleleng Berikut merupakan raja-raja yang
memerintah Buleleng: a 882M-914M Shri Kesari Warmadewa
Raja dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Shri Kesari
Warmadewa [ yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan
Singhal yang dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke
Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal
dari Sriwijaya(Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau
dari Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara( tahun 686)
dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah Semarang
sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan
raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan
raja berwangsa Syailendra( dinasti Warmadewa) terus
berlanjut sampai ke Bali.. b. 915M-942M Shri Ugrasena
Setelah pemerintahan Sri Kesari Warmadewa berakhir,
tersebutlah seorang raja bernama Sri Ugrasena memerintah di
Bali. Walaupun Baginda raja tidak memepergunakan gelar
Warmadewa sebagai gelar keturunan, dapatlah dipastikan,
bahwa baginda adalah putra Sri Kesari Warmadewa. Hal itu
tersebut di dalam prasasti-prasasti (aantara lain Prasasti
Srokadan) yang dibuat pada waktu beliau. memerintah yakni
dari tahun 915 s/d 942, dengan pusat pemerintahan masih
tetap di Singha-Mandawa yang terletak di sekitar desa Besakih.
Prasasti-Prasasti itu kini disimpan di Desa Babahan, Sembiran,
Pengotan, Batunya (dekat Danau Beratan), Dausa. Serai
(Kintamani), dan Desa Gobleg. 943M-961M Shri Tabanendra
Warmadewa Baginda raja Sri Tabanendra Warmadewa yang
berkuasa di Bali adalah raja yang ke tiga dari keturunan Sri
Kesari Warmadewa. Baginda adalah putra Sri Ugrasena, yang
mewarisi kerajaan Singhamandawa. Istri Baginda berasal dari
Jawa, adalah seorang putri dari Baginda Raja Mpu Sendok yang
menguasai Jawa Timur. Di dalam prasasti yang kini tersimpan
di Desa Manikliyu (Kintamani), selain menyebut nama Baginda
Sri Tabanendra Warmadewa, dicantumkan pula nama Baginda
Putri. Beliau memerintah dari tahun 943 s/d 961. d. 961M-
975M Shri Candrabhaya Singha Warmadewa 975M-983M Shri
Janasadhu Warmadewa 983M-989M Shri Maharaja Sriwijaya
Mahadewi 989M-101IM Shri Udayana Warmadewa
(Dharmodayana Warmadewa)- Gunaprya Dharmapatni h. Shri
Udayana Warmadewa, menurunkan tiga putra: 1. Airlangga 2.
Marakata 3. Anak Wungsu i. 1011M-1022M Shri
Adnyadewi/Dharmawangsa Wardhana j. 1022M-1025M Shri
Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja k 1049M-1077M
Anak Wungsu 1079M-1088M Shri Walaprabu m. 1088M
1098M Shri Sakalendukirana n. 1115M-1119M Shri Suradhipa
G. Kondisi Geografis dan Wilayah Buleleng Kerajaan Buleleng
berpusat di Buleleng. Bali bagian utara. Letaknya yang berada
dil pesisir menyebabkan Buleleng banyak disinggahi kapal-
kapal dagang dari Sumatra dan Jawa. Karakteristik wilayah
Buleleng dibagi menjadi dua, yaitu dataran rendah di bagian
utara dan dataran tinggi di bagian selatan. Menyatunya pantai
dan pegunungan ini menyebabkan penduduk di Buleleng selalu
menjunjung tinggi semboyan nyegara gunung. Konsep nyegara
gunung berarti segala pemberian alam maupun dari laut
maupun gunung wajib disyukuri dan selalu dijaga kesuciannya.
H. Peninggalan Kerajaan Buleleng

1.Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang
memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali, Pada
prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan
sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913
M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri
Kesari Warmadewa Prasasti Blanjong ditemukan di dekat
banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar,
Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris
tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam
huruf; yaitu huruf Pra Nagari dengan menggunakan bahasa Bali
Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang
melingkupi pula
Tempat pemujaan dan beberapa area kuno.
Prasasti Panempahan,
23 3. 4
Prasasti Melatgede Pura Tirta Empul
Sejarah pura tersebut yang terletak di daerah Tampaksiring Bali
dibangun pada tahun 967 M (Tahun Caka: 889) oleh raja Sri
Candrabhaya Warmadewa. Pura atau Tempat suci ini,
digunakan beliau untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari
keterikatan dunia materi, melakukan tapa, brata, yoga, semadi,
dengan spirit alam
Sekitarnya.
Penamaan Pura Tirta Empul yang dijelaskan dalam Babad Bali,
adalah kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang
terdapat didalam pura ini yang bernama Tirta Empul seperti
yang telah disebutkan diatas. Secara etimologi bahwa Tirta
Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka
Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari
tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang
aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Air
suci yang ada di pura ini, sebagaimana disebutkan dalam
purana bali dwipa, berfungsi untuk memusnahkan racun yang
disebarkan oleh Mayadenawa. Sehingga Pura Tirta Empul ini
digunakan untuk upacara melukat seperti penjelasan dalam
tata cara melukat / meruwat di Pura Tirta Empul, Tampak
Siring.
5.Pura Penegil Dharma
Pura Penegil Dharma sejarah pendirian pura ini dimulai pada
915 Masehi yang
Keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang
Ugrasena, salah seorang
Anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi
Markandeya di Bali.

1. Kemunduran Kerajaan Buleleng


Kemunduran kerajaan Buleleng disebabkan oleh :
L Belanda mengajukan syarat kepada Raja Buleleng untuk
menghancurkan
Bentengnya sendiri dan tidak boleh mendirikan lagi.
2. Raja Buleleng harus mengganti kerugian perang % biaya
yang dikeluarkan
Belanda.
3. Raja Karangasem juga mengganti kerugian dari biaya pihak
Belanda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. 2. Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Pada
masa pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi
menjadi dua
Kelompok besar, yaitu golongan caturwarnadan golongan luar kasta (jaba).
Pada masa Raja Udayana, kesenian dibedakan menjadi dua, yaitu seni keraton
dan seni
3.Rakyat Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor
pertanian. 4.
Masyarakat Buleleng didominasi Agama Hindu Syiwa.
B. Saran
Dengan keberadaan kerajaan-kerajaan yang terlahir di Indonesia, kita harus
bisa mengapresiasi peninggalan-peninggalan yang menjadi sumber ilmu
pendidikan dari generasi ke generasi. Upaya pengapresiasian itu sendiri dapat
dengan melestarikannya. Memeliharanya, dan tidak merusaknya. Jika kita
dapat berpartisipasi dalam upaya tersebut, berarti kita mengangkat derajat
dan jati diri bangsa. Dengan begitu kita dapat menanamkan rasa nasionalisme
terhadap negara Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
KERAJAAN TULANG BAWANG
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara. Tulang Bawang
digambarkan merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia, disamping
kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai, dan Tarumanegara. Meskipun belum banyak
catatan sejarah yang mengungkapkan keberadaan kerajaan ini, namun catatan
Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke-4 seorang pejiarah Agama
Budha yang bernama Fa-Hien, pernah singgah di sebuah kerajaan yang
makmur dan berjaya, To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang) di pedalaman
Chrqse (pulau emas Sumatera). Sampai saat ini belum ada yang bisa
memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W.
Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang
Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km
dari pusat kota Menggalang
Kerajaan Tulang Bawang belum diketemukan situsnya, baik berupa
peninggalan berupa candi, ataupun peninggalan lainnya, khususnya di
Tulangbawang. Padahal, para peneliti dari Ikatan Arkheologi Indonesia terus
melakukan kajian berdasarkan benda benda peninggalan bersejarah. Namun,
para arkeolog mengaku kerajaan Tulang bawang memang ada. Dari catatan
musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I
Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha pernah singgah di To Lang
P’o-Hwang (Tulangbawang), suatu kerajaan di pedalaman (Sumatera). Namun,
Tulangbawang lebih merupakan satu kesatuan adat Tulangbawang yang
pernah mengalami kejayaan pada abad VII M.
Kerajaan ini pada suatu saat di taklukan oleh kerajaan lain. Dugaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa berita China hanya sekali saja menyebut
kerajaan. Kemudian, Tome Pires pengembara dari Portugis, dalam
perjalanannya mencari rempah rempah di kepulauan Nusantara pada tahun
1512-1515. Juga menyebut-nyebut Tulangbawang Berkaitan dengan inilah
maka sejak beberapa tahun Ikatan Arkheologi Indonesia, terus melakukan
penelitian berkenaan dengan Kerajaan Tulangbawang
B. LETAK KERAJAAN
Kerajaan Tulang Bawang terletak di Lampung Kerajaan ini berlokasi di sekitar
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tidak banyak catatan sejarah yang
memberikan keterangan mengenai kerajaan ini.
C. SUMBER SEJARAH
Adapun peninggalan-peniggalan Kerajaan Tulang Bawang ini tidak seperti
Peninggalan-peninggalan Kerajaan-kerajaan lain, seperti Batu-batu bertulis,
Keris, Babat lama, Benda-benda purba tidak ada kesemuanya dan inilah yang
menyebabkan kesukaran-kesukaran kita menggali Kerajaan ini dalam
memberikan penemuan yang sebenarnya, dan inilah sebabnya penulis pada
pembukaan Cerita Riwayat Sejarah Kerajaan ini, mengatakan ia mempunyai
sifat-sifat khas ketentuan-ketentuan khusus.
D. RUMUSAN MASALAH
-Apa itu Kerajaan Tulang Bawang?
- Bagaimana perkembangan Kerajaan Tulang Bawang?
- Mengapa bisa disebut Kerajaan Tulang Bawang?
E. TUJUAN LAPORAN
Tujuan dalam pembuatan laporan pada kerajaan Tulang Bawang yaitu
-untuk lebih mengetahui tentang kerajaan Tulang Bawang
-Untuk lebih menambah ilmu tentang sejarah yang ada di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAAN
Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan pemerintah Provinsi
Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian sejarah
yang hilang’ tersebut. Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum
dapat dilaçak keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan
menggali jejak-jejak peninggalannya perlu terus dilakukan.
Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah kebudayaan dan perdagangan
dit Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu
kerajaan tertua di Indonesia...
Di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan,
Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa)
ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu dibuktikan dari
sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta beberapa
keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan i daerah selatan Pulau
Sumatera ini.
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang
Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini
terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa,
kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota
Menggala. Meski belum di dapat kepastian. Letak pusat pemerintahan
kerajaan ini, namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat,
pemerintahannya diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung
Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang
Tengah, yang sekarang tempat itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten
Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang
Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan pada suatu
masa ada sebuah kerajaan besar di Lampung Kerajaan itu sudah terlanjur
menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia modern.
Pertanyaan-pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal
mula Kerajaan Tulang Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang
memerintah dan siapa pula pewaris tahtanya hingga sekarang.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber.
Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik
perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari
Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa
Dinasti Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming
dan beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an, Dia menerjemahkan kitab
agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina. Berdasarkan catatan
dari I-Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina menyebutkan, dalam
lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di mana di
tempat itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya masih bersipat
tradisional, tapi sudah bisa membuat kerajinan
Tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi. Warganya ada pula yang
dapat membuat gula Aren yang bahannya dari pohon Aren.
Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan
perkembangan kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada
pertengahan abad ke 4 maschi seorang penziarah agama Budha bernama Fa-
Hien (337-422) pernah melawat ke Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien
melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia justru terdampar dan
singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang),
tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut
menjelaskan akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia
tidak menyebut di mana persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.
Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang
Bawang salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan
Tulang Bawang yang hingga meny kini belum di dapat secara mutlak, baik
keraton maupun rajanya, demikian juga peninggalan peninggalannya, bahkan
abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan, sipat-sipat ini sama halnya dengan
sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di mana tulangnya.
Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan
tulangnya. Riwayat mang kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang
Bawang ini banyak musuh. Semua musuh musuhnya itu harus dibunuh. Karena
tempat pembuangan mayat ini di bawang atau lebak lebak yang akhirnya
tertimbunlah mayat-mayat tersebut didalamnya, sampai tinggal tumpukan
tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-lebak ini, maka di sebut i
sungai ini, maka Sungai Tulang Bawang. Riwayat ketiga, pada zaman raja
Tulang Bawang yang pertama sekitar abad ke IV maschi, dikisahkan permaisuri
raja menghanyutkan bawang di sungai, yang sekarang di kenal dengan sebutan
Way (Sungai) Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri itu menyumpah-nyumpah
“Sungai Bawang” lah ini. Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan Sungai
Tulang Bawang atau Kerajaan Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip, 1976).
Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari
peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai
Tegamoan, Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah
Buai Bulan, yang jelas bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan
merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang melakukan migrasi ke
daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpur dan Buai
Aji
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan
lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan
kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya
atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak. Semasanya,
daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di kenal
dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou
dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya
pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama.
Kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta.
Sedangkan pon pun adalah orang yang dimulyakan.
Meningkatnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di
sebut dalam sebuah inskripsi batu tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit
Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang mengatakan bahwa pada
tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut maupun di darat.
Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan
kekuasaannya. Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para
ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan
Jawa. Oleh karenanya, diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang
sudah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di
pantai timur Lampung. Seiring dengan makin berkembangnya Kerajaan Che-Li
P’o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi
sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan bertambah pesatnya kejayaan
Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan maritim dengan
wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci prihal
mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang.
Sumber lain menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau
gabungan. Antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung).
Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat.
Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut menyingkir ke Skala
Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan
menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis. Pada abad
ke 7 maschi, nama Tola P’ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang
kemudian di kenal dengan nama Lampung.

BAB III
KESIMPULAN
PENUTUP
Kerajaan Tulang Bawang digambarkan merupakan salah satu kerajaan tertua di
Indonesia, disamping kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai, dan Tarumanegara.
Kerajaan Tulang Bawang terletak di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Adapun peninggalan-peniggalan
Kerajaan Tulang Bawang ini tidak seperti Peninggalan-peninggalan Kerajaan-
kerajaan lain, seperti Batu-batu bertulis, Keris, Babat lama. Sumber lain
menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara
Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung)
A. NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG
Kerja keras rakyat tulang mempertahankan kerajaannya hingga akhirnya
kerajaan tulang bawang diambil alih oleh kerajaan sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai