KERAJAAN BALI
Disusun oleh:
Natalia Puspadiwani
NIM. 13030119130080
Pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh letaknya yang tidak jauh dari Pulau Jawa, tepatnya
berada di sebelah timur Pulau Jawa. Saat ini diyakini bahwa Hinduisasi di Bali disebabkan
oleh pertukaran kulturan dan perdagangan dengan Jawa sejak masa lampau yang dipercepat
dengan semakin bertumbuhnya pengaruh Sriwijaya di Jawa Tengah.1 Namun, Hinduisasi di
Pulau Bali masih menjadi objek yang kabur. Keterangan yang diperoleh mengenai Bali
sangatlah sedikit karena tidak banyak prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali. Prasasti
yang ditemukan biasanya hanya memakai unsur-unsur penanggalan dan juga angka tahun
tanpa menyebut nama raja yang mengeluarkan prasasti tersebut. Tipe prasasti-prasasti
tersebut biasanya adalah yumu pakatahu karena kalimat awalnya menggunakan perkataan
yumu pakatahu yang berarti “ketahuilah oleh kamu sekalian”.
Prasasti pertama yang menyebut nama seorang raja ditemukan di Sanur dan berangka
tahun 914 M. Melalui prasati tersebut diketahui bahwa telah ada sebuah kerajaan di Pejeng
dan nama rajanya adalah Sri Kesari Warmadewa. Lalu ada delapan buah prasasti dengan tipe
yumu pakatahu yang menyebut nama Sang Ratu Sri Ugrasena dan juga menyebut
panglapuan2 di Singhamandawa. Letak Singhamandawa belum dapat disebutkan secara pasti.
Kemungkinan letaknya di antara Kintanami (danau Batur) dan pantai Sanur (Belanjong) atau
di antara aliran sungai Patanu dan Parekisan karena di tepi kedua sungai persebut terdapat
beberapa sisa bangunan kuno. Namun, dapat diperkiran bahwa wilayah kekuasaannya cukup
1 Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia,
(Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009), hlm. 423.
2 Panglapuan berarti tempat melapor (pelaporan) dan berasal dari kata lapuh (lapu) yang berarti lapor.
luas karena prasasti-prasasti tersebut ditemukan di beberapa daerah, yakni di Babahan,
Sembiran, Pentongan, dan Batunhya.
Mulai 955 M, garis kedinastian semakin jelas dengan adanya penggunaan
Warmadewa (pelindung agung) untuk menandai garis keturunan para raja.3
Integrasi yang lebih besar antara masyarakat Bali dan Jawa juga ditandai dengan
pernikahan Udayana dengan Mahendratta (Gunapriya) yang merupakan putri Raja Jawa
Timur Makutavamsavardhana. Udayana dan Mahendratta memiliki tiga anak lelaki, yaitu
Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Nasib cerah didapatkan oleh Airlangga yang
memerintah Jawa Timur. Peristiwa tragis yang disaksikannya dan diikuti kehancuran Kraton
Isana tidak mempengaruhi Bali, di mana ayahnya terus memerintah dengan damai sampai
1022 M.4
Setelah kematian Udayana, Marakata naik tahta dan memerintah Bali selama tiga
tahun. Tahta tidak diteruskan oleh Airlangga karena ia telah disibukkan dengan
pembangunan kerajaannya sendiri di Jawa Timur. Marakata kemudian tidak digantikan oleh
Anak Wungsu sampai 1049 M. Dalam interval ini, diperkirakan Airlangga menerapkan
semacam kepemimpinan atas Bali. Dugaan ini juga didukung oleh fakta bahwa prasasti-
3 Louis-Charles Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, (Jakarta: École française d'Extrême-Orient, 1995),
hlm. 149-151.
4 Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia,
Badan ini terdiri atas beberapa orang senapati serta pendeta Siwa dan Budha.5 Para senapati
pada masa lampau dapat dibandingkan dengan punggawa pada zaman kerajaan Gelgel dan
Klungkung (setelah Majapahit). Di daerahnya sendiri mereka juga berkuasa di bidang
kehakiman merangkap sebagai hulubalang dan juga mempunyai semacam panglapuan
sendiri. Menurut prasasti yang ditemukan dari tahun 804 S’ sampai 836 S’, ada tiga jenis
Pemerintahan yang selanjutnya berada di tangan Ugrasena. Ia memerintah dari tahun 837 S’
sampai 864 S’. Senapati yang ada pada masa ini adalah Senapati Sarbwa (Talaga dan Kumpi
disebutkan satu jenis senapati dalam prasastinya, yaitu Senapati Wisabha. Selanjutnya
muncul jabatan baru pada masa pemerintahan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (905 S’),
yakni Senapati Dalmbunut dan Senapati Waranasi. Sejak masa pemerintahan Udayana dan
Gunapriyadharmmapatni, Badan Penasihat Pusat dikenal dengan sebutan Senāpati ser nāyaka
di pasamakṣa palapknan makasupratibaddha yang anggotanya terdiri atas Mpungku Sogata
Maheswara dan para senapati. Mpungku Sogata Maheswara merupakan wakil agama Siwa
dan Budha. Golongan ini memiliki kedudukan yang penting pada saat upacara-upacara
keagamaan dan dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat membantu serta menguatkan
kedudukan raja.
5Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2010), hlm. 316.
DAFTAR PUSTAKA
Damais, L.-C. (1995). Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: École française d'Extrême
-Orient.
Munoz, P. M. (2009). Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung
Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (2010). Sejarah Nasional
Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.