Anda di halaman 1dari 9

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Majapahit

Di dalam kehidupan sosial masyarakat kerajaan Majapahit mengenal sistem


kasta seperti di India, karena kerajaan ini bercorak Hindu. Namun sistem kasta
di kerajaan Majapahit hanya bersifat teoritis saja dalam kehidupan Istana.
Seperti yang kita ketahui, terdapat empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria,
Waisaya dan Sudra. 

Namun terdapat golongan lain di luar lapisan tersebut, yaitu Candala, Melccha,
dan Tuccha. Golongan tersebut merupakan orang-orang terbawah dari lapisan
sosial masyarakat di kerajaan Majapahit.  Brahmana adalah kaum pendeta,
kesatria merupakan keturunan raja atau pewaris raja, waisya terdiri dari
pedagang dan orang-orang yang menggeluti bidang pertanian dan peternakan,
sedangkan kaum Sudra adalah budak.

Berdasarkan aspek kedudukan sosial dalam masyarakat di Kerajaan Majapahit,


status wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria. Hal ini terlihat dari
kewajiban wanita hanya melayani suami, tidak boleh ikut campur dalam urusan
apapun. Peraturan ini tertera dalam perundang-undangan di kerajaan Majapahit
dengan tujuan pergaulan bebas antara pria dan wanita dapat dihindari.

Kehidupan budaya kerajaan Majapahit berkembang pesat, terutama di bidang


seni sastra. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sastra yang dihasilkan, seperti
kitab Negarakretagama, Kitab Sutasoma, Kitab Kunjarakarna dan lain
sebagainya. Kerajaan Majapahit juga meninggalkan banyak jejak sejarah
kebudayaan berupa prasasti dan candi.
Kehidupan Politik Kerajaan Majapahit

Tokoh pendiri kerajaan Majapahit bernama Raden Wijaya, ia mendirikan


kerajaan ini pada tahun 1293 masehi. Raden Wijaya kemudian menjadi raja
pertama dengan gelar Prabu Kertajasa Jayawardhana. Namun masa
pemerintahannya hanya berlangsung sebentar, sebab setelah 16 tahun
memimpin ia kemudian wafat.  Penggantinya bernama Kalagemet dengan gelar
Sri Jayanegara.

Ia merupakan putera Raden Wijaya. Berkuasa dari tahun 1309 hingga 1328
masehi. Berakhirnya kekuasaaan Sri Jayanegara disebabkan karena dibunuh
oleh seorang tabib yang memiliki dendam. Kalagemet kemudian digantikan
oleh Tribuwanatunggadewi yang merupakan saudara perempuannya. 

Raja ketiga ini memerintah dari tahun 1328 hingga 1350. Pada masa
pemerintahannya, muncul tokoh pemberani dan kuat bernama Gajah Mada yang
kemudian diangkat menjadi Mahapatih Amangkubumi, sebab berhasil meredam
pemberontakan yang terjadi.

Tribuwanatunggadewi memiliki seorang putera bernama Hayang Wuruk yang


kemudian menggantikannya sebagai raja pada tahun 1350. Dibawah
pemerintahan Hayam Wuruk bersama patih Gajah Mada, kerajaan Majapahit
mengalami puncak kejayaan dengan berhasil menaklukkan berbagai kerajaan di
Nusantara.

Kehidupan politik kerajaan Majapahit sudah teratur dengan baik. Majapahit


menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Nusantara, seperti
dengan kerajaan China, Champa, Siam dan Kamboja. Hal ini dibuktikan dari
beberapa sumber yang menyebutkan bahwa pada tahun 1370 hingga 1381,
kerajaan Majapahit telah mengirimkan beberapa kali utusan persahabatan ke
kerajaan di China (Tiongkok).

Kekuasaan di kerajaan Majapahit bersifat teritorial dan desentralisasi, didukung


dengan birokrasi yang rinci. Raja Majapahit dianggap sebagai penjelmaan dewa
tertinggi, maka memiliki otoritas politik tertinggi sebagai penguasa. Seorang
raja dibantu oleh pejabat-pejabat birokrasi.  

Berikut ini susunan pemerintahan dari pusat ke daerah di Kerajaan Majapahit :

1. Bhumi (pusat kerajaan), dipimpin oleh Maharaja.


2. Negara (provinsi), dipimpin oleh bhre (pangeran), rajya (gubernur), natha
(tuan), adipati atau bhatara.
3. Watek (Kabupaten), diperintah oleh Tumenggung
4. Kuwu (lebih tinggi dari Kecamatan), diperintah oleh demang.
5. Wanua (desa), dipimpin oleh thani.
6. Kabuyutan (dusun kecil) atau padukuhan, dipimpin oleh kepala dukuh
atau seorang buyut.

 Kehidupan sosial budaya Kerajaan Bali


Struktur masyarakat Bali dibagi ke dalam empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria,
Waisya, dan Sudra. Tetapi pembagian kasta ini tidak seketat seperti di India.
Begitu pula dalam pemberian nama awal pada anak-anak di lingkungan
masyarakat Bali memiliki cara yang khas, yaitu:

a. Wayan untuk anak pertama;


b. Made untuk anak kedua;
c. Nyoman untuk anak ketiga;
d. Ketut untuk anak keempat.

Tetapi ada juga nama Putu untuk panggilan anak pertama


dari kasta Brahmana dan Ksatria.

Kehidupan politik Kerajaan Bali

Nama Bali sudah lama dikenal dalam beberapa sumber kuno. Dalam berita Cina
abad ke-7 disebut adanya nama daerah yang bernama Dwapa- tan, yang terletak
di sebelah timur Kerajaan Holing (Jawa). Menurut para ahli nama Dwa-pa-tan
ini sama dengan Bali. Adat istiadat penduduk Dwapa- tan ini sama dengan di
Holing, yaitu setiap bulan padi sudah dipetik, penduduknya menulis dengan
daun lontar, orang yang meninggal dihiasi dengan emas, dan ke dalam mulutnya
dimasukkan sepotong emas serta diberi harumharuman, kemudian mayat itu
dibakar.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, pengaruh Buddha datang terlebih


dahulu dibandingkan dengan pengaruh Hindu. Prasasti yang berangka tahun 882
M, menggunakan bahasa Bali menerangkan tentang pemberian i in kepada para
biksu untuk mendirikan pertapaan di Bukit Cintamani. 

Pengaruh Hindu di Bali berasal dari Jawa Timur, ketika Bali berada di bawah
kekuasaan Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, ada sebagian penduduk yang
melarikan diri ke Bali, sehingga banyak penduduk Bali sekarang yang
menganggap dirinya keturunan dari Majapahit.
Prasasti yang menceritakan raja yang berkuasa di Bali ditemukan di desa
Blanjong, dekat Sanur. Dalam prasasti ini disebutkan bahwa raja yang bernama
Khesari Warmadewa, istananya terletak di Sanghadwala. Prasasti ini ditulis
dengan huruf Nagari (India) dan sebagian lagi berhuruf Bali Kuno, tetapi
berbahasa Sanskerta. Prasasti ini berangka tahun 914 M (836 saka), dalam
Candrasengkala berbunyi Khecara-wahni-murti.

Raja selanjutnya yang berkuasa adalah adalah Ugrasena pada tahun 915 M.
Ugrasena digantikan oleh Tabanendra Warmadewa (955-967 M). Tabanendra
kemudian digantikan oleh Jayasingha Warmadewa, ia membangun dua buah
pemandian di desa Manukraya. Pemandian ini merupakan sumber air yang
dianggap suci. Jayasingha kemudian digantikan oleh Jayasadhu Warmadewa
yang memerintah dari tahun 975-983 M. Tidak banyak berita yang
menceritakan masa kekuasaannya.

Jayasadhu digantikan oleh adiknya Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, seorang
raja perempuan. Ia kemudian digantikan oleh Dharmodayana yang terkenal
dengan nama Udayana yang naik takhta pada tahun 989 M. Dharmodayana
memerintah bersama permaisurinya bernama Gunapriyadharmapadmi, anak dari
raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur.

Gunapriyadharmapadmi meninggal pada tahun 1001 M dan dicandikan di


Burwan. Udayana memerintah sampai tahun 1011 M. Pada tahun itu, ia
meninggal dan dicandikan di Banu Weka. Pernikahannya dengan Gunapriya
menghasilkan tiga orang putra yaitu, Airlangga yang menikah dengan putri
Dharmawangsa (raja Jawa Timur), Marakata, dan Anak Wungsu.

Airlangga tidak memerintah di Bali, ia menjadi raja di Jawa Timur. Anak


Udayana yang memerintah di Bali, yaitu Marakata memerintah dari tahun 1011-
1022, ia bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana
Uttuganggadewa. Masa pemerintahan Marakata bersamaan dengan masa
pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. 

Marakata adalah raja yang sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya,


sehingga ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Untuk kepentingan
peribadatan, ia membangun prasada atau bangunan suci di Gunung Kawi daerah
Tampak Siring, Bali. Marakata digantikan oleh adiknya Anak Wungsu, yang
memerintah dari tahun 1049-1077. 

Pada masa pemerintahannya, keadaan negeri sangat aman dan tenteram. Rakyat
hidup dengan bercocok tanam, seperti padi gaga, kelapa, enau, pinang, bambu,
dan kemiri. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang seperti kerbau,
kambing, lembu, babi, bebek, kuda, ayam, dan anjing. Anak Wungsu tidak
memiliki anak dari permaisurinya. Ia meninggal pada tahun 1077 M dan
didharmakan di gunung Kawi dekat Tampak Siring.

Beberapa raja yang memerintah Kerajaan Bali setelah Anak Wungsu,


diantaranya Sri Maharaja Sri Walaprahu, Sri Maharaja Sri Sakalendukirana, Sri
Suradhipa, Sri Jayasakti, Ragajaya, dan yang lain sampai pada Paduka Bhatara
Sri Asta Asura Ratna sebagai raja terakhir Bali. Sebab pada tahun 1430 M, Bali
ditaklukkan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
Sejak Bali ditaklukkan oleh Majapahit, kerajaan di Bali diperintah oleh raja-raja
yang berasal dari keturunan Jawa (Jawa Timur). Oleh karena itu, raja-raja yang
memerintah selanjutnya menganggap dirinya
sebagai Wong Majapahit artinya keturunan Majapahit.

Isi Dari Prasasti Kerajaan Majapahit

Prasasti Sukamerta (1296 M)


Prasasti Sukamerta dan Prasasti Balawi berisi kisah Raden Wijaya yang menikahi empat
anak dari Kartanegara. Keempat putri Kartanegara adalah Sri Paduka Parameswari Dyah
Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Paduka
Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri.
Selain becerita tentang kisah pernikahan Raden Wijaya dengan empat putri Kartanegara,
prasasti ini juga berkisah mengenai putranya yang bernama Jayanegara yang diangkat
menjadi raja muda di Daha.

Prasasti Karang Bogem (1387 M)


Prasasti logam one-piece bertuliskan tahun 1387 Masehi yang dibangun 2 tahun
sebelum Hayam Wuruk wafat. Pemimpinnya bernama Batara parameswara
Pamotan Wijayarajasa dyah Kudamerta, yang merupakan raja Kedaton Wetan yang
mangkat tahun 1388 M

Prasasti Karang Bogem berisi mengenai pembukaan atau pengukuhan wilayah


perikanan di desa Karang Bogem. Dalam prasasti tersebut, terdapat kata Gresik,
lokasi ditemukannya prasasti ini yakni Karang Bogem, yang kini wilayah Kabupaten
Bungah.

Prasasti Kudadu (1294 M)


Prasasti kudadu adalah prasasti yang berisi kisah sebelum Raden Wijaya menjadi
Raja majapahit. Lebih khususnya, prasasti kudadu ini menjelaskan tentang bantuan
yang diberikan Rama Kudadu kepada Raden Wijaya. Pada saat itu, Raden Wijaya
kabur dari Jayakatwang. Setelah menjadi Raja Majapahit, Raden Wijaya
memberikan hadiah kepada warga dan kepala desa kudadu berupa tanah sima.

Candi Tikus
Candi ini berbeda dengan candi biasanya yang berbentuk merujuk vertical, candi ini
berbentuk Seperti kubangan yang diperkirakan menjadi tempat mandi bagi Raja dan
keluarganya. Candi ini juga direndam air dan lebih rendah dari daratan, Seperti kolam
renang mewah pada masanya.

Candi Wringin Lawang

Candi yang dibangun sebagai bentuk masuknya wilayah kediaman Patih Gajah Mada ini
terletak di Desa Jatipasar, Trowulan Mojokerto. Candi ini juga sering disebut sebagai
Gapura Wringin Lawang.

Prasasti Peninggalan Kerajaan Bali

1. Prasasti Panglapuan
Prasasti ini bercerita mengenai para penguasa yang memimpin kerajaan
dan berkuasa pada masa itu seperti Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan
Anak Wungsu.

2. Prasasti Blanjong
Prasasti Blanjong merupakan sebuah prasasti yang dikukuhkan pada tahun
913 Masehi pada masa pemerintahan raja Sri Kesari Warmadewa. Prasasti
ini diperkirakan sebagai prasasti tertua yang pernah ditemukan di Bali.
Prasasti batu setinggi 177 sentimeter ini pertama kali di temukan di Banjar
Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali.

Prasasti ini ditulis dalam huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa


Bali Kuno dan Kawi, serta menggunakan bahasa Sanskerta. Prasasti ini
merupakan sebuah informasi mengenai catatan kemenangan Raja Adipati
Sri Kesari Warmadewa.

4. Candi Penegil Dharma


Candi Penegil Dharma berada di wilayah Desa Kubutambahan, Kecamatan
Kubutambahan, Buleleng, Bali. Candi bersejarah ini dibangun pada tahun
915 Masehi. Candi ini sering kali dihubungkan dengan Ugrasena, yaitu
anggota keluarga Mataram I dan juga mengenai kedatangan Maha Rsi
Markandeya di daerah Bali.
Menurut para pakar, Candi Penegil Dharma telah berdiri, bahkan sebelum
Kerajaan Majapahit datang ke Bali.

Anda mungkin juga menyukai