Kerajaan Bali
Kerajaan Bali adalah sebuah kerajaan yang terletak di sebuah pulau berukuran kecil
yang tak jauh dari Pulau Jawa dan berada di sebelah timur. Kerajaan ini berada di sebuah
pulau kecil yang dahulu masih dinamakan dengan Pulau Jawa sehingga bisa dikatakan pulau
ini masih dianggap sebagai bagian dari Pulau Jawa.
Kerajaan ini pada umumnya menganut kepercayaan berupa agama Hindu walau pada
perkembangannya nanti ternyata tidak hanya agama Hindu yang dominan, tapi juga
kepercayaan-kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. Ini bisa terjadi karena kentalnya
budaya nenek moyang pada saat itu walau kerajaan ini sudah berdiri.
Bahkan ketika Kerajaan Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan
diri dan menetap disana. Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat
Bali dianggap sebagai pewaris tradisi Majapahit.
Bali yang dikenal sebagai “Pulau Dewata” pada zaman duhulu kala, sebelum
kedatangan majapahit terdapat sebuah kerajaan yang muncul pertama kali di bali yaitu sekitar
914 M yang diketahui dari sebuah prasasti yang ditemukan di desa blanjong dekat Sanur yang
memiliki pantai matahari terbit.
Prasasti itu berangka tahun 836 saka yang menyebutkan nama rajanya “Khesari
Warmadewa” memiliki istana yang ada di Singhadwala. Khesari Warmadewa adalah
Ugrasena pada tahun 915 M – 942 M.
Setelah meninggal, Abu dari jenasah dari raja Ugrasena dicandikan di Air Madatu,
lalu beliau digantikan oleh mahkota Jayasingha Warmadewa (960 M – 975 M).
1. Prasasti Blanjong
2. Prasasti Panglapuan
7. Candi Mengening
8. Candi Wasan.
Berdasarkan Prasasti Blanjong yang berangka tahun 914. Istananya berada di Singhadwalawa
Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah tahun 915–942,
istananya berada di Singhamandawa. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan
prasasti. Pada umumnya, prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah
tertentu. Selain itu, ada juga prasasti yang memberitakan tentang pembangunan tempat-
tempat suci. Setelah wafat, Sang Ratu Sri Ugrasena didharmakan di Air Mandatu.
3. Tabanendra Warmadewa
4. Jayasingha Warmadewa
5. Jayashadu Warmadewa
Pada tahun 983 M muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya
Mahadewi. Menurut Stein Callenfels, ratu itu berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Namun,
Damais menduga bahwa ratu itu adalah putri Empu Sindok (Jawa Timur). Hal ini didasarkan
atas nama-nama jabatan dalam Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang sudah lazim disebut dalam
prasasti di Jawa, tetapi tidak dikenal di Bali, seperti makudur, madihati, dan pangkaja.
Udayana memerintah bersama permaisurinya hingga tahun 1001 M karena pada tahun
itu Gunapriya mangkat dan didharmakan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya
hingga tahun 1011 M. Setelah mangkat, ia dicandikan di Banuwka. Hal ini didasarkan pada
Prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebut nama Udayana sendiri. Menurut Prasasti
Ujung (Hyang), Udayana setelah mangkat dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka. Raja
Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa
Timur.
8. Maraka
9. Anak Wungsu
Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara
Lumah i Banu Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan
prasasti (lebih dari 28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan.
Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun dari tahun 1049–1077. Anak Wungsu dianggap
sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Baginda mangkat
pada tahun 1077 dan dimakamkan di Gunung Kawi (dekat Tampaksiring)
11. Bedahulu
Memerintah tahun 1343 M adalah Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Raja Bedahulu
dibantu oleh kedua patihnya, Kebo Iwa dan Pasunggrigis. Ia adalah raja terakhir karena pada
masa pemerintahannya Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah taklukan
Kerajaan Majapahit.
Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak,
membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.
2. Undagi
3. Pedagang
Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).
1.Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem
kesenian keraton dan sistem kesenian rakyat.
Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali
sistem kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk masyarakat
yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.
Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak perempuan.
Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan demikian, di
Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme.
Kedatangan Gadjah Mada dari kerajaan majapahit ke Bali adalah ingin menaklukan
Bali di bawah pimpinan Kerajaan Majapahit, namun karena tidak mampu patih Majapahit itu
mengajak Ki Kebo Iwa ke jawa dan disana disuruh membuat sumur dan setelah sumur itu
selesai Ki Kebo Iwa di kubur hidup-hidup dengan tanah dan batu namun dalam lontar Bali Ki
Kebo Iwa tidak dapat dibunuh dengan cara yang mudah seperti itu. Tanah dan batu yang
dilemparkan ke sumur balik dilemparkan ke atas. Pada akhirnya dia menyerahkan diri sampai
ia merelakan dirinya untuk dibunuh baru dia dapat dibunuh. Setelah kematian Ki Kebo Iwa,
Bali dapat ditaklukan oleh Gadjah Mada pada tahun 1343.
Patih Kebo Iwa yang berhasil dibujuk untuk pergi ke Majapahit, sesampainya di
Majapahit Kebo Iwa dibunuh.
Patih Gajah Mada yang berpura-pura menyerah dan minta diadakan perundingan di
Bali, lalu ia menangkap raja Bali yaitu Gajah Waktra sehingga kerajaan Bali berada di bawah
kekuasaan Majapahit.
Sejarah Kerajaan Sunda / Pasundan, Peninggalan, Wilayah, Raja, Masa Kejayaan dan
Runtuhnya : adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian
Barat pulau Jawa
2. Kerajaan Sunda
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara
orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang
lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah
seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci
Manuk.”
Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di
sungai itu. Tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-
lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-
dewa. Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda.
Kerajaan Pajajaran
Sejarah menyebutkan bahwa awal berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah pada tahun
923 dan pendirinya adalah Sri Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari Prasasti Sanghyang
berumur 1030 Masehi yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut, rupanya Kerajaan Pajajaran ini
didirikan setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat
Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan Galuh terpecah menjadi dua.
Satu dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang satunya lagi dipimpin oleh Susuktunggal.
Meskipun terpecah menjadi dua namun mereka memiliki derajat kedudukan yang sama.
Asal muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar
tahun 1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi ditandai dengan keruntuhan
masa pemerintahan Prabu Kertabumi atau Brawijaya ke lima, sehingga ada beberapa anggota
kerajaan serta rakyat mereka yang mengungsi ke ibu kota Galuh di Kawali, wilayah
Kuningan, di mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah ini merupakan daerah kekusaaan
dari Raja Dewa Niskala.
Raja Dewa Niskala pun menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat dari
Prabu Kertabumi yaitu Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang putrinya. Tidak
sampai di situ, Raja Dewa Niskala juga mengambil istri dari salah seorang pengungsi anggota
kerajaan. Sayangnya, pernikahan antara Raja Dewa Niskala dengan anggota Kerajaan
Majapahit tidak disetujui oleh Raja Susuktunggal karena ada peraturan bahwa pernikahan
antara keturunan Sunda-Galuh dengan keturunan Kerajaan Majapahit tidak diperbolehkan.
Peraturan ini ada sejak peristiwa Bubat.
Karena ketidaksetujuan dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan antara
Susuktunggal dengan Raja Dewa Niskala. Agar perang tidak terus menerus berlanjut maka
Dewan Penasehat ke dua kerajaan menyarankan jalan perdamaian. Jalan perdamaian tersebut
ditempuh dengan menunjuk penguasa baru sedangkan Raja Dewa Niskala dan Raja
Susuktunggal harus turun tahta.
Kemudian ditunjuklah Jayadewata atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi
yang merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus menantu dari Raja Susuktunggal.
Jayadewata yang telah menjadi penguasa bergelar Sri Baduga Maharaja memutuskan untuk
menyatukan kembali ke dua kerajaan. Dari persatuan ke dua kerajaan tersebut maka lahirlah
Kerajaan Pajajaran pada tahun 1482. Oleh sebab itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung
saat Sri Baduga Maharaha berkuasa.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan
dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari
ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran,
Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Menurut Tome Pires, kerajaan Sunda diperintah oleh Seorang raja. Raja tersebut
berkuasa atas raja-raja di daerah yang dipimpinnya. Tahta kerajaan diberikan secara turun
temurun kepada anaknya. Akan tetapi, apabila raja tidak memiliki anak maka yang
menggantikannya adalah salah seorang raja daerah berdasarkan hasil pemilihannya.
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik tentang
Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek kehidupan politik yang
diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara
berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan
Pajajaran.
1.Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu
sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan
kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya.
Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di
Kerajaan Galuh.
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan
dan Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030
M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan
Sunda.
3.Pusat Kerajaan Kawali
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak
diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui
bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat
kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di
sekeliling keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.
Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya,
Sang Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini
menjadi Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut
dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.
Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke
Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana
Madura Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan
berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan tenteram,
tidak terjadi kerusuhan atau perang.
3.Kelompok Ekonomi
Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting yang
masing-masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka bertanggungjawab kepada raja
dan bertindak atas nama raja di masing-masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede,
Tomgara, Kalapa dan Cimanuk adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.
Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang
bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan
pusat ibu kota suatu kerajaan. Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu
yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.
Batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang
disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi
Jawa Tengah. Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah
yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda
dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar
Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu
Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-
Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari
Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran
runtuh.
Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-
Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah
kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi) .
Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa
Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut: Batu peringatan ini adalah ucapan
Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan
kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut
harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada
pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi
sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi.
Tanggal prasasti ini diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III
sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 – 1042AD).
Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode
D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte): Perdamaian dan
kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang,
hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Prasasti Batutulis
Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang
ditemukan di Bogor. Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang
besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia
memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan
Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu
sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram.
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober
2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-
14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak
kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti
tersebut.
Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan
tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua
baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua
manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi
Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.
Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi
pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang
terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.
3. Prasasti Huludayeuh
Penemuan
Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan
para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini
diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian
Kompas pada 12 September 1991.
Isi
Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi
sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah
sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan
tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui.
Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji
di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan
negrinya.
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang
ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–
Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin
Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang,
yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti
ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan
gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi
gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar
Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di
Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum
Sejarah Jakarta
5. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan
peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa
Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.
Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F.
D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan
menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II
ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan
perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I
(Prasasti Tapak Gajah).
7. Situs Karangkamulyan
Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan
kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu.
Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan
dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk,
lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.
Sri Baduga Maharaha pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar yang
dia beri nama Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun sebuah jalan yang
menghubungkan antara ibu kota dengan wilayah Wanagiri. Dari sana Sri Baduga Maharaha
membangun banyak aspek Spiritual seperti menyarankan agar kegiatan-kegiatan agama
dilakukan di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, dia juga membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat pagelaran,
memperkuat benteng pertahanan, merencanakan dan mengatur masalah upeti, dan menyusun
peraturan atau undang-undang kerajaan.
Semua kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaha ini
terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti Batutulis dan Prasasti
Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga Maharaha membangun seluruh
aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut pun diceritakan dengan pantun dan kisah
Babad.
3.Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda adalah kerajaan Hindu yang berlokasi di
sebelah barat Pulau Jawa (Sunda). Beribukota di Pajajaran (sekarang adalah Bogor), kerajaan
ini lebih dikenal dengan nama Pakuan Pajajaran (pakuan atau pakuwuan berarti
kota).Sebagaimana adat kebiasaan di Asia Tenggara pada masa itu yang menyebut kerajaan
dengan nama ibukotanya. Beberapa catatan sejarah menyebutkan kerajaan ini didirikan oleh
Sri Jayabhupati pada tahun 923.
Sementara Pakuan Pajajaran secara ‘resmi’ dinyatakan berdiri saat Jayadewata naik
tahta pada 1482 dan bergelar Sri Baduga Maharaja. Sejarah kerajaan banyak dikisahkan
dalam berbagai kitab cerita.
Masih sering pula dituturkan dalam pantun dan kisah babad. Serta ditemukan pula
catatan dari berbagai prasasti yang ditemukan dan catatan perjalanan bangsa asing di
Nusantara pada masa itu.
Kerajaan Galuh dipimpin oleh Raja Dewa Niskala dan Kerajaan Sunda dipimpin oleh
Raja Susuktunggal. Pada tahun 1400-an, saat Majapahit diambang kehancuran, rombongan
pengungsi dari datang ke Kerajaan Galuh dan diterima dengan tangan terbuka.
Sambutan tak berhenti di situ, kepala rombongan yang masih merupakan saudara dari
Prabu Kertabumi (raja Majapahit) bernama Raden Baribin dinikahkan dengan salah seorang
putri Galuh, Ratna Ayu Kirana. Sang raja pun mengambil seorang istri dari rombongan
pengungsi Majapahit
Tindakan tersebut menyebabkan kemarahan dari raja Sunda yang menuduh raja Galuh
melupakan aturan bahwa orang Galuh dan Sunda dilarang keras menikah dengan orang dari
Majapahit. Kedua raja yang terlibat pertalian besan ini pun terlibat sengketa.
Terancam perang, dewan penasehat dari kedua kerajaan berunding dan meminta para
raja untuk turun dari tahta. Dan kemudian bersama-sama menunjuk seorang pengganti untuk
memimpin kedua kerajaan.
Tak disangka, nama yang ditunjuk oleh kedua raja adalah nama yang sama,
Jayadewata. Maka terselesaikanlah persengketaan dengan jalan menyatukan dua kerajaan di
bawah satu raja. Selain Sri Baduga Maharaja, Jayadewata juga dikenal dengan sebagai Prabu
Siliwangi.
Dari kelima raja yang memimpin tersebut, masa kejayaan terjadi pada saat Sri Baduga
Maharaja menduduki singgasana raja. Berbagai pembangunan fisik dilakukan untuk
memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyat.
Berbagai kisah dan cerita tak henti menyebutkan Sri Baduga Maharaja, bahkan hingga kini
namanya masih dielu-elukan oleh masyarakat Sunda. Berikut ini beberapa pencapaian yang
membuktikan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja :
1. Pembangunan Fisik
Karena masih berstatus sebagai ‘kerajaan baru’, Sri Baduga Maharaja banyak melakukan
pembangunan fisik untuk memudahkan kehidupan negara dan rakyat. Berikut adalah
pembangunan fisik yang dilakukan oleh raja pertama Kerajaan Pajajaran antara lain adalah:
Membangun jalan dari Pakuan (ibukota) sampai ke Wanagiri,
Membuat telaga besar yang diberi nama Talaga Maharena Wijaya,
Membangun kabinihajian atau keputren atau tempat tinggal para putri, dan
Membangun pamingtonan atau tempat hiburan.
2. Bidang Militer
Selain itu, para prajurit dibekali latihan dengan berbagai macam formasi tempur yang
sering dipertunjukkan bagi rakyat.
3. Administrasi pemerintahan
4. Keagamaan
Karena agama adalah bagian penting dari kehidupan manusia, desa-desa perdikan
dibagikan kepada para pendeta dan murid-muridnya. Tanah perdikan adalah tanah yang tidak
dipungut pajak.Sehingga para pendeta dan muridnya dapat dengan leluasa memimpin ritual
keagamaan tanpa perlu memikirkan masalah duniawi.
Kehidupan Masyarakat
Kehidupan masyarakat Pakuan Pajajaran dapat dilihat melalui beberapa aspek seperti
ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah penjelasannya :
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Budaya
Agama yang secara resmi dianut oleh kerajaan adalah agama Hindu, sehingga praktik
hidup keseharian sangan kental dengan ritual keagamaan Hindu.
Peninggalan yang masih dapat disaksikan hingga kini adalah kitab Cerita
Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda serta kitab cerita Kidung Sundayana. Adapula
berbagai prasasti yang ditemukan tersebar di berbagai wilayah kekuasaan kerajaan.
Catatan keruntuhan Pajajaran terjadi pada 1579 Masehi akibat serangan dari
Kesultanan Banten, anak kerajaan dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Ditandai dengan
pemboyongan Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja) dari Pakuan Pajajaran ke
Keraton Surosowan di Banten oleh Maulana Yusuf.
Pemboyongan singgasana batu tersebut adalah aksi simbolis terhadap tradisi politik
masa itu agar Pakuan Pajajaran tidak bisa menobatkan raja baru. Maulana Yusuf ditasbihkan
sebagai penguasa sah Sunda karena dirinya masih memiliki darah Sunda dan merupakan
canggah dari Sri Baduga Maharaja.
Kerajaan Pajajaran adalah satu bukti sejarah, bahwa alih-alih berperang jalan damai
masih dapat ditempuh untuk menyelesaikan pertikaian dua negara. Satu hal yang jarang
ditemui, terutama pada masa itu.
Mungkin masih ada sisa trauma akibat peristiwa Bubut, di mana tanah Sunda nyaris
porak-poranda akibat serangan Majapahit, sehingga mereka memilih jalan yang menghindari
terjadinya perang.
Dan sambutan raja Galuh kepada para pengungsi Majapahit juga patut diapresiasi.
Sangat sedikit orang yang bisa menerima pengungsi dari negara yang pernah melancarkan
serangan perang ke negaranya. Meskipun entah apa alasan sebenarnya diterimanya para
pengungsi tersebut, akan tetapi tindakan itu adalah lebih banyak terjadi pada konteks
ketimbang praktik.
Berakhirnya masa kerajaan ini adalah akhir dari kekuasaan Hindu di Parahyangan dan
awal dari masa dinasti Islam. Konon dikabarkan bahwa sebagian abdi istana menetap di
Lebak dan menerapkan cara kehidupan mandala yang ketat. Kini keturunan dari para abdi
istana ini adalah yang kita kenal sebagai Suku Baduy.