Anda di halaman 1dari 24

1.

Kerajaan Bali

Sejarah Singkat Kerajaan Bali


Kerajaan Bali terletak di sebuah pulau yang tidak jauh dari daerah Jawa Timur,
tepatnya di sebelah timur Pulau Jawa, maka dalam perkembangan sejarahnya, Bali
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Pulau Jawa. Ketika kerajaan Majapahit
runtuh, banyak dari rakyat Majapahit yang melarikan diri kemudian menentap di Bali.
Sehingga sampai saat ini masih ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali adalah
pewaris tradisi Majapahit.

Kerajaan Bali adalah sebuah kerajaan yang terletak di sebuah pulau berukuran kecil
yang tak jauh dari Pulau Jawa dan berada di sebelah timur. Kerajaan ini berada di sebuah
pulau kecil yang dahulu masih dinamakan dengan Pulau Jawa sehingga bisa dikatakan pulau
ini masih dianggap sebagai bagian dari Pulau Jawa.

Kerajaan ini pada umumnya menganut kepercayaan berupa agama Hindu walau pada
perkembangannya nanti ternyata tidak hanya agama Hindu yang dominan, tapi juga
kepercayaan-kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. Ini bisa terjadi karena kentalnya
budaya nenek moyang pada saat itu walau kerajaan ini sudah berdiri.

Letak Kerajaan Bali


Kerajaan Bali merupakan sebuah kerajaan yang terletak di sebuah pulau kecil yang
tak jauh dari Jawa Timur dengan nama yang sama. Kerajaan Bali umumnya bercorak agama
Hindu. Dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan erat dengan Pulau Jawa
karena letak kedua pulau ini berdekatan.

Bahkan ketika Kerajaan Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan
diri dan menetap disana. Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat
Bali dianggap sebagai pewaris tradisi Majapahit.

Bali yang dikenal sebagai “Pulau Dewata” pada zaman duhulu kala, sebelum
kedatangan majapahit terdapat sebuah kerajaan yang muncul pertama kali di bali yaitu sekitar
914 M yang diketahui dari sebuah prasasti yang ditemukan di desa blanjong dekat Sanur yang
memiliki pantai matahari terbit.

Prasasti itu berangka tahun 836 saka yang menyebutkan nama rajanya “Khesari
Warmadewa” memiliki istana yang ada di Singhadwala. Khesari Warmadewa adalah
Ugrasena pada tahun 915 M – 942 M.

Setelah meninggal, Abu dari jenasah dari raja Ugrasena dicandikan di Air Madatu,
lalu beliau digantikan oleh mahkota Jayasingha Warmadewa (960 M – 975 M).

Dikatakan bahwa raja Jayasingha membangun dua pemandian di desa Manukraya,


yang letaknya sekarang. Pusat Kerajaan Bali pertama di Singhamandawa. Raja pertama Sri
Ugranesa. Beberapa prasasti yang ditemukan tidak begitu jelas menggambarkan bagaimana
pergantian diantara 1 keluarga raja dengan keluarga raja yang lain. Prasasti yang ditemukan
di Jawa Timur hanya menerangkan bahwa Bali pernah dikuasai Singasari pada abad ke – 10
& Majapahit abad ke – 14.

Peninggalan Kerajaan Bali:

1. Prasasti Blanjong

2. Prasasti Panglapuan

3. Prasasti Gunung Panulisan

4. Prasasti-prasasti peninggalan Anak Wungsu

5. Candi Padas di Gunung Kawi

6. Pura Agung Besakih

7. Candi Mengening

8. Candi Wasan.

Raja Kerajaan Bali


Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Bali antara lain yaitu sebagai berikut :

1. Sri Kesari Warmadewi

Berdasarkan Prasasti Blanjong yang berangka tahun 914. Istananya berada di Singhadwalawa

2. Ratu Sri Ugrasena

Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah tahun 915–942,
istananya berada di Singhamandawa. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan
prasasti. Pada umumnya, prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah
tertentu. Selain itu, ada juga prasasti yang memberitakan tentang pembangunan tempat-
tempat suci. Setelah wafat, Sang Ratu Sri Ugrasena didharmakan di Air Mandatu.
3. Tabanendra Warmadewa

Raja ini yang memerintah tahun 955–967 M.

4. Jayasingha Warmadewa

Ada yang menduga bahwa Jayasingha Warmadewa bukan keturunan Tabanendra


karena pada tahun 960 M (bersamaan dengan pemerintahaan Tabanendra) Jayasingha
Warmadewa sudah menjadi raja. Akan tetapi, mungkin juga ia adalah putra mahkota yang
telah diangkat menjadi raja sebelum ayahnya turun takhta. Raja Jayasingha telah membuat
telaga (pemandian) dari sumber suci di Desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul
yang terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun
975 Masehi.

5. Jayashadu Warmadewa

Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975–983.

6. Sri Wijaya Mahadewi

Pada tahun 983 M muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya
Mahadewi. Menurut Stein Callenfels, ratu itu berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Namun,
Damais menduga bahwa ratu itu adalah putri Empu Sindok (Jawa Timur). Hal ini didasarkan
atas nama-nama jabatan dalam Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang sudah lazim disebut dalam
prasasti di Jawa, tetapi tidak dikenal di Bali, seperti makudur, madihati, dan pangkaja.

7. Dharma Udayana Warmadewa

Peda pemerintahan Udayana, kerajaan Bali mengalami kejayaan. Ia memerintah


bersama permaisurinya, yaitu Mahendradatta, anak dari Raja Makutawangsawardhana dari
Jawa Timur. Sebelum naik takhta diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab
namanya tercantum dalam Prasasti Jalatunda.

Setelah pernikahan itu, pengaruh kebudayaan Jawa di Bali makin berkembang.


Misalnya, bahasa Jawa Kuno mulai digunakan untuk penulisan prasasti dan pembentuk
dewan penasihat seperti di pemerintahan kerajaankerajaan Jawa mulai dilakukan.

Udayana memerintah bersama permaisurinya hingga tahun 1001 M karena pada tahun
itu Gunapriya mangkat dan didharmakan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya
hingga tahun 1011 M. Setelah mangkat, ia dicandikan di Banuwka. Hal ini didasarkan pada
Prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebut nama Udayana sendiri. Menurut Prasasti
Ujung (Hyang), Udayana setelah mangkat dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka. Raja
Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa
Timur.
8. Maraka

Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa.


Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman
dengan Airlangga.

Karena persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, Stutterheim berpendapat


bahwa Marakata sebenarnya adalah Airlangga. Apalagi jika dilihat dari kepribadian dan cara
memimpin yang memiliki kesamaan. Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran hukum
yang selalu melindungi dan memperhatikan rakyat. Oleh karena itu, Marakata disegani dan
ditaati oleh rakyatnya. Selain itu, Marakata juga turut membangun sebuah presada atau candi
di Gunung Kawi di daerah Tampaksiring, Bali.

9. Anak Wungsu

Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara
Lumah i Banu Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan
prasasti (lebih dari 28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan.
Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun dari tahun 1049–1077. Anak Wungsu dianggap
sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Baginda mangkat
pada tahun 1077 dan dimakamkan di Gunung Kawi (dekat Tampaksiring)

10. Jaya Sakti

Jayasakti memerintah dari tahun 1133–1150 M dan sezaman dengan pemerintahan


Jayabaya di Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dibantu oleh penasihat
pusat yang terdiri atas para senapati dan pimpinan keagamaan baik dari Hindu maupun
Buddha. Kitab undang-undang yang digunakan adalah kitab Utara Widdhi Balawan dan kitab
Rajawacana.

11. Bedahulu

Memerintah tahun 1343 M adalah Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Raja Bedahulu
dibantu oleh kedua patihnya, Kebo Iwa dan Pasunggrigis. Ia adalah raja terakhir karena pada
masa pemerintahannya Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah taklukan
Kerajaan Majapahit.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali


Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian. Hal itu
didasarkan pada beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan bercocok tanam. Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering),
kebwan (kebun), gaga (ladang), dan kasuwakan (irigasi).
Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan sebagai berikut.

1, Pande (Pandai = Perajin)

Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak,
membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.

2. Undagi

Mereka mempunyai kepandaian memahat, melukis, dan membuat bangunan.

3. Pedagang

Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).

Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Bali


Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno didasarkan pada hal
sebagai berikut.

1.Sistem Kesenian

Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem
kesenian keraton dan sistem kesenian rakyat.

2.Sistem Kasta (Caturwarna)

Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali
sistem kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk masyarakat
yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.

3.Sistem Hak Waris

Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak perempuan.

4.Agama dan Kepercayaan

Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan demikian, di
Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme.

5.Masa Kejayaan Kerajaan Bali

Naik tahtanya Dharmodayana. Pada masa pemerintahnnya, system pemerintahan


Kerajaan Bali semakin jelas.
Perkawinan antara Dharma Udayana dengan Mahendradata yang merupakan putri
dari raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur, sehingga kedudukan Kerajaan Bali
semakin kuat.

Penyebab Keruntuhan Kerajaan Bali


Dikisahkan seorang raja Bali yang saat itu bernama Raja Bedahulu atau yang dikenal
dengan nama Mayadenawa yang memiliki seorang patih yang sangat sakti yang bernama Ki
Kebo Iwa.

Kedatangan Gadjah Mada dari kerajaan majapahit ke Bali adalah ingin menaklukan
Bali di bawah pimpinan Kerajaan Majapahit, namun karena tidak mampu patih Majapahit itu
mengajak Ki Kebo Iwa ke jawa dan disana disuruh membuat sumur dan setelah sumur itu
selesai Ki Kebo Iwa di kubur hidup-hidup dengan tanah dan batu namun dalam lontar Bali Ki
Kebo Iwa tidak dapat dibunuh dengan cara yang mudah seperti itu. Tanah dan batu yang
dilemparkan ke sumur balik dilemparkan ke atas. Pada akhirnya dia menyerahkan diri sampai
ia merelakan dirinya untuk dibunuh baru dia dapat dibunuh. Setelah kematian Ki Kebo Iwa,
Bali dapat ditaklukan oleh Gadjah Mada pada tahun 1343.

Patih Kebo Iwa yang berhasil dibujuk untuk pergi ke Majapahit, sesampainya di
Majapahit Kebo Iwa dibunuh.

Patih Gajah Mada yang berpura-pura menyerah dan minta diadakan perundingan di
Bali, lalu ia menangkap raja Bali yaitu Gajah Waktra sehingga kerajaan Bali berada di bawah
kekuasaan Majapahit.

Sejarah Kerajaan Sunda / Pasundan, Peninggalan, Wilayah, Raja, Masa Kejayaan dan
Runtuhnya : adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian
Barat pulau Jawa

2. Kerajaan Sunda

Sejarah Kerajaan Sunda


Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang terletak di bagian Barat pulau Jawa
(provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang), antara tahun 932 dan 1579 Masehi.
Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno
KERAJAAN SUNDA

dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan.


Kerajaan Sunda (669–1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang
berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa
pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad
ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi
Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan


Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci
agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada
Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda
di sebelah timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang disebut sebagai Kali Brebes)
dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara
orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang
lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah
seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci
Manuk.”

Menurut Naskah Wangsakerta


Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan
Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan


Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666–669
M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki
dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan
Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang
Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya.

Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada


menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612–702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang
mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya
memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah
tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini.
Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai
raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei
669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum
(Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh,


kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak
Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai
dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati, penguasa kerajaan
Sunda.

Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di
sungai itu. Tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-
lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-
dewa. Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda.

Asal Mula Kerajaan Pajajaran (Sunda)

Kerajaan Pajajaran
Sejarah menyebutkan bahwa awal berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah pada tahun
923 dan pendirinya adalah Sri Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari Prasasti Sanghyang
berumur 1030 Masehi yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut, rupanya Kerajaan Pajajaran ini
didirikan setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat
Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan Galuh terpecah menjadi dua.

Satu dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang satunya lagi dipimpin oleh Susuktunggal.
Meskipun terpecah menjadi dua namun mereka memiliki derajat kedudukan yang sama.

Asal muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar
tahun 1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi ditandai dengan keruntuhan
masa pemerintahan Prabu Kertabumi atau Brawijaya ke lima, sehingga ada beberapa anggota
kerajaan serta rakyat mereka yang mengungsi ke ibu kota Galuh di Kawali, wilayah
Kuningan, di mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah ini merupakan daerah kekusaaan
dari Raja Dewa Niskala.

Raja Dewa Niskala pun menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat dari
Prabu Kertabumi yaitu Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang putrinya. Tidak
sampai di situ, Raja Dewa Niskala juga mengambil istri dari salah seorang pengungsi anggota
kerajaan. Sayangnya, pernikahan antara Raja Dewa Niskala dengan anggota Kerajaan
Majapahit tidak disetujui oleh Raja Susuktunggal karena ada peraturan bahwa pernikahan
antara keturunan Sunda-Galuh dengan keturunan Kerajaan Majapahit tidak diperbolehkan.
Peraturan ini ada sejak peristiwa Bubat.
Karena ketidaksetujuan dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan antara
Susuktunggal dengan Raja Dewa Niskala. Agar perang tidak terus menerus berlanjut maka
Dewan Penasehat ke dua kerajaan menyarankan jalan perdamaian. Jalan perdamaian tersebut
ditempuh dengan menunjuk penguasa baru sedangkan Raja Dewa Niskala dan Raja
Susuktunggal harus turun tahta.

Kemudian ditunjuklah Jayadewata atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi
yang merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus menantu dari Raja Susuktunggal.
Jayadewata yang telah menjadi penguasa bergelar Sri Baduga Maharaja memutuskan untuk
menyatukan kembali ke dua kerajaan. Dari persatuan ke dua kerajaan tersebut maka lahirlah
Kerajaan Pajajaran pada tahun 1482. Oleh sebab itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung
saat Sri Baduga Maharaha berkuasa.

Sumber Sejarah

Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan
dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari
ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran,
Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak


peninggalan dari masa lalu, seperti:

 Prasasti Batu Tulis, Bogor


 Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
 Prasasti Kawali, Ciamis
 Prasasti Rakyan Juru Pangambat
 Prasasti Horren
 Prasasti Astanagede
 Tugu Perjanjian Portugis (padrao), Kampung Tugu, Jakarta
 Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
 Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
 Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya


Kehidupan Politik Kerajaan Sunda

Menurut Tome Pires, kerajaan Sunda diperintah oleh Seorang raja. Raja tersebut
berkuasa atas raja-raja di daerah yang dipimpinnya. Tahta kerajaan diberikan secara turun
temurun kepada anaknya. Akan tetapi, apabila raja tidak memiliki anak maka yang
menggantikannya adalah salah seorang raja daerah berdasarkan hasil pemilihannya.
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik tentang
Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek kehidupan politik yang
diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara
berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan
Pajajaran.

1.Kerajaan Galuh

Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu
sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan
kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya.
Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di
Kerajaan Galuh.

2.Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda

Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan
dan Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030
M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan
Sunda.
3.Pusat Kerajaan Kawali

Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak
diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui
bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat
kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di
sekeliling keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.

4.Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran

Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya,
Sang Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini
menjadi Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut
dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.

Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke
Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana
Madura Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan
berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan tenteram,
tidak terjadi kerusuhan atau perang.

Daftar Raja Pajajaran

 Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)


 Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
 Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
 Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
 Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
 Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
 Rahyang Niskala Wastu Kencana
 Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
 Sri Baduga MahaRaja
 Hyang Wuni Sora
 Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
 dan Prabu Ratu Dewata.

Kehidupan Sosial Kerajaan Sunda


Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan
Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut.

1.Kelompok Rohani dan Cendekiawan

Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai


kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui berbagai macam
mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan
janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai
macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang
memiliki berbagai macam cerita pantun.

2.Kelompok Aparat Pemerintah

Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), misalnya bhayangkara


(bertugas menjaga keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit (kepala prajurit).

3.Kelompok Ekonomi

Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi.


Misalnya, juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat perabot
rumah tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan).

Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-


pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang
permanen, seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan
Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sunda


Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang masyarakatnya hidup dari pertanian, hasil
pertaniannya menjadi pokok bagi pendapat kerajaan. Aneka hasil pertanian seperti lada,
asam, beras, sayur mayur dan buah-buahan banyak dihasilkan masyarakat kerajaan Sunda,
selain itu, ada juga golongan peternak Sapi, kambing, biri-biri dan babi adalah hewan yang
banyak diperjualbelikan di bandar-bandar pelabuhan kerajaan Sunda.

Menurut Tom Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan penting yang
masing-masing di kepalai oleh seorang Syahbandar. mereka bertanggungjawab kepada raja
dan bertindak atas nama raja di masing-masing pelabuhan, Banten, Pontang, Cigede,
Tomgara, Kalapa dan Cimanuk adalah pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda.

Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda


Kitab carita Parahyangan dan serta Dewabuda memberi petunjuk bahwa masyarakat
kerajaan Sunda banyak mendapat pengaruh budaya Hindu dan Budha. Kedua budaya itu
selanjutnya berbaur dengan unsur budaya leluhur yang telah ada sebelumnya.

Kerajaan Sunda merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan tarumanegara. Kerajaan


Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede
(Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran.

Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang
bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan
pusat ibu kota suatu kerajaan. Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu
yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.

Wilayah Kekuasaan dan Historiografi


Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda
yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16, (yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak
tahun 1627),

Batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali (“Sungai Pamali”, sekarang
disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi
Jawa Tengah. Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah
yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda
dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

 Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,


Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri
pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal),
yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).

Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat


pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih
berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai
putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah
Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan
menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal).

Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar
Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya,
Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu
Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-
Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari
Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran
runtuh.

 Padrão Sunda Kalapa

Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-
Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah
kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi) .

Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa
Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut: Batu peringatan ini adalah ucapan
Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan
kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut
harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada
pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).

 Prasasti Sanghyang Tapak

Terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi
sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi.
Tanggal prasasti ini diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III
sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 – 1042AD).

Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode
D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte): Perdamaian dan
kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang,
hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya

Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat


tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan
tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai
dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar.
Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya
diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.

 Prasasti Batutulis

Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang
ditemukan di Bogor. Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang
besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia
memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan
Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu
sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram.

Raja-Raja Kerajaan Sunda


Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah
Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):

1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)

2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)

3. Tamperan Barmawijaya (732 – 739)

4. Rakeyan Banga (739 – 766)

5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)

6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)

7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)

8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)

9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)

10. Windusakti Prabu Déwageng (895 – 913)

11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)

12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)

13. Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)

14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)

15. Munding Ganawirya (964 – 973)

16. Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)

17. Brajawisésa (989 – 1012)


18. Déwa Sanghyang (1012 – 1019)

19. Sanghyang Ageng (1019 – 1030)

20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)

21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065)

22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155)

23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 – 1157)

24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175)

25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)

26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303)

27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311)

28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)

29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)

30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)

31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)

32. Prabu Bunisora (1357-1371)

33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)

34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)

35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)

36. Prabu Surawisésa (1521-1535)

37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)

38. Prabu Sakti (1543-1551)

39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)

40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

Peninggalan Kerajaan Sunda


1. Prasasti Cikapundung

Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober
2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-
14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak
kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti
tersebut.

Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan
tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua
baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua
manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi
Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.

2. Prasasti Pasir Datar

Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi
pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang
terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya.

3. Prasasti Huludayeuh

Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa


Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan
Dukupuntang – Cirebon.

Penemuan

Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan
para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini
diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian
Kompas pada 12 September 1991.

Isi

Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi
sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah
sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan
tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui.
Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji
di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan
negrinya.

4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis

Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang
ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–
Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin
Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” (maksudnya Sanghyang,
yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti
ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan
gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi
gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar
Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di
Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum
Sejarah Jakarta

5. Prasasti Ulubelu

Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan
peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa
Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun 1936.

Meskipun ditemukan di daerah lampung (Sumatera bagian selatan), ada sejarawan


yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno,
sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan
sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga
wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka
kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti
berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru
(Siwa), Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon
agar menjaga keselamatan dari semua musuh.

6. Prasasti Kebon Kopi II

Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh


ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan
tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama.

Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F.
D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan
menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II
ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan
perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I
(Prasasti Tapak Gajah).

7. Situs Karangkamulyan

Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan,


Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang
bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara
yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah
kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh
orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga
mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu
ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-
batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang
bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai
sebuah kamar.

Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan
kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu.
Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan
dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk,
lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan.

Masa Kejayaan dan Keruntuhan


Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Kejayaan

Masa-masa di mana Kerajaan Pajajaran mengalami kejayaan adalah pada saat


pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaha. Bahkan sampai sekarang masa
keemasan Prabu Siliwangi masih teringat di hati rakyat Jawa Barat.

Sri Baduga Maharaha pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar yang
dia beri nama Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun sebuah jalan yang
menghubungkan antara ibu kota dengan wilayah Wanagiri. Dari sana Sri Baduga Maharaha
membangun banyak aspek Spiritual seperti menyarankan agar kegiatan-kegiatan agama
dilakukan di tengah-tengah masyarakat.

Selain itu, dia juga membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat pagelaran,
memperkuat benteng pertahanan, merencanakan dan mengatur masalah upeti, dan menyusun
peraturan atau undang-undang kerajaan.

Semua kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaha ini
terukir di dalam dua buah prasasti bersejarah yaitu prasasti Batutulis dan Prasasti
Kabantenan. Di sana di tulis tentang bagaimana Sri Baduga Maharaha membangun seluruh
aspek kehidupan kerajaannya. Sejarah tersebut pun diceritakan dengan pantun dan kisah
Babad.

Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Keruntuhan


Tercatat bahwa Kerajaan Pajajaran ini runtuh pada tahun 1579. Keruntuhan Pajajaran
lebih banyak disebabkan oleh penyerangan yang dilakukan oleh Kasultanan Banten. Selain
itu, keruntuhan ini ditandai oleh tahta atau singgasana Raja yang disebut Palangka Sriman
Sriwacana dibawa oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kerajaan Pajajaran ke Kraton
Surosowan.
Pemboyongan singgasana raja ini dilakukan sebagai tradisi sekaligus sebagai tanda bahwa
tidak mungkin ada raja baru lagi yang bisa dinobatkan di Kerajaan Pajajaran. Akhirnya,
Maulana Yusuf lah yang berkuasa di wilayah-wilayah Kerajaan Sunda. Jika Anda menengok
bekas Kraton Surosowan di Banten, maka Anda bisa melihat terdapat reruntuhan Palang
Sriman Sriwacana yang telah diboyong oleh Maulana Yusuf. Reruntuhan batu tersebut di
sebut oleh masyarakat Banten sebagai Watu Gilang yang berarti berseri atau mengkilap.

3.Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda adalah kerajaan Hindu yang berlokasi di
sebelah barat Pulau Jawa (Sunda). Beribukota di Pajajaran (sekarang adalah Bogor), kerajaan
ini lebih dikenal dengan nama Pakuan Pajajaran (pakuan atau pakuwuan berarti
kota).Sebagaimana adat kebiasaan di Asia Tenggara pada masa itu yang menyebut kerajaan
dengan nama ibukotanya. Beberapa catatan sejarah menyebutkan kerajaan ini didirikan oleh
Sri Jayabhupati pada tahun 923.

Sementara Pakuan Pajajaran secara ‘resmi’ dinyatakan berdiri saat Jayadewata naik
tahta pada 1482 dan bergelar Sri Baduga Maharaja. Sejarah kerajaan banyak dikisahkan
dalam berbagai kitab cerita.

Masih sering pula dituturkan dalam pantun dan kisah babad. Serta ditemukan pula
catatan dari berbagai prasasti yang ditemukan dan catatan perjalanan bangsa asing di
Nusantara pada masa itu.

Berdirinya Pakuan Pajajaran


Kala itu, terdapat dua kerajaan di tanah Parahyangan (Sunda, sekarang Jawa Barat)
yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda. Kedua kerajaan ini terikat oleh tali perkawinan
antara putra raja Galuh dengan putri raja Sunda.

Kerajaan Galuh dipimpin oleh Raja Dewa Niskala dan Kerajaan Sunda dipimpin oleh
Raja Susuktunggal. Pada tahun 1400-an, saat Majapahit diambang kehancuran, rombongan
pengungsi dari datang ke Kerajaan Galuh dan diterima dengan tangan terbuka.

Sambutan tak berhenti di situ, kepala rombongan yang masih merupakan saudara dari
Prabu Kertabumi (raja Majapahit) bernama Raden Baribin dinikahkan dengan salah seorang
putri Galuh, Ratna Ayu Kirana. Sang raja pun mengambil seorang istri dari rombongan
pengungsi Majapahit

Tindakan tersebut menyebabkan kemarahan dari raja Sunda yang menuduh raja Galuh
melupakan aturan bahwa orang Galuh dan Sunda dilarang keras menikah dengan orang dari
Majapahit. Kedua raja yang terlibat pertalian besan ini pun terlibat sengketa.

Terancam perang, dewan penasehat dari kedua kerajaan berunding dan meminta para
raja untuk turun dari tahta. Dan kemudian bersama-sama menunjuk seorang pengganti untuk
memimpin kedua kerajaan.

Tak disangka, nama yang ditunjuk oleh kedua raja adalah nama yang sama,
Jayadewata. Maka terselesaikanlah persengketaan dengan jalan menyatukan dua kerajaan di
bawah satu raja. Selain Sri Baduga Maharaja, Jayadewata juga dikenal dengan sebagai Prabu
Siliwangi.

Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran


Tercatat ada 5 raja yang memimpin Kerajaan Pajajaran saat masih berkedudukan di
Pakuan Pajajaran, yaitu Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), Surawisesa (1521 – 1521), Ratu
Dewata (1535 – 1543), Ratu Sakti (1543 – 1551), serta Ratu Nilakendra (1551 – 1567).

Dari kelima raja yang memimpin tersebut, masa kejayaan terjadi pada saat Sri Baduga
Maharaja menduduki singgasana raja. Berbagai pembangunan fisik dilakukan untuk
memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyat.

Berbagai kisah dan cerita tak henti menyebutkan Sri Baduga Maharaja, bahkan hingga kini
namanya masih dielu-elukan oleh masyarakat Sunda. Berikut ini beberapa pencapaian yang
membuktikan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja :

1. Pembangunan Fisik

Karena masih berstatus sebagai ‘kerajaan baru’, Sri Baduga Maharaja banyak melakukan
pembangunan fisik untuk memudahkan kehidupan negara dan rakyat. Berikut adalah
pembangunan fisik yang dilakukan oleh raja pertama Kerajaan Pajajaran antara lain adalah:
 Membangun jalan dari Pakuan (ibukota) sampai ke Wanagiri,
 Membuat telaga besar yang diberi nama Talaga Maharena Wijaya,
 Membangun kabinihajian atau keputren atau tempat tinggal para putri, dan
 Membangun pamingtonan atau tempat hiburan.

2. Bidang Militer

Pertahanan negara diperkuat dengan memperkuat angkatan militer agar peristiwa


seperti Peristiwa Bubat tidak terulang. Kesatrian atau asrama untuk prajurit dibangun untuk
menarik minat para pemuda agar mereka mau menjadi prajurit.

Selain itu, para prajurit dibekali latihan dengan berbagai macam formasi tempur yang
sering dipertunjukkan bagi rakyat.

3. Administrasi pemerintahan

Kegiatan administrasi pemerintahan dirapikan, dengan memberikan tugas yang


spesifik kepada setiap abdi raja. Undang-undang kerajaan disusun untuk mengatur kehidupan
dalam bernegara.Serta aturan mengenai pemungutan upeti dibuat agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan dalam proses penarikannya.

4. Keagamaan

Karena agama adalah bagian penting dari kehidupan manusia, desa-desa perdikan
dibagikan kepada para pendeta dan murid-muridnya. Tanah perdikan adalah tanah yang tidak
dipungut pajak.Sehingga para pendeta dan muridnya dapat dengan leluasa memimpin ritual
keagamaan tanpa perlu memikirkan masalah duniawi.

Kehidupan Masyarakat
Kehidupan masyarakat Pakuan Pajajaran dapat dilihat melalui beberapa aspek seperti
ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah penjelasannya :

1. Ekonomi

Mata pencaharian utama masyarakat adalah pertanian. Selain itu kegiatan


perdagangan dan pelayaran juga dikembangkan. Pakuan Pajajaran memiliki enam pelabuhan
penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa, dan Cimanuk
(sekarang Pamanukan).

2. Sosial

Dalam keseharian masyarakat Pakuan Pajajaran, penduduk digolongkan menurut


pekerjaannya. Ada golongan seniman yang terdiri pemain musik gamelan, penari, dan badut.
Lalu golongan petani dan golongan pedagang – yaitu mereka yang bermata pencaharian
sebagai petani dan pedagangan.
Serta ada pula golongan penjahat, yakni mereka yang memiliki profesi di bidang kejahatan
seperti perampok, pencuri, pembunuh, dan sebagainya.

3. Budaya

Agama yang secara resmi dianut oleh kerajaan adalah agama Hindu, sehingga praktik
hidup keseharian sangan kental dengan ritual keagamaan Hindu.

Peninggalan yang masih dapat disaksikan hingga kini adalah kitab Cerita
Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda serta kitab cerita Kidung Sundayana. Adapula
berbagai prasasti yang ditemukan tersebar di berbagai wilayah kekuasaan kerajaan.

Prasasti-prasasti tersebut di antaranya Prasasti Batu Tulis di Bogor, Prasasti Sangyang


di Tapak, Sukabumi, Prasasti Kawali di Ciamis, Prasasti Rakan Juru Pangambat, Prasasti
Horren, Prasasti Astanagede, Tugu perjanjian dengan Portugis (padraõ) di Kampung Tugu,
Jakarta, dan Taman perburuan yang kini menjadi Kebun Raya Bogor.

Runtuhnya Pakuan Pajajaran


Penerus tahta Pajajaran tidak ada yang bisa menandingi kemasyhuran Sri Baduga
Maharaja. Semua catatan akan masa kejayaan yang terabadikan dalam cerita, kidung, pantun,
babad, hingga terukir dalam prasasti-prasasti adalah hasil kerja keras dari sang raja pertama.

Catatan keruntuhan Pajajaran terjadi pada 1579 Masehi akibat serangan dari
Kesultanan Banten, anak kerajaan dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah. Ditandai dengan
pemboyongan Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja) dari Pakuan Pajajaran ke
Keraton Surosowan di Banten oleh Maulana Yusuf.

Pemboyongan singgasana batu tersebut adalah aksi simbolis terhadap tradisi politik
masa itu agar Pakuan Pajajaran tidak bisa menobatkan raja baru. Maulana Yusuf ditasbihkan
sebagai penguasa sah Sunda karena dirinya masih memiliki darah Sunda dan merupakan
canggah dari Sri Baduga Maharaja.

Kerajaan Pajajaran adalah satu bukti sejarah, bahwa alih-alih berperang jalan damai
masih dapat ditempuh untuk menyelesaikan pertikaian dua negara. Satu hal yang jarang
ditemui, terutama pada masa itu.

Mungkin masih ada sisa trauma akibat peristiwa Bubut, di mana tanah Sunda nyaris
porak-poranda akibat serangan Majapahit, sehingga mereka memilih jalan yang menghindari
terjadinya perang.

Dan sambutan raja Galuh kepada para pengungsi Majapahit juga patut diapresiasi.
Sangat sedikit orang yang bisa menerima pengungsi dari negara yang pernah melancarkan
serangan perang ke negaranya. Meskipun entah apa alasan sebenarnya diterimanya para
pengungsi tersebut, akan tetapi tindakan itu adalah lebih banyak terjadi pada konteks
ketimbang praktik.
Berakhirnya masa kerajaan ini adalah akhir dari kekuasaan Hindu di Parahyangan dan
awal dari masa dinasti Islam. Konon dikabarkan bahwa sebagian abdi istana menetap di
Lebak dan menerapkan cara kehidupan mandala yang ketat. Kini keturunan dari para abdi
istana ini adalah yang kita kenal sebagai Suku Baduy.

Anda mungkin juga menyukai